Trading System, Demographic Parameters of Harvested Population and Habitat Characteristics of Asian soft-shell turtle (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) in Jambi Province

(1)

TATA NIAGA, PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI

PANENAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT

LABI-LABI Amyda cartilaginea (Boddaert 1770)

DI PROVINSI JAMBI

SRI MINA GINTING

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Tata Niaga, Parameter Demografi Populasi Panenan dan Karakteristik Habitat Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) di Provinsi Jambi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012

Sri Mina Ginting


(3)

ABSTRACT

SRI MINA GINTING. Trading System, Demographic Parameters of Harvested

Population and Habitat Characteristics of Asian soft-shell turtle (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) in Jambi Province. Under the supervision of YANTO SANTOSA and MIRZA DIKARI KUSRINI.

Asian soft-shell turtle (Amyda cartilaginea Boddaert, 1770) has been recorded as the most harvested turtle species in Indonesia, mainly for consumption purpose in oriental countries. In order to prevent over-exploitation and the declining of the population, harvesting has been limited by quota. In practice, the harvesting still showed an enormous number and the determination of the quota itself was not yet based on the data of Amyda population. This research was aimed to identify mortality rate through identification of the trading system since for highly-valued species harvesting was the major cause of mortality. The demographyc and morphometric parameters were measured to characterize the harvested population by its size, sex ratio, age-class and range of bodymass and carapace length. Twenty dissected speciments were observed to study the reproduction condition of different size of Amyda, thus used to estimate

potential lost caused by harvesting. Amyda’s habitat was characterized by

measuring 9 biophysical variables of each of 90 fishing plots in 16 rivers and 3 lakes. The result showed that the size of harvested population of Amyda at the trader level was different from one to another, but showed similar trends of domination in sex and age class which were adult females and reaching the number of 58.28%. The people dealing with the harvesting activities of Amyda had no preference for size and sex of the harvested animal. Reproduction condition of the observed Amyda showed that at the size of five kilograms, the females were at the age of maturity. Kolmogorov-Smirnov test on the habitat biophysical variable on stream showed that Amyda had no habitat preference.

Keywords : Amyda cartilaginea, harvested population, trading system, demographic parameters, morphometric parameters, habitat characteristics.


(4)

RINGKASAN

SRI MINA GINTING. Tata Niaga, Parameter Demografi Populasi Panenan dan

Karakteristik Habitat Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) di Provinsi Jambi. Dibawah bimbingan YANTO SANTOSA dan MIRZA DIKARI KUSRINI.

Suku labi-labi merupakan bagian dari kelompok kura-kura yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia dan banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang memiliki khasiat obat dimana hampir seluruh bagian tubuhnya (daging, telur, darah, jeroan, lemak, karapas/batok) tidak luput dari pemanfaatan dan hasil olahannya pun tergolong jenis makanan mewah. Negara Cina merupakan negara tujuan ekspor terbesar untuk hampir seluruh spesies penyu dan kura-kura dari negara-negara lain di wilayah Asia dan pemanfaatan domestik kura-kura dan bulus diyakini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat ekspor ke luar negeri, meskipun belum ada hasil penelitian yang menggambarkan tingkat pemanfaatan domestik.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi tata niaga, menduga beberapa parameter demografi, peubah morfometri dan biologi reproduksi populasi panenan labi-labi di Provinsi Jambi melalui pengamatan, penghitungan, dan pengukuran terhadap karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi di tingkat pedagang, pengumpul dan penangkap yang ditunjang dengan data hasil wawancara dengan para pelaku pemanenan/perdagangan tersebut. Karakteristik habitat labi-labi di Provinsi Jambi juga menjadi bagian dari penelitian ini untuk mengetahui apakah labi-labi memiliki preferensi terhadap habitat yang dihuninya. Data yang dibutuhkan untuk melakukan karakterisasi habitat diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran sejumlah peubah biofisik di setiap lokasi pemancingan, sementara untuk sebarannya dilakukan wawancara dengan para penangkap labi-labi.

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi mencakup wilayah studi Kota Jambi dan Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, dan Kabupaten Muaro Jambi. Penelitian dilakukan selama bulan April s.d. Juni 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi tata niaga, (2) menganalisis beberapa parameter demografi (3) mengukur parameter morfometri populasi panenan labi-labi dan (4) mengidentifikasi karakteristik habitat labi-labi di Provinsi Jambi. Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan wawancara, keikutsertaan, pengamatan, penghitungan dan pengukuran terhadap seluruh unit contoh yang telah ditentukan dengan sengaja untuk dapat menjawab tujuan penelitian ini.

Para pelaku tata niaga labi-labi dalam penelitian ini terdiri dari 8 pedagang besar, 20 pengumpul dan 25 penangkap yang tersebar di Kota Jambi dan 7 kabupaten lainnya dalam Provinsi Jambi, bahkan di provinsi tetangga yaitu Sumatera Selatan. Transaksi yang terjadi antara pedagang besar dengan eksportir/pembeli lokal maupun antara pengumpul dengan pembeli lokal


(5)

berlangsung dengan sistem cash and carry, namun sistem transaksi yang berbeda terjadi antara pedagang besar dengan pengumpul/penangkap dan antara pengumpul dengan penangkap dimana berlaku peminjaman modal, pembiayaan alat/bahan pancing maupun pola menabung. Ikatan kerjasama antara pedagang besar dengan para pelaku pada tingkat dibawahnya dikendalikan oleh harga beli labi-labi dari masing-masing pedagang besar. Harga labi-labi di berbagai provinsi di Indonesia dibedakan berdasarkan kelas ukuran dan di Jambi labi-labi dengan harga beli tertinggi adalah labi-labi berukuran 7–20 kilogram.

Kelimpahan panenan di satu pedagang besar selama satu tahun dengan asumsi jumlah panenan yang diterima pedagang setiap bulannya tetap adalah 1.476 ekor. Tidak ada preferensi jenis kelamin pada tindakan pemanenan labi-labi di Jambi maupun daerah lainnya di Indonesia, sehingga proporsi jenis kelamin hasil tangkapan sepenuhnya tergantung pada keberhasilan penangkapan. Populasi panenan didominasi oleh labi-labi betina pada kelas umur dewasa. Angka kematian pada saat dilakukan penelitian hanya terjadi di satu pedagang besar di Kabupaten Sarolangun. Kematian 24 ekor labi-labi terjadi pada bulan Juni 2012 saat populasi panenan berjumlah 106 ekor, sehingga angka kematian pada pedagang tersebut adalah 22,6%. Uji korelasi Spearman antara jumlah labi-labi dengan curah hujan menghasilkan angka koefisien korelasi 0,361 dan probabilitas 0,084 yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kedua variabel tersebut. Ukuran populasi panenan kemungkinan lebih dipengaruhi oleh jumlah usaha penangkapan (jumlah penangkap dan/atau hari tangkap) yang dicurahkan.

Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama dengan yang pernah dilakukan bahwa berdasarkan ukuran PLK labi-labi yang dipanen didominasi oleh kelas umur dewasa dan dewasa muda dan hanya sedikit dari kelas umur remaja. Pada populasi panenan yang terkumpul di tujuh pengumpul di Jambi ditemukan labi-labi dengan ukuran berat minimal < 2 kilogram dan maksimal mencapai 53 kilogram. Berdasarkan hasil uji terhadap parameter morfometri populasi panenan labi-labi di Provinsi Jambi tidak ada preferensi penangkap terhadap ukuran ataupun jenis kelamin labi-labi yang dipanen, atau individu labi-labi yang berhasil ditangkap akan disetorkan ke pedagang tanpa memilih ukuran tertentu.

Ukuran/nilai peubah biofisik habitat labi-labi di Provinsi Jambi baik menurut lokasi pemancingan maupun lokasi ditemukannya labi-labi ternyata memiliki kisaran yang lebih luas dibandingkan dengan kondisi habitat yang dibutuhkan untuk tujuan budidaya labi-labi. Pengujian dengan kriteria lokasi ditemukannya labi-labi, peubah biofisik habitat lokasi dimana ditemukan labi-labi tidak berbeda secara signifikan dengan lokasi yang tidak ditemukan labi-labi. Kesimpulan yang sama juga terbentuk pada pengujian dengan kriteria lokasi pemancingan, dimana peubah biofisik habitat antara titik pancing yang ditebarkan dan tidak ditebarkan mata pancing juga tidak berbeda secara signifikan. Hasil uji dengan menggunakan Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa labi-labi tidak memiliki preferensi habitat. Pengamatan dan pengukuran selama pelaksanaan penelitian memberikan gambaran mengenai habitat yang disukai oleh pemancing sekaligus ditemukan labi-labi, yaitu pada lubuk yang terletak di tikungan sungai, dengan kecepatan arus air sangat lambat, ternaungi, dengan substrat dasar berupa pasir atau lumpur. Faktor ketinggian, derajat keasaman,


(6)

warna air, tingkat kecerahan dan kedalaman sungai tidak mempengaruhi pemilihan lokasi pemancingan ataupun tempat ditemukannya labi-labi.

Tata niaga labi-labi melibatkan sejumlah pelaku pemanenan dalam bentuk rantai perdagangan yang berimplikasi terhadap tinggi-rendahnya pendapatan setiap pelaku. Semakin panjang rantai perdagangan maka semakin rendah pula pendapatan setiap pelaku dan mengakibatkan akan semakin besar jumlah labi-labi yang harus dipanen dari alam. Penentuan kebijakan tata niaga labi-labi perlu mempertimbangkan kemungkinan memperpendek rantai perdagangan labi-labi. Jumlah pemanenan labi-labi dipengaruhi oleh harga, sehingga ketika harga diturunkan maka para pelaku pemanenan akan mengurangi upaya penangkapan labi-labi dan beralih mencari pekerjaan lain atas dasar perhitungan opportunity cost yang rendah. Kondisi ini akan memberikan kesempatan bagi populasi labi-labi untuk berkembang kembali mencapai ukuran yang aman untuk kembali dilakukan pemanenan. Populasi panenan yang diperoleh berdasarkan usaha penangkapan dan bukan berdasarkan preferensi tertentu dapat digunakan untuk menduga kondisi populasi alaminya, sehingga dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa populasi labi-labi di alam didominasi oleh betina pada kelas umur dewasa dengan kisaran bobot tubuh 1,0 – 5,0 kg. Tingkat keterancaman populasi labi-labi akibat pemanenan dengan karakteristik tersebut belum dapat ditentukan karena belum tersedianya hasil penelitian yang menyebutkan nisbah kelamin ideal antara labi-labi jantan dan betina sehingga dapat disimpulkan apakah pemanenan pada kelas umur atau jenis kelamin tertentu akan berimplikasi terhadap kelestarian populasi labi-labi di alam. Labi-labi ditemukan di habitat perairan dengan kualitas bervariasi dan dekat dengan daerah urban. Hasil penelitian ini menyediakan data dan informasi tentang tata niaga, demografi populasi, morfometri dan karakteristik habitat labi-labi. Bersama-sama dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya maka dapat dilakukan kompilasi data dan informasi untuk menunjang pelaksanaan NDF assessment untuk labi-labi. Penelitian ini dilakukan pada saat musim penghujan, sehingga perlu dilakukan penelitian sejenis pada saat musim kemarau dimana diduga merupakan masa puncak pemanenan labi-labi di alam. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi labi-labi pada saat puncak pemanenan.

Kata kunci : Labi-labi, tata niaga, parameter demografi, peubah morfometri, karakteristik habitat


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

TATA NIAGA, PARAMETER DEMOGRAFI POPULASI

PANENAN DAN KARAKTERISTIK HABITAT

LABI-LABI Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)

DI PROVINSI JAMBI

SRI MINA GINTING

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(9)

(10)

Judul Tugas Akhir : Tata Niaga, Parameter Demografi Populasi Panenan dan Karakteristik Habitat Labi-labi Amyda cartilaginea

(Boddaert 1770) di Provinsi Jambi

Nama : Sri Mina Ginting

NRP : E 353100185


(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya penyusunan tesis berjudul “Tata Niaga, Parameter

Demografi Populasi Panenan dan Karakteristik Habitat Labi-labi Amyda

cartilaginea (Boddaert, 1770) di Provinsi Jambi”. Topik penelitian ini dipilih dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi upaya pembangunan database

populasi dan ekologi serta penyusunan kebijakan pemanfaatan salah satu spesies kura-kura yang memiliki nilai komersial ini.

Penelitian ini bukan merupakan penelitian pertama mengenai labi-labi, tetapi kompleksitas topik yang diteliti memberikan hasil yang lebih komprehensif, meskipun tentunya tidak lepas dari ketidaksempurnaan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2012 Penulis


(12)

UCAPAN

TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas setiap berkat, karunia dan penyertaan-Nya sehingga penyusunan tesis ini dapat penulis selesaikan. Tesis berjudul Tata Niaga, Parameter Demografi Populasi Panenan dan Karakteristik Habitat Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) di Provinsi Jambi ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1 Bapak Dr.Ir. Yanto Santosa, DEA dan Ibu Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi.

selaku dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, motivasi, bimbingan, dan pengajaran dalam kesabaran sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan;

2 Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. selaku penguji luar komisi, untuk masukan dan perbaikan yang diberikan dalam upaya penyempurnaan penulisan tesis ini;

3 Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan dan bantuan beasiswa S2 selama penulis menjalankan studi;

4 Asosiasi Pengusaha Kura-kura dan Labi-labi Konsumsi Indonesia (APEKLI) atas bantuan spesimen labi-labi dan dana penelitian;

5 Bapak Ir. Trisiswo Rahardjo selaku Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi yang telah memberikan ijin studi, motivasi dan dukungan selama pelaksanaan studi, ijin penelitian serta bantuan fasilitas dan tenaga selama pelaksanaan penelitian;

6 Bapak Ir. Maraden Purba selaku ketua APEKLI yang telah membantu memberikan informasi dan kemudahan mengakses beberapa responden penelitian;

7 Bapak Azis Sembiring dan Bapak Sahron P. atas bantuan, kemudahan dan ijin memasuki wilayah kerja;


(13)

Rinaldi, Kang Ramdan, Desi Anggraini, Mita dan Aji yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan dan mobilitas antar-lokasi penelitian;

9 Para narasumber yang telah memberikan ijin, data, dan waktu untuk berdiskusi bagi penulis;

10 Korps KKH 2010 : Mbah Parjoni (komti), Mas Nyoto (wakomti), Mba Desi (bendahara), Mas Yusuf dan Hendra (spesialis ketua praktikum) dan barisan penggembira terfavorit : bude Lenni, mama-guru Lulu, bicek Via, yu Septi, mami Lintang, si bungsu Mirta, Kak Imas, tole Ferdi, tole Teguh, tole Cahyo, Kak Yarman, Kang Buday dan Mas Ndok.

11 Pak Sofwan untuk kesiagaan membantu dan memfasilitasi proses studi, Bi Um untuk kopi dan obrolannya, dan Pak Udin untuk kenyamanan ruang kelas;

12 Suami terkasih Martinus Gala dan anak-anak tersayang : Loise Olivia Gala, Regina Violabanne Gala, Eunike Rehandita Gala dan Diporannu Morenzo Gala untuk setiap pengorbanan, pengertian dan doa yang telah diberikan.

Bogor, September 2012 Penulis


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 Februari 1976 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Ir. Firman Ginting, MPA (Alm) dan Violetta Kusur Sitepu (Almh).

Penulis memulai studi Strata 1 di Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya pada tahun 1994 dan menyelesaikannya pada tahun 1998. Pada awal tahun 1999 sampai dengan pertengahan tahun 2000 penulis melakukan magang kerja sebagai asisten peneliti pada Kelompok Peneliti (Kelti) Kebijakan di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan dan Perkebunan di Bogor. Penulis mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Dinas Kehutanan Kabupaten Batang Hari Provinsi Jambi pada akhir tahun 2000 sampai dengan akhir tahun 2007, dan selanjutnya pada tahun yang sama penulis berpindah tugas ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi sampai dengan akhir tahun 2010 dengan jabatan terakhir sebagai Penata Usaha Bahan Perlindungan, Pengawetan, Pemanfaatan dan Pelayanan Konservasi Sumber Daya Alam. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Untuk memperoleh gelar magister profesi, penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis berjudul Tata Niaga, Parameter Demografi Populasi Panenan dan Karakteristik Habitat Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) di Provinsi Jambi di bawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si.


(15)

[i]

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………

DAFTAR GAMBAR ………

DAFTAR TABEL ………

DAFTAR LAMPIRAN ………

I. PENDAHULUAN ……… 1

1.1. Latar Belakang ……… 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 2

1.3. Tujuan Penelitian ……… 4

1.4. Manfaat Penelitian ………. 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….. 7

2.1. Tataniaga Labi-labi………..……… 7

2.1.1 Pelaku ... 6

2.1.2 Alur Perdagangan ... 8

2.1.3 Harga ... 8

2.1.4 Pemanenan Lestari ... 9

2.2. Parameter Demografi Populasi …..………. 10

2.2.1 Ukuran Populasi ... 10

2.2.2 Nisbah Kelamin ... 12

2.2.3 Kelas Umur ... 13

2.2.4 Angka Kematian ... 13

2.3. Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi ....……… 14

2.3.1 Taksonomi ... 14

2.3.2 Morfologi ... 14

2.3.3 Morfometri ... 15

2.3.4 Reproduksi ... 16

2.3.5 Jenis Pakan ... 17

2.4. Habitat dan Persebaran ………... 18

2.4.1 Habitat ... 18

2.4.2 Persebaran ... 22

III. KONDISI UMUM LOKASI ………...… 23

3.1. Provinsi Jambi ...……….. 23

3.2. Kabupaten Batang Hari ………....…….. 25

3.3. Kabupaten Sarolangun ………...……. 26

3.4. Kabupaten Muaro Jambi...………...……. 26

3.5. Kabupaten Tanjung Jabung Barat ………...………. 27

3.6. Kabupaten Tanjung Jabung Timur ………...………. 27


(16)

[ii]

IV. METODE PENELITIAN ………. 29

4.1.Lokasi dan Waktu .………. 29

4.2.Alat dan Bahan ……….. 29

4.3. Penentuan Unit Contoh ...……… 29

4.3.1. Tataniaga Labi-labi …..………... 29

4.3.2. Parameter Demografi Populasi Panenan ...………… 30

4.3.3. Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi ....…… 31

4.3.4. Karakteristik Habitat ….………. 31

4.4. Pengumpulan Data ...…..……… 32

4.4.1. Tataniaga Labi-labi ….…….………... 32

4.4.2. Parameter Demografi Populasi ...……… 32

4.4.3. Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi …....… 33

4.4.4. Karakteristik Habitat ………. 34

4.5. Metode Analisis Data …...………. 36

4.5.1. Tata Niaga Labi-labi ..………..……….. 36

4.5.2. Parameter Demografi Populasi ...………. 37

4.5.3. Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi ... 38

4.5.4. Karakteristik Habitat ……….. 39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..…………...……… 41

5.1. Tata Niaga Labi-labi …..…...…..……… 41

5.1.1. Pelaku Tata Niaga…...………. 41

5.1.2. Alur Perdagangan ...……….. 50

5.1.3. Harga ... 53

5.2. Demografi Populasi Panenan..………. 56

5.2.1. Ukuran Populasi ... 56

5.2.2. Nisbah Kelamin ... 58

5.2.3. Kelas Umur ... 59

5.2.4. Angka Kematian ... 61

5.3. Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi ...…. 63

5.3.1 Ukuran PLK ... 63

5.3.2 Ukuran Berat Tubuh ... 66

5.3.3 Warna Karapas ... 69

5.3.4 Reproduksi ... 70

5.3.5 Jenis Pakan ... 72

5.4. Karakteristik Habitat ……….. 73

5.4.1 Peubah Biofisik Habitat ... 74

VI. SIMPULAN DAN SARAN ………. 80

6.1. Simpulan ... 85

6.2. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ………. 87


(17)

[iii]

DAFTAR TABEL

1. Jumlah responden pelaku tata niaga labi-labi di Provinsi Jambi ... 30

2. Struktur umur labi-labi berdasarkan hasil pengukuran PLK ... 33

3. Kriteria kondisi labi-labi yang tidak layak ekspor... 53

4. Selisih harga labi-labi antara pelaku tata niaga di Provinsi Jambi ... 54

5. Peubah parameter demografi populasi panenan labi-labi di pedagang dan pengumpul………. ... 57

6. Kisaran berat tubuh labi-labi pada beberapa ukuran PLK ... 64

7. Kisaran ukuran panjang lengkung karapas labi-labi panenan ………… .. 65

8. Hasil uji statistik deskriptif dan Kruskal-Wallis terhadap parameter morfometri... ... 68

9. Status reproduksi berdasarkan ukuran berat labi-labi ... 70

10. Jumlah dan ukuran clutch pada dua sampel labi-labi betina yang dipotong... 71

11. Data dasar estimasi kehilangan individu akibat pemanenan ... 72

12. Hasil identifikasi jenis pakan labi-labi di Jambi ………. ... 72

13. Interval nilai peubah biofisik habitat labi-labi di Provinsi Jambi ... 81

14. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov terhadap peubah biofisik habitat labi-labi di Provinsi Jambi ... 81


(18)

(19)

[v]

DAFTAR GAMBAR

1. (a) ekor pada labi-labi betina; (b) ekor pada labi-labi jantan ... 12 2. Peta lokasi penelitian ... ... 23 3. Visualisasi jalur perdagangan labi-labi di Provinsi Jambi (BKSDA

Jambi, 2010) ... 30 4. Pengukuran karapas labi-labi dengan metode curveline (a) Panjang

Lengkung Karapas; dan (b) Lebar Lengkung Karapas ... 33 5. Pengukuran bobot tubuh labi-labi dengan menggunakan timbangan

digital gantung dan timbangan digital duduk... ... 33 6. Sebaran pedagang besar dan wilayah tangkapnya di Provinsi Jambi ... 41 7. Sebaran pengumpul labi-labi dan wilayah tangkapnya ... 43 8. (a) Proporsi jumlah pengumpul labi-labi yang menjadi pemasok ke

pedagang besar (b) Jumlah pedagang pemasok labi-labi ke setiap pedagang ... 44 9. (a) jumlah penangkap sambilan berdasarkan komoditas bidang

pekerjaan utama (b) jumlah penangkap berdasarkan curahan jam tangkap per hari ... 46 10. Peralatan menangkap labi-labi (a) pangilar atau bubu; (b) Inggu, bahan

beraroma amis yang sangat tajam sebagai umpan labi-labi yang dipasang di pangilar; (c) gulungan tali pancing berupa benang nilon; (d) mata pancing ukuran nomor 10; (e) umpan pancing labi- labi berupa daging atau jerohan ayam; dan (f) cara pemancing memasang mata pancing pada tali pancing ... 47 11. Proporsi pemancing berdasarkan (a) tipe habitat; dan (b) jenis alat yang

digunakan ... 49 12. Alur perdagangan labi-labi di Provinsi Jambi ... 50 13. Kota tujuan penjualan labi-labi dari pedagang besar di Jambi ... 53 14. Proporsi populasi panenan berdasarkan jenis kelamin labi-labi di setiap

pedagang ... 58 15. Struktur populasi panenan labi-labi berdasarkan kelas umur ... 60 16. (a) Populasi panenan di satu pedagang berdasarkan jenis kelamin

selama bulan April – Juni 2012 (b) Populasi panenan di satu pedagang berdasarkan kelas umur selama bulan April – Juni 2012 (c) Populasi panenan di seluruh pedagang berdasarkan jenis kelamin selama bulan April (d) Populasi panenan di seluruh pedagang berdasarkan kelas umur selama bulan April ... 61 17. Grafik hubungan antara jumlah labi-labi di satu pengumpul dengan

jumlah curah hujan selama tahun 2010 dan 2011 (Sumber : BKSDA Jambi dan BMKG Jambi) ... 63


(20)

[vi]

18. Proporsi jumlah labi-labi berdasarkan ukuran PLK minimal dan maksimal di setiap pedagang besar di Provinsi Jambi ... 64 19. Distribusi jumlah labi-labi berdasarkan kelas ukuran berat (hasil

pengolahan data populasi panenan di seluruh pedagang) ... 66 20. Proporsi populasi labi-labi berdasarkan kelas ukuran berat ... 67 21. Proporsi jumlah labi-labi berdasarkan berat minimal dan maksimal di

setiap pedagang besar di Provinsi Jambi ... 67 22. Proporsi jumlah labi-labi di pedagang besar berdasarkan warna karapas . 69 23. (a) labi-labi dengan karapas berwarna kuning; (b) labi-labi dengan

karapas berwarna abu-abu dengan bentuk tidak melebar, hasil dari pembesaran; (c) labi-labi dengan karapas berwarna hitam; (d) labi-labi dengan karapas berwarna kehijauan (foto koleksi pribadi, 2012) ... 70 24. (a) Batang Limun, anak sungai yang dangkal dan mengalir di tepi lahan

persawahan penduduk (b) Batang Tembesi, salah satu sungai besar (c) Sungai Jangga, mengalir melintasi perkebunan sawit (d) Sungai Dingin, mengalir di dekat permukiman penduduk (e) Rawa Panjang (e) Danau di dekat lahan persawahan ... 73 25. (a) Jumlah titik pancing terhadap kelas elevasi pada kategori lokasi

pemancingan (b) Jumlah titik pancing terhadap kelas elevasi pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 74 26. (a) Jumlah titik pancing terhadap kelas pH air pada kategori lokasi

pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap kelas pH air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 75 27. (a) Jumlah titik pancing terhadap kelas kedalaman ditemukan pada

kategori lokasi pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap kelas kedalaman ditemukan pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 76 28. (a) Jumlah titik pancing terhadap kelas kecepatan arus air pada kategori

lokasi pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap kelas kecepatan arus air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 77 29. (a) Jumlah titik pancing terhadap kelas kecerahan air pada kategori

lokasi pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap kelas kecerahan air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 77 30. (a) Jumlah titik pancing terhadap warna air pada kategori lokasi

pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap warna air pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 78 31. (a) Jumlah titik pancing terhadap jenis substrat pada kategori lokasi

pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap jenis substrat pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 79 32. (a) Jumlah titik pancing terhadap tipe penutupan lahan pada kategori

lokasi pemancingan (b) jumlah titik pancing terhadap tipe penutupan lahan pada kategori lokasi ditemukannya labi-labi ... 80


(21)

[vii]

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji statistik deskriptif morfometri labi-labi ... 95 2. Hasil uji normalitas data curah hujan dan jumlah hari hujan ... 96 3. Peta lokasi pengambilan data habitat labi-labi ... 97 4. Hasil uji korelasi antara jumlah panenan labi-labi dengan jumlah curah

hujan di satu pedagang besar di Kota Jambi ... 99 5. Hasil uji Kruskal Wallis untuk morfometri labi-labi di pedagang besar .. 100 6. Hasil uji Kolmogorov-Smirnof pada sembilan peubah biofisik habitat

labi-labi di Propinsi Jambi untuk kategori lokasi ditebarkan pancing ... 101 7. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov pada sembilan peubah biofisik habitat


(22)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelompok kura-kura adalah bagian dari ekosistem air tawar yang termasuk dalam golongan reptilia dan menurut Iskandar (2000) suku labi-labi merupakan bagian dari kelompok kura-kura yang mempunyai penyebaran paling luas di dunia. Kura-kura dan bulus banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang memiliki khasiat obat dimana hampir seluruh bagian tubuhnya (daging, telur, darah, jeroan, lemak, karapas/batok) tidak luput dari pemanfaatan (Suwelo 1999; Samedi & Iskandar 2000) dan hasil olahannya pun tergolong jenis makanan mewah (Traffic 1999). Negara Cina merupakan negara tujuan ekspor terbesar untuk hampir seluruh spesies penyu dan kura-kura dari negara-negara lain di wilayah Asia (Dijk et al. 2000 dalam Stuart & Thorbjarnarson 2003; Mardiastuti 2008; Traffic 2008), dan pemanfaatan domestik kura-kura dan bulus diyakini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat ekspor ke luar negeri (Traffic 1999; Samedi & Iskandar 2000), meskipun belum ada hasil penelitian yang menggambarkan tingkat pemanfaatan domestik (Mardiastuti 2008).

Pemanfaatan labi-labi di Indonesia baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor pada awalnya dikelola oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Perikanan, dan spesies yang dikelola antara lain Trionyx spineter (sekarang

Dogania subplana) dan Trionyx cartilagineous (sekarang Amyda cartilaginea) (Ditjen Perikanan 1993). Selama tahun 2001–2004 tercatat kuota ekspor pada tiga tahun pertama berkisar 40.000-an ekor dan mengalami penurunan pada tahun keempat menjadi 26.000 ekor untuk kedua spesies tersebut (Departemen Kelautan dan Perikanan 2004). Pengelolaan dibawah Ditjen Perikanan menimbulkan kekhawatiran terjadinya eksploitasi berlebihan (Samedi & Iskandar 2000) serta didukung tingkat keterancaman dan dokumentasi perdagangan (Rhodin 2003) maka CITES merekomendasikan agar labi-labi Amyda cartilaginea dimasukkan setidaknya dalam Daftar Appendiks II CITES. Pemanfaatan labi-labi setelah dikelola Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) selaku

Management Authority yang baru tetap diatur melalui penetapan kuota tangkap. Mardiastuti (2008) menyebutkan bahwa untuk menjamin kelestarian perdagangan


(23)

labi-labi, pihak manajemen CITES menerapkan pola alternate cyclical quota

melalui penentuan jumlah kuota tangkap yang rendah pada satu periode tertentu (diawali tahun 2008) dan kuota yang lebih tinggi pada periode berikutnya, dengan pertimbangan pada saat kuota ditetapkan rendah maka populasi labi-labi di alam diberi kesempatan berkembang melalui aktivitas reproduksi. Realisasi ekspor labi-labi yang dilaporkan selama dikelola oleh kedua Ditjen tersebut tidak melebihi rekomendasi/kuota yang ditetapkan.

CITES menyebutkan bahwa penentuan kuota tangkap kura-kura memerlukan data demografi, ekologi dan biologi untuk memastikan pemanenan jangka panjang dapat dilakukan dan tidak menyebabkan kepunahan (Sriyadi et al.

2008), sementara data tentang struktur populasi serta dampak dari pemanenan terhadap kelompok kura-kura sulit dikumpulkan serta dibutuhkan waktu lama dan data time series (Congdon et al. 1994; Gibbons et al. 2001). Meskipun data dan informasi demografi populasi, biologi reproduksi, morfometri dan tata niaga labi-labi untuk beberapa provinsi di Indonesia telah dihasilkan melalui beberapa penelitian sebelumnya (Elviana 2000; Oktaviani & Samedi 2008; Oktaviani 2009; Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Lilly 2010; Mumpuni et al. 2011) namun belum pernah dilakukan penelitian yang meliputi seluruh aspek tersebut di satu lokasi penelitian, sementara data dan informasi tentang karakteristik habitat alaminya juga masih kurang (Elviana 2000; Mumpuni & Riyanto 2010). Seluruh data tersebut merupakan informasi penting untuk melakukan Non-detriment Findings (NDF) assessment, suatu persyaratan yang ditetapkan CITES dan harus dipenuhi sebagai dasar dalam penentuan kuota tangkap bagi seluruh hidupan liar yang terdaftar dalam Appendiks II CITES. NDF assessment ini penting dilakukan untuk menilai apakah pemanenan suatu spesies dari habitat alaminya di satu area tidak akan mengganggu kelestarian spesies tersebut (Sheperd & Nijman 2007; Oktaviani 2009).

1.2 Perumusan Masalah

Indikator keseimbangan dari populasi satwaliar di alam adalah selisih antara angka kelahiran dengan angka kematian, dimana selisih positif menunjukkan bahwa kelahiran lebih besar dari kematian sementara hasil selisih negatif


(24)

3 menunjukkan sebaliknya. Kematian yang dialami anggota populasi dapat terjadi secara alami (umur yang menua, bencana alam, predasi, penyakit) maupun sebagai akibat dari tindakan manusia (pemanenan). Tindakan pemanenan untuk tujuan konsumsi dan perdagangan meningkatkan peluang kematian pada populasi satwaliar yang dipanen dan pada gilirannya memicu penurunan ukuran bahkan kepunahan populasi satwaliar tersebut. Oleh karena itu, pemanenan terhadap populasi satwaliar seharusnya dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Pemanenan satwaliar secara lestari adalah konsep pemanfaatan satwaliar melalui pemanenan sejumlah anggota populasi dari habitat alaminya tanpa melebihi kemampuan populasi tersebut untuk mempertahankan ukuran minimum lestarinya melalui proses reproduksi. Konsep ini membutuhkan banyak pertimbangan dan informasi/data mengenai kondisi demografi, ekologi maupun biologi populasi satwaliar tersebut untuk dapat menentukan jumlah dan waktu panen serta ukuran maupun jenis kelamin individu satwa yang akan dipanen.

Penelitian mengenai tata niaga labi-labi memberikan informasi mengenai proses pemanenan dan apakah pemanenan labi-labi dikendalikan oleh faktor tertentu seperti harga. Deskripsi tata niaga labi-labi dapat memberikan informasi mengenai jumlah panenan di tingkat pelaku, karakteristik labi-labi yang dipanen, serta dugaan angka kematian yang terjadi pada setiap tingkat rantai perdagangan. Angka kematian merupakan salah satu parameter demografi populasi. Pendugaan ukuran populasi, struktur populasi berdasarkan nisbah kelamin dan struktur populasi berdasarkan kelas umur juga memberikan informasi demografi populasi tersebut. Karakteristik morfometri labi-labi yang diwakili oleh ukuran panjang karapas dan bobot tubuh menggambarkan ukuran individu labi-labi yang dipanen dan apakah ada preferensi terhadap ukuran tertentu serta apa implikasinya terhadap populasi labi-labi bila pemanenan dilakukan hanya pada ukuran tersebut.

Proporsi jenis kelamin, kelas umur, dan ukuran berat populasi panenan labi-labi yang pernah tercatat (Oktaviani & Samedi 2008; Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Lilly 2010; Mumpuni et al. 2011) menunjukkan populasi panenan didominasi oleh labi-labi betina pada kelas umur dewasa dengan berat yang tidak direkomendasikan untuk dipanen dan kegiatan pemanenan dilakukan sepanjang tahun tanpa memperhatikan musim kawin atau musim bertelur. Karakteristik


(25)

populasi panenan ini mengundang kekhawatiran terhadap kelestarian populasi labi-labi di alam di masa yang akan datang. Sejumlah regulasi pemanfaatan hidupan liar telah dikeluarkan dengan tujuan menekan resiko kepunahan spesies-spesies yang dimanfaatkan namun pada prakteknya tidak menggambarkan keberhasilan penerapan regulasi tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi tata niaga, menduga beberapa parameter demografi dan karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi di Provinsi Jambi melalui pengamatan, penghitungan, dan pengukuran terhadap karakteristik morfometri populasi panenan labi-labi di tingkat pedagang, pengumpul dan penangkap yang ditunjang dengan data hasil wawancara dengan para pelaku pemanenan/perdagangan tersebut. Karakteristik habitat labi-labi di Provinsi Jambi juga menjadi bagian dari penelitian ini untuk mengetahui apakah labi-labi memiliki preferensi terhadap habitat yang dihuninya. Data yang dibutuhkan untuk melakukan karakterisasi habitat diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran sejumlah peubah biofisik di setiap lokasi pemancingan, sementara untuk sebarannya dilakukan wawancara dengan para penangkap labi-labi.

1.3 Tujuan

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi para pelaku, alur perdagangan dan harga di dalam tata niaga labi-labi di Provinsi Jambi;

2. Menduga ukuran populasi, nisbah kelamin, kelas umur dan angka kematian populasi sebagai bagian dari parameter demografi populasi panenan labi-labi di Jambi;

3. Mengukur panjang lengkung karapas dan bobot tubuh labi-labi sebagai bagian dari karakteristik morfometri populasi panenan dan biologi reproduksi labi-labi; dan

4. Mengidentifikasi karakteristik habitat labi-labi pada habitat perairan.

1.4 Manfaat

Diharapkan hasil penelitian ini dapat :

1. Memberikan informasi tentang kegiatan pemanenan dan pemanfaatan labi-labi yang berlangsung di Jambi sehingga lebih lanjut dapat digunakan sebagai bahan


(26)

5 pertimbangan dalam pelaksanaan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan pemanenan dan pemanfaatan labi-labi di Jambi maupun provinsi lain dengan karakteristik yang sama.

2. Memberikan informasi tentang karakteristik populasi panenan labi-labi di Jambi yang pada beberapa hal memiliki kesamaan dengan lokasi lain, sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi manajemen CITES dalam upaya merumuskan perbaikan regulasi pemanenan labi-labi dari alam.

3. Menjadi salah satu panduan bagi satuan kerja lingkup Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam menyusun database pemanfaatan labi-labi.


(27)

(28)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tata Niaga Labi-labi

Negara-negara di Asia Tenggara menjadi eksportir utama dari satwa-satwa hasil tangkapan dari alam (Traffic 2008; Nijman 2010; Nijman et al. 2012) termasuk kura-kura yang diperdagangkan di negara Cina sekarang ini berasal dari negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dimana penduduknya beranggapan bahwa kura-kura lebih menguntungkan bila dijual daripada untuk konsumsi sendiri (Dijk et al. 2000 dalam Stuart & Thorbjarnarson 2003). Perdagangan kura-kura di Asia terdiri dari perdagangan untuk konsumsi dan pet, dan untuk konsumsi dibedakan menjadi perdagangan kura-kura hasil penangkaran komersil dan kura-kura hasil tangkapan dari alam. Eksploitasi besar-besaran terhadap kura-kura dari habitat alaminya terjadi tidak hanya di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju (Traffic 1999). Data ekspor-impor hidupan liar dari wilayah Asia Tenggara selama tahun 1999 – 2007 menunjukkan sebanyak 85.9% dari total jumlah individu yang diekspor ditangkap dari habitat alaminya (Nijman 2010). Indonesia merupakan eksportir terbesar untuk kelompok reptil dengan jumlah ekspor mencapai angka 62% dari total 14 juta individu, sementara negara pengimpornya berturut-turut adalah Singapura, Uni Eropa dan Jepang. Sheperd (2000 dalam Nijman 2010) melaporkan ekspor tahunan labi-labi dari Indonesia ke negara Cina mencapai angka 1 juta kilogram atau diperkirakan setara dengan 200 000–300 000 ekor. Sheperd & Nijman (2007) menyebutkan perdagangan kelompok penyu dan kura-kura dalam jumlah besar yang terlihat di pasar-pasar domestik dapat digunakan sebagai indikator yang cocok untuk mengevaluasi pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar dan perdagangannya di Indonesia.

2.1.1 Pelaku

Perdagangan reptil menyangkut jutaan spesimen per tahun serta menjadi sumber pendapatan bagi banyak orang dan faktor ekonomi merupakan motivasi utama dari perdagangan komoditi ini (Webb & Vardon 1998; Nijman 2010). Perdagangan satwaliar terjadi di tingkat pendapatan lokal berskala kecil hingga


(29)

bisnis besar berorientasi profit dan mencakup pasar lokal, nasional bahkan internasional. Para pengumpul satwaliar dihubungkan dengan para pengguna/pembeli oleh jaringan perantara dengan jumlah dan fungsi yang bervariasi di setiap lokasi. Para perantara ini bisa bergerak di berbagai bidang mulai dari penyimpanan, penanganan, pengangkutan, pengolahan, produksi industrial, pemasaran maupun usaha ekspor dan ritel (Nijman 2010). Para pelaku dalam tata niaga labi-labi secara umum terdiri dari penangkap, perantara (pengumpul atau pedagang kecil), pedagang besar dan eksportir (Mardiastuti 2008; Traffic 2008; Nijman et al. 2012).

2.1.2 Alur Perdagangan

Perdagangan kura-kura di Indonesia dan Indochina digambarkan oleh Traffic (2008) memiliki kesamaan alur maupun pelaku-pelakunya, tetapi di Indonesia berlangsung lebih dinamis. Dinamika ini ditunjukkan melalui hubungan antar-pelaku yang berlangsung lebih fleksibel, dimana para penangkap bisa langsung mengakses para eksportir tanpa melalui para pengumpul maupun pedagang, sementara di Indochina yang bisa berhubungan dengan para eksportir hanyalah para pedagang besar tingkat regional atau dengan kata lain hubungan antara para pelaku memiliki struktur dan alur yang jelas dan tertentu.

Para penangkap menjual hasil tangkapannya kepada para pembeli lokal yang kemudian menjual seluruh hasil tersebut kepada pedagang yang lebih besar (Mardiastuti 2008; Traffic 2008), dan jumlah labi-labi yang terkumpul semakin meningkat mengikuti alur perdagangan tersebut. Mardiastuti (2008) menyebutkan bahwa transaksi jual beli labi-labi di Indonesia menerapkan sistem cash and carry.

2.1.3 Harga

Labi-labi memiliki nilai kegunaan produktif yaitu nilai manfaat yang diberikan kepada produk-produk yang diambil dari alam dan dijual ke pasar komersial, baik pada tingkat nasional maupun internasional (Indrawan et al. 2007) dan sebagai bentuk nyata dari nilai tersebut adalah harga. Tingginya harga beli menjadi motivasi bagi para penangkap untuk melakukan eksploitasi berkelanjutan terhadap labi-labi. Traffic (2005) menyebutkan bahwa sama halnya untuk spesies


(30)

9 kura-kura Pulau Rote (Chelonia mccordi), ancaman terbesar bagi keberadaannya adalah perdagangan internasional dimana para pembeli luar negeri memasang harga yang sangat tinggi, dan ketika spesies-spesies tersebut menjadi langka atau bahkan diberikan status dilindungi, pada kenyataannya permintaan pasar justru meningkat.

Beberapa hasil penelitian menyebutkan informasi mengenai harga labi-labi untuk pasar dalam negeri, tetapi tidak untuk harga di pasar internasional. Amri dan Khairuman (2000) menyebutkan harga ekspor labi-labi adalah USD 20.00/kg sementara Nijman et al. (2012) mengemukakan apabila harga labi-labi diasumsikan sebesar USD 10.00/kg maka nilai perdagangan labi-labi mencapai angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi. Harga labi-labi yang berlaku di pasar dalam negeri dibedakan oleh ukuran bobot tubuhnya sebagaimana disebutkan dalam hasil penelitian Kusrini et al. (2009) dan Oktaviani dan Samedi (2008).

2.1.4 Pemanenan Lestari

Pemanenan pada tingkat tertentu dari suatu populasi spesies bisa dilakukan tanpa menimbulkan ancaman kepunahan dan tingkat tertentu tersebut diterjemahkan dalam konsep pemanenan riap atau Maximum Sustainable Yield

(Robinson 1993; Sutherland 2001). Pemanenan terhadap hidupan liar pada awalnya dilakukan oleh masyarakat yang hidup berdekatan dengan habitatnya dan dalam jumlah sedikit untuk pemenuhan kebutuhan semata (Soehartono & Newton 2002; Platt et al. 2008), namun pertumbuhan populasi penduduk, meningkatnya kemampuan pembeli dan era globalisasi menyebabkan kenaikan permintaan terhadap hidupan liar eksotik (Nijman 2010) dan perdagangan yang terus menerus merupakan ancaman utama bagi kelestariannya. Penurunan ukuran populasi akibat pemanenan bisa ditandai oleh semakin sulitnya spesies tersebut ditemui ataupun semakin besarnya upaya yang harus dikeluarkan (jumlah hari, alat ataupun jarak tempuh) ketika akan dilakukan pemanenan (Soehartono & Newton 2002; Traffic 2005; Traffic 2008). CITES (2004) menyebutkan bahwa kelimpahan labi-labi di perdagangan mengalami penurunan sebesar 2/3 dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Hal ini menggambarkan penurunan populasi lokal atau alami di Indonesia dan di beberapa negara lain. Pemanfaatan yang berlebihan dan minim


(31)

regulasi bisa menjadi awal dari kepunahan suatu spesies karena terjadi penurunan ukuran populasi akibat perburuan atau pemanenan (Lockwood et al. 2002 dalam

Indrawan et al. 2007).

2.2 Parameter Demografi Populasi

Kelompok kura-kura digambarkan memiliki karakteristik unik antara lain berumur panjang, lambat mencapai umur dewasa, reproduksi tahunan yang terbatas, tingginya kematian anakan, memiliki site fidelity yang tinggi dan persebaran yang terbatas serta semakin berkurangnya habitat menjadikan kura-kura sangat rentan terhadap pemanenan berlebih (Congdon et al. 1993; Gibbons

et al. 2001; Sriyadi et al. 2008).Kondisi dinamika yang khusus ini menyebabkan pemanenan terhadap satu kelas umur tertentu dapat membahayakan populasi kura-kura, sementara pemanenan pada kelas umur yang lain tidak menimbulkan dampak yang sama. Pada kura-kura dengan pencapaian umur dewasa yang lambat, contoh spesies Caretta caretta, peluang hidup yang tinggi pada kelas umur juvenil sangat penting bagi pertumbuhan populasi sementara untuk kura-kura dengan pencapaian umur dewasa yang lebih awal peluang hidup yang tinggi pada kelas umur dewasa menjadi lebih penting bagi pertumbuhan populasi (Heppel 1998 dalam Chacín 2010). Menurut Sinclair et al. (2006) pada spesies mamalia besar pemanenan umumnya lebih banyak dilakukan terhadap individu jantan dibandingkan individu betina ataupun lebih ditujukan pada kelas umur yang lebih tinggi, namun tetap perlu diketahui terlebih dulu mengenai karakteristik biologi spesies tersebut.

2.2.1 Ukuran Populasi

Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya dan keberadaan suatu populasi pada suatu wilayah sangat ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi segala kebutuhan hidup populasi tersebut. Kebutuhan dasar populasi meliputi kebutuhan untuk berlindung, berkembangbiak, makanan dan air, serta pergerakan (Alikodra 2002). Ukuran populasi dipengaruhi secara langsung maupun tidak langsung oleh ketersediaan sumberdaya, disamping itu


(32)

11 dipengaruhi juga oleh beberapa parameter populasi seperti angka kelahiran, angka kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin.

Ukuran populasi, seperti halnya parameter demografi lainnya, penting untuk diketahui terutama dalam kaitannya dengan tujuan pemanfaatan. Pendugaan ukuran populasi satwaliar di habitat alaminya membutuhkan pemilihan metode inventarisasi yang tepat. Metode pendugaan ukuran populasi yang umum digunakan untuk kelompok kura-kura adalah Capture-Mark-Recapture (CMR) (Bodie & Semlitsch 2000) dan menurut Lathouder et al. (2009) metode ini sering digunakan untuk melakukan estimasi ukuran populasi dimana jumlah populasi keseluruhan tidak dapat dihitung secara langsung. Metode lain untuk pendugaan kelimpahan populasi bagi satwa yang hidup di habitat perairan adalah Catch Per Unit Effort (CPUE) serta telah digunakan dalam penelitian labi-labi untuk menghitung kelimpahan relatifnya di suatu area (Kusrini et al. 2009; Mumpuni & Riyanto 2010; Lilly 2010; Mumpuni et al. 2011).

Menurut Seber (1982) untuk mengatasi kesulitan mengetahui ukuran populasi total satwaliar di suatu area dapat didekati dengan angka kelimpahan relatif dari hasil penarikan contoh yang dilakukan secara acak, dimana estimasi ukuran populasi total diperoleh dari hasil perkalian kepadatan rata-rata per unit area, yang diestimasi dari sejumlah unit contoh, dengan luas total area populasi. Estimasi kelimpahan relatif dapat disajikan dalam bentuk satuan jumlah per panjang area tangkap (ekor/km), jumlah per luasan area tangkap (ekor/km2) dan jumlah per satuan waktu tangkap (ekor/bulan).

Siklus hidup labi-labi hampir sama dengan reptil lainnya, yakni dari telur menetas menjadi tukik, labi-labi remaja, dewasa dan kemudian melakukan perkawinan, bertelur dan menetaskan telurnya untuk melanjutkan keturunannya. Di alam, labi-labi umumnya berpijah antara Juli - Desember. Untuk periode musim kawin labi-labi, Kusdinar (1995) menuliskan bahwa untuk kura-kura Belawa dimulai pada bulan April – Juli dalam periode 1 tahun, sedang periode bertelur terjadi pada bulan September - Februari dengan puncaknya pada bulan November - Desember. Labi-labi berkembang biak dengan cara bertelur (ovipar). Jumlah telur labi-labi dalam satu kali masa peneluran (clutch) bervariasi, antara 5-11 butir (Kusdinar 1995), 5–30 butir untuk 3-4 sarang (Liat & Das 1999), sekitar 40 butir


(33)

(Iskandar 2000), berkisar antara 10-30 butir (Amri & Khairuman 2002) dan terakhir Kusrini et al. (2007) menyebutkan antara 3–14 butir per sarang. Telur-telur yang dikeluarkan induk ditimbun dalam tanah berpasir selama lebih kurang 45-50 hari pada suhu 25–30 °C (Amri & Khairuman 2002), dan untuk penetasan telur menjadi tukik menurut Iskandar (2000) dibutuhkan waktu sekitar 135–140 hari.

2.2.2 Nisbah Kelamin

Struktur populasi berdasarkan nisbah kelamin adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dan betina pada suatu populasi. Pada beberapa kelompok satwa identifikasi jenis kelamin baru dapat dilakukan pada individu dewasa karena perbedaan performa seksualnya lebih nyata. Kelompok mamalia besar dibedakan jenis kelaminnya berdasarkan penciri tubuh seperti tanduk, ranggah dan warna kulit. Identifikasi jenis kelamin pada kelompok reptilia baru dapat dilakukan apabila terhadap individu tersebut dilakukan perabaan ataupun observasi organ reproduksi secara langsung. Penciri jenis kelamin pada labi-labi dan spesies kura-kura lain pada umumnya adalah bentuk ekornya (Gambar 1).

Gambar 1 (a) ekor pada labi-labi betina; (b) ekor pada labi-labi jantan.

Labi-labi jantan memiliki ekor berbentuk memanjang sehingga ujungnya banyak terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih pendek dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Jensen & Das 2008; Kusrini et al. 2007). Identifikasi jenis kelamin berdasarkan bentuk ekor ini baru dapat dilakukan terhadap labi-labi dewasa dengan ukuran PLK minimum 25 cm (Kusrini et al. 2007). Identifikasi jenis kelamin pada populasi panenan labi-labi memberikan informasi proporsi antara jantan dan betina yang dipanen dan bagaimana implikasinya terhadap kelestarian labi-labi di habitat alaminya.


(34)

13

2.2.3 Kelas Umur

Struktur populasi satwaliar dapat ditampilkan juga dalam bentuk pengkelasan umur yang umumnya dibagi menjadi kelas umur anak, muda dan dewasa bahkan untuk beberapa spesies dapat dikategorikan kedalam kelas umur yang lebih detil. Pengelompokan kelas umur dapat dilakukan berdasarkan pendekatan morfologi ataupun morfometri dari spesies satwaliar tersebut. Pendekatan morfometri menggunakan ukuran atau massa bagian tubuh tertentu sementara pendekatan morfologi berdasarkan penciri seperti warna tubuh, bentuk bagian tubuh tertentu atau perilaku satwaliar yang kemudian diproyeksikan menjadi kelas umur individu spesies satwaliar tersebut. Sebagai contoh untuk kelompok mamalia besar dengan penciri tubuh seperti tanduk, ranggah dan warna kulit.

Tujuan dari identifikasi jenis kelamin dan kelas umur adalah untuk mempermudah upaya mempelajari sifat-sifat biologi maupun perilaku satwaliar yang berbeda pada jenis kelamin dan kelas umur tertentu. Data yang valid mengenai struktur jenis kelamin dan umur dari suatu populasi satwaliar dapat digunakan dalam perencanaan pengelolaan termasuk untuk pemanenan, khususnya dalam hal penentuan jumlah, kelas umur maupun jenis kelamin yang dapat dipanen agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan terhadap populasi tersebut.

2.2.4 Angka Kematian

Ukuran populasi makhluk hidup akan mengalami fluktuasi karena pengaruh kematian, kelahiran maupun perpindahan dari dan kedalam populasi tersebut. Alikodra (2002) membagi angka kematian menjadi angka kematian kasar dan angka kematian pada umur spesifik. Angka kematian kasar merupakan perbandingan antara jumlah kematian dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode waktu, sementara angka kematian pada umur spesifik merupakan perbandingan antara jumlah kematian pada kelas umur tertentu dari semua sebab dengan total populasi kelas umur yang sama selama satu periode waktu.

Tindakan pemanenan merupakan faktor utama penyebab kematian pada populasi satwaliar yang memiliki nilai manfaat bagi manusia dan dengan mengasumsikan jumlah pemanenan sebagai angka kematian pada populasi labi-labi di alam maka pada tahun 1998 dan 1999 saja individu yang diperdagangkan di tiga kota di Sumatera mencapai angka 200 000–450 000 (Nijman et al. 2012). Angka ini


(35)

belum mencakup jumlah labi-labi yang dipanen untuk dikonsumsi langsung oleh para penangkapnya. Ini merupakan sebuah angka kematian yang sangat besar pada suatu populasi meskipun ukuran populasi labi-labi secara keseluruhan di alam belum diketahui.

2.3 Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi

2.3.1 Taksonomi

Di Indonesia labi-labi dikenal juga dengan sebutan bulus (Jawa) dan bidawang (Kalimantan). Ernst dan Barbour (1989) menuliskan taksonomi labi-labi sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata

Kelas : Reptilia (Laurentie 1768) Ordo : Testudines (Linnaeus 1758) Famili : Tryonichidae (Fitzinger 1826)

Genus : Amyda (Geoffroy Saint-Hilaire 1809) Spesies : cartilaginea (Boddaert, 1770)

Labi-labi dikenal juga dengan nama umum Asiatic softshell turtle atau Common softshell turtle atau lack-rayed softshell turtle (Inggris), Trionyx cartilagineux

(Perancis), Knorpel weichschildkröte (Belanda) (Ernst & Barbour 1989). IUCN Redlist (2011) menyebutkan labi-labi memiliki sinonim penamaan sebagai :

Testudo cartilaginea Boddaert, 1770, Trionyx cartilagineus (Boddaert, 1770),

Trionyx ephippium Theobald, 1875, Trionyx nakornsrithammarajensis

Nutaphand, 1979, Trionyx ornatus Gray, 1861 dan Trionyx phayrei Theobald, 1868.

2.3.2 Morfologi

Iskandar (2000) menuliskan bahwa suku labi-labi dapat dengan mudah dibedakan dari kelompok kura-kura lainnya dari perisainya yang ditutupi oleh kulit dan sebagian besar terdiri dari tulang rawan. Labi-labi termasuk jenis yang mempunyai leher relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit


(36)

15 pertengahan dari perisainya, dan termasuk hewan yang galak sehingga hewan berukuran besar sangat berbahaya bila dipegang.

Amri dan Khairuman (2002) menyebutkan bahwa labi-labi bernafas dengan paru-paru (pulmo), termasuk anak-anaknya yang baru menetas, memiliki sepasang tungkai kaki depan masing-masing berkuku tiga buah dan berselaput renang, demikian pula sepasang tungkai belakangnya. Dua pasang tungkai tersebut memungkinkan labi-labi dapat berenang dengan cepat karena selaput renangnya cukup besar dan bisa berlari di daratan. Mata labi-labi berjumlah dua buah terletak pada bagian samping kepala dilengkapi dengan kelopak mata. Alat pendengaran labi-labi adalah membran tympani. Labi-labi tidak memiliki gigi tetapi rahangnya sangat kuat dan tajam. Lidahnya tebal, pendek, lebar dan melekat di dasar mulut.

Warna punggung labi-labi dewasa bervariasi antara coklat, abu-abu sampai hitam pekat, kadang-kadang berbintik kuning pada kepala, tungkai-tungkai dan karapasnya. Plastron berwarna putih sampai abu-abu (pada usia remaja berwarna lebih cerah dibandingkan dengan usia dewasa). Pada usia anak terdapat bintik pada kepala dan tungkai-tungkainya (Ernst & Barbour 1989). Iskandar (2000) menyebutkan bahwa pada perisai punggung terdapat bintil-bintil kecil membentuk garis-garis yang terputus-putus dari depan ke belakang. Kepala dan kaki berwarna hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai bintik-bintik berwarna kuning dan kadang-kadang dijumpai juga enam sampai sepuluh bercak hitam bertepi putih melengkung pada bagian belakang perisainya, terutama pada individu muda.

2.3.3 Morfometri

Karakteristik morfometri seringkali digunakan untuk menduga umur suatu spesies. Pendugaan kelas umur pada kelompok kura-kura umumnya menggunakan ukuran panjang karapas yang diukur dengan metode straight-line (Ernst & Lovich 1986; Chen & Lue 2009; Lefebvre et al. 2011) maupun metode curve-line

(Kusrini et al. 2007; Oktaviani & Samedi 2008; Kusrini et al. 2009), sementara beberapa parameter morfometri lainnya yang umum diukur adalah lebar karapas, panjang plastron, lebar plastron, berat tubuh, dan panjang ekor (Lilly 2010). Metode curve-line menghasilkan satuan pengukuran dengan istilah Panjang Lengkung Karapas (PLK) yang kemudian diklasifikasikan dalam empat kelompok


(37)

dengan rentang ukuran tertentu untuk kemudian digunakan sebagai dasar pengkelasan umur labi-labi (Kusrini et al. 2007).

Berat tubuh juga digunakan untuk menduga kelas umur labi-labi (Mardiastuti 2008) sementara Riyanto (13 Februari 2012 komunikasi pribadi) menyebutkan bahwa ukuran PLK dianggap lebih konsisten untuk dijadikan dasar pendugaan kelas umur labi-labi. Ernst dan Lovich (1986) menyebutkan bahwa beberapa penelitian mencoba mencari hubungan antara perubahan massa atau bobot tubuh kura-kura dengan pertumbuhan bagian tempurungnya. CITES

Scientific dan Management Authority sejak tahun 2007 mengeluarkan peraturan tentang ukuran berat yang sebaiknya tidak dipanen atau dibatasi pemanenannya, yaitu pada kisaran berat 5–15 kg dengan batas toleransi 10% (Mardiastuti 2008).

2.3.4 Reproduksi

Pada labi-labi jantan bentuk ekor memanjang sehingga ujungnya banyak terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih pendek dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Kusrini et al. 2009). Wyneken (2001) menyebutkan bahwa organ reproduksi kura-kura atau disebut gonad terdiri dari ovarium dan testis dan masing-masing menghasilkan gamet (sel telur ataupun sperma) yang kemudian dipindahkan melalui salurannya menuju kloaka. Organ reproduksi pada kura-kura betina mengalami perubahan bentuk dan ukuran mengikuti pertambahan umur ataupun antar-periode bertelur (Wyneken 2001) dan ukuran tubuh betina yang lebih besar berhubungan dengan ukuran telur yang lebih besar ataupun frekuensi clutch tahunan (Walde et al. 2007; Naimi et al. 2012).

Kematangan gonad biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni pada saat temperatur air berkisar 20 °C, dua minggu kemudian betina akan memijah dan kemudian bertelur di darat di tempat yang berpasir (BBAT 2002). Bentuk telur labi-labi menurut Kusdinar (1995) bundar, berwarna putih, tidak mengkilat, kulitnya rapuh dengan ukuran diameter telur 31.1–33.2 mm, sementara menurut Iskandar (2000) ukuran telurnya hanya sekitar 21–33 mm, berbentuk bulat seperti bola pingpong (bola tenis meja) dan bercangkang keras. Amri dan Khairuman (2002) menyebutkan bahwa telur labi-labi berwarna krem dengan diameter antara 2-3 cm.


(38)

17 Keberhasilan penetasan telur pada beberapa spesies penyu laut adalah 67.7% untuk Caretta caretta (Appleson 2004), 78.6% untuk spesies Eretmochelys imbricata (Ditmer & Stapleton 2012) dan 73.8% untuk spesies Chelonia mydas

(Thomas 2006). Keberhasilan penetasan telur untuk kura-kura air tawar adalah 59% dan 52% untuk tahun yang berbeda pada Glyptemys insculpta (Walde et al. 2007), dan 60.8±37.5% untuk Phrynops geoffroanus (Ferreira 2011). Hasil penelitian mengenai tingkat keberhasilan penetasan telur labi-labi sejauh ini masih sangat terbatas. Mashar (2009) dalam penelitiannya tentang kura-kura Belawa menyebutkan bahwa dari 97 butir telur yang diamati hanya 3 yang menetas. Rendahnya persentase tetasan mungkin disebabkan telur-telur yang lain belum cukup umur untuk menetas, mengingat waktu pengamatan hanya selama 3 bulan sementara menurut Iskandar (2000) waktu inkubasi telur labi-labi berkisar antara 135-140 hari. Jumlah telur yang menetas kemudian tidak lagi terdokumentasikan. Sunyoto (2012) menyebutkan bahwa berdasarkan informasi pengelola kolam rekreasi Cikuya, kura-kura belawa (Amyda cartilaginea) selama bulan Agustus 2010–Februari 2011 terkumpul 187 butir telur yang kemudian direlokasikan dan berhasil menetas sebanyak 115 butir (61.49%). Tingkat keberhasilan penetasan telur kura-kura lebih tinggi pada clutches yang direlokasikan dari sarang alaminya (Appleson 2004; Thomas 2006; Walde et al. 2007) karena telur-telur tersebut terhindar dari predasi maupun gangguan alami lain seperti hanyut terbawa arus.

2.3.5 Jenis Pakan

Labi-labi biasanya menyukai perairan yang banyak dihuni oleh hewan air (molusca, ikan, crustacea dan lain-lain) serta pada permukaan airnya terdapat tumbuh-tumbuhan air seperti enceng gondok, salvinia, monochorida, teratai dan lain-lainnya karena dapat menjadi bahan makanan di dalam air (Ditjenkan 1995). Menurut Mumpuni dan Riyanto (2010) jenis pakan labi-labi sangat bervariasi, terdiri dari buah sawit, umbi dari tanaman ubi kayu, berbagai jenis ikan, dedaunan yang tidak teridentifikasi, biji-bijian, bahkan pakan burung. Ketersediaan berbagai jenis ikan air tawar di habitatnya merupakan potensi pakan bagi labi-labi. Di Sumatera Barat, tepatnya di Bandar Gadang, Mumpuni et al. (2011) menemukan 21 keong emas di dalam usus besar seekor labi-labi yang dibedah, dan keong emas dikenal sebagai hama bagi tanaman padi di sawah. Variasi jenis pakan labi-labi


(39)

menunjukkan bahwa labi-labi termasuk kura-kura omnivorus, dan dari perilaku makan ini labi-labi diduga bisa berfungsi sebagai predator hama sekaligus penyebar biji.

2.4 Habitat dan Persebaran

2.4.1 Habitat

Secara umum habitat satwaliar dapat didefinisikan sebagai tempat dimana satwaliar tersebut hidup. Berbeda dengan manusia, satwaliar dari satu spesies dapat hidup di suatu tempat hanya apabila sumberdaya pokok yaitu pakan, air dan tempat berlindung untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya tersedia dan memampukan satwaliar tersebut untuk bisa beradaptasi terhadap kondisi cuaca yang ekstrem maupun persaingan dan pemangsaan. Komponen habitat yang telah diklasifikasikan sebelumnya meliputi pakan, air dan tempat berlindung oleh Morrison et al. (2006) ditambahkan dengan faktor-faktor lingkungan lainnya yang sangat bervariasi. Pola penyebaran ruang maupun waktu dari seluruh elemen habitat tersebut menentukan distribusi, kepadatan, struktur dan produktivitas populasi satwaliar. Ketersediaan sumberdaya mempengaruhi keberadaan suatu spesies pada lanskap tertentu. Dalam konsep pemilihan habitat oleh satwaliar dikenal habitat yang tersedia, habitat yang digunakan dan habitat yang disukai yang diterjemahkan oleh manusia menjadi konsep home range, core

dan territory.

Hilangnya habitat dan penangkapan secara besar-besaran menurunkan jumlah yang dapat ditangkap setiap tahunnya, mengurangi keuntungan bagi manusia, dan dalam beberapa kasus ekstrim dapat meningkatkan kemungkinan kepunahan. Perubahan yang terjadi terhadap habitat, disengaja ataupun tidak, dapat merubah struktur populasi kura-kura air tawar (Chen & Lue 2009; Bodie 2001; Plummer et al. 2008) dan yang paling terpengaruh adalah kelas umur juvenil dan jenis kelamin betina. Modifikasi habitat dapat menyebabkan perubahan berbagai karakteristik habitat tersebut, seperti kedalaman menjadi lebih dangkal, arus menjadi lebih kuat, dan kondisi vegetasi di pinggir sungai mengalami perusakan bahkan penghilangan.


(40)

19 Labi-labi menyukai habitat perairan seperti kolam, rawa, danau, sungai dan kanal (Asian Turtle Conservation Network 2012). Elviana (2000) menyebutkan kondisi habitat labi-labi berupa perairan tergenang, berarus tenang dengan dasar perairan lumpur berpasir, terdapat batu-batuan dan tak terlalu dalam. Labi-labi biasanya tak hanya tinggal di dasar perairan, tetapi terkadang nampak di atas batu-batuan untuk berjemur. Labi-labi mengalokasikan banyak waktunya untuk berada di dalam air, sehingga kondisi perairan sebagai habitat labi-labi menjadi penting untuk diketahui. Elviana (2000) memasukkan variabel peubah habitat berupa suhu (air dan udara), pH sungai, lebar sungai, kedalaman, kecepatan arus permukaan, debit air, kecerahan air, substrat dasar dan slope pinggir sungai. Amri dan Khairuman (2002) menyebutkan beberapa variabel yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh labi-labi, diantaranya adalah : debit air, suhu air, derajat keasaman (pH), warna perairan dan jenis substrat dasar perairan.

a. Kecepatan arus air

Labi-labi disebutkan lebih menyukai perairan yang tenang dengan kecepatan arus air yang rendah. Menurut Suwigno (1996) untuk perairan alamiah dengan kecepatan permukaan antara 10 sampai dengan 20 cm per detik memiliki dasar perairan berlumpur, sehingga merupakan habitat perairan yang mungkin dipilih oleh labi-labi.

b. Suhu air

Pada kondisi lingkungan bersuhu rendah (kurang dari 30 °C), aktifitas labi-labi akan menurun, nafsu makan berkurang. Labi-labi biasanya akan menyelam dan memendamkan dirinya dalam lumpur (BBAT 2002). Menurut Germano & Bury (2009) beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa jumlah konsumsi pakan dan laju pertumbuhan kura-kura lebih tinggi dan ukuran tubuh lebih besar di lingkungan yang lebih hangat dibandingkan dengan habitat yang lebih sejuk. c. Derajat keasaman (pH)

Merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam atau basa suatu perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dan angka 7 merupakan pH netral atau normal. Derajat keasaman ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari pH air akan meningkat karena fitoplankton dan tanaman air lainnya mengkonsumsi


(41)

karbondioksida dan menghasilkan oksigen di dalam air. Sebaliknya pada malam hari biota air tersebut akan mengkonsumsi oksigen dalam proses respirasi dan akan menghasilkan karbondioksida yang menurunkan pH air. Disebutkan bahwa nilai pH air yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah 7–8. Pada kondisi habitat alami di perairan sungai maupun rawa, derajat keasaman air yang terukur menunjukkan kisaran angka 6.0–6.6 di Jambi (Elviana 2000) dan 5.6-6.2, 5.7–6.5 dan 5.6–6.8 berturut-turut untuk lokasi survei di Jambi, Sumatera Selatan dan Riau (Mumpuni & Riyanto 2010).

d. Kekeruhan air

Bruckner (2012) menyebutkan bahwa kekeruhan tubuh air berkaitan dengan kebersihan air tersebut. Air dengan konsentrasi padatan tersuspensi yang rendah lebih jernih dan kurang keruh dibandingkan dengan air berkonsentrasi padatan tersuspensi yang tinggi. Kekeruhan dapat disebabkan oleh banyaknya kumpulan biota seperti fitoplankton, atau karena adanya muatan materi abiotik seperti sedimen. Kekeruhan menjadi penting dalam sistem perairan karena dapat mengurangi intensitas cahaya yang menembus kedalam perairan, sehingga berpotensi mempengaruhi laju fotosintesis dan distribusi organisme-organisme di dalam air. Kondisi ini mungkin tidak langsung membahayakan kehidupan labi-labi (Amri & Khairuman 2002), tetapi laju fotosintesis yang menurun pada gilirannya mempengaruhi jumlah oksigen yang terurai di dalam tubuh air dan akan mempengaruhi populasi yang lebih besar lagi, misalnya populasi ikan (Bruckner 2012).

e. Warna perairan

Warna suatu perairan umumnya disebabkan oleh bahan terlarut, seperti asam humus, plankton atau gambut (Amri & Khairuman 2002). Dominasi bahan-bahan terlarut tersebut dapat dibedakan dari warna air suatu perairan. Perairan biasanya akan berwarna coklat jika mengandung banyak lumpur. Jika mengandung banyak plankton air berwarna hijau cerah, jika mengandung bahan organik nabati hasil pelapukan air berwarna merah seperti teh, dan jika mengandung limbah industri air berwarna hitam. Di daerah gambut perairan pun bisa berwarna hitam.


(42)

21 f. Ketinggian tempat

Labi-labi tersebar pada daerah dataran rendah dengan ketinggian < 350 m dpl (Iskandar 2000). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan suhu permukaan yang berpengaruh pada aktivitas labi-labi. Iskandar (2000) menyebutkan bahwa habitat yang paling disukai labi-labi adalah perairan berdasar lumpur dan berarus lambat, dimana tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang meliputi sungai, rawa dan danau sungai mati (oxbow). Hasil survei di Sumatera dan Kalimantan juga menunjukkan bahwa labi-labi banyak ditemukan di daerah hilir. Menurut Oktaviani et al. (2008) wilayah tangkap labi-labi di Sumatera Selatan berada pada ketinggian 7-141 m dpl.

g. Kedalaman ditemukan

Labi-labi dapat hidup di berbagai tipe habitat perairan dengan kedalaman yang bervariasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa labi-labi ditemukan di perairan dengan kedalaman berkisar antara 1,0–3,0 meter (Elviana 2000), 3-8 meter (Kusrini et al. 2009), 3-7 meter di sungai di Jambi dan 0,3-2 meter di perairan di Riau (Mumpuni & Riyanto 2010) serta 0,3–1,2 meter di Sumatera Barat (Mumpuni et al. 2011).

h. Jenis substrat dasar habitat perairan

Literatur menyebutkan bahwa labi-labi dapat hidup di berbagai tipe habitat perairan yang substrat dasarnya berlumpur, berpasir bahkan berbatu. Substrat dasar beberapa tipe perairan habitat labi-labi di Sumatera adalah berlumpur (Elviana 2000) serta berlumpur dan berpasir (Mumpuni & Riyanto 2010; Mumpuni et al. 2011). Di Kalimantan tipe perairan yang menjadi habitat labi-labi umumnya berlumpur, berpasir dan ada juga berbatu (Kusrini et al. 2009; Lilly 2010).

i. Tipe penutupan lahan

Umumnya kura-kura jantan lebih banyak menggunakan habitat perairan dibandingkan betina karena betina membutuhkan habitat terestrial untuk tempat meletakkan telur dan juga sebagai alternatif sumber pakan, sehingga kura-kura betina lebih terancam peluang hidupnya ketika terjadi perusakan habitat terestrial di sekitar habitat perairan yang dihuninya. Menurunnya peluang hidup kura-kura betina bisa berakibat pada ketidakseimbangan nisbah kelamin populasi tersebut.


(43)

Zona antara habitat perairan dan terestrial merupakan aspek penting bagi populasi kura-kura air tawar, terutama untuk tempat bersarang dan meletakkan telur. Habitat kura-kura banyak mengalami perusakan dan penyempitan yang disebabkan oleh aktivitas urbanisasi dan berdampak pada struktur populasi kura-kura yang mendiami wilayah tersebut (Plummer et al. 2008; Chen & Lue 2009), namun demikian kura-kura masih dapat ditemukan di daerah urban (Spinks et al. 2003; Conner et al. 2005).

2.4.2 Persebaran

Indonesia merupakan habitat bagi sekitar 10% spesies penyu dan kura-kura air tawar dunia (Sheperd & Nijman 2007). Menurut Iskandar (2000) salah satu spesies kura-kura air tawar yaitu suku labi-labi merupakan kelompok kura-kura dengan penyebaran paling luas di dunia, karena suku labi-labi terdapat di semua benua walaupun keberadaannya di Australia hanya dalam bentuk fosil. Penyebaran secara luas meliputi Burma, Thailand, Indochina, Malaysia, Singapura, Borneo, Sumatera dan Jawa. Penyebaran labi-labi di Indonesia meliputi Kalimantan termasuk Kalimantan Barat, Sumatera, Jawa, Bali dan Lombok (Auliya 2007). Koch et al. (2008) menyebutkan bahwa di Pulau Sulawesi juga telah ditemukan labi-labi yang berasal dari sebuah danau di Sulawesi Tengah.

Hasil penelitian dan survei memberikan informasi bahwa labi-labi dapat ditemukan di tipe habitat perairan yang berbeda seperti di daerah hilir sungai di Jambi (Elviana 2000), sungai dan anak sungai di Kalimantan Timur (Kusrini et al.

2009) dan Kalimantan Barat (Lilly 2010), sungai dan rawa di Sumatera Selatan (Oktaviani 2008), rawa dan rawa gambut di dalam kawasan Taman Nasional Berbak di Jambi serta sungai kecil dan rawa gambut dalam areal perkebunan sawit di provinsi Riau (Mumpuni & Riyanto 2010). Survei yang dilakukan Mumpuni et al. (2011) di Sumatera Barat bahkan menemukan labi-labi di lokasi persawahan dekat ke pemukiman penduduk.


(44)

III.

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Provinsi Jambi

Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang terletak pada titik koordinat antara 0º45’-2º45’ LS dan 101º0’-104º55’BT. Luas wilayah keseluruhan provinsi ini adalah 53 435.72 km2 dengan luas daratan 51 000 km2, luas lautan 425.5 km2 dan panjang pantai 185 km.Wilayah administrasi Jambi terdiri dari 9 kabupaten dan 2 kota serta dialiri oleh Sungai Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Provinsi Jambi termasuk dalam kawasan segi tiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS-GT) dan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Provinsi Jambi di sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Riau, sebelah timur dengan Selat Berhala, sebelah selatan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu dan di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Wilayah Provinsi Jambi sebagian besar merupakan dataran rendah dengan karakter lahan pertanian basah dan kering terutama di bagian timur dan tengah, sementara bagian barat merupakan dataran tinggi yang didominasi kawasan lindung hutan nasional.


(45)

Kawasan ini beriklim basah dengan hujan hampir sepanjang tahun dan curah hujan tahunan sekitar 2 000–3 000 mm. Iklim di provinsi ini terdiri dari 8–10 bulan basah dengan rata-rata curah hujan 179-279 mm dan 2-4 bulan kering dengan rata-rata curah hujan 68-106 mm. Suhu udara rata-rata 25.9 °C – 27.4 °C, kelembaban udara 78-81% pada bulan Desember-Januari dan 73% pada bulan September, kecepatan angin 6.4 m/dt pada bulan Mei dan 10.3 m/dt pada bulan Januari.

Provinsi Jambi secara geologis memiliki tiga zona Pegunungan Barisan, yaitu Zona Daratan, Zona Perbukitan Timur dan Zona Rawa Payau Timur. Di daratan rendah Sungai Batanghari umumnya dipenuhi oleh aliran sedimen yang terdiri dari endapan-endapan halus yang terbawa melalui sungai terutama selama musim hujan serta di pantai endapan akibat arus laut sepanjang tahun. Provinsi Jambi memiliki beberapa daerah konservasi, yaitu di Kabupaten Kerinci yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 200 464 ha, daerah konservasi di Sarko (Sarolangun-Bangko) berupa hutan lindung, cagar biosfer dan taman nasional seluas 168 561 ha, di Kabupaten Bungo Tebo berupa hutan lindung, hutan wisata dan taman nasional seluas 93 605 ha, di Kabupaten Batang Hari berupa hutan lindung, hutan wisata, cagar alam, dan tahura seluas 58 630 ha, serta di Kabupaten Tanjung Jabung berupa hutan lindung, cagar alam, tahura, Taman Nasional Berbak seluas 87 370 ha.

Sungai Batanghari adalah sungai terbesar di Provinsi Jambi. Sungai Batanghari berasal dari Pegunungan Bukit Barisan dari dua lokasi sebagai awalnya sungai yaitu Danau Kerinci (Jambi) dari arah selatan menuju ke utara-timur menjadi Sungai Batang Tembesi dan Danau Kembar dari arah utara (Sumatera Barat) menuju selatan-timur yang menjadi Sungai Batanghari Hulu. Kedua sungai tersebut bertemu di Kota Muara Tembesi dan selanjutnya mengalir ke timur bernama Sungai Batanghari melewati Kota Jambi menuju laut di Selat Berhala. Topografi wilayah Sungai Batanghari bervariasi mulai datar hingga bergunung-gunung. Kelas lereng yang paling luas dan menyebar di wilayah Sungai Batanghari adalah sebagai berikut :

- Kelas lereng 9-15% = 1 329 937 Ha - Kelas lereng 16-25% = 902 362 Ha


(46)

25 - Kelas lereng 41-60% = 744 747 Ha

- Kelas lereng 2-8% = 37 702 Ha

Provinsi Jambi memiliki potensi lahan rawa seluas 252 983 hektar yang terdiri dari rawa pasang surut seluas 211 962 hektar dan rawa non pasang surut seluas 41 021 hektar. Potensi lahan rawa ini tersebar di 3 kabupaten yaitu Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi dengan luas rawa di masing-masing kabupaten tersebut berturut-turut 188 814 hektar, 53 469 hektar dan 10 700 hektar.

Danau-danau di Provinsi Jambi yang berfungsi konservasi adalah Danau Gunung Tujuh di Kabupaten Kerinci dan 5 danau lainnya di Kabupaten Merangin (Dipati Empat, Pauh, Kecil, Kembang dan Cermin). Provinsi Jambi sendiri memiliki 15 danau yang tersebar di 3 kabupaten dan Kota Jambi. Kabupaten Merangin merupakan kabupaten dengan jumlah danau terbanyak (Danau Dipati Empat, Pauh, Kecil, Kembang, Cermin), dan diikuti oleh Kabupaten Kerinci (Danau Kerinci, Gunung Tujuh, Lingkat, Belibis), Kota Jambi (Danau Sipin, Danau Teluk, Kenali) dan Kabupaten Muaro Jambi (Danau Sirih, Sarang Burung).

Penduduk Jambi terdiri dari Suku Anak Dalam, penduduk asli Jambi dari suku Melayu serta para pendatang. BPS Provinsi Jambi (2010) menuliskan tiga jenis lapangan usaha yang paling banyak ditekuni oleh penduduk Provinsi Jambi, berturut-turut yaitu pertanian, jasa dan perdagangan. Penelitian dilaksanakan di Provinsi Jambi dengan memilih Kota Jambi dan tujuh kabupaten terdiri dari Kabupaten Batang Hari, Sarolangun, Merangin, Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi.

3.2 Kabupaten Batang Hari

Kabupaten Batang Hari terletak diantara 1°15’-2°15’ Lintang Selatan dan 102°30’-104°30’ Bujur Timur dengan tingkat elevasi 92.67% wilayahnya terdiri dari dataran rendah dengan ketinggian 11-100 meter dpl, sementara 7.33% wilayahnya berada pada ketinggian 101-500 meter dpl. Kabupaten ini dilalui oleh dua sungai besar yaitu Sungai Batanghari (panjang sungai 176 750 km) dan Sungai Tembesi (panjang sungai 68 250 km). Batas-batas wilayah kabupaten adalah sebagai berikut :


(47)

-Timur : Kabupaten Muaro Jambi

-Selatan : Provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Sarolangun, dan Kabupaten Muaro Jambi

-Barat : Kabupaten Tebo (BPS Batang Hari 2010).

Sebagian besar lahan pertanian di Kabupaten Batang Hari digunakan untuk perkebunan, dengan komoditas utama yaitu sawit dan karet dan rumah tangga bermatapencaharian sebagai penangkap ikan di perairan umum (sungai) berjumlah 460 rumah tangga (BPS Batang Hari 2010).

3.3 Kabupaten Sarolangun

Kabupaten Sarolangun terletak pada titik koordinat antara 01° 53’39”-02°46’24” Lintang Selatan dan 102°03’39”-103°13’17” Bujur Timur. Luas wilayahnya mencapai 6 174 km2 dimana 85% merupakan dataran rendah. Batas-batas wilayah kabupaten ini adalah :

-Utara : Kabupaten Batang Hari

-Timur : Kabupaten Musi Rawas (Provinsi Sumatera Selatan) -Selatan : Kabupaten Rejang Lebong

-Barat : Kabupaten Merangin (BPS Kab. Sarolangun 2012)

Hasil Sensus Penduduk 2010 di Provinsi Jambi menunjukkan bahwa jumlah penduduk dari suku terasing Suku Anak Dalam sebanyak 3 198 jiwa tersebar di 6 kabupaten dan jumlah terbanyak ada di Kabupaten Sarolangun yaitu 1 095 jiwa (BPS Kab. Sarolangun 2012).

3.4 Kabupaten Muaro Jambi

Kabupaten Muaro Jambi terletak diantara 1°15’-2°20’ Lintang Selatan dan 103°10’-104°20’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 5 246 km2 dan rata-rata ketinggian tempat berada pada kisaran 10-80 meter dpl. Kabupaten ini terdiri dari 8 kecamatan yang seluruhnya dilintasi oleh sungai, dan Kecamatan Sungai Bahar merupakan kecamatan yang dilintasi oleh 5 sungai. Wilayah Kabupaten Muaro Jambi berbatasan dengan Kabupaten Batang Hari, Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Provinsi Sumatera Selatan (BPS Muaro Jambi 2010).


(48)

27 Penduduk Kabupaten Muaro Jambi pada umumnya bermatapencaharian di bidang perkebunan dengan komoditas terbanyak adalah sawit dan karet, disamping sejumlah komoditas perkebunan lainnya seperti kelapa hibrida dan kopi. Perkebunan kelapa sawit mempekerjakan 23 033 rumah tangga, sementara perkebunan karet 14 856 rumah tangga.

3.5 Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Kabupaten Tanjung Jabung Barat secara geografis terletak diantara 0° 53’-01°41’ Lintang Selatan dan 103°23’-104°21’ Bujur Timur. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 5 009.82 km2, rata-rata ketinggian tempat 3-70 meter dpl dan terdiri dari 13 kecamatan dengan batas-batas wilayah :

-Utara : Provinsi Riau

-Selatan : Kabupaten Batang Hari

-Barat : Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Tebo

-Timur : Selat Berhala dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (BPS Tanjung Jabung Barat 2010).

BPS Tanjung Jabung Barat (2010) menyebutkan bahwa penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Barat pada umumnya bermatapencaharian di bidang perkebunan dengan komoditas terbanyak adalah sawit dan karet, disamping sejumlah komoditas perkebunan lainnya seperti kelapa dan coklat.

3.6 Kabupaten Tanjung Jabung Timur

Kabupaten Tanjung Jabung Timur terletak diantara 0°53’-01°41’ Lintang Selatan dan 103°23’-104°31’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 5 445 km2. Ketinggian ibukota-ibukota kecamatan berkisar antara 1-5 meter dpl dengan batas-batas wilayah kabupaten sebagai berikut :

-Utara : Laut Cina Selatan

-Selatan : Kabupaten Muaro Jambi dan Provinsi Sumatera Selatan

-Barat : Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi -Timur : Laut Cina Selatan

(BPS Tanjung Jabung Timur 2010).

Penduduk Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada umumnya bermatapencaharian di bidang perkebunan dengan komoditas terbanyak adalah


(49)

kelapa dan sawit dengan luasan areal perkebunan masing-masing adalah 58 765 hektar dan 22 044 hektar, berbeda dengan kabupaten lain yang menjadikan sawit sebagai primadona komoditas perkebunannya. Jumlah petani yang menanam kelapa tercatat sebanyak 22 901 kepala keluarga (BPS Tanjung Jabung Timur 2010). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi wilayahnya yang berbatasan dengan laut sehingga lebih cocok untuk ditanami kelapa. Sebagian penduduk juga mengolah lahan pertanian dengan jenis tanaman padi (sawah dan ladang) dan beberapa jenis tanaman palawija lainnya.

3.7 Kota Jambi

Wilayah Kota Jambi secara geografis terletak diantara 01°30’2,98”-01°7’1,07” Lintang Selatan dan 103°30’1,67”-103°40’0,22” Bujur Timur dengan kisaran ketinggian tempat antara 10-60 m dpl (Bappeda Kota Jambi 2012). Kota Jambi memiliki daerah rawa yang terdapat di sekitar aliran Sungai Batanghari yang membelah Kota Jambi menjadi dua bagian disisi utara dan selatan.

Mayoritas penduduk di Kota Jambi merupakan suku Melayu Jambi yang hidup bersama dengan penduduk dari suku-suku Aceh, Banjar, Batak, Bugis, Flores, Jawa, Padang, Palembang, Papua, Sunda dan juga warga-warga keturunan (Arab, India dan Tionghoa) (Pemkot Jambi 2007). Masyarakat Kota Jambi mayoritas (87%) memeluk agama Islam dan sebanyak 35.62% penduduknya menekuni pekerjaan di bidang perdagangan, hotel dan restaurant. Masyarakat Kota Jambi juga menekuni pekerjaan di bidang perikanan yang tercermin dari data berbagai jenis alat tangkap ikan yang digunakan serta jumlah perahu penangkap ikan yang mencapai 612 unit. Produksi ikan dari perairan umum (sungai, rawa dan danau) pada tahun 2009 mencapai angka 348 ton (BPS Kota Jambi 2009).


(50)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di Provinsi Jambi dan Jakarta dengan rincian lokasi : 1. Lokasi habitat alami labi-labi di Kota Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten

Muaro Jambi, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (lihat peta pada halaman 19).

2. Lokasi pemotongan labi-labi di Kota Jambi dan Pasar Glodok Jakarta.

3. Lokasi pengukuran populasi panenan labi-labi di pengumpul dan pedagang besar di Kota Jambi, Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Bungo.

Penelitian dilakukan selama bulan April 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 yang meliputi pengumpulan data pemanenan, pengukuran morfometri dan parameter biologi selama ±14 minggu di Jambi. Pengukuran parameter biologi dilakukan di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2012 dan 20 Juli 2012. Pengumpulan data di Jambi selama kurun waktu tersebut dilakukan pada saat musim penghujan.

4.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: peta tubuh air Provinsi Jambi, Global Positioning System (GPS), termometer digital dengan nilai ketelitian 0.1, stopwatch, secchi-disk, jangka sorong/caliper dengan ketelitian 0.01 mm, kertas pH meter skala 4–7 dengan interval nilai 0.3, kamera digital, mata pancing berikut tali pancing, timbangan digital (portable electronic scale) dengan ketelitian 0.01 kg, timbangan duduk digital dengan ketelitian 0.01 kg, timbangan duduk dengan ketelitian 0.1 kg, pita meter dengan ketelitian 0.01 m, kertas label, stempel dan satu seri blanko tallysheet.

4.3 Penentuan Unit Contoh

4.3.1 Tata Niaga Labi-labi

Para pelaku dalam tata niaga labi-labi di Jambi diidentifikasi dengan menggunakan metode snowball sampling. Data pedagang besar diperoleh dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, dan berdasarkan informasi para pedagang besar tersebut diperoleh informasi pelaku pengumpul


(1)

(2)

(3)

curah hujan di satu pedagang besar di Kota Jambi

Correlations

Jumlah_labi Curah_hujan Spearman's rho Jumlah_labi Correlation Coefficient 1,000 ,361

Sig. (2-tailed) . ,084

N 24 24

Curah_hujan Correlation Coefficient ,361 1,000


(4)

Lampiran 5 Hasil uji Kruskal Wallis untuk morfometri labi-labi di pedagang

besar

Test Statisticsa,b

PLK LLK Massa

Chi-Square 86,619 77,145 81,668

Df 6 6 6

Asymp. Sig. ,000 ,000 ,000

a. Kruskal Wallis Test


(5)

ditebarkan pancing

Test Statisticsa

ketinggian suhu_air pH_air kedalaman kec_arus kecerahan warna_air tipe_substrat penutupan_lahan

Most Extreme Differences Absolute ,277 ,182 ,170 ,292 ,265 ,189 ,057 ,068 ,076

Positive ,004 ,182 ,072 ,038 ,265 ,148 ,008 ,027 ,076

Negative -,277 -,114 -,170 -,292 ,000 -,189 -,057 -,068 -,004

Kolmogorov-Smirnov Z 1,160 ,763 ,715 1,224 1,112 ,795 ,238 ,286 ,318

Asymp. Sig. (2-tailed) ,136 ,606 ,686 ,100 ,168 ,553 1,000 1,000 1,000


(6)

Lampiran 7 Hasil uji Kolmogorov-Smirnov pada sembilan peubah biofisik habitat labi-labi di Provinsi Jambi untuk kategori lokasi

ditemukannya labi-labi

Test Statisticsa

ketinggian suhu_air pH_air kedalaman kec_arus Kecerahan warna_air tipe_substrat penutupan_lahan

Most Extreme Differences Absolute ,440 ,381 ,369 ,333 ,262 ,333 ,262 ,036 ,119

Positive ,440 ,107 ,369 ,333 ,024 ,333 ,000 ,036 ,000

Negative -,119 -,381 ,000 -,071 -,262 -,238 -,262 -,036 -,119

Kolmogorov-Smirnov Z 1,042 ,901 ,873 ,789 ,620 ,789 ,620 ,085 ,282

Asymp. Sig. (2-tailed) ,227 ,391 ,431 ,562 ,837 ,562 ,837 1,000 1,000


Dokumen yang terkait

Studi Habitat dan Beberapa Aspek Biologi Kura-kura Belawa (Amyda cartilaginea Boddaert) di Desa Belawa, Kecamatan Sedong, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

0 13 62

Pertumbuhan Juvenil Labi-labi, Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) (Reptilia: Testudinata: Trionychidae) Berdasarkan Pemberian Jenis Pakan Yang Berbeda, Dalam Upaya Domestikasi Untuk Menunjang Konservasi Di Desa Belawa, Kabupaten Cirebon

1 11 88

Distribution of Population and Habitat Characteristics of Long-tailed macaques in Gunung Merapi National Park

0 17 92

Conservation Of The Asiatic Soft-Shell Turtle Amyda Cartilaginea (Boddaert, 1770) In The Belawa Village, Lemah Abang District, Cirebon, West Java

3 18 93

Trades, Habitat Charactesictics And Demographyc Parameters Of Harvested Reticulated Pythons (Python Reticulatus Scheider 1801) In Central Kalimantan Province

0 3 291

Characteristic of Catchment Habitat and Demographic Parameter of Harvested Population of Amyda cartilaginea (Boddaert 1770) in Central Kalimantan Province

1 27 227

Trading System, Demographic Parameters, and Habitat Characteristics of Javan Spitting Cobra (Naja sputatrix Boie 1827) in East Java Province

1 8 215

Pemeliharaan Labi-labi (Amyda cartilagínea Boddaert, 1770) dan Uji Coba Preferensi Pakan Anakan di Penangkaran PT. Ekanindya Karsa, Kabupaten Serang

0 8 95

Study of Population and Habitat Lesser Adjutant

0 1 9

Characteristics of nesting habitat of sea turtle Lepidochelys olivacea in Lhoknga Beach, Aceh Besar District, Indonesia

0 0 8