24
Fadholi 2005 menyatakan bahwa, kemitraan yang dilakukan oleh PT. Saung Mirwan dengan mitra tani edamame adalah jenis kemitraan Prima Madya.
Kemitraan prima madya merupakan kemitraan yang terjadi dalam jangka menengah dan panjang. Kemitraan ini memiliki sistem dimana pihak inti hanya
berperan dalam menampung hasil panen, memberikan bimbingan teknis dan melakukan penyuluhan.
Berdasarkan analisis tingkat kepuasan yang diteliti oleh Fadloli 2005, tingkat kepuasan mitra tani edamame dalam melakukan kemitraan dengan PT
Saung Mirwan hasilnya belum sepenuhnya memuaskan mitra tani edamame. Alasan sebagian petani kurang merasa puas, dikarenakan kualitas benih yang
kurang bermutu, kurangnya bantuan dalam penanggulangan hama pengganggu tanaman, dan penetapan standar produksi pada pelayanan pasca panen yang
fluktuatif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya tentang edamame
adalah dari segi tempat penelitian yaitu di PT Saung Mirwan dan objek yang dikaji yaitu komoditi edamame, sedangkan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya tentang edamame yaitu dari sisi pembahasan. Penelitian ini lebih menitikberatkan untuk melihat tingkat efisiensi usahatani petani mitra PT
Saung Mirwan dalam melakukan kegiatan budidaya edamame.
2.2. Kajian Terdahulu Pendapatan Usahatani dan Kemitraan
Praktek kegiatan kemitraan di sektor pertanian sudah banyak dilakukan, seperti yang diungkapkan oleh Aryani 2005 yang melakukan penelitian tentang
pengaruh kemitraan terhadap pendapatan usahatani yang terjalin antara PT. Garuda Food dengan petani kacang tanah di Desa Palangan, Situbondo, Jawa
Timur. Alat analisis yang dipergunakan adalah analisis deskriptif dan analisis pendapatan usahatani. Aryani menjelaskan bahwa praktek kemitraan antara PT.
Garuda Food dengan petani kacang tanah sudah berlangsung lama. Kemitraan ini dilengkapi dengan suatu perjanjian antara PT. Garuda Food dengan petani mitra.
Kontrak tersebut berisi mengenai harga beli yang ditentukan PT. Garuda Food, penggunaan bibit, dan waktu panen. PT. Garuda Food menekankan kepada petani
untuk menggunakan bibit jenis Garuda 2, dan Gajah. Sedangkan untuk waktu panen PT. Garuda Food memberikan arahan kepada petani untuk memanen pada
25
umur 90-100 hari setelah tanam. Harga yang ditetapkan oleh PT. Garuda Food untuk dibayarkan kepada petani adalah sebesar Rp 6.730.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryani 2005 disimpulkan bahwa praktek kemitraan antara PT. Garuda Food dengan petani
mitra kacang tanah di Desa Palangan merupakan praktek kemitraan yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan saling memberikan manfaat bagi
keduanya. Selain itu kesimpulan lainnya adalah pendapatan usahatani petani mitra PT. Garuda Food lebih besar daripada petani non mitra. Hal ini karena
dipengaruhi perbedaan harga beli antara kacang tanah petani mitra yang dibeli oleh PT. Garuda Food dengan petani non mitra yang dibeli oleh tengkulak. Selain
itu perbedaan juga dipengaruhi waktu panen. Waktu panen petani mitra yang lebih lama dibandingkan petani non mitra menyebabkan produksi kacang tanah lebih
besar dibanding petani non mitra. Kajian mengenai kemitraan yang dihubungkan dengan pendapatan
usahatani juga dilakukan oleh Prastiwi 2010 dengan topik evaluasi kemitraan dan analisis pendapatan usahatani ubi jalar Kuningan dan ubi jalar Jepang pada
PT Galih Estetika. Alat analisis dipergunakan adalah Index Performance Analysis IPA, analisis pendapatan usahatani, dan analisis RC rasio. Petani yang dijadikan
sampel terdiri dari 30 orang dengan rincian 15 orang petani mitra ubi jalar Kuningan dan 15 orang petani mitra ubi jalar Jepang. Hasil yang diperoleh dari
penelitian yang dilakukan oleh Prastiwi 2010 adalah kemitraan yang terjalin antara PT Galih Estetika dengan petani ubi jalar menggunakan pola Kerjasama
Operasional Agribisnis KOA, namun dengan menerapkan sistem jual beli biasa bukan dengan sistem bagi hasil.
Prastiwi 2010 juga melakukan analisis terhadap pendapatan usahatani petani ubi jalar Kuningan dan juga petani ubi jalar jepang. Hasil dari analisis
pendapatan usahatani tersebut adalah pendapatan usahatani ubi jalar kuningan memberikan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan tunai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pendapatan usahatani ubi jalar jepang. Pendapatan atas biaya tunai usahatani ubi jalar Kuningan yaitu sebesar Rp 10.664.078 per Ha per
musim tanam, sedangkan pendapatan atas biaya tunai ubi jalar jepang yaitu sebesar Rp 4.975.497 per hektar per musim tanam. Selain itu nilai RC rasio
26
terhadap biaya tunai untuk usahatani ubi jalar kuningan adalah sebesar 3,104, sedangkan nilai RC rasio untuk ubi jalar jepang adalah sebesar 1,645. Jika dilihat
dari kedua nilai RC rasio, maka usahatani ubi jalar jepang dan ubi jalar kuningan dikatakan layak.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Damayanti 2009 yang melakukan penelitian mengenai keberhasilan pelaksanaan kemitraan antara petani semangka
di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dengan CV Bimandiri dalam meningkatkan pendapatan petani. Alat analisis yang digunakan adalah analisis
pendapatan usahatani, analisis deskriptif, analisis RC rasio dan Uji Mann- Whitney. Petani yang dijadikan sampel terdiri dari 15 orang petani mitra dan 15
orang petani non mitra. Pelaksanaan kemitraan antara CV Bimandiri dengan petani semangka di Kabupaten Kebumen disertai dengan adanya hak dan
kewajiban. Kewajiban yang harus dilakukan oleh petani adalah menanam komoditi semangka yang nantinya dijual kepada CV Bimandiri, sedangkan hak
yang dimiliki oleh petani adalah mendapatkan harga jual yang layak sesuai dengan kesepakatan. Sementara itu CV Bimandiri juga memiliki kewajiban
memberikan penyuluhan kepada petani dan melakukan pembayaran terhadap semangka yang dibeli dari petani, sedangkan hak dari CV Bimandiri adalah
mendapatkan pasokan buah semangka secara kontinu. Selain memaparkan mengenai pelaksanaan kemitraan, Damayanti 2009
juga memaparkan mengenai analisis pendapatan usahatani. Ia membandingkan pendapatan usahatani petani mitra dan petani non mitra. Hasil dari analisis
pendapatan usahatani tersebut adalah pendapatan usahatani petani mitra atas biaya total lebih besar dibandingkan dengan yang didapat oleh petani non mitra. Petani
mitra memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp 5.935.667, sedangkan petani non mitra memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp 2.430.733.
Perbedaan ini disebabkan oleh harga jual yang diterima petani mitra lebih tinggi dibandingkan dengan petani non mitra.
Damayanti juga melakukan penghitungan nilai RC rasio. nilai RC rasio terhadap biaya total untuk petani mitra adalah sebesar 1,85, sedangkan untuk
petani non mitra sebesar 1,4. Nilai RC rasio dari kegiatan usaha budidaya baik
27
untuk petani mitra maupun non mitra dapat dikatakan layak, karena nilai RC nya lebih dari 1.
Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu yang membahas tentang kemitraan dan pendapatan usahatani.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah dari segi objek dan tempat penelitian, sedangkan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
adalah dari segi penggunaan alat analisis atau metode yang dipergunakan yaitu menggunakan analisis pendapatan usahatani dan RC Rasio.
2.3. Kajian Terdahulu Fungsi Produksi Stochastic Frontier dan Efisiensi Teknis