Trading System, Demographic Parameters, and Habitat Characteristics of Javan Spitting Cobra (Naja sputatrix Boie 1827) in East Java Province

(1)

TATA NIAGA, PARAMETER DEMOGRAFI

DAN KARAKTERISTIK HABITAT

ULAR SENDOK

Naja sputatrix

(Boie. 1827)

DI PROVINSI JAWA TIMUR

PARJONI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Tata Niaga, Parameter Demografi dan Karakteristik Habitat Ular Sendok Naja sputatrix (Boie 1827) di Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2012 Parjoni NIM. E353109025


(3)

ABSTRACT

PARJONI. Trading System, Demographic Parameters, and Habitat Characteristics of Javan Spitting Cobra (Naja sputatrix Boie 1827) in East Java Province. Under supervised by YANTO SANTOSA and NANDANG PRIHADI.

Spitting cobra (Naja sputatrix Boie 1827) has been harvested and traded in local and international market, yet there was still no suficient data concerning its population and habitat. The main purposes of this research was to analyze the trading system, demographic parameters, morphometry and habitat characteristics of spitting cobra in East Java Province. The actors involved in the trading systems functioning as harvesters, collector, sub agen, agents, and also domestic users which likely had no allegiance between them and very much influenced by the market. Morphometrics measurement of the speciments, showed that male snakes had a longer bodysize compare to females, SVL were 999,2 cm and 998,9 cm respectively,which 81,90% of total harvested speciments were adult spitting cobras. The females dominated the harvested population of all trade actors, up to 90,54%, this might be an effect of harvesting pattern where the harvesters conducted catching outside the nests. Such pattern would be a threat for the population of the snake. Spitting cobras had no habitat preference and could easily adapted with different kinds of environment.

Keyword: Javan spitting cobra, trading system, morphometry, habitat characteristics, harvest.


(4)

RINGKASAN

PARJONI. Tata Niaga, Parameter Demografi, Morfometri, Panenan dan Karakteristik Habitat Ular Sendok Naja sputatrix (Boie, 1827) di Provinis Jawa Timur. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan NANDANG PRIHADI.

Ular sendok (Naja sputatrix (Boie, 1827) termasuk satwaliar yang seluruh angota tubuhnya telah dimanfaatkan sebagai kerajinan (kulit), bahan makanan (daging) dan obat tradisional (empedu dan racun). Untuk mengendalikan pemanenan dari alam pemerintah menetapkan kuota, karena sejak tahun 1990 ular sendok termasuk dalam daftar Appendix II CITES. Kuota pemanenan ular sendok sebanyak 150.000 ekor setiap tahun sejak 2010 – 2012 untuk Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dan pemanenannya berasal dari alam. Pemanenan ular sendok masih hanya mempertimbangkan perhitungan ekonomi tanpa mempertimbangan aspek ekologi dan lingkungannya. Penurunan populasi di alam mungkin saja terjadi oleh pemanenan berlebihan dan pengurangan habitat akibat perubahan fungsi, antara lain perubahan sawah dan hutan menjadi pemukiman dan industri. Tujuan utama penelitian untuk menganalisa tata niaga, parameter demografi, panenan, morfometri dan karakteristik habitat ular sendok.

Pengambilan data dilakukan pada wilayah Jawa Timur dan wilayah pengambilan datanya dibedakan berdasarkan jenis datanya. Data habitat diambil pada Kabupaten Nganjuk, Bojonegoro, Probolinggo dan Malang, sedangkan untuk data morfometrik diperoleh dari pengukuran ular sendok pada penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah di Kabupaten Nganjuk, Bojonegoro, Tuban, Sidoarjo, Gresik, Probolinggo, Malang, Bondowoso dan Banyuwangi. Pengumpulan data tata niaga dilakukan dengan wawancara pada penangkap, agen/sub agen, pengumpul daerah, pengumpul besar/eksportir dan pengguna domestik. Data morfometrik diperoleh dengan mengukur peubah Snout-Vent-Length (SVL), panjang ekor, jarak kedua mata, panjang total dan massa tubuh. Pengukuran peubah karakteristik habitat dilakukan pada sekitar sarang ditemukan yang meliputi suhu udara, kelembaban udara, ketinggian tempat, pH tanah, kelembaban tanah, jenis tanah, jarak sarang dari pemukiman dan jarak sarang dari sumbera air. Pengolahan data menggunakan uji beda (uji median, uji Kolmogorov-Smirov, Mann-Whitney) dan analisis deskriptif.

Pelaku tata niaga ular sendok terdiri atas penangkap/pemburu, agen/sub agen, pengumpul daerah, pengumpul besar (eksportir) dan pengguna domestik. Penangkap/pemburu merupakan orang yang mengambil/memanen ular sendok dari alam yang dalam proses pemanenannya menggunakan 2 pola, yaitu dengan membongkar sarang dan menangkap ular saat diluar sarang. Penangkap ular terdiri dari penangkap profesional dan sambilan. Penangkap profesional mempunyai pengetahuan khusus tentang perilaku ular sendok dan rata-rata lebih dari 10 tahun menjadi penangkap ular. Agen/sub agen adalah orang yang menjembatani antara penangkap dengan pengumpul daerah. Jumlah agen/sub agen di Jawa Timur sebanyak 78 orang. Pengumpul daerah merupakan badan usaha yang membeli ular sendok dari penangkap dan agen/sub agen yang kemudian mengolah menjadi kulit dan daging sebagai komoditi ekspor dan empedu untuk obat tradisional pada pasar domestik. Jumlah pengumpul daerah di Jawa Timur


(5)

tangkap dan 23 perusahaan memiliki ijin edar dalam negeri. Pengumpul besar/eksportir merupakan perusahaan yang menampung/membeli olahan ular sendok untuk di eksport ke luar negeri. Pengguna domestik memanfaatkan ular sendok sebagai bahan makanan, obat tradisional dan atraksi budaya. Pelaku tata niaga tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, sehingga setiap pelaku dapat menjual ular sendok kepada pelaku lain yang memberikan harga tinggi. Namun pada beberapa perusahaan yang merupakan satu induk perusahaan mempunyai kerjasama dalam pemenuhan pesanan dari pasar internasional. Harga pada pasar domestik lebih tinggi daripada harga yang pada lingkup agen/sub agen dan pengumpul daerah. Harga ular sendok sebagai komoditi eksport ditentukan berdasarkan kelas ukuran panjang.

Pengukuran morfometrik terhadap 232 ekor ular sendok pada penangkap, agen/sub agen dan pengumpul terdiri dari dewasa mencapai 210 ekor (90,54%) dan muda sebanyak 22 ekor (9,48%), hal ini mengindikasikan bahwa pemanenan ular dari alam dikendalikan oleh pasar. Jumlah ular betina sebanyak 190 ekor (81,90%) memberikan gambaran bahwa dalam penangkapan ular di habitatnya dilakukan dengan menangkap ular yang berada di luar sarang atau tidak membongkar sarangnya. Pengujian terhadap morfometri ular sendok pada tingkat penangkap dan agen/sub agen memberikan gambaran bahwa penangkap dan agen/sub agen menginginkan ular sendok ukuran SVL >90 cm yang sangat diinginkan oleh pasar intermasional. Uji morfometrik pada pengumpul daerah menunjukkan bahwa pengumpul daerah menerima semua kelas ukuran. Hasil uji morfometrik pada penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah memberikan informasi bahwa pelaku tata niaga menginginkan kelas ukuran yang diinginkan oleh pasar internasional yaitu yang mempunyai SVL >90 cm. Panenan pada tingkat agen/sub agen mencapai 93.600 ekor, jumlah panenan pada pengumpul daerah sebesar 71.280 ekor dan ada indikasi sejumlah 22.230 ekor yang dijual ke pasar domestik/pengumpul daerah di luar Provinsi Jawa Timur.

Sarang ular sendok di Jawa Timur menempati habitat sawah, ekoton (batas sawah dengan hutan jati), kebun masyarakat, hutan jati, pemukiman dan rel kereta api. Suhu permukaan tanah di sekitar sarang seluruh habitat mempunyai rentang antara 28⁰C hingga 50⁰C dan frekuensi paling tinggi berada pada selang antara antara 35⁰C hingga 40⁰C. Rentang kelembaban permukaan tanah sekitar sarang antara 34% sampai 79% dan frekuensi paling tinggi berada pada selang 50% sampai 64%. Ketinggian lokasi ditemukan sarang berada antara 0-371 m dpl, pada wilayah Kabupaten Probolinggo berada pada ketinggian 0-11 m dpl, Kabupaten Nganjuk dan Bojonegoro berada pada ketinggian 43-80 m dpldan Kabupaten Malang berada pada ketinggian 325-371 m dpl. Kadar keasaman tanah (pH) secara keseluruhan berada pada kondisi netral (nilai 7). Sarang ular sendok ditemukan pada jenis tanah alluvial kelabu, alluvial kelabu tua, alluvial hidromorf, grummusol kelabu tua dan regosol coklat vulkan, sarang banyak ditemukan pada jenis tanah alluvial kelaabu tua sebanyak 55 sarang. Kelembaban tanah pada sarang ular sendok menyebar pada kondisi kering, lembab dan basah, sarang paling banyak berada pada tanah yang lembab sebanyak 50 sarang. Jarak sarang ular sendok dengan pemukiman paling tinggi berada pada jarak kurang dari 500 m, hal ini disebabkan ular mengikuti tikus (satwa mangsa ular sendok) yang


(6)

melakukan pergerakan ke dekat pemukiman pada saat bera. Sarang ular sendok banyak ditemukan pada jarak kurang dari 500 m dari sumber air, hal ini berhubungan dengan satwa mangsa ular yang lebih menyukai bersarang dekat dengan air.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masala;, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

TATA NIAGA, PARAMETER DEMOGRAFI

DAN KARAKTERISTIK HABITAT

ULAR SENDOK

Naja sputatrix

(Boie. 1827)

DI PROVINSI JAWA TIMUR

PARJONI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(9)

(10)

(11)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Tercinta

Almamater Kampus Institut Pertanian Bogor

Terhormat

Bapak Kasim (Alm) dan Ibu Kalimatun

Terkasih

Marlina Fajaryani (istri)

Tersayang

Ariq Nur Wicaksono (anak) Abid Nur Wibisono (anak) Adila Nur Widyanastiti (anak)


(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kemudahan dan kelancaran yang diberikan dalam penyusunan tesis ini. Tesis yang berjudul Tata Niaga, Parameter Demografi dan Karakteristik Habitat Ular Sendok Naja sputatrix (Boie 1827) di Provinsi Jawa Timur ini merupakan syarat dalam penyelesaian studi Program Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, MSc selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Kehutanan yang telah memberikan bantuan beasiswa selama menjalankan studi dan Bapak George selaku Ketua IRATA yang telah memberikan bantuan dana penelitian dan Bapak Ir. Ludvie Achmad dan jajaran Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur, serta berbagai pihak yang telah membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, istri dan anak-anak tercinta, serta kakak adik teman-teman KKH 2010 yang memberikan

dorongan semangat dan do’a.

Semoga hasil tugas akhir ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2012 Penulis


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 31 Desember 1971 sebagai anak kelima dari enam bersaudara pasangan Kasim (Alm) dan Kalimatun.

Pada tahun 1979-1985 penulis mengenyam pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Cangkring II dan pada tahun 1985-1988 melanjutkan pendidikan di SMP Negeri II Perak di Jombang. Pada tahun 1989-1992 penulis melanjutkan pendidikan pada SKMA Samarinda dan setelah menyelesaikan pendidikan langsung bertugas di Kantor Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Jambi. Pada tahun 1994 penulis bertugas di Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propinsi Jambi dan pada tahun 1997 mendapat beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan Diploma III yang dilanjutkan menjadi Diploma IV pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis bertugas pada Kantor Balai Taman Nasional Kerinci Seblat. Pada tahun 2007 mendapatkan amanah jabatan sebagai Kepala Subbagian Data, Evaluasi Pelaporan dan Hubungan Masyarakat pada Balai Besar Taman Nasional Kerinci Seblat. Pada tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Untuk memperoleh gelar magister profesi, penulis menyelesaikan tesis yang berjudul Tata Niaga, Parameter Demografi dan Karakteristik Habitat Ular Sendok Naja sputatrix (Boie 1827) di Provinsi Jawa Timur dibawah bimbingan Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA dan Dr. Nandang Prihadi, S.Hut, MSc.


(14)

[i]

DAFTAR ISI

No Halaman

DAFTAR ISI ……… ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ……. ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Taksonomi dan Biologi Ular Sendok ... 5

2.2. Tata Niaga ... 6

2.3. Parameter Demografi ... 8

2.4. Morfometri ... 10

2.5. Panenan ... 10

2.6. Karakteristik Habitat ... 12

III. KONDISI UMUM LOKASI ... 15

3.1. Provinsi Jawa Timur ... 15

3.2. Kabupaten Nganjuk ... 16

3.3. Kabupaten Bojonegoro ... 17

3.4. Kabupaten Probolinggo ... 18

3.5. Kabupaten Malang ... 18

IV. METODE PENELITIAN ... 21

4.1. Waktu ... 21

4.2. Alat dan Bahan ... 21

4.3. Metode Pengambilan Data ... 21

4.3.1. Tata Niaga ... 21

4.3.2. Parameter Demografi ... 22

4.3.3. Morfometri ... 22

4.3.4. Panenan ... 23

4.3.5. Karakteristik Habitat ... 23

4.4. Metode Analisa Data ... 25

4.4.1. Tata Niaga ... 25

4.4.2. Parameter Demografi ... 25

4.4.3. Morfometri ... 25

4.4.4. Panenan ... 27

4.4.5. Karakteristik Habitat ... 27

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

5.1. Tata Niaga ... 29

5.1.1. Pelaku Tata Niaga Ular Sendok ... 29

5.1.2. Alur Tata Niaga Ular Sendok ... 35


(15)

[ii]

5.2. Parameter Demografi ... 39

5.3. Morfometri ... 41

5.4. Panenan ... 45

5.5. Karakteristik Habitat ... 49

5.5.1. Kabupaten Nganjuk ... 50

5.5.2. Kabupaten Bojonegoro ... 52

5.5.3. Kabupaten Probolinggo ... 57

5.5.4. Kabupaten Malang ... 60

5.5.5. Peubah-Peubah Karakteristik Habitat Ular Sendok ... 64

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 75

6.1. Simpulan ... 75

6.2. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(16)

[iii]

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta Wilayah Provinsi Jawa Timur ... 15

2. Alur tata niaga ular sendok ... 36

3. Penjualan ular sendok pada pengumpul daerah ... 48

4. Penangkap sedang menggali sarang ular sendok di kebun jati (A) dan pematang sawah (B), serta hasil tangkapan ular sendok ... 49

5. Peta lokasi pengamatan ular sendok di Kabupaten Nganjuk... ... 50

6. Peta lokasi pengamatan ular sendok di Kabupaten Bojonegoro ... 53

7. Peta pengamatan sarang ular sendok di Kabupaten Probolinggo ... 60

8. Peta wilayah pengamatan sarang ular sendok di Kabupaten Malang ... 61

9. Diagram sebaran data frekuensi suhu keberadaan sarang ular sendok .... 65

10. Ular sendok mempunyai kulit berwarna hitam (A) dan lebih terang/kuning kecoklatan ... 66

11. Diagram sebaran data frekuensi kelembaban keberadaan sarang ular sendok ... 67

12. Diagram sebaran data frekuensi ketinggian tempat keberadaan sarang ular sendok ... 68

13. Diagram sebaran data frekuensi jenis tanah keberadaan sarang ular sendok ... 69

14. Diagram sebaran data frekuensi kelembaban tanah keberadaan sarang ular sendok ... 70

15. Diagram sebaran data frekuensi jarak keberadaan sarang ular sendok dari pemukiman... 71

16. Diagram sebaran data frekuensi jarak keberadaan sarang ular sendok dari sumber air ... 72


(17)

(18)

[v]

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Kelas umur ular sendok yang terkumpul penangkap, agen dan

pengumpul daerah……….. ... 39

2. Jenis kelamin ular sendok yang terkumpul penangkap, agen dan pengumpul daerah ………. ... 40

3. Hasil analisis morfometri pada penangkap……… ... 42

4. Hasil analisis morfometri pada agen ... 42

5. Hasil analisis morfometri pada pengumpul daerah ... 43

6. Hasil analisa morfometri pada penangkap, agen dan pengumpul daerah………… ... 44

7. Hasil analisis morfometri ular sendok pada penangkap, agen dan pengumpul daerah berdasarkan jenis kelamin ... 44

8. Jumlah panenan pengumpul daerah di Jawa Timur ... 45

9. Jumlah panenan pada agen/sub agen di Jawa Timur ... 46

10. Hasil analisis habitat tangkap/sarang ular sendok di sawah ... 51

11. Hasil analisis sarang ular sendok di habitat ekoton ………. ... 54

12. Hasil analisis sarang ular sendok di habitat kebun jati ... 55

13. Hasil analisa sarang ular pada habitat ekoton dengan dengan sarang ular pada habitat sawah ... 56

14. Hasil analisa sarang ular pada habitat ekoton dengan sarang ular pada habitat hutan jati ... 56

15. Hasil analisis sarang ular sendok di habitat sawah ... 58

16. Hasil analisa sarang ular pada habitat sawah dengan habitat pemukiman ... 59

17. Hasil analisis sarang ular sendok di habitat sawah ... 62

18. Hasil analisis sarang ular pada habitat sawah dengan habitat kebun masyarakat ... 63

19. Hasil analisis sarang ular pada habitat sawah dengan habitat jalur kereta api ... 64


(19)

(20)

[vii]

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Hasil uji median morfometri pada penangkap dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19……….. ... 81 2. Hasil uji median morfometri pada agen dengan menggunakan

perangkat lunak SPSS 19………. ... 82 3. Hasil uji median morfometri pada pengumpul daerah dengan

menggunakan perangkat lunak SPSS 19……… ... 83 4. Hasil uji median morfometri pada penangkap, agen dan pengumpul

daerah dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19 ... 84 5. Hasil uji Komogorov-Smirnov morfometri pada penangkap, agen dan

pengumpul daerah dengan berdasarkan jenis kelamin kelamin dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 85 6. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang yang ada ular dalamnya dengan

sarang tidak ada ular didalamnya pada habitat sawah di Kabupaten Nganjuk dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. .. 86 7. Hasil uji Mann-Whitney sarang yang ada ular dalamnya dengan sarang

tidak ada ular didalamnya pada habitat ekoton di kabupaten Bojonegoro dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 87 8. Hasil uji Mann-Whitney sarang yang ada ular dalamnya dengan sarang

tidak ada ular didalamnya pada habitat kebun jati di Kabupaten Bojonegoro dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 88 9. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang ular sendok pada habitat ekoton

dengan habitat sawah di Kabupaten Bojonegoro dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 89 10. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang ular sendok pada habitat ekoton

dengan habitat hutan jati di Kabupaten Bojonegoro dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 90 11. Hasil uji Mann-Whitney sarang ada ular sendok didalamnya dengan

sarang tidak ada ular didalamnya pada habitat sawah di Kabupaten Probolinggo dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19 ... 91 12. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang ada ular sendok pada habitat

sawah dengan habitat pemukiman di Kabupaten Probolinggo dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 92 13. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang ada ular didalamnya dengan

sarang tidak ada ular didalamnya pada habitat sawah di Kabupaten Malang dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. .... 93


(21)

[viii]

14. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang pada habitat sawah dengan kebun masyarakat di Kabupaten Malang dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 94 15. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang pada habitat sawah dengan

habitat jalur rel kereta api di Kabupaten Malang dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19………. ... 95 16. Rekapitulasi Pengukuran Peubah Morfometri ………. ... 96


(22)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ular sendok (Naja sputatrix Boie 1827) telah dimanfaatkan sebagai komoditi ekspor berupa kulit dan satwa hidup. Tahun 1983-1999 ekspor ular sendok mencapai rata-rata 121.039 ekor per tahun berupa kulit dan ular hidup. Tujuan ekspor kulit adalah Singapura (43,18%), Meksiko (22,41%), Hongkong (14,00%), Amerika Serikat (10,14%) dan negara lainnya (10,27%), sedangkan negara tujuan ekspor ular sendok masih hidup adalah China (55,05%), Amerika Serikat (24,47%), Hongkong (18,55%) dan negara lainnya (1,93%) (Mardiastuti & Soehartono 2003). Pemanfaatan ular sendok mencakup hampir seluruh bagian tubuh yaitu untuk bahan makanan, obat, dan kulit yang mempunyai nilai yang cukup tinggi untuk ekspor dan pemenuhan kerajinan kulit telah mendorong untuk melakukan pemanenan di alam (Iskandar & Erdelen 2006)

Ular sendok termasuk dalam daftar Appendix II CITES sejak tahun 1990, yaitu jenis satwa yang populasinya di alam saat ini belum terancam bahaya kepunahan, namun dapat menjadi terancam apabila perdagangannya tidak terkendali. Upaya pengendalian penangkapan/pengambilan ular sendok dari alam adalah dengan menetapkan kuota, yaitu batas maksimun ukuran/satuan satwa yang dapat dimanfaatkan selama setahun. Kementerian Kehutanan pada tahun 2010 memberikan kuota tangkap ular sendok sebanyak 150.000 ekor (149.500 ekor untuk diambil kulitnya dan 500 ekor untuk peliharaan/pet). Tahun 2011 dan 2012 jumlah kuota tangkap ular sendok jumlahnya sama dengan tahun 2010 untuk Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kemenhut 2010a, 2010b, 2011). Pada tahun 2012 Jawa Timur mendapatkan kuota tangkap ular sendok sebanyak 50.000 ekor untuk kulit dan 200 ekor untuk pet (Kemenhut 2011). Pemanenan lestari merupakan jumlah terbesar sumberdaya satwaliar yang dapat dipanen setiap tahunnya melalui pertumbuhan populasi alamiah dapat terbarukan tanpa mengganggu populasinya. Kenyataan pemanenan secara lestari sulit dilakukan, hal tersebut hanya dapat dilakukan pada situasi yang terkontrol (Indrawan et al 2007). Pemanenan satwaliar hingga saat ini masih mengambil dari


(23)

alam dan berdasarkan perhitungan-perhitungan ekonomi, tanpa memperhatikan kepentingan ekologi dan lingkungan (Dit.KKH 2010). Permasalahan utama dalam perdagangan reptil adalah belum tersedianya data populasi di alam dan data perkembangan populasi yang digunakan sebagai dasar penentuan kuota (Mardiastuti & Soehartono 2003). Kuota ditetapkan berdasarkan realisasi pemanenan pada tahun sebelumnya, padahal untuk menjamin populasi yang lestari laju pemanenan harus sama dengan laju pertumbuhan maksimum. Untuk mengetahui laju pertumbuhan perlu didukung data parameter demografi dan faktor-faktor habitat.

Beberapa faktor lingkungan sangat mempengaruh habitat satwaliar dan faktor-faktor lingkungan tersebut saling berhubungan berdasarkan ruang dan waktu (Bailey 1984). Menurut Alikodra (2010) bahwa populasi satwaliar sangat dipengaruhi perkembangan habitat, hal ini karena satwaliar memerlukan habitat untuk tempat hidup dan berkembang biak. Pengurangan jumlah habitat akibat konversi antara lain hutan menjadi lahan pertanian, bahkan kawasan hutan dan lahan pertanian menjadi pemukiman dan industri telah menyumbang penurunan populasi.

Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian parameter demografi dan karakteristik habitat perlu dilakukan. Mengingat tata niaga juga mempengaruhi dalam pemanen ular sendok dari alam, maka para pelaku, alur tata niaga dan harga dilakukan penelitian.

1.2. Perumusan Masalah

Populasi satwaliar pada kondisi lingkungan yang tidak terganggu akan mampu menjaga keseimbangannya melalui proses kematian dan kelahiran yang terjadi secara alami dalam populasi tersebut. Ular sendok merupakan satwaliar yang mempunyai nilai komersil dan telah dimanfaatkan oleh manusia. Pemanenan dalam koridor kelestarian apabila dilakukan secara terkendali, yaitu pemanenan dilakukan tidak melebihi dari laju pertumbuhan. Pemanfaatan yang dilakukan secara besar-besaran atau tidak terkendali akan mengakibatkan ketidakseimbangan populasi di alam. Pemanenan dengan konsep kelestarian ini membutuhkan data dan informasi tentang demografi, ekologi dan biologi dari


(24)

3

satwaliar tersebut. Data demografi, ekologi dan biologi ular sendok masih sangat minim sehingga masih belum bisa memberikan informasi akan panenan lestari. Pemanenan ular sendok dilakukan berdasarkan regulasi yang diharapkan dapat menjadi kontrol dilapangan, tetapi belum menjamin dilakukannya pemanenan lestari.

Data mengenai parameter demografi, panenan dan morfometri dapat memberikan gambaran secara jelas tentang kelas umur, jenis kelamin dan ukuran ular sendok yang dipanen dari alam dan yang diinginkan pasar. Tata niaga ular sendok dapat menggambarkan secara rinci pelaku dan hal-hal yang mempengaruhi dalam tata niaga tersebut, misalnya harga. Informasi karakteristik habitat dapat menjelaskan secara jelas akan habitat ular sendok, sebagai data utama dalam upaya konservasi.

Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan menganalisa tata niaga, menduga parameter demografi, dan panenan, morfometri dan karakteristik habitat ular sendok di Jawa Timur melalui pengamatan dan pengukuran morfometri ular sendok pada tingkat penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah. Informasi tentang pelaku dan alur tata niaga diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap penangkap, agen/sub agen, pengumpul daerah dan pengumpul besar/eksportir. Data karakteristik habitat diperoleh dengan mengikuti penangkap ular dalam mencari/memburu ular sendok di alam dan mengukur dan mengamati sarang yang ditemukan.

1.3. Tujuan

1) Mendeskripsikan dan menganalisa pelaku dan alur tata niaga ular sendok. 2) Menduga dan menganalisa parameter demografi.

3) Menduga dan menganalisa panenan ular sendok di agen/sub agen dan pengumpul daerah.

4) Mengukur dan menganalisa morfometri ular sendok di penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah.

5) Mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor karakteristik habitat ular sendok.


(25)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai data dan informasi awal tentang tata niaga, parameter demografi, panenan, morfometri dan habitat ular sendok. Data dan informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan untuk pemanenan ular sendok dari alam secara lestari dan upaya-upaya konservasi ular sendok dimasa mendatang, termasuk upaya penangkaran.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Taksonomi dan Biologi Ular Sendok

Menurut Hoser (2009) bahwa ular sendok (Naja sputatrix Boie 1827) secara taksonomi termasuk Kelas Reptilia, Ordo Squamata, Sub Ordo Serpentes, Famili Elapidae dan Genus Naja. Dalam genus Naja terdapat 11 spesies kobra yaitu: Naja naja (Linnaeus 1758), Naja kaouthia Lesson 183, Naja siamensis Laurenti 1768, Naja sputatrix Boie 1827, Naja samarensis Peters 1861, Naja atra Cantor 1842, Naja sumatrana Muller 1890, Naja philippinensis Taylor 1922, Naja mandalayensis Slowinski and Wüster 2000, Naja oxiana (Eichwald 1831), Naja sagittifera Wall 1913 (Hoser, 2009). Sebaran genus Naja di Asia meliputi: Naja naja tersebar di India dan sekitarnya, Naja oxiana tersebar di Asia tengah antara laut Kaspia sampai India Utara, Naja Kaothia tersebar India Utara, Malaysia, Vietnam dan Pulau Andaman, Naja atra tersebar dari China hingga Thailand, Naja sumatrana tersebar di Semenanjung Melayu dan beberapa daerah di katulistiwa Indonesia (Sumatera dan Kalimantan) dan Palawan, Naja sputatrix tersebar di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumabawa, Fores dan Alor, Naja samarensis tersebar di Kepulauan Philipina bagian selatan meliputi Mindanao, Samar, Leyte, Bohol dan Camiguin dan Naja philipinensis tersebar di Kepulauan Philipina bagian utara meliputi Luzon, Mindoro, Masbate, dan Marinduque (Wuster & Thorpe 1991).

Ular sendok mempunyai warna punggung hitam dengan warna perut biru keabu-abuan dan warna keputih-putihan pada leher, bibir dan moncongnya (Supriatna, 1995). Telur ular sendok betina mencapai 20-25 butir dan saling berlekatan satu dengan yang lain sehingga sulit untuk dipisahkan. Induk ular sendok meletakkan telur-telur tersebut pada sarang/lubang dan akan terus berada di sekitar sarang hingga telur menetas. Ular sendok yang baru menetas mempunyai warna kepala putih dan menunjukkan sikap yang agresif (Hoesel 1959). Pada lokasi bagian timur Provinsi Jawa Timur warna punggung ular sendok cenderung berwarna terang, yaitu coklat kekuningan. Panjang ular sendok dapat mencapai 250 cm.


(27)

Ular sendok sangat mudah dikenali, yaitu bila dalam kondisi marah atau merasa terancam maka akan mengembangan leher dan menegakkan tubuhnya. Kebiasaan lain ular tersebut adalah menyemburkan bisanya ke muka mangsanya. Bila bisa tersebut mengenai mata akan menyebabkan kebutaan sementara, tetapi dapat disembuhkan dengan membasuh menggunakan air dicampur amoniak (Hoesel, 1959; Supriatna, 1995). Ular sendok merupakan predator utama bagi tikus dan memasuki sarang/lubang tikus untuk melakukan perburuan/pemangsaan (Hoesel 1959). Menurut Mumpuni, Subasli dan Mulyadi (2002) ular sendok banyak ditemukan pada dataran rendah, terutama pada persawahan dengan perbandingan perjumpaan dengan ular jali (Ptyas mucosus) 1:17 untuk bagian selatan Jawa Timur (Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung) dan 1:1 untuk bagian utara Jawa Timur (Bojonegoro). Ular sendok tersebar pada sawah, semak hingga hutan, tetapi juga dapat hidup di pekarangan rumah (Supriatna, 1995). Ular sendok dapat hidup dengan baik pada habitat yang terganggu (Boeadi et.al, 1998).

Sumber pakan ular sendok adalah satwa yang hidup di sawah hingga pekarangan rumah seperti ular, katak, tikus, anak burung dan telur burung (Hoesel, 1959; Supriatna, 1995). Ular sendok dan ular jali mempunyai kemiripan sumber pakannya. Hasil pembedahan yang dilakukan pada kedua satwa tersebut ditemukan tikus, ular dan katak, serta sumber pakan lain yang berupa hancuran yang dapat dilihat dengan mikroskop (Mumpuni et al, 2002). Mangsa utama ular sendok adalah binatang yang menyusui, terutama tikus (Boeadi et.al, 1998).

2.2. Tata Niaga

Pemanfaatan kulit ular sebagai komoditi ekspor penting setelah perdagangan kulit buaya sejak tahun 1980-an. Ekspor kulit ular sendok pertahun mencapai 121.039 lembar dengan negara tujuan Singapura (43,18%), Meksiko (22,41%), Hongkong (14,00%), Amerika Serikat (10,14%) dan sisanya ke berbagai negara lainnya. Ular sendok di ekspor dalam bentuk masih hidup sebagai peliharaan dengan negara tujuan China (55,05%) Amerika Serikat (24,47%), Hiongkong (18,55%) dan negara lainnya (Mardiastuti & Soehartono 2003). Bagian tubuh yang lain juga dimanfaatkan sebagai obat tradisional (herbal) dan bahan makanan. Menurut Kartikasari (2008) ular sendok merupakan satwaliar yang dipercaya


(28)

7

mempunyai kasiat obat dibandingan dengan satwaliar lain yang memiliki fungsi obat. Ular sendok dipercaya mempunyai kasiat untuk menambah stamina tubuh juga dapat menyembuhkan penyakit dalam, asthma, diabetes dan memperjelas penglihatan. Hasil penelitian Situngkir (2009) menyebutkan terdapat 8 bagian ular sendok yang mempunyai kasiat obat, yaitu darah dan empedu mempunyai kasiat meningkatkan stamina dan menetralkan racun dalam tubuh, sedangkan daging mempunyai kasiat mengurangi gatal-gatal dan meningkatkan stamina. Untuk obat menghilangkan bekas luka dan penyakit kulit lainnya menggunakan lemak/minyaknya dan tangkur/hemipenis dipercaya meningkatkan gairah seks. Otak mempunyai kasiat penyakit kuning, paru-paru dan mata rabun. Arisnagara (2009) menemukan ular sendok yang diperdagangkan untuk obat tradisional di Provinsi DKI Jakarta sebagai obat penyakit kulit yang diambil dari darah segar dan empedunya.

Untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal dan eksport saat ini masih dilakukan pengambilan/pemanenan dari alam. Sebanyak 73,33% pemanenan dilakukan dengan kriteria tertentu yaitu dengan menangkap satwaliar dengan ukuran yang diminta pasar. Ular sendok yang dipanen dari alam memiliki ukuran tubuh minimal sepanjang 90 cm. Hal ini disebabkan kebutuhan ular sendok untuk pasar lokal sebagai bahan obat-obatan merupakan hasil sampingan dari komoditi utamanya (kulit). Di Provinsi Jawa Tengah harga antara ular yang mempunyai ukuran panjang >90 cm sebesar Rp 10.000,- sedangkan untuk ular yang berukuran <90 cm harganya Rp 2.000,-. Perbedaan harga yang cukup besar memberikan rangsangan bagi penangkap ular sendok di alam untuk menangkap secara selektif. Perdagangan ular sendok yang pemanenannya berasal dari alam, memiliki mata rantai yang panjang dan tiap daerah mempunyai pola yang berbeda-beda. Menurut Situngkir (2009) bahwa dalam perdagangan ular tradisional di Kabupaten Bogor meliputi penangkap, pengumpul kecil, pengumpul besar dan konsumen. Perdagangan ular sendok tergabung dengan perdagangan reptil lainnya, penangkap hingga pengumpul besar menjual/membeli ular sendok bersama-sama dengan ular atau reptil lainnya. Rantai perdagangan ular sanca batik di Sumatera Utara terdapat empat komponen, yaitu penangkap (masyarakat), sub agen/agen, pengumpul daerah dan pengumpul besar (eksportir) (Semiadi &


(29)

Sidik 2011). Pelaku tata niaga ular juga merupakan pelaku tata niaga reptil lainnya, termasuk kura-kura. Hasil penelitian Widagti (2007) menunjukkan bahwa perdagangan kura-kura Cuora amboinensis terdiri dari empat tingkatan, yaitu penangkap/pencari, pengumpul, penampung dan eksportir. Penampung menjembatani antara pencari/penangkap dan penampung dengan eksportir, hal ini karena jarak lokasi antara eksportir dengan penangkap/pencari dan penampung dengan eksportir yang cukup jauh.

Penangkapan/perburuan ular sendok dari alam oleh sebagian masyarakat merupakan mata pencaharian utama dan bagi sebagian kecil lainnya sebagai mata pencaharian sampingan/musiman. Siregar (2012) membagi penangkap berdasarkan aktifitasnya, yaitu: penangkap profesional penuh yaitu orang-orang yang hanya mempunyai mata pencaharian utama sebagai penangkap ular dengan berkelana ke berbagai tempat untuk mencari ular dalam waktu yang panjang dan berkelompok. Penangkap profesional sambilan adalah orang yang mempunyai mata pencaharian sebagai penangkap ular sebagai sambilan, yaitu dengan memasang perangkap pada tempat/tempat yang diduga merupakan tempat/habitat ular yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya, misalnya pada kebun/pekarangan sendiri atau orang lain disekitarnya. Penangkap amatir adalah orang yang sebenarnya mempunyai pekerjaan lain yang secara kebetulan bertemu dengan ular, maka ular tersebut ditangkap kemudian dijual kepada agen atau pengumpul.

Dalam perdagangan ular sanca batik dan sanca darah hubungan antara penangkap, pengumpul kecil dan pengumpul besar tidak memiliki kerjasama secara formal, kecuali pengumpul besar dengan eksportir yang mempunyai ikatan kerjasama untuk memenuhi pesanan kulit.

2.3. Parameter Demografi

Populasi adalah sekumpulan individu makhluk hidup yang tergabung dalam satu spesies dan menempati suatu wilayah atau ruang tertentu (Tarumingkeng 1994) yang mempunyai interaksi dan melakukan perkembangbiakan (Alikodra 2002). Populasi mempunyai sifat yang khas, yaitu kerapatan (densitas), laju


(30)

9

kematian (mortalitas), laju keahiran (natalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi).

Menurut Odum (1994) bahwa sebaran umur merupakan penciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi mortalitas dan natalitas. Indriyanto (2010) menjelaskan bahwa penyebaran umur merupakan salah satu karakteristik populasi yang mempengaruhi laju kelahiran dan laju kematian. Dalam populasi terdapat berbagai golongan umur individu-individu yang akan menentukan status reproduksi yang sedang berlangsung dan menyatakan kondisi yang akan datang. Populasi yang sedang berlangsung cepat mengandung bagian besar individu-individu muda, populasi yang stationer/tetap memiliki pembagian umur yang merata antara muda, dan tua, sedangkan populasi yang menurun akan mengandung individu-individu yang telah tua (Odum 1994).

Perbandingan jenis kelamin (sex ratio) merupakan perbandingan jumlah jantan dan betina dalam suatu populasi yang sering dinyatakan dalam jumlah jantan terhadap 100 ekor betina (Indriyanto 2010). Perbandingan jenis kelamin sangat mempengaruhi populasi satwaliar di alam dan tiap jenis satwaliar mempunyai perbandingan jenis kelamin yang berbeda-beda pada setiap populasinya. Bila dalam suatu populasi mempunyai jumlah jantan yang lebih banyak dibandingkan dengan betina, maka akan terjadi persaingan dalam melakukan perkawinan yang mengakibatkan tidak terbuahinya betina dalam masa produktif. Hal tersebut juga dapat terjadi pada populasi yang mempunyai jumlah betina lebih besar dibandingkan dengan jantan, tetapi untuk beberapa spesies tertentu memiliki sistem hirarki yang kurang berpengaruh dengan perbandingan jumlah kelamin tersebut.

Konservasi satwaliar merupakan proses sosial yang mempunyai tujuan pemanfaatan satwaliar, memelihara kelestarian satwaliar dan produktifitas habitatnya (Bailey 1984). Satwaliar yang mempunyai nilai komersil harus dilakukan secara pemanfaatan lestari, sebagai cara konservasi yang ideal (Amir et al. 1998). Pemanfaatan/pemanenan satwaliar telah dilakukan oleh masyarakat yang hidup berdekatan dengan habitatnya dengan jumlah yang sedikit dan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan sumber makanan (Platt et al. 2008, Soehartono &


(31)

Newton 2002). Sumberdaya yang sangat besar (waktu, alat dan jarak) dan sulitnya melakukan pemanenan merupakan indikasi terjadinya penurunan populasi akibat pemanenan (Soehartono & Newton 2002, Traffic 2005, Traffic 2008).

2.4. Morfometri

Morfometri merupakan salahsatu penciri kelas umur dan jenis kelamin pada satwa. Ular sendok dewasa mempunyai panjang SVL yang berbeda antara jantan dan betina. Boeadi et al. (1998) mengukur morfometri ular sendok yang diambil dari beberapa wilayah di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogyakarta yang hasilnya adalah ukuran rata-rata ular sendok betina lebih besar dibandingkan dengan ular jantan yaitu 957,6 cm untuk jantan dan 1.013,0 cm untuk betina. Rata-rata ukuran morfometrik yang lain (panjang kepala, panjang ekor dan massa tubuh) jantan lebih besar dibandingkan dengan betina. Berbeda dengan hasil pengukuran Akani et al. (2005) terhadap Pseudohaje goldii di bagian selatan Nigeria yang menemukan bahwa ular jantan lebih besar dibandingkan dengan betina. Kelas umur ular Pseudohaje goldii anak berukuran <62,3 cm, kelas umur muda berukuran 62,3- 89,6 cm dan dewasa berukuran > 89,6 cm.

2.5. Panenan

Pemanenan lestari merupakan jumlah terbesar sumberdaya satwaliar yang dapat dipanen setiap tahunnya melalui pertumbuhan populasi alamiah dapat terbarukan tanpa mengganggu populasinya. Kenyataan pemanenan secara lestari sulit dilakukan, hal tersebut hanya dapat dilakukan pada situasi yang terkontrol (Indrawan et al 2007). Pemanenan satwaliar hingga saat ini masih mengambil dari alam dan berdasarkan perhitungan-perhitungan ekonomi, tanpa memperhatikan kepentingan ekologi dan lingkungan (Dit.KKH 2010). Upaya pengendalian pemanenan satwaliar yang berasal dari alam dilakukan dengan menetapkan kuota yang didasarkan kajian ilmiah tentang populasi di alam dan perkembangannya. Ketersediaan data tersebut hingga saat ini belum ada, sehingga menggunakan data realisasi pemanenan tahun sebelumnya sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 477/Kpts-II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Dalam


(32)

11

keputusan menteri tersebut disyaratkan bila dalam penetapan jumlah pemanfaatan satwa liar tidak tersedia data dan informasi ilmiah hasil inventarisasi monitoring populasi, maka dapat diperoleh dari realisasi pengambilan dan penangkapan tumbuhan dan satwa liar dari tahun-tahun sebelumnya. Data realisasi pemanenan yang dilaporkan pemegang ijin tangkap dan ijin edar masih sangat terbatas dan cenderung tidak sesuai dengan jumlah sebenarnya.

Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penghitungan secara langsung agen/sub dan pengumpul daerah atau memberikan kartu kendali kepada pengumpul daerah yang memiliki ijin yang dilkeluarkan oleh UPT Kementrian Kehutanan (Balai Besar atau Balai Konservasi Sumberdaya Alam). Keterbatasan sumberdaya (dana, tenaga dan waktu) menjadi kendala utama dalam pengumpulan data tersebut, sehingga dapat dilakukan dengan penghitungan terhadap agen/sub agen dan pengumpul daerah secara sampel yang kemudian diekstrapolasi.

Pemanenan yang berlebihan didorong oleh permintaan yang tinggi dan tata hubungan antar komponen perdagangan. Pengawasan oleh institusi banyak dilakukan pada level atas yaitu pada pengusaha yang memiliki ijin tetapi pelaksanaan pemanenan di lapangan tidak dikontrol. Hasil penelitian Siregar (2012) menunjukkan bahwa dalam perdagangan ular sanca batik dan sanca darah, pengumpul besar dengan eksportir mempunyai ikatan kerjasama, sedangkan pada tingkat penangkap dan agen/sub agen tidak mempunyai ikatan kerjasama formal. Penangkap dan agen/sub agen dapat menjual ular diluar pengumpul daerah yang menaunginya, sehingga data panenan pada tiap tingkatan perdagangan dapat berbeda.

Aji (2011) menyatakan bahwa ular sendok mempunyai rata-rata keberhasilan tetas 90% dan mempunyai peluang hidup di penangkaran hingga ukuran sedang (antara 1-2 m) sebesar 70-80% dengan umur antara 11-18 bulan. Frekuensi berkembang biak sebanyak 3 kali dalam 2 tahun.


(33)

2.6. Karakteristik Habitat

Alikodra (1990) dan Bailey (1984) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar. Komponen biotik dan fisik merupakan faktor pembatas dari kehidupan satwaliar. Faktor fisik yang mempengaruhi pertumbuhan satwaliar adalah air, temperatur/suhu, tanah, radiasi matahari, aliran dan tekanan udara, sedangkan faktor biotik adalah vegetasi, mikro dan makro fauna, serta keberadaan manusia (Alikodra 2002) topografi, vegetasi dan satwa (Smiet 1986 dalam Santosa 1996).

Ular menghabiskan sebagian besar aktivitas waktunya (hampir 95%) untuk mencari makan/mangsa (Lillywhite & Henderson 1993). Mangsa utama ular sendok adalah satwaliar yang menyusui, diantaranya adalah tikus (Boeadi et al 1998, Hoesel 1959, Supriatna 1995, Mumpuni et al 2002). Tikus banyak ditemukan pada lahan pertanian (sawah dan kebun), pemukiman, ekoton (perbatasan antara hutan jati dengan persawahan) dan kawasan hutan jati yang diolah menjadi lahan pertanian.

Temperatur/suhu mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan dan kematian organisme (Alikodra 2002). Adaptasi satwaliar terhadap temperatur sangat berbeda antara organisme air dengan organisme darat dan memiliki pola adaptasi yang khas. Respon organisme terhadap temperatur disebut dengan aklimatisasi. Respon organisme terhadap temperatur mempunyai selang yang berbeda-beda, semakin besar selang temperatur maka organisme tersebut semakin mudah melakukan adaptasi dan sebaliknya, semakin sedikit/kecil selang temperaturnya maka semakin kurang adaptasi organisme tersebut terhadap perubahan temperatur. Satwaliar yang berkembangbiak melalui telur sangat dipengaruhi oleh temperatur. Aji (2011) menyatakan bahwa telur ular jali (Ptyas mucosus) dapat menetas 100% pada suhu 32-340 C.

Indriyanto (2010) menjelaskan bahwa satwaliar merupakan bagian yang saling berhubungan erat dengan masyarakat tumbuhan. Satwaliar tersebut selain memerlukan tumbuhan sebagai sumber makanan, juga memanfaatkan tumbuhan


(34)

13

sebagai tempat untuk melakukan aktifitas hidupnya, baik sebagai pelindung (cover) juga sebagai tempat perlindungan dan berkembangbiak. Beberapa spesies ular arboreal menggunakan tumbuhan untuk melakukan aktifitas mencari mangsa dan istirahat (Lillywhite & Henderson 1993).

Ular sendok mempunyai habitat yang luas mulai dari semak di hutan, sawah hingga pemukiman (Supriatna 1995, Wowor 2010) terutama pada dataran rendah di utara Pulau Jawa (Mumpuni 2002). Hasil penelitian Husna (2006) menunjukkan bahwa ular sendok ditemukan pada hutan dataran rendah di TN Alas Purwo yang berada di bagian selatan Pulau Jawa yang mempunyai suhu antara 22-31⁰C dan kelembaban yang mencapai 40-85%. Kebiasaan lain ular sendok yang menyemburkan bisanya pada saat ada bahaya/ancaman juga masuk kedalam sarang tikus untuk mencari/memangsa tikus dan mengambil sarang tikus sebagai sarangnya (Hoesel 1959). Ular sendok menggunakan sarang tikus sebagai sarangnya, pada ular sendok betina akan memilih sarang yang dalam dan mempunyai ruang yang cukup lebar untuk menempatkan telur-telurnya.

Berdasarkan makanannya, ular sendok termasuk dalam satwaliar generalis. Boeadi et al. (1998) yang melakukan pembedahan terhadap isi perut ular sendok menemukan bahwa satwa yang dimangsa sebanyak 59% merupakan mamalia dan sisanya adalah hewan yang tidak dapat diidentifikasi lagi. Hasil pengamatan Phelps (2007) terhadap Naja nivea menunjukkan bahwa ular tersebut memangsa tikus (31%), ular (20% ), kadal (11%), burung (11%) dan satwa lain yang ada di habitatnya. Akani et al. (2005) melakukan pengamatan terhadap ular Pseudohaje goldii yang memangsa ikan, katak dan tikus, sehingga ular tersebut termasuk generalis dalam kebiasaan makanannya dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya.


(35)

(36)

III. KEADAAN UMUM LOKASI

Penelitian dilakukan di wilayah Jawa Timur dan berdasarkan jenis datanya terbagi menjadi 2 yaitu: data habitat dan morfometri. Data karakteristik habitat diambil di Kabupaten Nganjuk, Bojonegoro, Probolingo dan Malang. Pengukuran morfometri dilakukan pada penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah di Kabupaten Nganjuk, Bojonegoro, Probolinggo, Malang, Tuban, Sidoarjo, Gresik, Bondowoso dan Banyuwangi.

3.1. Provinsi Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur mempunyai luas daratan sebesar 47.130,15 km2 yang terbagi menjadi 38 kabupaten dan kota. Wilayah membentang antara 11100’- 11404’ Bujur Timur dan 7012’-8048’ Lintang Selatan. Provinsi Jawa Timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah barat, Laut Jawa di sebelah utara, Provinsi Bali/Selat Bali di sebelah timur dan Samudra Indonesia di sebelah selatan. Ibukota Provinsi Jawa Timur adalah Surabaya (BPS Jatim 2009).


(37)

Suhu udara pada tahun 2008 berkisar antara 20,0-36,6°C dengan suhu terendah terjadi pada bulan Juli dan Agustus, sedangkan suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Kelembaban udara antara 31-100% dengan tekanan udara tertinggi sebesar 1.011,9 milibar terjadi pada bulan September. Rata-rata penyinaran sinar matahari terlama terjadi pada bulan Juli dan September, sedangkan terendah terjadi pada bulan Desember. Bulan Nopember sampai Mei merupakan musim penghujan dan musim kemarau terjadi pada bulan Juni sampai Oktober (BPS Jatim 2009).

Penggunaan lahan di Jawa Timur terbagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu sawah dan non sawah, non sawah meliputi pekarangan/bangunan dan halaman, tegal, kebun, ladang dan huma, pengembalaan/padang rumput, tambak, kolam/ tebat/empang. Lahan sawah di Jawa Timur seluas 1.153.209 ha pada tahun 2007 dan tahun 2008 mengalami penyusutan, sehingga menjadi seluas 1.172.494 ha. Luas sawah berpengairan pada tahun 2007 seluas 680.743 ha dan pada tahun 2008 seluas 686.265 ha. Penggunaan lahan untuk tegal/kebun pada tahun 2007 sebesar 1.167.998 ha dan 1.118.717 ha pada tahun 2008, sedangkan pengembalaan/ padang rumput sebesar 2.390 ha pada tahun 2007 dan seluas 2.273 pada tahun 2008. Luas kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur seluas 1.130.571,11 ha yang terbagi atas hutan produksi seluas 815.851,21 ha dan hutan lindung seluas 314.719,90 ha (BPS Jatim 2009).

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur tahun 2010 mencapai 40.054.049 jiwa yang terdiri dari 19.761.566 jiwa laki-laki (49,34%) dan 20.292.483 jiwa perempuan (50,66%). Mata pencaharian tertinggi berada pada sektor pertanian sebanyak 8.412.762 jiwa dan kedua berada pada sektor perdagangan yaitu sebanyak 3.103.659 jiwa (http/jatimprov.go.id).

3.2. Kabupaten Nganjuk

Kabupaten Nganjuk mempunyai luas 122.433,1 ha yang membentang pada koordinat 111⁰5’-111⁰13’ Bujur Timur dan 7⁰20’-7⁰50’ Lintang Selatan yang terbagi dalam 20 kecamatan dan 284 desa. Wilayah Kabupaten Nganjuk sebagian besar (16 kecamatan) berada pada ketinggian antara 46-95 m dpl dan sebanyak 4 kecamatan berada pada ketinggian antara 150-750 m dpl. Berdasarkan jenis tanah,


(38)

17

wilayah Kabupaten Nganjuk terbagi menjadi 3 bagian, yaitu tanah sawah (35%), tanah kering (27%) dan tanah hutan (38%). Struktur dan jenis tanah termasuk produktif untuk berbagai jenis tanaman yang ditunjang dengan penyediaan air dari Kali Widas yang mengairi daerah seluas 430,150 km2 (BPS Nganjuk 2010).

Curah hujan tertinggi pada tahun 2009 terjadi pada bulan Pebruari (641 mm) dan terendah pada bulan Juli (3 mm), sedangkan pada bulan Agustus dan September tidak terjadi hujan sama sekali. Berdasarkan sensus penduduk nasional tahun 2009 jumlah penduduk di Kabupaten Nganjuk sebanyak 1.002.530 jiwa yang terdiri dari 496.351 jiwa laki-laki dan 506.179 jiwa perempuan (BPS Nganjuk 2010).

3.3. Kabupaten Bojonegoro

Kabupaten Bojonegoro berada pada 111⁰25’-112⁰09’ Lintang Selatan dan 6⁰59’-7⁰37’ mencapai luas 2.307,06 km2 yang terdiri dari 27 kecamatan. Topografi pada daerah aliran Sungai Bengawan Solo merupakan dataran rendah dan cukup subur untuk lahan pertanian dengan tanaman padi pada musim penghujan dan tembakau pada musim kemarau. Bagian selatan merupakan dataran tinggi pegunungan kapur yang berada pada Gunung Pandan, Kramat dan Gajah yang merupakan kawasan hutan (BPS Bojonegoro 2011).

Kawasan hutan merupakan penggunaan lahan paling luas yaitu seluas 926,28 km2 (40,15%) dan merupakan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani dengan tanaman utama jati (Tectona grandis). Sawah yang berada di sepanjang daerah Sungai Bengawan Solo seluas 751,64 km2 (32,58%) dan seluas 517,24 km2 (22,42%) diantaranya merupakan tanah kering. Penggunaan lahan untuk perkebunan hanya seluas 6 km2 (0,26%) dan sisanya merupakan pemukiman, tambak dan sebagainya. Penduduk Kabupaten Bojonegoro berjumlah 1.209.073 jiwa yang terbagi atas 598.365 jiwa laki-laki dan 611.608 jiwa perempuan. (BPS Bojonegoro 2011).

Rata-rata curah hujan pada tahun 2010 sebesar 221 mm dengan curah hujan tertinggi terjadi di Kecamatan Sumberrejo dan terendah terjadi di Kecamatan Kalitidu. Rata-rata hari hujan sebanyak 134 hari dengan hari hujan tertinggi


(39)

terjadi di Kecamatan Kapas (173 hari) dan terendah di Kecamatan Dander (100 hari).

3.4. Kabupaten Probolinggo

Kabupaten Probolinggo mempunyai luas 169.616,65 ha (1.696,17 km2) yang berada pada koordinat 112⁰50’-113⁰30’ Bujur Timur dan 7⁰40’-8⁰10’ Lintang Selatan yang terbagi menjadi 24 kecamatan dan mencakup 325 desa dan 5 kelurahan. Ketinggian wilayah antara 0-2.500 m dpl dengan bagian utara mempunyai topografi yang relatif datar karena berada di pesisir utara sampai ke bagian tengah kaki Gunung Semeru yang mempunyai ketinggian 0-100 m dpl. Lereng Gunung Semeru dan Pegunungan Tengger yang membentang sebelah barat dan bagian utara Gunung Lamongan mempunyai ketinggian antara 100-1.000 m dpl, sedangkan Pegunungan Tengger dan Argopuro mempunyai ketinggian antara 1.000-2.500 m dpl (www.probolinggo.go.id).

Lahan budidaya pertanian terbagi menjadi 2 yaitu persawahan seluas 373,13 km2 (21,99%) dan tegalan seluas 513,80 km2 (30,28%). Lahan budidaya non pertanian meliputi perkebunan seluas 32,81 km2 (1,93%), hutan termasuk kawasan konservasi seluas 426,46 km2 (25%) dan tambak/kolam seluas 13,99 km2 (0,82%). Lahan untuk pemukiman mencapai 147,74 km2 (8,71%) dan lainnya termasuk Pulau Gili Ketapang seluas 188,30 km2 (11,13%). Lahan pertanian pada pesisir utara ditanami padi dan palawija, sedangkan pada dataran tinggi bagian tengah ditanami dengan sayuran (kentang, kol, wortel dan sebagainya) (www.probolinggo.go.id)

Jumlah penduduk tahun 2008 di Kabupaten Probolinggo sebesar 1.082.036 jiwa yang terdiri dari 523.652 jiwa laki-laki dan 568.384 jiwa perempuan. Mata pencaharian utama penduduk adalah sebagai petani (46,2%) dan buruh tani 37,0%) baik pada sektor pertanian sawah dan tegalan (www.probolinggo.go.id).

3.5. Kabupaten Malang

Wilayah Kabupaten Malang berada pada 112⁰17’10,90”-122⁰57’00,00 Bujur Timur dan 7⁰44’55,11’-8⁰26’35,45’’ Lintang Selatan yang mencapai luas


(40)

19

353.486 ha yang terbagi menjadi 33 kecamatan dan mencakup 12 kelurahan dan 378 desa. Ketinggian wilayah Kabupaten antara 0-3.600 m dpl dengan topografi berbukit (pegunungan) yang terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu: bagian selatan merupakan perbukitan kapur (kendeng) yang mempunyai ketinggian antara 0-650 m dpl, pada lereng Tengger-Semeru bagian timur yang membujur utara ke selatan mempunyai ketinggian antara 500-3.600 m dpl dan bagian barat lereng Arjuno-Kawi mempunyai ketinggian 500-3.300 m dpl. Wilayah mempunyai topografi ringan hingga sedang seluas 186.593 ha (52,79%) dan berat sampai berat sekali sebesar 166.893 ha (47,21%) (Bappeda Kab. Malang 2009).

Penggunaan lahan di Kabupaten Malang meliputi pemukiman seluas 6.726 ha (1,90%), sawah seluas 49.522 ha (14,01%.), kebun seluas 99.764 (28,22%) dan perkebunan 19.578 ha (5,54%). Hutan terbagi atas hutan negara dan hutan rakyat yang masing-masing seluas 61.945 ha (17,52%) dan 8.196 ha (2,32%). Lahan pertanian (sawah) menggunakan saluran irigasi teknis, semi teknis dan sederhana dengan tanaman padi, palawija dan sayur-sayuran. Hutan rakyat dan hutan negara mempunyai komoditi kayu yang hampir sama, yaitu jati, pinus, sengon, sono keeling dan lain-lain, kecuali pada kawasan hutan konservasi yang didominasi kayu rimba (Bappeda Kab. Malang 2009).

Berdasarkan sensus penduduk nasional tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Malang sebanyak 2.425.248 jiwa yang terbagi atas 1.217.314 jiwa (50,19%) laki-laki dan 1.207.934 jiwa (49,81%) perempuan. Kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Singosari yang mencapai 154.354 jiwa dan kepadatan terendah pada Kecamatan Kasembon dengan jumlah penduduk sebesar 31.3678 jiwa.

Suhu udara di Kabupaten Malang pada tahun 2009 rata-rata rendah yaitu antara 22,1-26,8⁰C dengan kelembaban antara 69-87%. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Oktober mencapai 727 mm, sedangkan terendah pada bulan September yang hanya mencapai 4 mm (Bappeda Kab. Malang 2009).


(41)

(42)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Waktu

Waktu pengambilan data dilaksanakan selama ± 2 (dua) bulan dari tanggal 26 Maret 2012 sampai dengan 14 Mei 2012. Pengambilan data habitat dan pengukuran morfometri ular sendok pada penangkap dilakukan selama 14 hari dengan mengikuti penangkap ular, penambahan waktu perpindahan dari setiap lokasi dan mencari/menelusuri penangkap/pemburu memerlukan waktu berkisar antara 3-4 hari. Pengukuran data habitat dilakukan antara jam 08.00-14.00 WIB. Pengukuran morfometri pada agen/sub agen dan pengumpul daerah serta pengumpulan data tata niaga dilakukan selama 20 hari dan sisanya mengumpulkan data sekunder.

4.2. Alat dan Bahan

Peralatan dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data meliputi: pita meter, timbangan pegas, thermohigrometer, pH meter, tally sheet, kamera digital, Geographical Positioning System (GPS), caliper. Untuk pengolahan data menggunakan perangkat lunak (software) yang mendukung analisa statistik.

4.3. Metoda Pengambilan Data

4.3.1. Tata Niaga

Data perdagangan diperoleh dengan melakukan verifikasi surat keputusan ijin tangkap dan surat ijin edar tumbuhan dan satwaliar yang diberikan oleh BBKSDA Jawa Timur terhadap perusahaan dan melakukan wawancara secara langsung kepada penangkap, agen/sub agen, pengumpul daerah dan pengumpul besar (eksportir). Wawancara terhadap responden yang merupakan komponen/pelaku perdagangan dilakukan untuk menganalisa dan membuat rantai perdagangan ular sendok. Wawancara responden dilakukan dengan metode snowball sampling yang di mulai dari pengumpul daerah, agen/sub agen dan penangkap/pemburu untuk mengetahui pelaku perdagangan. Untuk mengetahui


(43)

alur perdagangan ular sendok dilakukan wawancara mulai dari penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah. Wawancara terhadap responden terbagi atas penangkap/pemburu sebanyak 13 orang, agen/sub agen sebanyak 6 orang, pengumpul daerah sebanyak 4 orang dan pengumpul besar/eksportir sebanyak 1 orang. Pemilihan responden pelaku perdagangan berdasarkan jumlah kuota tangkap yang diberikan oleh BBKSDA Jatim tahun sebelumnya dan keterwakilan wilayah tangkapnya. Usaha perdagangan ular sendok dan satwa lainnya belum sepenuhnya berjalan, hal ini disebabkan adanya penangkap yang beralih menjadi buruh tani (musim panen padi) dan belum terbitnya ijin tangkap sehingga layanan dokumen untuk perdagangan belum bisa dilakukan.

4.3.2. Parameter Demografi

Data parameter demografi diperoleh dengan melakukan pengamatan, pengukuran dan penghitungan terhadap ular sendok yang ada di penangkap (7 orang), agen/sub agen (4 orang) dan pengumpul daerah (6 orang). Jumlah ular sendok yang diamati, diukur dan dihitung di penangkap sebanyak 10 ekor yang diperoleh dari 2 orang penangkap di Kabupaten Bojonegoro, 3 orang penangkap di Kabupaten Nganjuk, 3 orang penangkap di Kabupaten Probolinggo dan 3 orang penangkap di Kabupaten Malang. Penghitungan, pengukuran dan pengamatan ular sendok pada agen/sub agen sebanyak 46 ekor yang tersebar di Kabupaten Tuban, Nganjuk, Probolinggo dan Banyuwangi. Pengukuran dan penghitungan pada tingkat pengumpul daerah sebanyak 176 ekor yang dilakukan pada 5 orang pengumpul daerah tersebar di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo, Bondowoso dan Gresik. Data parameter demografi meliputi jenis kelamin dan kelas umur ular sendok. Ular sendok jantan dapat dikenali dengan dengan menekan pada bagian belakang kloaka (bagian ekor) maka akan keluar hemipenis. Boeadi et al. (1998) menyatakan bahwa ular sendok dewasa mempunyai panjang SVL 90,8 cm untuk jantan dan 82,8 cm untuk betina.

4.3.3. Morfometri

Pengambilan data morfometrik dilakukan pada tingkat penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah, sedangkan pada pengumpul besar (eksportir) tidak


(44)

23

dilakukan karena ular sendok yang berada di pengumpul besar sudah diolah menjadi kulit dan daging. Pengukuran data morfometri meliputi: jarak kedua mata (X1), panjang Snout-Vent Length (SVL) yaitu pengukuran mulai dari hidung hingga kloaka/saluran pembuangan (X2), panjang ekor, yaitu pengukuran yang dilakukan mulai kloaka/saluran pembuangan sampai ujung ekor (X3), panjang total yaitu pengukuran mulai dari ujung hidung hingga ujung ekor (X4) dan massa tubuh yaitu dengan menimbang massa tubuh ular (X5).

Pengukuran jarak kedua mata menggunakan jangka sorong/caliper dan pengukuran panjang SVL, panjang ekor dan panjang total (seluruh tubuh) menggunakan meteran. Jumlah ular sendok diukur pada penangkap sebanyak 10 ekor yang diperoleh dari penangkap di Kabupaten Bojonegoro, Nganjuk, Probolinggo dan Malang. Pengukuran pada ular sendok pada agen/sub agen sebanyak 46 ekor yang tersebar Kabupaten Tuban, Nganjuk, Probolinggo dan Banyuwangi, sedangkan pengukuran ular sendok pada tingkat pengumpul daerah sebanyak 176 ekor yang tersebar di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo, Bondowoso dan Gresik.

4.3.4. Panenan

Pengambilan data panenan dilakukan dengan menghitung jumlah ular sendok yang dipanen pada pengumpul daerah dan agen/sub agen. Pengambilan data panenan dilakukan pada pengumpul daerah dan agen/sub agen karena pada surat ijin tangkap yang diberikan oleh BBKSDA Jatim terdapat agen/sub agen (yang disebut sebagai penangkap) dan lokasi tangkapnya. Penghitungan panenan pada tingkat agen/sub agen dilakukan pada 4 orang agen/sub agen yang tersebar Kabupaten Tuban, Nganjuk, Probolinggo dan Banyuwangi, sedangkan untuk penghitungan panenan pada pengumpul daerah dilakukan di 5 pengumpul daerah yang ada di Kabupaten Gresik (2 orang) dan masing-masing 1 orang pada Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Bondowoso.

4.3.5. Karakteristik Habitat

Pengambilan data karakteristik habitat dilakukan dengan metode purposive sampling, yaitu memilih sarang yang merupakan sarang ular sendok aktif pada


(45)

daerah yang menjadi habitat ular sendok. Pencarian dan penentuan sarang ular sendok dilakukan dengan mengikuti pencari/pemburu ular dalam melakukan perburuan dan penangkapan ular sendok pada habitat sawah, kebun/pekarangan, pemukiman, hutan jati dan jalur rel kereta api. Sarang ular sendok mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan sarang ular lainnya, yaitu mempunyai permukaan yang halus dan cenderung mengkilat bila basah pada dinding lubangnya. Tanda-tanda lainnya hampir sama dengan sarang ular lainnya, yaitu disekitar sarang sering ditemukan kotoran atau kulit hasil pergantian yang telah mengering.

Pengukuran peubah pada habitat ular sendok dilakukan pada setiap sarang yang ditemukan dalam kondisi baru (masih menjadi sarang aktif) dengan tanda-tanda bahwa sarang tersebut masih dalam kondisi baik dan masih ditemukan kotoran, kulit dan jejak lainnya (bekas jalan atau bila ada rumput maka rumput tersebut akan roboh atau tanah yang dilintasi akan padat atau halus). Peubah habitat yang diukur meliputi: suhu permukaan tanah pada mulut sarang (X6), kelembaban pada permukaan tanah di mulut sarang (X7), ketinggian ditemukan sarang (X8), kadar keasaman (pH) tanah (X9), jenis tanah (X10), kelembaban tanah di mulut sarang (X11), jarak sarang dari pemukiman (X12) dan jarak sarang dari sumber air (X13).

Pengukuran suhu permukaan tanah pada mulut sarang (X6) dan kelembaban permukaan tanah pada mulut sarang (X7) menggunakan termohigrometer, yaitu dengan meletakkan alat tersebut pada mulut sarang dan menunggu 5 menit baru dilakukan pencatatan. Ketinggian tempat (X8) diukur dengan menggunakan GPS sebagai pengganti altimeter yang sebelumnya dilakukan kalibrasi terlebih dahulu pada lokasi yang memiliki koordinat dan ketinggian yang pasti, misalnya bandar udara, pelabuhan laut, titik triangulasi dan lain-lain. Kadar keasaman tanah/pH (X9) dan kelembaban tanah (X11) diukur dengan menggunakan pH meter yang telah dilengkapi dengan alat untuk mengukur kelembaban tanah. Pengukuran dilakukan dengan menancapkan alat tersebut pada tanah di mulut sarang ular sendok, untuk mengukur kadar keasaman tanah tombol diarahkan pada alat pengukur keasaman tanah dan untuk pengukuran kelembaban tanah dilakukan dengan mengeser tombol ke arah alat pengukur kelembaban tanah. Sedangkan pengukuran jarak sarang ular sendok dengan pemukiman (X12), jarak dengan


(46)

25

sumber air (X13) dan jenis tanah dilakukan dengan memplotkan titik koordinat yang diambil dengan menggunakan GPS ke peta digital yang telah dioverlay dengan layer pemukiman dan sumber-sumber air (sungai atau danau) kemudian dianalisa untuk mendapatkan jarak tersebut. Penentuan jenis tanah (X10) pada sarang ular dilakukan dengan memplotkan titik koordinat ditemukan sarang ular pada peta digital yang telah dioverlay dengan layer jenis tanah.

4.4. Metoda Analisa Data

4.4.1. Tata Niaga

Data hasil verifikasi di BBKSDA Jawa Timur dan wawancara dengan penangkap, agen/ sub agen, pengumpul daerah dan pengumpul besar (eksportir) di analisa dan disajikan secara deskriptif.

4.4.2. Parameter Demografi

Data hasil pengamatan dan penghitungan ular sendok yang berada di penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah ditabulasi, dianalisa dan disajikan secara deskriptif.

4.4.3. Morfometri

Data hasil pengukuran peubah morfometri ular sendok yang meliputi jarak kedua mata (X1), panjang Snout-Vent Length (SVL) yaitu pengukuran mulai dari hidung hingga kloaka/saluran pembuangan (X2), panjang ekor, yaitu pengukuran yang dilakukan mulai kloaka/saluran pembuangan sampai ujung ekor (X3), panjang total yaitu pengukuran mulai dari ujung hidung hingga ujung ekor (X4) dan massa tubuh yaitu dengan menimbang massa tubuh ular (X5) ditabulasi dan dilakukan analisa. Analisa data lebih dari dua sampel dilakukan dengan uji nilai tengah (Median) dan untuk uji dua sampel menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. dan Mann-Whitney pada SPSS 12. (Santoso 2012).

Hipotesa yang dibangun untuk menguji morfometri ular sendok yang berada di penangkap adalah:


(47)

H0 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada masing-masing penangkap tidak berbeda secara nyata

H1 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada masing-masing penangkap berbeda secara nyata.

Kriteria Penolakan H0 bila nilai probabilitas < 0.05.

Hipotesa yang dibangun untuk menguji morfometri ular sendok yang berada di agen/sub agen adalah:

H0 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada masing-masing agen/ sub agen tidak berbeda secara nyata

H1 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada masing-masing agen/ sub agen berbeda secara nyata.

Kriteria Penolakan H0 bila nilai probabilitas < 0.05.

Hipotesa yang dibangun untuk menguji morfometri ular sendok yang berada di pengumpul daerah adalah:

H0 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada masing-masing pengumpul daerah tidak berbeda secara nyata

H1 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada masing-masing pengumpul daerah berbeda secara nyata.

Kriteria Penolakan H0 bila nilai probabilitas < 0.05.

Hipotesa yang dibangun untuk menguji morfometri ular sendok yang berada di penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah adalah:

H0 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah tidak berbeda secara nyata

H1 : Nilai tengah peubah morfometri ular sendok pada penangkap, agen/sub agen dan pengumpul daerah berbeda secara nyata.

Kriteria Penolakan H0 bila nilai probabilitas < 0.05.

Uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan untuk menguji morfometri ular sendok pada penangkap, agen/ sub agen dan pengumpul daerah berdasarkan jenis kelamin, dengan hipotesa yang dibangun adalah:

H0 : Nilai peubah morfometri ular sendok jantan dan betina tidak berbeda secara nyata


(48)

27

H1 : Nilai peubah morfometri ular sendok jantan dan betina berbeda secara nyata.

Kriteria Penolakan H0 bila nilai probabilitas < 0.05. 4.4.4. Panenan

Data panenan diperoleh dari penghitungan jumlah ular sendok pada pengumpul daerah dan agen/sub agen. Penghitungan dilakukan dengan menghitung jumlah ular sendok yang diterima/dibeli dan jangka waktu memperoleh jumlah ular sendok tersebut. Ular sendok yang diterima/dibeli oleh pengumpul daerah berasal dari agen/sub agen dan penangkap, maka untuk memperoleh panenan di tingkat pengumpul daerah adalah jumlah ular yang terkumpul (dibeli) dari agen/sub agen dan penangkap selama periode setahun. Panenan pada tingkat agen/sub agen merupakan jumlah ular sendok yang diterima dari penangkap selama periode setahun. Jumlah panenan pada tingkat pengumpul daerah dan agen/sub agen dapat dilakukan pendekatan penghitungan jumlah ular dan waktu yang diperlukan untuk mengumpulkan/membeli ular tersebut, sehingga diperoleh rata-rata jumlah ular per hari yang kemudian dapat dilakukan ekstrapolasi dalam waktu satu tahun. Jumlah pemanenan ular sendok pada tingkat pengumpul daerah ditentukan berdasarkan kuota yang diberikan oleh BBKSDA Jatim, tetapi untuk tingkat agen/sub agen merupakan bagian dari pengumpul daerah. Hasil perhitungan ekstrapolasi kedua tempat penghitungan dibandingkan dan disajikan secara deskriptif.

4.4.5. Karakteristik Habitat

Hasil pengukuran peubah habitat yaitu: suhu permukaan tanah pada mulut sarang (X6), kelembaban pada permukaan tanah di mulut sarang (X7), ketinggian ditemukan sarang (X8), kadar keasaman (pH) tanah (X9), jenis tanah (X10), kelembaban tanah di mulut sarang (X11), jarak sarang dari pemukiman (X12) dan jarak sarang dari sumber air (X13) di lakukan tabulasi dan dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov dan Mann-Whitney untuk melakukan pengujian sarang yang terdapat ular didalamnya dengan sarang yang tidak ditemukan ular didalamnya pada masing-masing habitat dengan hipotesa yang dibangun adalah:


(49)

H0 : Nilai peubah karakteristik sarang ular sendok yang ada ular didalamnya tidak berbeda secara nyata dengan sarang yang tidak ditemukan ular sendok didalamnya.

H1 : Nilai peubah karakteristik sarang ular sendok yang ada ular didalamnya berbeda secara nyata dengan sarang yang tidak ditemukan ular sendok didalamnya.

Kriteria Penolakan H0 bila nilai probabilitas < 0,05.

Untuk menguji sarang ular sendok pada habitat ditemukan ular didalamnya dengan sarang ular sendok pada habitat tidak ditemukan ular didalamnya hipotesa yang dibangun adalah:

H0 : Nilai peubah karakteristik habitat sarang ular sendok habitat ditemukan sarang didalamnya tidak berbeda secara nyata dengan sarang ular sendok pada habitat yang tidak ditemukan ular sendok didalamnya.

H1 : Nilai peubah karakteristik habitat sarang ular sendok habitat ditemukan sarang didalamnya berbeda secara nyata dengan sarang ular sendok pada habitat yang tidak ditemukan ular sendok didalamnya


(50)

29

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tata Niaga

Pemanfaatan ular sendok sebagai obat tradisional, kebutuhan kulit sebagai bahan kerajinan dan daging sebagai bahan makanan mendorong ular sendok menjadi komoditi di pasar domestik dan internasional. Hasil pengamatan dan wawancara terdapat beberapa hal yang mempengaruhi tata niaga ular sendok di Jawa Timur, yaitu:

5.1.1. Pelaku Tata Niaga Ular Sendok

Pelaku tata niaga ular sendok merupakan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam rantai tata niaga pada berbbagai tingkatan. Pelaku tata niaga ular sendok merupakan bagian dari tata niaga reptil lainnya yang ada di Jawa Timur, terdiri dari:

a. Penangkap/pemburu

Penangkap/pemburu merupakan pihak yang mencari dan menangkap ular secara langsung di alam. Berdasarkan mata pencaharian dan kemampuannya, penangkap/pemburu ular sendok dibedakan menjadi 2 yaitu; penangkap/pemburu profesional dan sambilan. Penangkapan/pemburu profesional adalah orang yang mempunyai kemampuan, pengetahuan khusus dan pengalaman dalam berburu ular, serta merupakan mata pencaharian utamanya. Penangkap/pemburu amatir adalah orang yang melakukan penangkap/perburuan terhadap ular secara kebetulan atau menangkap dan memburu ular sebagai mata pencaharian tambahan karena mata pencaharian utamanya sebagai petani, pedagang keliling dan sebagainya. Pemburu profesional mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi lokasi-lokasi yang menjadi habitat ular dan tata waktu dalam perburuannya, sedangkan pemburu sambilan mendapatkan/menangkap ular yang secara kebetulan dan mengetahui bahwa ular tersebut mempunyai nilai ekonomi.

Penangkap/pemburu profesional mempunyai pengetahuan dan pengalaman mengenai habitat, perilaku dan tata waktu dalam


(51)

perburuan/penangkapan ular sendok dan reptil lainnya. Penangkap/pemburu yang melakukan perburuan termasuk ular sendok harus memiliki pengetahuan khusus tentang perilaku ular sendok, hal ini karena ular sendok yang mengandung bisa/racun menengah. Pemburu/penangkap yang ditemui dan diikuti dalam melakukan perburuan/penangkapan ular sendok sebanyak 13 orang yang terbagi atas penangkap/pemburu profesional 8 orang dan sambilan 5 orang. Penangkap profesional rata-rata telah lebih dari 10 tahun menjadi penangkap/pemburu ular.

Para pemburu/penangkap profesional dalam melakukan perburuan/ penangkapan ular menggunakan 2 cara, yaitu membongkar sarang ular sendok dan menunggu ular keluar dari sarang untuk berjemur dan mencari makan. Pemburu/penangkap yang diikuti dalam perburuan ular di Kabupaten Nganjuk, Bojonegoro dan Probolinggo melakukan pembongkaran sarang ular untuk menangkap ular sendok atau ular lainnya, tetapi pemburu/penangkap di Kabupaten Malang menunggu ular keluar dari sarang untuk ditangkap sehingga harus melakukan survei tata waktu keluarnya ular sendok tersebut. Pembongkaran ular sarang dilakukan setelah diketahui bahwa sarang tersebut merupakan sarang ular aktif dengan memperhatikan tanda-tanda yang ditinggalkan oleh ular, yaitu berupa kotoran, kulit dan jejak. Untuk sarang ular sendok mempunyai permukaan lubang yang halus dan cenderung mengkilat.

Penangkapan ular di luar sarang tanpa pembongkaran sarang dilakukan untuk tetap menjaga habitat sarangnya sehingga dapat ditempati oleh individu lainnya yang pada akhirnya juga menjaga kelestarian dalam perburuan ular sendok. Pemburu/penangkap mempunyai tata waktu yang berbeda pada setiap jenis satwanya, pada pagi hari pemburu melakukan perburuan terhadap ular pucuk (Ahaetulla prasina), kemudian pada jam 10.00-14.00 WIB bila cuaca panas dan ada angin sepoi-sepoi waktu yang tepat untuk melakukan perburuan ular sendok dan ular jali (Ptyas mucosus) karena pada kondisi tersebut ular sendok keluar dari sarangnya untuk berjemur dan aktiftas lainnya.

Data jumlah penangkap dan pemburu ular dan reptil lainnya di wilayah Provinsi Jawa Timur belum diketahui secara jelas. Daftar nama penangkap


(52)

31

yang tercantum dalam lampiran surat keputusan ijin tangkap yang diterbitkan oleh BBKSDA Jatim merupakan agen/sub agen yang berada di bawah binaan pengumpul daerah yang mengajukan ijin tangkap satwaliar. Hasil wawancara dengan agen/sub agen dan pengumpul daerah bahwa penangkap/pemburu yang secara rutin dan termasuk penangkap/pemburu yang loyal menjual/menyetor hasil tangkapannya antara 5-11 orang pada setiap agen/sub agen atau pengumpul daerah. Bila rata-rata setiap agen/sub agen dan pengumpul daerah mempunyai penangkap/pemburu yang loyal sebanyak 8 orang, maka dengan jumlah agen/sub agen 78 orang dan pengumpul daerah sebanyak 23 orang dapat diperoleh jumlah penangkap/pemburu ular sebanyak 801 orang. Angka tersebut termasuk masih sangat kecil karena banyak agen/sub agen yang tidak terdata.

Menurut Siregar (2012), penangkap ular sanca batik (Python reticulatus) dan sanca gendang (Python brongersmai dan Python curtus) di Sumatera Utara menjadi 3 kategori, yaitu penangkap profesional penuh, penangkap profesional sambilan dan penangkap amatir. Penangkap profesional penuh merupakan orang yang mempunyai kegiatan sebagai penangkap ular dan menjadi mata pencaharian utamanya, sedangkan penangkap profesional sambilan adalah orang yang mempunyai kegiatan sebagai penangkap ular sebagai mata pencaharian sambilan. Penangkap amatir merupakan orang yang mendapatkan ular secara kebetulan, yaitu menemukan ular di sawah atau kebun yang kemudian ditangkap dan dijual. Semiadi dan Sidik (2011) memisahkan penangkap ular penangkap ular sanca batik (Python reticulatus) dan sanca darah merah (Python brongersmai) di Sumatera Utara menjadi 2 kategori, yaitu penangkap sambilan dan penangkap insidentil. Penangkap sambilan adalah orang melakukan aktifitas menangkap ular setelah melakukan kegiatan utamanya, seperti bertani atau buruh pada perkebunan sawit, sedangkan penangkap insidentil orang yang menangkap ular secara tidak teratur dan tergantung kebutuhan ekonomi atau secara tidak sengaja.


(53)

b. Agen/sub agen

Agen dan sub agen merupakan orang menghubungkan antara penangkap/ pemburu dengan pengumpul daerah. Sub agen adalah orang yang membeli ular dan reptil hasil tangkapan pemburu dalam skala kecil dan menjual/menyetor kepada agen. Agen menerima/membeli ular/reptil hasil tangkapan dari para penangkap/pemburu yang berada di sekitar tempat tinggal dan sub agen yang menjual hasil pembelian ular dan reptil lainnya dari penangkap/pemburu. Agen/sub agen membeli secara langsung ular dan reptil lain hasil tangkapan yang kemudian dipisah-pisahkan dalam kantong-kantong kain atau kotak yang dibuat khusus untuk menanpung ular reptil lainnya. Waktu penyimpanan hasil tangkapan dibedakan menurut jenisnya, ular jali biasanya langsung disetor ke pengumpul daerah atau minimal 1-2 hari disimpan agar penyusutan massa tubuhnya tidak besar, sedangkan untuk ular sendok biasanya disimpan dalam waktu yang lama, hal ini karena ular sendok penjualannya berdasarkan ukuran dan untuk penyediaan pengguna lokal sebagai obat.

Menurut Semiadi dan Sidik (2011) bahwa agen dalam tata niaga ular sanca batik (Python reticulatus) dan sanca darah merah (Python brongersmai) di Sumatera Utara merupakan orang yang berperan mengumpulkan hasil tangkapan dari penangkap yang kemudian dijual kepada pengumpul daerah. Antara agen dan penangkap pada beberapa daerah terdapat sub agen menjual tangkapan dari penangkap kepada agen.

Hasil penelusuran dilapangan terhadap nama-nama penangkap yang berada dalam lampiran surat keputusan ijin tangkap yang dikeluarkan oleh BBKSDA Jatim, ditemukan bahwa nama-nama penangkap tersebut merupakan agen dan penangkap yang merangkap sebagai agen. Jumlah agen yang tercantum dalam surat ijin tangkap 12 pengumpul daerah sebanyak 78 orang.

c. Pengumpul daerah

Pengumpul daerah adalah badan usaha yang menerima/membeli satwa yang tidak dilindungi secara langsung dari para agen/sub agen dan


(54)

33

pemburu/penangkap yang berada disekitar rumahnya. Pengumpul daerah melakukan proses pengolahan sebelum dikirim ke pengumpul besar/eksportir. Hasil olahan ular sendok berupa kulit, daging yang dikirim kepada pengumpul besar/eksportir, sedangkan empedu dijual kepada pedagang obat tradisional. Limbah hasil pengolahan berupa kotoran atau daging yang tidak bisa diproses dimasukkan dalam kolam ikan sebagai tambahan pakan ikan.

Dalam tata niaga ular sanca batik (Python reticulatus) dan sanca darah merah (Python brongersmai) di Sumatera Utara, pengumpul daerah merupakan orang yang membawahi beberapa agen dan tinggal di kota terdekat dengan lokasi pemanenan ular. Pengumpul daerah mempunyai masa kerja yang cukup lama yaitu antara 5-31 tahun.

Pengumpul daerah memperoleh ijin tangkap dan ijin edar dari BBKSDA atau BKSDA dengan masa berlaku selama setahun untuk ijin tangkap dan lima tahun untuk ijin edar. Jumlah pengumpul daerah di Jawa Timur yang memiliki ijin tangkap sebanyak 12 perusahaan dan ijin edar sebanyak 23 perusahaan.

d. Pengumpul besar/eksportir

Pengumpul besar/eksportir adalah badan usaha/perusahaan yang menerima satwa tidak dilindungi dari para pengumpul daerah dan agen/sub agen dalam bentuk olahan atau hidupan. Pengumpul besar dan sekaligus sebagai eksportir dan pengedar reptil di Jawa Timur sebanyak 4 perusahaan. Pengumpul besar/eksportir mempunyai hubungan kerjasama dengan pengumpul daerah untuk memenuhi kebutuhan ular dan reptil lain yang diekspor ke luar negeri. Pengumpul besar/eksportir mendapat ijin eksport satwaliar dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) atas rekomendasi BBKSDA Jatim dengan masa berlaku ijin selama lima tahun dan dapat diperpanjang kembali. Daging ular sendok dieksport ke Taiwan, Hongkong dan Cina, sedangkan kulit selain untuk kebutuhan industri kulit lokal dan negara-negara di Asia juga Eropa.


(1)

Lampiran 11. Hasil uji Mann-Whitney sarang ada ular sendok didalamnya dengan sarang tidak ada ular didalamnya pada habitat sawah di Kabupaten Probolinggo dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19

Test Statisticsb Suhu

udara

Kelembaban udara

Ketinggian

tempat pH tanah

Kelembaban tanah

Jarak dari pemukiman

Jarak dari sumber air

Mann-Whitney U 2,500 4,500 6,000 17,000 1,500 14,000 11,500

Wilcoxon W 597,500 5,500 7,000 18,000 596,500 15,000 12,500

Z -1,481 -1,257 -1,100 0,000 -1,545 -0,297 -0,663

Asymp. Sig. (2-tailed) 0,139 0,209 0,271 1,000 0,122 0,766 0,507

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]


(2)

Lampiran 12. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang ada ular sendok pada habitat sawah dengan habitat pemukiman di Kabupaten Probolinggo dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19

Test Statisticsa Suhu

udara

Kelembaban udara

Ketinggian tempat

pH tanah

Kelembaban tanah

Jarak dari pemukiman

Jarak dari sumber air Most Extreme

Differences

Absolute 0,629 0,286 0,314 0,000 0,400 0,629 0,686

Positive 0,000 0,286 0,314 0,000 0,343 0,057 0,686

Negative -0,629 -0,214 -0,143 0,000 -0,400 -0,629 -0,171

Kolmogorov-Smirnov Z 0,865 0,393 0,432 0,000 0,550 0,865 0,943


(3)

Lampiran 13. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang ada ular didalamnya dengan sarang tidak ada ular didalamnya pada habitat sawah di Kabupaten Malang dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19

Test Statisticsa Suhu

udara

Kelembaban udara

Ketinggian

tempat pH tanah

Kelembaban tanah

Jarak dari pemukiman

Jarak dari sumber air Most Extreme

Differences

Absolute 0,380 0,380 0,680 0,000 0,720 0,640 0,600

Positive 0,040 0,380 0,680 0,000 0,720 0,160 0,600

Negative -0,380 -0,120 0,000 0,000 0,000 -0,640 0,000

Kolmogorov-Smirnov Z 0,517 0,517 0,925 0,000 0,980 0,871 0,816


(4)

Lampiran 14. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang pada habitat sawah dengan kebun masyarakat di Kabupaten Malang dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19

Test Statisticsa Suhu

udara

Kelembaban udara

Ketinggian tempat

pH tanah

Kelembaban tanah

Jarak dari pemukiman

Jarak dari sumber air Most Extreme

Differences

Absolute 0,481 0,333 0,593 0,000 0,389 0,778 0,556

Positive 0,481 0,333 0,296 0,000 0,389 0,778 0,556

Negative -0,259 -0,333 -0,593 0,000 -0,167 -0,222 -0,222

Kolmogorov-Smirnov Z 0,657 0,455 0,809 0,000 0,531 1,061 0,758


(5)

Lampiran 15. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov sarang pada habitat sawah dengan habitat jalur kereta api di Kabupaten Malang dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 19

Test Statisticsa Suhu

udara

Kelembaban udara

Ketinggian tempat

pH tanah

Kelembaban tanah

Jarak dari pemukiman

Jarak dari sumber air Most Extreme

Differences

Absolute 0,104 0,333 0,630 0,000 0,370 0,444 0,778

Positive 0,089 0,333 0,630 0,000 0,000 0,370 0,778

Negative -0,104 -0,333 -0,259 0,000 -0,370 -0,444 -0,222

Kolmogorov-Smirnov Z 0,213 0,685 1,293 0,000 0,761 0,913 1,598


(6)

Lampiran 16 Rekapitulasi pengukuran peubah morfometrik

Tempat pengukuran Jarak Mata

(mm)

SVL (mm)

Panjang ekor (mm)

Panjang total (mm)

Massa (gram)

Pengumpul daerah

- Minimum 6,4 640,0 16,0 700,0 170,0

- Maksimum 17,5 1290,0 210,0 1500,0 1275,0

- Rata-rata 11,9 984,9 149,3 1134,2 527,3

- Rentang 11,1 650,0 194,0 800,0 1105,0

Agen/sub agen

- Minimum 9,1 800,0 60,0 910,0 269,0

- Maksimum 16,0 1220,0 190,0 1400,0 980,0

- Rata-rata 13,1 1013,2 149,0 1162,7 520,1

- Rentang 6,9 420,0 130,0 490,0 711,0

Penangkap

- Minimum 9,1 801,0 80,0 881,0 200,0

- Maksimum 17,4 1200,0 190,0 1370,0 1250,0

- Rata-rata 12,7 991,1 140,7 1131,8 636,0