Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA

tenaga kerja berupa upah dan gaji. Bila upah dan gaji ini dari tiap-tiap tenaga kerja pada masing-masing sektor ekonomi dijumlahkan, itulah yang disebut sebagai alokasi nilai tambah faktor produksi tenaga kerja menurut sektor. Dengan demikian, dari sub matrik ini dapat diperoleh informasi mengenai jumlah tenaga kerja yang bekerja di masing-masing sektor ekonomi termasuk besarnya tingkat upah yang mereka peroleh. Informasi ini akan dianalisis sehingga akan memberikan masukan mengenai kondisi sosial masyarakat, yaitu distribusi pekerja dan tingkat upah dan gaji menurut sektor-sektor ekonomi yang ada.

2.3.2.6. Pemodelan Ekonomi

Djohar 1999 menjelaskan bahwa model SNSE pada hakekatnya adalah suatu analisis model makro yang dapat memberikan gambaran umum mengenai struktur ekonomi dan sosial suatu wilayah nasional atau regional. Tinjauan dalam SNSE tidak hanya dilakukan pada kegiatan produksi masyarakat dan interdependensi sektoral dalam proses produksi, tetapi juga menggambarkan kaitan antarsektor produksi serta keterkaitannya dengan permasalahan sosial khususnya menyangkut masalah distribusi pendapatan.

2.4. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan perekonomian wilayah dan sektor kehutanan hutan serta industri hasil hutan dengan pendekatan Input-Output atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi, penelitian perekonomian provinsi Jambi serta berbagai penelitian lain di tingkat nasional maupun internasional antara lain dapat disampaikan sebagai berikut. Sastrowiharjo 1989 telah melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi provinsi Jambi dengan tujuan untuk mempelajari proses pertumbuhan dan perubahan struktur perekonomian provinsi Jambi, serta merumuskan metode peramalan perkembangannya dalam jangka pendek. Beberapa temuan penting antara lain adalah 1 PDRB provinsi Jambi berdasarkan harga berlaku 1989 adalah Rp 647 675 juta dengan dominasi sektor pertanian sebesar 44.26 persen dan menampung jumlah tenaga kerja sebesar 71.97 persen dari total kesempatan kerja yang ada. Lima sektor pertama yang mendominasi perekonomian provinsi Jambi berturut-turut adalah pertanian, perdagangan, perindustrian, angkutan dan pemerintahan dengan total kontribusi pada PDRB sebesar 81.92 persen dan kesempatan kerja sebesar 95.47 persen, 2 PDRB tahun 1978-1984 telah tumbuh rata-rata 4.62 persen pertahun lebih besar dari pertumbuhan penduduk yang mencapai 3.9 persen pertahun. Sub kelompok sektor pertanian dan kehutanan selama kurun waktu 1978-1985 kontribusinya telah turun rata-rata 5.16 persen per tahun, 3 Struktur perekonomian provinsi Jambi tahun 1978-1984 telah berubah secara signifikan dimana dominasi sektor pertanian pada PDRB telah berubah dari 53.46 persen menjadi 44.26 persen. Turunnya kontribusi pertanian akibat pertumbuhan sektor non pertanian melebihi pertumbuhan sektor pertanian, 4 Pertumbuhan ekonomi provinsi Jambi ditentukan oleh pertumbuhan permintaan akhir baik untuk konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah dan investasi swasta maupun ekspor, dan 5 Untuk mencapai tingkat pertumbuhan perekonomian yang tinggi dan pembagian pendapatan yang makin merata maka prioritas diarahkan pada sektor-sektor yang besar kontribusinya pada PDRB, besar penyerapan tenaga kerjanya, punya tingkat keterkaitan tinggi baik kedepan dan kebelakang dan daya penyebarannya serta memiliki pengganda PDRB dan pendapatan rumahtangga yang tinggi. Tiga prioritas pertama adalah : 1 sektor padi dan karet, 2 sektor perdagangan, dan 2 industri beras, industri kayu dan industri pengolahan karet. Ningsih 2001 melakukan penelitian tentang peranan industri kayu lapis dalam perekonomian provinsi Jambi. Tujuan penelitian menganalisis : 1 keterkaitan industri kayu lapis terhadap kegiatan perekonomian lainnya, 2 kepekaan industri kayu lapis serta pengaruhnya terhadap sektor lainnya, 3 dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh industri kayu lapis berdasarkan efek pengganda terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja di provinsi Jambi. Dalam penelitian tersebut Ningsih 2001 menemukan bahwa industri kayu lapis 9.08 persen menduduki peringkat kedua dalam memberikan output terbesar pada PDRB provinsi Jambi setelah sektor perdagangan 13.88 persen. Output industri kayu lapis yang mencapai Rp. 1.011 trilun tersebut 96.07 persen digunakan untuk memenuhi permintaan akhir dan sisanya 3.93 persen digunakan untuk permintaan antara. Sebagian besar permintaan akhir tersebut 88.42 persen diekspor baik keluar negeri maupun keluar provinsi. Dalam pembentukan Nilai Tambah Bruto NTB industri kayu lapis menempati peringkat kedua setelah sektor perdagangan. Namun demikian NTB dari industri kayu lapis tersebut sebagian besar 72.85 persen merupakan surplus usaha dan sisanya 27.15 persen Rp. 160 779 milyar merupakan upah dan gaji. Keterkaitan industri kayu lapis ke depan baik langsung maupun tidak langsung lebih kecil dibanding keterkaitan ke belakang, sedangkan kemampuan mendorong sektor lain industri kayu lapis lebih kecil dibanding kemampuannya menarik sektor hulunya. Kemampuan industri kayu lapis untuk mendorong peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja juga rendah. Bappeda provinsi Jambi bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik provinsi Jambi pada tahun 1998 telah melakukan penelitian sekaligus menyusun I-O provinsi Jambi tahun 1998 meliputi 60 sektor. Pada tahun 1998 struktur permintaan barang dan jasa di provinsi Jambi sektor produksi mencapai 30.39 persen, konsumen akhir domestik rumahtangga, lembaga nirlaba, pemerintah, pembentukan modal tetap dan perubahan stok 45.97 persen dan sisanya 23.64 persen merupakan permintaan untuk ekspor baik ke luar negeri maupun ke provinsi lainnya. Dari sisi penawaran dapat dijelaskan bahwa barang dan jasa yang diperlukan untuk memenuhi seluruh permintaan 78.28 persen dapat disediakan ditawarkan dari sektor produksi domestik provinsi Jambi dan 21.32 persen dari impor baik dari provinsi lain maupun luar negeri. Dari dua kenyataan di atas terlihat bahwa peran ekspor dan impor dalam perekonomian Jambi masih rendah. Dari ekspor yang rendah tersebut sektor perkebunan dan sektor kehutanan adalah penyumbang terbesar ekspor provinsi Jambi. Sektor kehutanan merupakan kontributor terbesar ke dua dalam penciptaan output provinsi Jambi setelah sektor perdagangan. Sementara sektor industri kayu lapis dan sejenisnya merupakan kontributor terbesar kedua dalam penciptaan nilai tambah setelah sektor perdagangan. Dari sisi permintaan maka secara berturut- turut peran konsumsi rumahtangga 42.01 persen, ekspor netto 33.98 persen, Penambahan Modal Tetap Bruto PMTB 15.19 persen dan konsumsi pemerintah daerah 8.92 persen. Sudharto 1999 menyampaikan bahwa pembangunan kehutanan telah memberikan manfaat besar dalam perekonomian Indonesia. Namun demikian beberapa provinsi yang kaya sumberdaya hutan tidak menerima dampak maksimum dari sektor ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sektor ini tidak dapat mendorong pertumbuhan industri hilirnya dan merugikan pembangunan regional karena rendahnya keterkaitan ke depan, rendah penggandanya dan terlalu tinggi kebocoran regionalnya. Sektor kehutanan memiliki pengganda yang tinggi baik untuk pengganda output regional 1.8211, pengganda pendapatan Tipe I dan Tipe II masing- masing 1.5388 dan 1.8416 serta pengganda tenaga kerja Tipe I dan Tipe II masing-masing 1.4196 dan 1.5997. Industri kayu lapis dan penggergajian kayu memiliki prospek yang baik dengan keterkaitan kebelakang yang tinggi 1.8211 tetapi rendah dalam keterkaitan ke depan 0.8014, rendah dalam nilai pendapatan keterkaitan ke depan 0.6494 maupun ke belakang 0.8550 dan juga rendah dalam keterkaitan tenaga kerja ke depan 0.8529 maupun ke belakang 0.9755. Tingkat kebocoran regional dari sektor kehutanan di provinsi Kalimantan Timur cukup besar, yaitu urutan ke 4 dari 10 sektor. Industri kayu lapis dan penggergajian kayu memiliki kebocoran tertinggi diantara kegiatan kehutanan. Tingginya kebocoran sektor kehutanan antara lain diakibatkan oleh : 1 Karakteristik komoditi yang bersumber dari sumberdaya alam perlu keahlian tenaga kerja yang tinggi dan jauh dari pasar, nilai tambah sering diperoleh oleh daerah lain dan produk akhir diekspor oleh daerah lain, 2 Karakteristik institusi dimana hampir semua HPH yang ada dimiliki atau terkait dengan beberapa group besar perusahaan atau industri hasil hutan yang berpusat di Jakarta dan umumnya mereka menganut perdagangan logintern yang lebih mengutamakan keuntungan perusahaan dibanding pembangunan regional, dan 3 Hampir semua hasil hutan khususnya kayu dari provinsi Kalimantan Timur di ekspor ke luar dalam bentuk bahan baku atau setengah jadi dan tidak pernah menjadi input antara bagi sektor lainnya. Untuk memperbaiki kontribusi sektor kehutanan dalam perekonomian Kalimantan Timur disarankan 1 Pembangunan industri hilir yang mengolah lebih lanjut produk industri kehutanan yang saat ini sudah ada atau dengan kata lain memperbaiki keterkaitan ke depan industri kehutanan. Untuk itu perlu ada insentif investasi industri kayu hilir, 2 Mendorong peran serta perusahaan lokal, Usaha Kecil dan Menengah UKM dan koperasi untuk menurunkan kebocoran regional. Untuk itu perlu diterapkan desentralisasi sektor kehutanan ke provinsi secara sungguh-sungguh yang akan mendorong perusahaan lokal masuk dalam bisnis kehutanan, 3 Memberikan insentif khusus untuk mendorong industri yang mempekerjakan tenaga kerja yang lebih banyak seperti tax holiday, subsidi dan lain-lain, 4 Memberikan insentif khusus dan berbagai dukungan ekonomi untuk menarik investasi asing untuk beroperasi di daerah dan mendorong perkembangan sektor lain seperti pembangunan sumberdaya manusia, modal, infrastruktur dan jasa keuangan, dan 5 Meningkatkan efisiensi kegiatan kehutanan untuk mencapai kondisi yang diperlukan untuk membangun industri kehutanan yang terpadu. Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik 2001 melakukan penelitian sekaligus menyusun model perencanaan pembangunan kehutanan kabupaten Kutai Timur dengan pendekatan Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE. Laporan penelitian tersebut antara lain menyatakan bahwa, pendapatan tenaga kerja di sektor kehutanan kecuali untuk kegiatan pelestarian hutan lebih tinggi dari pendapatan rata-rata tenaga kerja di kabupaten Kutai Timur. Degradasi hutan telah menyebabkan turunnya nilai tambah sektor kayu dan sektor hasil hutan selain kayu dan mengakibatkan turunnya PDRB. Dampak langsung maupun tidak langsung degradasi hutan mengindikasikan perlunya kebijakan pajak lingkungan dari kegiatan eksploitasi hutan. Apabila hasil pajak tersebut dimanfaatkan untuk pelestarian hutan maka meningkatkan output seluruh sektor, meningkatkan tenaga kerja dan balas jasa kapital dan total pendapatan rumahtangga. Demikian pula halnya jika pajak lingkungan itu digunakan untuk peningkatan pengeluaran pemerintah atau untuk pembangunan sarana dan prasarana fisik, maka juga akan meningkatkan output seluruh sektor ekonomi, meningkatkan pendapatan tenaga kerja, meningkatkan balas jasa kapital, meningkatkan pendapatan rumahtangga bahkan dapat meningkatkan pendapatan perusahaan. Untuk mengurangi kebocoran regional akibat balas jasa atau upah yang mengalir keluar maka disarankan kepada tenaga kerja dikenakan pajak pendapatan sebesar 5.02 persen. Sedang untuk menekan kebocoran regional akibat balas jasa kapital yang mengalir keluar, maka disarankan untuk memungut pajak atas penghasilan sebesar 22.86 persen dari pendapatan kapital yang mengalir keluar. Studi yang dilakukan oleh ITS Global 2007 mengenai dampak kegiatan perusahan industri logging dan pengolahan kayu Rimbunan Hijau Group Ltd. RHG di Papua New Guinea PNG melaporkan bahwa luas kawasan hutan di PNG mencapai 29.6 juta hektar atau sekitar 64 persen luas daratan negara tersebut dengan potensi kayu tropis kurang dari 1 persen total potensi kayu tropis dunia, bandingkan dengan Brasil yang memiliki 412 juta hektar kawasan hutan dengan potensi kayu tropis 20 persen dari potensi kayu tropis dunia. Sektor kehutanan PNG yang masih didominasi kegiatan pembalakan kayu harvesting round wood dan ekspor log ke Jepang, China dan Korea. Kontribusi sektor kehutanan mencapai 1.1 persen PDB negara tersebut dengan jumlah tenaga kerja yang diserap sebanyak 9 . ribu orang pada tahun 2005. RHG adalah cabang perusahaan Malaysia Rimbunan Hijau yang yang semula bekerja sebagai kontraktor di PNG sejak tahun 1975. RHG mempunyai 17 konsesi hutan dengan luas 1 755 juta hektar dan merupakan produsen 47.6 persen log PNG dengan volume 963 991 m 3 Marcouiller et al. 1990 telah melakukan studi mengenai prosedur estimasi empirik dalam membangun SNSE regional dengan fokus pada pengelolaan hutan. Spesifikasi dari SNSE ditentukan oleh problematika yang dihadapi, sektor produksi diagregasi dan hanya fokus pada kehutanan mulai dari . Kontribusi RHG pada perekonomian PNG meliputi kontribusi terhadap PDB 77.1 juta Kina 2005, penyerapan tenaga kerja pada tahun 2006 sebanyak 4 210 orang, upah dan gaji 18.80 juta Kina kurs tahun 2005 1 US = 3 825 Kina, retribusi dan iuran 10.52 juta Kina, royalti 11.86 juta Kina, pajak ekspor 55.75 juta Kina, prasarana 1.11 juta Kina dan kontribusi lain 0.32 juta Kina. Kontribusi tenaga kerja terhadap PDB PNG 20 591 Kina per tenaga kerja. Pada tahun 2006 RHG mempekerjakan 4 205 orang penduduk PNG yang memberdayakan masyarakat lokal. Secara ringkas bagi PNG, RHG adalah kontributor penting dalam perekonomian PNG, majikan utama bagi pekerja-pekerja di pedesaan yang hanya ada sedikit pekerjaan formal alternatif, kontributor utama dalam pendapatan pemerintah, pembayar sewa lahan utama bagi pemilik lahan dipedesaan dalam bentuk royalti, penyedia prasarana bagi masyarakat pedesaan PNG. pembangunan tanaman sampai pengolahan kayu. Institusi diagregasi forestry dan non forestry complex . Forestry complex didisagregasi menjadi produksi kayu dan pengolahan kayu, sedangkan produksi kayu didisagregasi lebih lanjut berdasarkan kepemilikan lahan menjadi bukan hutan milik swasta atau Non Industrial Private Forest Owners NIPF, hutan milik swasta atau Industrial Private Forest Owners IPF dan hutan Negara atau Public Forest Owners PF. Dari studi tersebut diketahui bahwa lebih dari 23 persen output sektor regional secara langsung terkait dengan aktivitas produksi dan pengolahan kayu. Disamping itu SNSE ini juga digunakan untuk menganalisis pendapatan dan distribusi pendapatan rumahtangga, belanja dan penerimaan pemerintah serta anlisis pengganda dan lain-lain. Metode pembentukan SNSE ini dapat diterapkan di daerah lain yang memiliki sumberdaya kayu signifikan dan mempunyai kontribusi dalam distribusi pendapatan dari kegiatan produksi dan pengolahan kayu. Lebedys 2004 melakukan penelitian tentang kontribusi sektor kehutanan pada perekonomian di berbagai negara anggota FAO yang dikelompokan menjadi 8 kelompok berdasarkan letak geografis dan kemajuan perekonomiannya. Indonesia masuk wilayah negara berkembang Asia Pasifik Developing Asia Pasific . Penelitian mencakup tiga indikator ekonomi yaitu ketenagakerjaan sektor kehutanan, nilai tambah sektor kehutanan pada PDB dan nilai ekspor-impor sektor kehutanan dan kontribusi sektor kehutanan pada neraca perdagangan. Studi ini tidak mencakup aktivitas sektor informal kehutanan, sehingga hasil analisis untuk negara berkembang yang sektor informalnya signifikan kemungkinan lebih rendah dari yang dilaporkan negara yang bersangkutan. Dalam dekade 1990-2000, tenaga kerja sektor kehutanan formal dunia naik kira-kira 4 persen dari 12.4 juta pada tahun 1990 menjadi 12.9 juta pada tahun 2000. Pada tingkat global tenaga kerja secara kasar terbagi rata antara aktivitas kehutanan, industri pengolahan kayu serta industri pulp dan kertas. Namun berdasarkan wilayah, sektor kehutanan negara berkembang Asia Pasifik termasuk Indonesia menyerap 5 juta tenaga kerja jauh diatas wilayah lainnya. Produktivitas tenaga kerja Indonesia pada aktivitas kehutanan, masuk kelompok kedua terendah kira-kira 150 m 3 per tahun urutan ke dua terendah setelah wilayah Asia Barat dan jauh dibawah wilayah Amarika Utara yang mencapai lebih dari 3 . 500 m 3 per tahun. Demikian halnya dengan produktivitas untuk industri pengolahan kayu, tenaga kerja negara berkembang Asia Pasifik termasuk Indonesia hanya mencapai 60 m 3 per tahun urutan ke dua setelah wilayah Afrika dan jauh tertinggal dari wilayah Amerika utara yang mencapai 300 m 3 Sementara itu nilai ekspor produk kehutanan naik lebih 50 persen selama dekade 1990-an, mecapai tingkat US 144 milyar pada tahun 2000. Oleh karena per tahun. Untuk Industri pulp dan kertas produktivitas tenaga kerja negara berkembang Asia Pasifik termasuk Indonesia hanya mencapai 60 MT per tahun urutan ke tiga terendah setelah Afrika serta Asia Tengah dan Barat dan jauh dibawah wilayah Amerika Utara yang mencapai hampir 290 MT per tahun. Berdasarkan kontribusi nilai tambah, maka Amerika Utara memberikan kontribusi nilai tambah terbesar hampir mencapai US 140 milyar per tahun pada tahun 2000, sementara negara berkembang Asia Pasifik termasuk Indonesia hanya kurang dari US 40 milyar berada diurutan keempat setelah Amerika Utara, Eropa Barat dan negara maju Asia Pasifik. itu dalam perdagangan internasional hasil hutan secara umum terus berkembang baik di negara maju maupun negara berkembang. Hasil penelitian-penelitian di atas masing-masing sangat bermanfaat namun demikian untuk keperluan perencanaan pembangunan khususnya pembangunan sektor kehutanan di provinsi Jambi mempunyai beberapa keterbatasan. Keterbatasan tersebut antara lain adalah: sebagian penelitian tersebut dilakukan pada masa yang sudah cukup lama sudah banyak perubahan yang perlu disesuaikan atau dilakukan di daerah atau negara lain, terbatas pada sektor kehutanan tertentu belum mencakup kehutanan secara keseluruhan. Dipandang perlu penelitian baru dengan menambah ataupun melengkapi dan memperbaharui penelitian-penelitian terdahulu disesuaikan fakta atau data terbaru sehingga hasilnya dapat dijadikan acuan yang lebih akurat dan aktual. Susilowati et al. 2007 menemukan bahwa investasi pada agroindustri dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga buruh tani dan petani yang lebih tinggi dibanding kelompok rumahtangga lainnya sekaligus dapat memperbaiki distribusi pendapatan rumahtangga dan dapat memperkecil kesenjangan pendapatan antara rumahtangga yang berpendapatan tinggi dan rumahtangga yang berpendapatan rendah. Dengan demikian investasi di sektor agroindustri diyakini merupakan cara efektif untuk mengurangi kemiskinan. Susila dan Setiawan 2007 menemukan bahwa sektor berbasis perkebunan baik sektor industri perkebunan primer maupun sektor industri perkebunan hilir sangat efektif untuk mendorong peningkatan pendapatan faktor produksi tenagakerja. Dengan kata lain sektor berbasis perkebunan efektif untuk menurunkan disparitas pendapatan faktor produksi tenaga kerja terhadap kapital. Susila dan Setiawan 2007 juga menemukan bahwa sektor berbasis perkebunan secara umum dapat meningkatkan pendapatan kelompok rumahtangga petani, rumahtangga non petani di desa dan rumahtangga non petani di kota baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama lebih tinggi dari perusahaan. Sektor industri perkebunan primer efektif untuk menurunkan disparitas pendapatan antarrumahtangga petani terhadap rumahtangga non petani di desa maupun di kota. Sementara sektor industri perkebunan hilir justru meningkatkan disparitas pendapatan antara rumahtangga petani dan rumahtangga non petani di kota. Priyarsono 2002 dalam penelitian mengenai Peranan Investasi di Sektor Pertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan Distribusi Pendapatan, menemukan 1 sektor kehutanan dan perburuan serta sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu merupakan sektor yang masih cukup efektif untuk dikembangkan mengingat pengganda nilai tambah, pengganda pendapatan rumahtangga dan pengganda keterkaitan dengan sektor lain termasuk relatif tinggi diantara sektor-sektor pertanian dan agroindustri yang lain, 2 sektor kehutanan dan perburuan paling lemah dalam membentuk total output bruto, sementara sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu nomor tiga tertinggi diantara sektor-sektor pertanian dan agroindustri yang lain, 3 sektor kehutanan dan perburuan mempunyai dampak pendapatan pemerintah ke dua terbesar diantara sektor-sektor pertanian dan agroindustri yang lain, dan 4 sektor kehutanan dan perburuan memiliki kemampuan menyerap tenaga kerja relatif tinggi diantara sektor-sektor pertanian dan agroindustri lainnya. Bautista 2001 telah melakukan penelitian untuk mengkaji strategi Agricultural-Based Development di Vietnam Tengah dengan mempelajari efek dari stimulus ekonomi di sektor pertanian terhadap peningkatan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Sebagian besar populasi petani di perdesaan Vietnam Tengah adalah rumahtangga miskin. Bautista mengelompokan rumahtangga menjadi rumahtangga desa dan kota dimana masing-masing dikelompokkan lagi menjadi rumahtangga berpendapatan rendah dan rumahtangga berpendapatan tinggi. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa berdasarkan pengganda pendapatan diketahui bahwa rumahtangga berpendapatan rendah baik di desa maupun di kota memperoleh kenaikan pendapatan lebih tinggi dari kelompok rumahtangga lainnya. Dengan kata lain strategi Agricultural-Based Development di Vietnam Tengah sangat cocok untuk mengurangi kesenjangan dan kemiskinan di perdesaan. Sedangkan penelitian Bautista 1999 untuk mengkaji strategi jalur pembangunan industri Industrial Development Paths di Indonesia dengan menggunakan SNSE dan CGE menemukan bahwa strategi pembangunan ADLI Agricultural Demand Led-Industrialization yaitu strategi pembangunan yang menitikberatkan pada sektor pertanian dan menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak industri dan sektor lainnya, berhasil meningkatkan pendapatan nasional yang lebih tinggi dibanding strategi pengembangan industri ringan dan startegi pengembangan industri pengolahan. Namun demikian strategi ADLI hanya memberikan pendapatan kepada rumahtangga pertanian yang paling rendah dibanding dua strategi lainnya. Datt and Ravallion 1996 dalam penelitian tentang produktivitas pertanian dan kemiskinan desa di India menyimpulkan bahwa, pertumbuhan pendapatan wilayah perkotaan berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di kota tetapi tidak mempengaruhi penurunan kemiskinan di desa. Sebaliknya pertumbuhan pendapatan di wilayah perdesaan berkontribusi dalam pengurangan kemiskinan baik di perdesaan maupun di perkotaan. Hal ini memperkuat bukti bahwa pengembangan sektor pertanian lebih berpihak kepada rumahtangga miskin dibanding dengan pengembangan sektor non pertanian di perkotaan. Wagner 1996 dengan mengunakan SNSE menganalisis peran ekonomi sektor pariwisata terhadap perekonomian di Area de Protecao Ambiental de Guaraquecaba Brasil. Wagner melihat sektor pariwisata tumbuh sangat cepat dalam perekonomian wilayah tersebut sehingga layak untuk dikaji. Pengkajian dilakukan dengan tujuan mengkaji dampak industri pariwisata terhadap produksi, upah tenaga kerja, nilai tambah dan distribusi pendapatan. Wagner 1996 dalam penelitian tersebut membagi sektor produksi menjadi 8 kelompok besar dua diantaranya adalah usaha tani primer di perdesaan dan pengusahaan di desa. Usaha tani primer di perdesaan menampung semua aktivitas ekonomi informal berbasis pertanian yaitu usaha yang terkait pertanian, perikanan, kehutanan dan peternakan. Sedangkan pengusahaan di desa menampung semua aktivitas ekonomi formal yang berbasis pertanian di perdesaan. Wagner menemukan bahwa aktivitas usaha tani primer di perdesaan memiliki pengganda output tipe I terbesar dan terbesar kedua untuk pengganda output tipe II. Atau dengan kata lain aktivitas pariwisata jika dapat diintegrasikan dengan usaha lainnya, maka akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi yang berasal dari ekonomi pariwisata, misalnya melalui peningkatan penjualan hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan dan produk lain seperti suvenir untuk turis maupun jasa lain seperti restoran dan sebagainya. Akita et al. 1999 telah melakukan penelitian tentang distribusi pendapatan rumahtangga di Indonesia dengan menggunakan analisis dekomposisi Theil dan Indeks Gini, berdasarkan data SUSENAS tahun 1987, 1990 dan 1993. Akita menemukan bahwa dalam jangka waktu tahun 1987–1993 tersebut : 1 kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perkotaan lebih besar dari kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perdesaan, 2 kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perkotaan cenderung meningkat, 3 sebaliknya kesenjangan pendapatan antarrumahtangga perdesaan cenderung menurun, dan 4 selama enam tahun tersebut telah terjadi kenaikan indeks kemiskinan dari 0.241 menjadi 0.257 Sementara itu Etharina 2005 dalam penelitiannya tentang disparitas pendapatan antardaerah dengan menggunakan data PDB tanpa migas dan dengan migas untuk kurun waktu dari tahun 1983 sampai 2001, menemukan bahwa distribusi pendapatan tanpa migas lebih merata dibanding distribusi pendapatan dengan migas. Sementara Hafizrianda 2006 dalam penelitian dampak pembangunan ekonomi berbasis pertanian terhadap distribusi pendapatan di provinsi Papua menyimpulkan bahwa : 1 sektor berbasis pertanian yang paling besar perananya dalam distribusi pendapatan faktor produksi tenaga kerja adalah sektor pertanian primer perkebunan dan kehutanan, 2 sektor perkebunan dan kehutanan sangat menonjol dalam menciptakan kenaikan pendapatan rumahtangga, terutama untuk rumahtangga berpendapatan tinggi, 3 sektor industri makanan dan minuman mempunyai peranan besar dalam kenaikan pendapatan sektoral terutama untuk pertanian tanaman pangan, 4 sektor-sektor pertanian primer tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dan industri pengolahan kayu secara global lebih kuat memancarkan efeknya ke rumahtangga melalui jalur dasar yang melibatkan variabel antara tenaga kerja serta modal, dan 5 secara umum pembangunan ekonomi berbasis pertanian mampu memperbaiki distribusi pendapatan di provinsi Papua dimana kebijakan tersebut mampu mengurangi kesenjangan pendapatan yang terjadi dalam perekonomian Papua. Astuti 2005 telah melakukan penelitian tentang dampak investasi sektor pertanian berupa infrastruktur yang dibangun swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian dan upaya pengurangan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan SNSE dan indikator kemiskinan diluar SNSE berupa FGT poverty index. Dengan metode tersebut dapat dianalisis lebih jauh perubahan jumlah orang atau rumahtangga miskin di Indonesia yang terkena dampak perubahan pendapatan. Penelitian lain antara lain dilakukan Susanti 2003 tentang dampak perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia, yang menggunakan aplikasi model ekonomi keseimbangan umum. Dalam penelitian tersebut antara lain disimpulkan bahwa peningkatan investasi sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan PDB, penurunan laju inflasi, peningkatan ekspor, peningkatan konsumsi agregat, dan penyerapan tenaga kerja agregat. Menurut Torkamani dan Bakhshoodeh 2006, perkembangan investasi publik pada sektor pertanian dapat mendorong kegiatan investasi swasta dalam sektor tersebut. Pemerintah harus memperhatikan proyek infrastruktur tersebut dan memberi kesempatan kepada sektor swasta untuk memperoleh keuntungan. Arndt et al. 1998 mengkaji studi mengenai perekonomian Mozambiq yang didasarkan pada data SNSE terbaru tahun 1995, mengemukakan bahwa sektor pertanian memiliki pengganda yang besar dan pada umumnya lebih efektif dalam penggunaan modal yang kecil dibandingkan dengan sektor industri dan sektor jasa. Komoditi pertanian tersebut diantaranya tanaman pangan, peternakan dan hasilnya serta kehutanan. Penelitian lain dilakukan oleh Sipayung 2000 tentang pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi Indonesia, menjelaskan bahwa peningkatan alokasi investasi pemerintah dan perbankan pada sektor pertanian meningkatkan minat investasi swasta pada sektor pertanian. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan pangsa alokasi investasi swasta asing pada sektor pertanian sebesar 14 persen dan pangsa alokasi investasi swasta domestik pada sektor pertanian sebesar 9.46 persen. Akibatnya, stok kapital total sektor pertanian meningkat sebesar 8.87 persen, sementara kapital stok sektor non pertanian turun sebesar 2 persen. Peningkatan dan penurunan stok kapital total pertanian dan non pertanian melalui proses produksi mempengaruhi produksi kedua sektor tersebut, dimana produksi sektor pertanian meningkat sebesar 0.30 persen dan sektor non pertanian turun sebesar 0.04 persen. Penurunan produksi sektor non pertanian ini disebabkan oleh penurunan stok kapital yang tidak mampu diimbangi oleh peningkatan produksi sektor non pertanian yang diakibatkan peningkatan produksi sektor pertanian melalui keterkaitan kedua sektor tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi 2001, salah satu tujuannya untuk mempelajari dampak perubahan kebijakan pembangunan investasi dalam bentuk pengeluaran pembangunan pemerintah dan adanya desentralisasi pengelolaan dari pusat ke daerah serta peningkatan investasi swasta terhadap pemerataan pembangunan wilayah terhadap disparitas ekonomi Kawasan Indonesia Timur. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Antar regional Kawasan Indonesia Timur dan Barat sebagai kerangka kerja dan analisis. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut antara lain adalah kebijakan pengembangan investasi dalam sektor industri manufaktur dan perdagangan internasional yang terpusat di Kawasan Indonesia Barat. Analisis pengganda menunjukkan bahwa nilai tambah dari adanya injeksi ekonomi di masing-masing wilayah berjalan tidak seimbang. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai pengganda antar wilayah Kawasan Indonesia Barat hampir dua kali lipat besar nilai pengganda antar wilayah Kawasan Indonesia Timur. Hal ini berarti apabila terdapat injeksi ke dalam perekonomian investasi di Indonesia Timur, maka nilai tambah yang mengalir ke Indonesia Barat akan dua kali lebih besar daripada bila sebaliknya terjadi. Hadi 2001 juga menemukan bahwa investasi pembangunan oleh pemerintah dalam melengkapi infrastruktur di Kawasan Indonesia Timur yang disusul oleh pihak swasta mengakibatkan pendapatan golongan masyarakat di Indonesia Timur meningkat rata-rata sebesar 31.92 persen dan produksi meningkat rata-rata sebesar 45.4 persen. Sedangkan di Kawasan Indonesia Barat pendapatan golongan masyarakat meningkat rata-rata sebesar 6.37 persen dan produksi meningkat rata-rata sebesar 3.69 persen. Ketertarikan tentang disparitas antar negara dimulai dari penelitian yang dilakukan oleh Kuznet 1955 yang mengembangkan hipotesis bahwa pada awalnya disparitas akan meningkat dan selanjutnya akan menurun sejalan dengan proses pembangunan. Dalam penelitian tersebut dinyatakan bahwa pada pertumbuhan pada awal pembangunan, akan terkonsentrasikan di wilayah-wilayah yang sudah modern. Atau dengan kata lain pertumbuhan di wilayah yang sudah modern akan lebih cepat dibandingkan dengan wilayah lain. Pada negera-negara berkembang dimana sektor pertanian masih mendominasi, tingkat disparitas sangat kecil. Ketika kemudian pada awal pembangunan terjadi industrialisasi, menyebabkan tingkat disparitas akan meningkat. Penelitian yang dilakukan oleh Karvis 1960 dan Oshima 1962 dalam Todaro 2000 mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuznet 1955. Karvis dan Oshima menyajikan data yang mendukung hipotesis Kuznet bahwa pada awalnya pertumbuhan meningkatkan tingkat disparitas, dan alasannya adalah bahwa perubahan struktur ekonomi menyebabkan peningkatan dalam tingkat disparitas. Dalam penelitiannya juga ditemukan bukti bahwa ekonomi dengan distribusi pendapatan yang tidak merata pembangunannya mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan dengan pemerataan pendapatan yang relatif baik. Manaf 2000, dalam penelitian mengenai pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani, menggunakan pendekatan SNSE dan Structural Path Analysis SPA. SNSE yang digunakan adalah SNSE Indonesia tahun 1995. Pendekatan SPA digunakan untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Dalam penelitian tersebut Manaf 2000 menemukan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan. Sedangkan pengaruh paling kecil diterima oleh rumahtangga petani pemilik lahan 0.5-1 hektar setelah melalui faktor produksi modal.

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Sektor berbasis kehutanan hutan dan industri kehutanan menghadapi berbagai masalah antara lain kemerosotan produksi kayu hutan alam akibat berbagai masalah, seperti eksploitasi yang melebihi kapasitas produksi hutan lestari, penebangan liar illegal logging, perambahan kawasan hutan, pengalihan fungsi kawasan hutan, kebakaran hutan dan lain-lain. Akibatnya produksi kayu tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan industri kehutanan yang ada. Kemerosotan itu juga menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan lingkungan di perdesaan yang menyebabkan kondisi hutan semakin rusak. Untuk mengembalikan peran dan kontribusi sektor berbasis kehutanan dalam perekonomian Jambi, diimplementasikan program revitalisasi sektor berbasis kehutanan tanpa meninggalkan pelaksanaan empat kebijakan prioritas yang lain. Revitalisasi dimaksudkan untuk menciptakan industri kehutanan yang tangguh, berkualitas dan berdayasaing global, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar dan pendapatan pemerintah serta mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Sasaran tersebut akan dicapai melalui : 1 program peningkatan kinerja industri kehutanan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku dan produksi pada umumnya sehingga untuk efisiensi yang sama dimungkinkan bisa menambah produksi ataupun perluasan industri, 2 mendorong pelaksanaan pengelolaan hutan lestari untuk HPH atau HTI agar semua HPH atau HTI menjamin tersedianya bahan baku industri secara lestari, 3 pembangunan dan perluasan HTI baru yang akan menambah pasokan bahan baku industri kayu, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha,