Apabila dilihat dari persentase dampak pertambahan pendapatan yang diperoleh rumahtangga per satuan investasi, maka dengan Tabel 34 secara umum
dapat dijelaskan bahwa 1 yang paling besar menikmati pertambahan pendapatan adalah rumahtangga pengusaha kehutanan di desa RT7, 2 buruh kehutanan di
desa RT6 memperoleh pertambahan pendapatan per satuan investasi lebih besar dari buruh kehutanan kota RT14, 3 pengusaha kehutanan di desa RT7
memperoleh pertambahan pendapatan per satuan investasi lebih besar dari pengusaha kehutanan di kota RT15, 4 rumahtangga buruh dan pengusaha
industri kehutanan di kota RT18, RT19 memperoleh pertambahan pendapatan persatuan investasi yang lebih besar dari rumahtangga buruh dan pengusaha
industri kehutanan di desa RT10, RT11, 5 rumahtangga buruh dan pengusaha pertanian non kehutanan didesa RT8, RT9 memperoleh pertambahan pendapatan
persatuan investasi yang lebih besar dari rumahtangga buruh dan pengusaha pertanian non kehutanan di kota RT16, RT17, 6 rumahtangga buruh dan
pengusaha bidang lain di kota RT20, RT21 memperoleh pertambahan pendapatan persatuan investasi yang lebih besar rumahtangga buruh pengusaha
bidang lain di desa RT12, RT13, dan 7 pemerintah INS24 memperoleh pertambahan pendapatan per satuan investasi lebih besar dari industri pengolahan
hasil hutan INS22.
7.3. Kesenjangan Pendapatan Antarrumahtangga
Dampak lebih lanjut dari pertambahan pendapatan rumahtangga akibat kebijakan tersebut dapat mengubah kesenjangan pendapatan antarkelompok
rumahtangga yang ada. Dengan menggunakan pendekatan rasio maksimum minimum Maximum to Minimum Ratio sebagaimana Tabel 35, dapat dijelaskan
bahwa kebijakan pembangunan atau perluasan HTI Simulasi 1, pembangunan atau perluasan industri pulp Simulasi 2, pembangunan wilayah berbasis
kehutanan Simulasi 6, pembangunan sektor produksi bahan baku kehutanan Simulasi 8 dan pembangunan kehutanan berbasis industri kertas Simulasi 9
masing-masing dapat menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga desa dengan rumahtangga kota. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan
tersebut memberikan tingkat pertambahan pendapatan kepada rumahtangga desa lebih besar dari rumahtangga kota. Kebijakan tersebut umumnya menyerap lebih
banyak tenaga kerja dari rumahtangga di perdesaan. Sementara itu kebijakan pembangunan industri kertas tulis cetak
Simulasi 3, pembangunan industri kertas tisu Simulasi 4, pembangunan industri MDF Simulasi 5, pembangunan industri kertas dan ikutannya Simulasi
7 dan pembangunan kehutanan berbasis MDF Simulasi 10 yang umumnya memerlukan tenaga kerja lebih trampil serta membuka peluang usaha bagi
pengusaha yang biasanya dari berasal atau bertempat tinggal di kota. Masing- masing kebijakan tersebut mengakibatkan kenaikan kesenjangan antara
rumahtangga desa dengan rumahtangga kota dan antara rumahtangga buruh dengan rumahtangga pengusaha.
Semua kebijakan kecuali kebijakan pembangunan industri MDF dapat menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga kehutanan dan
rumahtangga industri kehutanan. Sementara itu semua kebijakan dapat menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga kehutanan dan
rumahtangga lain.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa semua kebijakan tersebut ternyata belum dapat menurunkan kesenjangan antara rumahtangga buruh dengan
rumahtangga pengusaha, artinya pengusaha selalu menikmati tingkat tambahan pendapatan yang lebih besar dibanding rumahtangga buruh.
Tabel 35. Dampak Investasi Sektor Kehutanan Terhadap Kesenjangan Pendapatan Antarkelompok Rumahtangga
Simulasi Desa - Kota
Buruh-Pengusaha RT Khut –
RT Ind Khut RT Khut –
RT Lain BASE
0.4145 1.6049
0.4070 0.4521
SIM 1 0.3200
1.6287 0.3290
0.3731 SIM 2
0.3756 1.6681
0.3178 0.3499
SIM 3 0.4156
1.6264 0.3833
0.4229 SIM 4
0.4148 1.6112
0.3999 0.4434
SIM 5 0.5245
1.6517 0.4072
0.4347 SIM 6
0.4041 1.6974
0.3014 0.3250
SIM 7 0.4158
1.6310 0.3784
0.4168 SIM 8
0.4024 1.6924
0.3051 0.3300
SIM 9 0.3308
1.6848 0.2785
0.3092 SIM 10
0.4375 1.6636
0.3511 0.3803
Apabila diteliti lebih jauh maka kebijakan yang paling efektif menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota adalah
kebijakan pembangunan HTI Simulasi 1. Melalui kebijakan ini kesenjangan pendapatan rumahtangga desa dan rumahtangga kota dapat dikurangi hingga
menjadi 0.32 paling rendah dibandingkan kebijakan-kebijakan yang lainnya. Karakteristik pembangunan HTI memang paling banyak melibatkan warga
pedesaan dibanding industri lain, fenomena ini berkaitan dengan letak dan industrinya yang relatif tidak membutuhkan persyaratan ketrampilan khusus pada
pekerjanya baik langsung maupun tidak langsung. Sementara industri lain relatif lebih banyak melibatkan penduduk kota yang memiliki persyaratan pendidikan
dan ketrampilan lebih tinggi dibanding HTI .
Untuk kebijakan tunggal berupa penambahan investasi pada industri kertas 500 ribu ton dan industri tisu sebesar 100 ribu ton Simulasi 3 dan Simulasi 4
masing-masing memberi dampak peningkatan pendapatan rumahtangga di desa dan kota yang relatif sama besar. Akibatnya seperti yang dipaparkan dalam
Tabel 35, kedua kebijakan di sektor hilir kehutanan tersebut tidak dapat mengurangi kesenjangan spasial desa dan kota, bahkan yang terjadi kedua
kebijakan tersebut menyebabkan kesenjangan semakin bertambah. Kondisi yang lebih ekstrim terjadi pada investasi industri MDF, ternyata
akan menyebabkan kesenjangan spasial antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota melebar. Seperti yang disajikan dalam Tabel 35, kesenjangan
pendapatan rumahtangga desa dan rumahtangga menjadi 0.5245 apabila kebijakan pengembangan industri MDF ini dilakukan secara parsial. Demikian juga meski
kebijakan industri MDF ini dikombinasikan dengan kebijakan pembangunan kehutanan di sektor hulunya, sebagaimana yang diinterpretasikan dalam Simulasi
10, kesenjangan pendapatan antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota masih tetap tinggi. Walaupun mengalami penurunan dibandingkan kebijakan
tunggal MDF, namun indeks kesenjangan yang terhitung tetap lebih tinggi dibandingkan nilai base. Seluruh kondisi ini memberikan indikasi bahwa
kebijakan pembangunan kehutanan yang difokuskan pada pengembangan industri MDF hulu dan hilir akan lebih banyak dinikmati oleh rumahtangga yang berada
di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Kondisi ini terjadi karena industri MDF lebih banyak melibatkan tenaga kerja yang berpendidikan dan memiliki
ketrampilan lebih khusus yang umumnya dimiliki oleh masyarakat kota. Hal ini
senada dengan distribusi pendapatan faktor produksi dimana tenaga kerja terampil memperoleh distribusi dan peningkatan tertinggi diantara tenaga kerja lainnya.
Isu mengenai kesenjangan atau kesenjangan pendapatan disadari memang lebih banyak diperdebatkan dalam wacana kelompok elit saja. Kelompok miskin
di Jambi pasti lebih mengharapkan upaya-upaya untuk mengentaskan kemiskinan daripada sibuk dengan masalah kesenjangan pendapatan. Bagi mereka, terbebas
dari kemiskinan adalah harapan utama. Kesenjangan hanya akan dirasakan oleh mereka yang secara relatif berkecukupan, bahkan agaknya kelompok miskin
absolut sama sekali tidak tertarik dengan perdebatan mengenai kesenjangan. Namun demikian, jika ditelusuri lebih jauh mengatasi masalah kesenjangan
spasial antara desa dan kota di wilayah Jambi sebenarnya juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di desa. Hal ini disampaikan karena kondisi
yang ada menunjukkan bahwa penduduk miskin di Jambi lebih banyak berada di perdesaan. Berdasarkan hasil survey BPS tahun 2003 jumlah penduduk miskin di
desa untuk wilayah Jambi adalah sebanyak 192 700 jiwa, sedangkan di kota sebanyak 134 600 jiwa. Hal ini berarti jika tujuan pembangunan kehutanan adalah
untuk mengatasi kesenjangan pendapatan, yang dilakukan dengan cara meningkatkan pendapatan penduduk di perdesaan, maka sekaligus juga upaya
untuk dapat mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan. Terjadinya kesenjangan pendapatan di Provinsi Jambi merupakan petunjuk
belum optimalnya distribusi pemanfaatan sumberdaya ekonomi, pemilik modal masih terlalu dominan dalam menikmati manfaat, sehingga mengurangi nilai
tambah yang diterima masyarakat. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut maka akan menyebabkan sumberdaya ekonomi yang tersedia semakin berkurang, yang pada
akhirnya menimbulkan pengaruh negatif terhadap hasil-hasil pembangunan,
seperti penurunan produktifitas regional dan peningkatan jumlah penduduk miskin. Selain itu kesenjangan pendapatan yang substansial dapat juga
menyebabkan disinsentif secara material ataupun immaterial bagi kemajuan ekonomi wilayah Hafizrianda, 2007. Oleh karena itu masalah kesenjangan
pendapatan ini perlu ditangani dengan tepat dan serius karena penanganan yang salah akan membawa dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi maupun
stabilitas politik di wilayah Jambi. Sesuai hasil simulasi kebijakan yang dilakukan, yang menyebabkan
penurunan kesenjangan paling besar, dapat dikatakan bahwa pembangunan kehutanan berbasis kertas di sektor hulu dan hilir Simulasi 9, merupakan
kebijakan strategis yang paling tepat bagi pemerintah daerah Jambi untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Kebijakan tersebut baik
dilakukan secara parsial maupun simultan mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan
pembangunan kehutanan lainnya. Dari tabel 35 diatas dapat dibaca tingkat penurunan kesenjangan spasial antara rumahtangga desa dan rumahtangga kota
0.3308, pendapatan rumahtangga kehutanan dan rumahtangga industri kehutanan 0.2785 serta antara rumahtangga kehutanan dan rumahtangga lainnya
0.3092 yang dicapai dengan kebijakan tersebut adalah yang terbaik diantara kebijakan lainnya.
Belum berhasilnya kebijakan-kebijakan investasi kehutanan dalam menurunkan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga
pengusaha, hal ini antara lain karena rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor kehutanan. Lebedys 2004 melaporkan bahwa produktivitas tenaga
kerja kehutanan dan industri pulp dan kertas di negara berkembang Asia-Pasifik termasuk Indonesia adalah terendah kedua dan ketiga dari delapan kelompok
negara-negara yang diteliti di seluruh dunia. Maka untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga kehutanan perlu ditempuh upaya meningkatkan
ketrampilan dan produktivitasnya. Berdasarkan analisis pengganda dan SPA yang telah diuraikan di depan
rumahtangga pengusaha di perdesaan memperoleh transfer payment yang lebih banyak dibandingkan rumahtangga buruh. Oleh karena itu untuk menaikkan
pendapatan rumahtangga di perdesaan yang sebagian besar merupakan rumahtangga buruh yang berpendapatan rendah aktifitas ekonominya diarahkan
ke wiraswasta dengan kata lain status mereka perlu diubah terlebih dahulu menjadi pengusaha di perdesaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menciptakan kondisi tersebut adalah melalui pola kemitraan antara pengusaha besar di sektor kehutanan dengan pengusaha kecil dari masyarakat di sekitar
hutan. Kemitraan usaha masyarakat dengan pengusaha hutan dan industri
kehutanan sangat dimungkinkan dan didorong. Sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan di sektor kehutanan, pemegang izin usaha dibidang
kehutanan dan industri kehutanan diwajibkan untuk bekerjasama dan membina usaha kecil dan menengah dari masyarakat sekitar hutan UU No. 411999 Pasal
30. Secara operasional pengusahaan hutan dan industri kehutanan sangat memungkinkan adanya kerjasama dalam berbagai bentuk seperti pemasok
logistik, pemasok bahan baku industri serta out sourching kontraktor berbagai kegiatan produksi, seperti pembibitan, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan
tanaman, pemanenan kayu, pengangkutan kayu dan hasil industri serta proses produksi industri kertas dan lain-lain.
Kemitraan lain yang bisa dilakukan antara lain pengelolaan dan pengusahaan hutan rakyathutan tanaman rakyat, dimana masyarakat di perdesaan
diberi hak untuk mengelola dan membangun hutan tanaman yang hasilnya dapat untuk memasok industri pengolahan hasil hutan yang ada disekitarnya. Selain
berfungsi untuk produksi pembangunan hutan rakyathutan tanaman rakyat diharapkan dapat menanggulangi lahan kritis, juga untuk konservasi lahan dan
perlindungan hutan sekaligus sebagai salah satu upaya pengentasan kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat setempat.
Upaya kemitraan di sektor kehutanan dapat dijadikan solusi dari lemahnya atau tidak adanya usaha atau industri kecil dan menengah yang ikut menopang
sektor kehutanan nasional. Tambunan 2005 menyatakan bahwa salah satu kelemahan industri kehutanan adalah lemahnya atau tidak adanya industri kecil
menengah IKM dalam struktur industri kehutanan nasional. Kendala lain sektor kehutanan di Jambi adalah lokasi usaha dan industri
kehutanan yang sangat tersebar, sementara infrastruktur baik perhubungan, komunikasi, listrik, air bersih dan lain-lain masih sangat terbatas. Tidak jarang
setiap kegiatan usaha kehutanan dan industri kehutanan harus dimulai dengan membangun infrastruktur sendiri seperti jaringan jalan, dermagapelabuhan,
pembangkit listrik, prsarana komunikasi, air bersih dan lain-lain yang sangat membebani investasi sektor kehutanan tersebut. Oleh sebab itu pemerintah daerah
Jambi perlu memikirkan kemungkinan pengembangan klaster-klaster industri khususnya klaster industri kehutanan. Klaster akan cukup banyak mulai dari
bahan baku, alih teknologi, tenaga kerja, maupun infrastruktur. Pengelompokan industri ini memberikan dampak publikasi yang lebih kuat, pembeli dalam jumlah
besar akan lebih mudah dalam melakukan pesanan, sebaliknya supplier bahan baku lebih tertarik memasok barang dengan harga bersaing, disisi lain pemerintah
akan lebih fokus khususnya dalam penyediaan infrastruktur dan insentif lainnya. Pengembangan klaster industri juga mendorong adanya alih teknologi serta
berkumpulnya tenaga kerja terampil di wilayah tertentu dan keberadaannya juga bermanfaat tidak hanya bagi pengembangan industri besar, tetapi juga
pengembangan Usaha Kecil dan Menengah UKM. Dibandingkan dengan rumahtangga buruh, faktor produksi yang dimiliki
oleh rumahtangga pengusaha lebih profitable menguntungkan. Rumahtangga buruh hanya mempunyai faktor tenaga kerja saja, sementara rumahtangga
pengusaha menguasai faktor modal yang nilai keuntungannya lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja. Akibatnya, apapun kebijakan pembangunan kehutanan
yang dilakukan sangat sulit menurunkan kesenjangan pendapatan yang terjadi antara buruh dengan pengusaha, bahkan yang terlihat kesenjangan pendapatan
diantara kedua kelompok rumahtangga tersebut semakin membesar, sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 35.
Untuk seluruh kebijakan pembangunan kehutanan yang dilaksanakan akan menghasilkan kesenjangan pendapatan antara buruh dengan pengusaha yang lebih
tinggi dari nilai base. Sebagai contoh melalui kebijakan pembangunan HTI Simulasi 1 menghasilkan kesenjangan pendapatan buruh dan pengusaha sebesar
1.6287 yang terlihat lebih besar dari kesenjangan base sebesar 1.6049, demikian juga melalui kebijakan pembangunan berbasis kehutanan yang dilakukan secara
serentak Simulasi 6 akan menghasilkan indeks kesenjangan lebih tinggi dari base
yakni sebesar 1.6974. Kesenjangan pendapatan antara buruh dan pengusaha memang tidak dapat
dihindari. Apabila pendapatan diantara keduanya sama dipastikan tidak ada pengusaha yang mau menanamkan modalnya. Oleh karenanya perbedaan
pendapatan diantara kedua kelompok rumahtangga tersebut tidak menjadi fokus pembahasan dalam studi ini, perhatian lebih diutamakan kepada kebijakan
pembangunan kehutanan mana yang menghasilkan kesenjangan pendapatan lebih rendah.
Berdasarkan simulasi yang dilakukan ternyata kebijakan HTI Simulasi 1, industri kertas Simulasi 3, dan industri tisu Simulasi 4, merupakan kebijakan-
kebijakan pembangunan kehutanan yang dapat menurutkan kesenjangan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga pengusaha menjadi yang paling rendah
dibandingkan kebijakan-kebijakan lainnya. Kebijakan pembangunan HTI menciptakan indeks kesenjangan antara rumahtangga buruh dan rumahtangga
pengusaha sebesar 1.6287, sedangkan kebijakan industri kertas dan tisu masing- masing menghasilkan indeks kesenjangan sebesar 1.6264 dan 1.6112.
Pembangunan HTI, industri kertas maupun tisu, ketiganya memang merupakan industri yang padat tenaga kerja atau lebih banyak melibatkan buruh
dibanding yang lain. Buruh akan memperoleh manfaat lebih tinggi melalui ketiga kebijakan tersebut sehingga kesenjangan pendapatan antara buruh dan pengusaha
terlihat paling rendah jika dibandingkan dengan kebijakan lainnya seperti kebijakan industri pulp Simulasi 2 ataupun industri MDF Simulasi 5. Kedua
industri ini mempunyai karakteristik penggunaan faktor produksi yang lebih padat
modal. Akibatnya kebijakan investasi pulp dan MDF memberikan dampak pada pengusaha yang lebih besar dibandingkan buruh, sehingga kesenjangan
pendapatan yang diciptakan menjadi lebih besar dibandingkan kebijakan sebelumnya yakni masing-masing sebesar 1.6681 melalui kebijakan investasi
industri pulp dan 1.6517 melalui kebijakan investasi industri MDF. Setiap kebijakan pembangunan kehutanan akan mempunyai dampak yang
berbeda terhadap perubahan pendapatan rumahtangga kehutanan dan rumahtangga industri kehutanan. Beberapa kebijakan ada yang berpihak pada rumahtangga
kehutanan dan ada juga yang lebih menguntungkan rumahtangga industri kehutanan. Akibatnya, dari 10 simulasi kebijakan pembangunan kehutanan yang
dilakukan terdapat efek terhadap perubahan kesenjangan pendapatan antara rumahtangga kehutanan dengan industri kehutanan yang saling berbeda. Dalam
Tabel 35 dapat dilihat bahwa kebijakan pembangunan kehutanan yang berbasis kertas Simulasi 9 mampu menurunkan kesenjangan pendapatan dari nilai base
menjadi 0.2785, sedangkan kebijakan investasi industri MDF Simulasi 5 menyebabkan kesenjangan pendapatan menjadi lebih tinggi dari nilai base yakni
sebesar 0.4072. Fenomena ini memberi indikasi bahwa pembangunan kehutanan berbasis kertas mempunyai efek pengganda yang lebih besar terhadap
rumahtangga kehutanan dibandingkan industri MDF. Bahan baku produksi kertas kebanyakan berasal dari hutan tanaman,
dimana banyak pekerja yang berasal dari rumahtangga kehutanan oleh karena itu, bila terjadi kenaikan produksi kertas maka permintaan terhadap kayu juga
semakin besar yang pada akhirnya memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan rumahtangga kehutanan yang lebih tinggi, sehingga kesenjangan
pendapatan yang terjadi dengan rumahtangga industri kehutanan dapat dikurangi. Berbeda halnya dengan dampak yang diberikan oleh industri MDF, industri ini
menggunakan bahan baku yang berasal dari sisa-sisa produk industri kayu by product
dan hutan alam dimana penyerapan tenaga kerja dalam produksi kayu ini juga relatif kecil. Sehingga efek penggandanya lebih banyak dinikmati oleh
rumahtangga industri kehutanan, yang akhirnya mendorong kesenjangan pendapatan dengan rumahtangga kehutanan lebih tinggi dari sebelumnya.
Kesenjangan pendapatan lainnya yang berhasil dipotret dalam studi ini adalah kesenjangan antara rumahtangga kehutanan dengan rumahtangga lainnya
di luar kehutanan yang pada umumnya bergerak pada sektor jasa, dapat dikatakan bahwa seluruh kebijakan pembangunan kehutanan yang telah disimulasikan
mempunyai efek untuk mengurangi kesenjangan pendapatan antara rumahtangga kehutanan dengan rumahtangga lainnya. Dalam kondisi base kesenjangan yang
terjadi adalah sebesar 0.4521 lihat Tabel 35 dan setelah dilakukan simulasi- simulasi kebijakan pembangunan kehutanan indeks kesenjangan dapat dikurangi
sampai dengan yang paling kecil adalah 0.3092, yaitu melalui kebijakan pembangunan kehutanan berbasis kertas Simulasi 9 dan 0.4434 yang paling
tinggi yang berasal dari kebijakan investasi industri tisu Simulasi 4. Walaupun secara umum kebijakan pada investasi industri tisu Simulasi 4
maupun industri MDF Simulasi 5 memberikan manfaat ke rumahtangga kehutanan yang lebih besar dibandingkan rumahtangga non kehutanan, akan tetapi
secara relatif kedua industri tersebut sebenarnya mempunyai manfaat bagi rumahtangga kehutanan yang lebih kecil dibandingkan industri kehutanan lainnya.
Kondisi ini berkaitan dengan keberadaan industri tersebut yang merupakan
industri paling hilir, sehingga tidak langsung melibatkan rumahtangga kehutanan yang memproduksi kayu bahan baku industri hulunya. Hal ini tentu sangat
berbeda dengan kebijakan pembangunan kehutanan berbasis kertas industri HTI dan pulp yang merupakan kombinasi kebijakan industri yang secara langsung
akan lebih banyak melibatkan rumahtangga kehutanan, sehingga kesenjangan pendapatan rumahtangga kehutanan dengan rumahtangga lainnya menjadi paling
kecil.
7.4. Distribusi Pendapatan Sektoral