Peubah-Peubah Karakteristik Habitat Ular Sendok

Gambar 11 Diagram sebaran data frekuensi kelembaban keberadaan sarang ular sendok Mulut sarang ular sendok mempunyai kelembaban udara antara 34-79 dengan rata-rata mencapai 58,1. Kelembaban tertinggi dilakukan pengukuran pada jam 09.00 WIB dan terendah dilakukan pada jam 12.32 WIB yang keduanya berada di Kabupaten Nganjuk pada habitat sawah. Frekuensi kelembaban tertinggi terdapat antara 50-64. Sarang dengan kelembaban rendah berada pada pematang sawah dan bukan merupakan tanggul saluran irigasi. Ular akan melakukan pergerakanpindah lokasi sarang bila kondisi kelembaban habitat mikro sarang rendah atau terjadi kerusakan Goode et al 1998. Hasil penelitian Husna 2006. menunjukkan bahwa ular sendok ditemukan pada hutan dataran rendah di Taman Nasional Alas Purwo yang berada di bagian selatan Pulau Jawa yang mempunyai kelembaban mencapai 40-85. c. Ketinggian Tempat Ditemukan Sarang Berdasarkan hasil pengukuran ketinggian tempat dengan menggunakan GPS pada lokasi ditemukan sarang ular sendok berada pada ketinggian antara 0-371 m dpl dengan rata-rata 141,2 m dpl. Ketinggian paling rendah 0-11 m dpl ditemukan di Kabupaten Probolinggo, karena pengamatan dilakukan pada habitat sawah di pesisir utara Jawa. Sarang ular sendok di Kabupaten Bojonegoro dan Nganjuk berada pada ketinggian antara 43-80 m dpl, sedangkan lokasi ditemukan sarang ular sendok di Kabupaten Malang berada antara 325-371 m dpl. Frekuensi keberadaan sarang ular sendok paling tinggi berada pada ketinggian antara 0-100 m dpl, hal ini karena wilayah studi berada pada dataran rendah yang merupakan habitat ular sendok. Ular sendok mempunyai sebaran pada dataran rendah terutama pada lahan persawahan Mumpuni 2002. Berdasarkan wawancara dengan penangkap bahwa ular banyak terdapat pada habitat sawah dan sangat sulit ditemukan pada ladang yang berada pada daerah pegunungan. Gambar 12 Diagram sebaran data frekuensi ketinggian tempat keberadaan sarang ular sendok. Pengamatan habitat hanya dilakukan pada ketinggian antara 0-100 m dpl dan ketinggian 300-400 m dpl, sedangkan untuk ketinggian antara 101-300 m dpl tidak dilakukan pengamatan. Kendala tidak dilakukan pengamatan pada ketinggian tersebut adalah sulitnya mencari penangkappemburu yang melakukan penangkapanperburuan pada ketinggian tersebut. d. Kadar Keasaman Tanah Reaksi tanah menunjukkan sifat keasaman atau alkanitas tanah yang dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen H + didalam tanah, semakin tinggi nilai ion H + maka semakin masam tanah tersebut. Tanah bereaksi netral adalah tanah yang mempunyai kandungan H + sama dengan OH - Hardjowigeno 2003. Tingkat keasaman tanah terbagi menjadi 6 kelas, yaitu: 1 sangat asam dengan nilai 4,5; 2 asam dengan nilai antara 4,5-5,5; 3 agak asam dengan nilai antara 5,6-6,5; 4 netral dengan nilai 6,6-7,5; 5 agak alkalis dengan nilai antara 7,6-8,5; dan 6 alkalis dengan nilai 8,5. Berdasarkan pengukuran pH tanah pada sarang ular sendok menunjukkan bahwa semua sarang ular sendok termasuk netral nilai 7. Hasil penelitian Orr 2006 menunjukkan bahwa 11 jenis amphibi dari 16 jenis amphibi yang menjadi satwa mangsa ular tidak mnyukai pada habitat yang mempunyai pH antara agak asam 5,6-6,5 hingga netral 6,6-7,5. Katak merupakan salahsatu mangsa ular sendok maka ada kecenderungan bahwa ular sendok akan berada pada kondisi habitat tersebut untuk mendapatkan mangsa. e. Jenis Tanah Tanah merupakan kumpulan dari benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horizon-horison yangterdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara yang merupakan media tumbuh bagi tumbuhan Hardjowigeno 2003. Sarang ular sendok banyak ditemukan pada jenis tanah alluvial kelabu tua, yaitu tanah berasal dari endapan baru berlapis-lapis dengan jumlah bahan organik yang berubah-ubah secara tidak beratur dengan kedalaman. Komponen penyusun tanah ini adalah epipedon ochrik, sulfurik dan kandungan pasir kurang dari 60. Gambar 13 Diagram sebaran data frekuensi jenis tanah keberadaan sarang ular sendok f. Kelembaban Tanah di Sarang Pengukuran kelembaban dilakukan dengan menggunakan alat pH- Moisture meter yang mempunyai 3 skala ukuran yaitu: 1 kering dry dengan nilai antara 0-3; 2 lembab moisture dengan nilai antara 4-7; dan 3 basah wet dengan nilai antara 8-10. Sarang ular sendok berada pada rentang kelembaban tanah antara 1- 10 dengan rata-rata 4,7. Berdasarkan frekuensi kelembaban tanah tertinggi terdapat pada kelas lembab dan secara keseluruhan sarang ular sendok hanya 25 sarang 20,32 yang berada pada tanah dengan kelembaban tinggi basah. Kelembaban tanah mempunyai peranan yang penting bagi ular dalam pemilihan habitat mikro. Ular Carphophis amoenus di Virginia melakukan perpindahan pada kondisi yang lebih lembab atau lubangsarang yang lebih dalam Orr 2006. Berdasarkan frekuensi ditemukan sarang ular dapat dilihat bahwa sebanyak 98 sarang 79,68 ditemukan pada tanah dengan kelembaban rendah hingga sedang 1-7, sehingga dapat diasumsikan bahwa ular sendokmenyukai pada tanah dengan kelembaban rendah hingga sedang. Gambar 14 Diagram sebaran data frekuensi kelembaban tanah keberadaan sarang ular sendok. g. Jarak Sarang dari Pemukiman Habitat ular sendok yang ditemukan umumnya berada pada sawah dan semak yang cenderung dekat dengan pemukiman penduduk. Saat ini kebutuhan lahan sebagai pemukiman dan industri telah merubah lahan sawah, semak dan hutan menjadi pemukiman dan industri yang mendorong penngurangan habitat satwaliar, terutama ular. Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan peta digital menunjukkan bahwa ular sendok berada antara 0-1.899,3 m dari pemukiman dengan rata-rata 424,3 m. Jumlah sarang ular sendok yang ditemukan sebanyak 123 sarang dan sarang ular sendok yang berada 500 m dari pemukiman sebanyak 86 sarang 69,92, bahkan terdapat 2 sarang yang berada di pondasi warung makanan dan bengkel mobil. Faktor mangsa juga memberikan dorongan ular untuk berburu dan membuat sarang dekat dengan habitat satwa mangsanya. Satwa mangsa utama ular sendok adalah tikus Hoesel 1959, Supriatna 1995 yang mempunyai perilaku berpindahbergerak untuk mendekati sumberdaya makanan. Tikus memilih pada habitat yang dapat memberikan perlindungan rasa aman dari gangguan predator dan dekat dengan sumber air dan makanan. Sarang tersebut berfungsi sebagai tempat berlindung, memelihara anak dan menimbun makanan. Tikus akan melakukan perpindahanbergerak mendekati pemukiman bila musim bera untuk mendapatkan makanan alternatif dan tempat berlindung sementara Sudarmaji Herawati 2008. Ular sendok berada di dekat pemukiman merupakan upaya mencari mangsa yang melakukan pergerakanberpindah. Hasil penelitian Akani et al. 2005 di bagian selatan Nigeria mendapatkan sebanyak 6,4 ular Pseudohaje goldii berada dipinggiran kota. Herbert et al. 2012 menemukan ular sendok pada pekarangan rumah penduduk di Desa Jimbaran Kuta Selatan Gambar 15 Diagram sebaran data frekuensi jarak keberadaan sarang ular sendok dari pemukiman Berdasarkan hasil pembedahan terhadap ular sendok yang dilakukan oleh Boeadi et al. 1998 ditemukan bahwa satwa yang dimangsa ular sendok sebanyak 59 merupakan mamalia dan sisanya adalah hewan yang tidak dapat diidentifikasi lagi. Menurut Phelps 2007 berdasarkan satwa mangsa oleh ular Naja nivea termasuk ular generalis, hal ini ditemukan ular tersebut memangsa tikus 31, ular 20 , kadal 11, burung 11 dan satwa lain yang ada di habitatnya. Akani et al 2005 melakukan pengamatan terhadap ular Psedohaje goldii yang memangsa ikan, katak dan tikus, sehingga ular tersebut termasuk generalis dalam kebiasaan makanannya. h. Jarak Sarang dari Sumber Air Habitat utama tikus adalah sawah dengan siklus tanam yang jelas dan membutuhkan sarana irigasi sebagai pemenuhan kebutuhan air bagi tanamannya. Tikus dan katak yang merupakan satwa mangsa ular sendok juga membutuhkan air dalam metabolisme tubuhnya. Hasil pengukuran dengan menggunakan peta digital terhadap keberadaan sarang ular sendok menunjukkan bahwa sebanyak 96 sarang berada 500 m dari sumber air. Sarang ular sendok yang berada di habitat sawah berada di pematang sawah yang juga merupakan tanggul irigasi. Gambar 16 Diagram sebaran data frekuensi jarak keberadaan sarang ular sendok dari sumber air. Faktor perburuan mangsa dan pemilihan habitat mikro mendorong ular sendok memilih sarang dekat dengan sumber air. Ular sendok memilih sarang pada pematang yang menjadi tanggul saluran irigasi dan berada di atas aliran air maksimal banjir, sehingga pada saat aliran air banyak tidak masuk dalam sarang. Akani et al. 2005 menemukan sebanyak 24,2 hidup pada habitat hutan rawa di bagian selatan Nigeria. Berdasarkan hasil pengujian terhadap peubah-peubah pada masing-masing habitat tersebut maka dapat dikatakan bahwa ular sendok tidak mempunyai karakteristik habitat yang khusus. Ular sendok dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungan sekitarnya, hal ini sejalan dengan penelitian Phelps 2007 menyatakan bahwa ular Naja nivea mempunyai habitat yang generalis, yaitu bisa dapat hidup dari semak, bukit berpasir dan gurun yang ada di Cagar Alam DeHoop Afrika Selatan. Hasil penelitian Akani et al. 2005 menyatakan bahwa ular Pseudohaje goldii di bagian selatan Nigeria hidup pada berbagai habitat, yaitu hutan primer, hutan skunder, hutan bakau, hutan rawa, perkebunan, semak dan pinggir pemukiman pinggir kota yang berdekatan dengan sumber air.

VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pelaku dalam tata niaga ular sendok meliputi: penangkap, agensub agen, pengumpul daerah dan pengumpul besar eksportir. Hubungan antar pelaku tata niaga tidak terikat dengan kerjasama, sehingga semua pelaku tata niaga perdagangan tersebut bebas menjual ular sendok kepada pelakupedagang lain. 2. Ular sendok yang terkumpul pada penangkap, agensub agen dan pengumpul daerah terdiri atas kelas umur muda 9,48 dan kelas umur dewasa 90,54. Nisbah kelamin ular sendok pada pelaku tata niaga berbeda-beda yaitu: 1:9,00 pada penangkap; 1:5,57 pada agensub agen dan 1:4,18 pada pengumpul daerah, hal ini mengindikasikan pasar mempengaruhi pemanenan dari alam tanpa mempertimbangkan nisbah kelamin dan kelas umur. 3. Kelimpahan panenan indikatif dihitung pada tingkat agensub agen mencapai 93.600 ekor per tahun, tetapi jika indikasi kelimpahan panen dihitung pada tingkat pengumpul daerah sejumlah 71.280 ekor per tahun, maka ada indikasi sejumlah 22.320 ekor dijual pada pasar domestik danatau ke pedagangpengumpul daerah diluar Provinsi Jawa Timur. 4. Pasar mempunyai pengaruh kuat terhadap ukuran ular sendok yang diinginkan yaitu panjang SVL 90 cm, hal ini terlihat jumlah pada ukuran panjang tersebut di penangkap, agensub agen dan pengumpul daerah mencapai 84,91 197 ekor. Pelaku tata niaga menginginkan ukuran yang sama terhadap SVL untuk mememuhi pasar internasional, sehingga melakukan penangkapan ular sendok dari alam secara selektif. 5. Hasil pengujian terhadap sarang dan habitat menunjukkan bahwa ular sendok tidak memiliki karakteristik habitat yang khusus atau preferensi habitat, ular sendok mendekati pemukiman dan sumber air karena mengikuti mangsanya.

6.2. Saran

Saran dari hasil penelitian ini adalah: 1. Perlu penelitian parameter demografi dan ekologi habitat yang lebih luas dalam upaya konservasi ular sendok. 2. Pemberian ijin tangkap terhadap perusahaan yang mempunyai hanya memiliki ijin edar sebagai upaya menekan perdagangan satwa secara ilegal, selain peningkatan pengawasan dan monitoring. DAFTAR PUSTAKA Aji FDN. 2011. Studi pengaruh suhu terhadap keberhasilan tetas dan perlakuan pakan terhadap pertumbuhan ular jali ptyas mucosus [skripsi]. Malang. Istitnut Pertanian Malang. Akanil GC, Angelici FM dan Luiselli L. 2005. Ecological data on the Goldie’s tree cobra, Pseudohaje goldii Elapidae in Southern Nigeria. Amphibia- Reptilia Vol.26.pp382-387. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan YPFK. Bogor. Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa. IPB Press. Bogor. Amri K dan Khairuman. 2002. Labi-labi Komoditas Perikanan Multi Manfaat. Jakarta : Agro Media Pustaka. Arisnagara F. 2009. Pemanfaata reptil sebagai obat dan makanan di Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bailey JA. 1984. Principle of Wildlife Management. Colorado State University. Boeadi, Shine R, Sugardjito J, Amir M dan Sinaga MH. 1998. Biology of the commercially-harvesting rat snake Ptyas mucosus and cobra Naja sputatrix in Central Java.Di dalam Erdelen W, editor. Conservation, Trade and Sustainable Use of Lizard and Snakes in Indonesia. Jakarta, 26-27 November 1996. Rheinbach, 1998.pp69-83. [BPS] Badan Statistik Provinsi Jawa Timur. 2009. Provinsi Jawa Timur dalam angka 2009. Surabaya. BPS Provinsi Jawa Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2009. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka 2009. Surabaya.BPS Jawa Timur. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabapaten Bojonegoro. 2011. Bojonegoro dalam angka 2011. Bojonegoro. BPS Kabupaten Bojonegoro. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabapaten Nganjuk. 2010. Kabupaten Nganjuk dalam angka 2010. Nganjuk. BPS Kabupaten Nganjuk. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Malang. 2010. Kabupaten Malang dalam angka 2009. Malang. Bappeda Kabupaten Malang. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003. Keputusan Menteri Kehutanan No. 477Kpts-II2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.Jakarta: Dephut. [Dit. KKH] Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati. 2010. Handbook CITES. Jakarta: Departemen Kehutanan. [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010a. Keputusan Dirjen PHKA No, SK.18IV-KKH2010 tanggal 8 Pebruari 2010 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2010. Jakarta: PHKA [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2010b. Keputusan Dirjen PHKA No, SK.201IV-KKH2010 tanggal 31 Desember 2010 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar yang Termasuk Appendix CITES Tahun 2011. Jakarta: PHKA [Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 20112. Keputusan Dirjen PHKA No, SK.2601IV-KKH2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwaliar Periode Tahun 2012. Jakarta: PHKA Goode MJ, Swann DE, Schwalbe CR. 1998. The effect of microhabitat distruction on reptile abundance. Arizona: University of Arizona. Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Akamedika Pressindo. Jakarta. Herbert, Rompis ALT dan Batan IW. 2012. Jenis ular dan sebarannya di Kuta Selatan Badung Bali. Indonesia Medicus Veterinus 1 1.pp:55-70. Hoesel JKPV. 1959. Ophidia Javanica. Percetakan Archipel. Bogor. Hoser, R. 2009. A reclassification of the True Cobras; species formerly referred to the Genera Naja, Boulengerina and Paranaja. Australasian Journal of Herpetology 7.pp:1-15. Husna N. 2006. Sebaran spasial dan keanekaragaman ular di berbagai tipe penggunaan lahan di SKW I Rowobendo Taman Nasiona Alas Purwo. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Indrawan M, Primack R.B, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi.Yayasan Obor Indonesia.Jakarta. Indriyanto. 2010. Ekologi Hutan. Jakarta: PT. Bumi Aksara Iskandar D and Erdelen WR. 2006. Concervation of Amphibian In Indonesia: Issues and Problems. Amphibian And Reptile Conservation Vol. 4.pp:60-87. Kartikasari D. 2008. Keanekaragaman jenis dan nilai ekonomi satwaliar yang digunakan sebagai obat di Jawa Tengah [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Lillywhite HB dan Henderson RW. 1993. Behavior and Functional Ecology of Arboreal Snakes. Di Dalam Seigel RA, Collins JT, editor. Snakes Ecology and Behaviour. New York: McGraw-Hill Inc. Mardiastuti A, Soehartono T. 2003. Perdagangan Reptil Indonesia di Pasar Internasional. Prosising Seminar Hasil Penelitian Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Bogor: IPB. Mumpuni, Subasli, DR dan Mulyadi. 2002. Laporan Perjalanan Monitoring Penangkapan dan Penelitian Biologi Uar Jali Ptyas mucosus dan Kobra Naja sputatrix di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak dipublikasikan. LIPI. Bogor. Odum EP. 1994. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Samingan T, penerjemah; Srigandono B, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Orr JM. 2006. Microhabitat use by the Eastern worm snake Carphophis amoenus. Herpetological Bulletin. No. 97: pp. 29-35. Phelps T. 2007. Observations of the Cape cobra, Naja nivea Serpentes: Elapidae in the DeHoop Nature Reserve, Western Cape Provinve, South Africa. Herpeological Bulletin No.99:pp29-35. Platt SG et al. 2008. Biodiversity, Exploitation, and Conservation of Turtles in the Tonle Sap Biosphere Reserve, Cambodia, with Notes on Reproductive Ecology of Malayemys subtrijuga. Chelonian Conservation and Biology. 7 : 2: pp195 – 204. [Pemkab.Probolinggo]. Pemerintah Kabupaten Probolinggo. 2012. Pemerintah Kabupaten Probolinggo. httpwww.probolinggo.go.idsiteindex.php?option=com_contentask=view id=234Itemid=93 diunduh tanggal 28 agustus 2012 jam 07.59 [Pemprov Jatim] Pemerintah Provinsi Jawa Timur. 2012. Media Jatim menuju E- Government. httpjatimprov.go.idsitesearch- result?q=mata+pencaharian+penduduk+jawa+timur diunduh tanggal 31 Agustus 2012 jam 05.49 WIB. Rushayati SB dan Arief H. 1997. Kondisi fisik ekosistem hutan di Taman Nasional Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus:pp.67-74. Santosa Y. 1996. Beberapa parameter bio-ekologi penting dalam pengusahaan monyet ekor panjang Macaca fascicularis. Media Konservasi. Vol 5 1 pp:25-29. Santoso S. 2012. Aplikasi SPSS Pada Statistik Non Parametrik. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo. Semiadi G dan Sidik I. 2011. Karakteristik penangkapan ular di wilayah Sumatera Utara. Biota. Vol.16 2.pp206-213. Shine R. 1987. Intraspesific variation in thermoregulation, movements and habitat use by Austarlian Blacksnakes, Pseudechis porphyriacus Elapidae. Journal of Herpetology Vol.21 3 pp:165-177. Siregar J. 2012. Upaya pelestarian pemanfaatan ular sanca bati Python reticulates dan ular sanca kembang Python brongersmai ditinjau dari aspek peangkapan dan pemasarannya di Provinsi Sumatera Utara. [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Situngkir SVR. 2009. Perdagangan dan pemanfaatan ular secara tradisional di wilayah Bogor. [skripsi]. Bogor. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.