Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

(1)

ANALISIS SPASIAL

UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN PULAU-PULAU KECIL

(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

LA ODE SAMSUL BARANI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

La Ode Samsul Barani NIM: H051060041

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(3)

ABSTRACT

LAODE SAMSUL BARANI. Spatial Analysis for Development Policy Formulation of Small Islands Set (Case Study of Small Islands of Kaledupa Archipelago, Wakatobi Regency). Under directions of H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM and EKA INTAN KUMALA PUTRI.

The research objectives were to analyze the pattern of economic potentials associations, to analyze spatial pattern of economic potentials typology, to analyze and to compose spatial model of functional relationship between economic potentials with development performance, and to analyze and to formulate development policy of Kaledupa archipelago area. The quantitative analysis used were Principal Components Analysis (PCA), Tree-Clustering, K-Means Clustering, and Spatial Durbin Model. Data for each spatial unit were collected from various sources mainly Central Agency of Statistics (BPS), COREMAP and FORKANI. The pattern of economic potentials associations could summarize the indicator variables into 32 indexes. The analysis of spatial pattern of economic potentials typology resulted 24 spatial typologies which were grouped into 6 aspects. The spatial model of functional relationship between economic potentials with development performance showed various influences from internal as well as spatial external variables, both positive and negative, which were divided into 3 aspects, i.e; (1) development performances in the welfare sector, (2) development performances in such sectors as service, industry and mining, and (3) development performances in the agricultural sector. Based on spatial pattern, typology and functional relationship of economic potentials with development performance, the formula of development policy of Kaledupa archipelago area should be directed toward the increase in the diversification of agricultural plants, conservation of agricultural and mangrove to rehabilitate the agriculture and mangrove land use, educational improvement, birth rate control, the development of employment of seaweeds sector and the development of the facilities in the fishery sector.

Keywords: Economic potential, spatial typology, development performance, Small Islands of Kaledupa, spatial interaction.


(4)

RINGKASAN

LAODE SAMSUL BARANI. Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Kawasan Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi). Dibimbing oleh H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan EKA INTAN KUMALA PUTRI.

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 buah pulau yang lebih dari 10.000 pulau diantaranya adalah pulau-pulau berukuran kecil dan sangat kecil. Kawasan pulau–pulau kecil ini memiliki potensi ekonomi penting, namun kesejahteraan masyarakat pada kawasan tersebut relatif rendah sehingga sebagian besar penduduk di kawasan pulau-pulau kecil dan pesisir masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kebijakan pengembangan kawasan pulau kecil harus lebih spesifik dan terpadu baik antar sektor pembangunan dan antar wilayah. Analisis spasial adalah salah satu model perumusan kebijakan pembangunan yang berbasis ilmu pengetahuan untuk memperhitungkan berbagai keterkaitan potensi ekonomi baik intra maupun antar wilayah sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong kinerja pembangunan. Penelitian ini merupakan studi kasus di kawasan Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi dengan tujuan untuk menganalisis: (1) pola asosiasi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa, (2) pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa, (3) model hubungan fungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan, dan (4) merumuskan rekomendasi kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa. Untuk menjawab tujuan penelitian ini digunakan alat analisis kuantitatif yakni: Principal

Components Analysis (PCA), Tree Clustering, K-Means Clustering, dan Spatial

Durbin Model. Data penelitian berasal dari berbagai sumber seperti; BPS,

COREMAP dan Forkani. Unit wilayah analisis terkecil penelitian ini adalah desa dengan jumlah 26 desa. Desa Lagijaya dibagi atas 2 wilayah unit analisis yaitu wilayah daratan dan Pulau Hoga. Variabel dianalisis sebanyak 111 variabel indikator.

Analisis pola asosiasi potensi ekonomi dapat meringkas variabel indikator menjadi 32 variabel indeks yang dibagi dalam 6 aspek yaitu: (1) sumberdaya alam dibagi atas 3 bidang yaitu; (a) penggunaan lahan terdiri atas 2 pola asosiasi, (b) pertanian dan perkebunan terdiri atas 2 pola asosiasi dan (c) perikanan terdiri atas 2 pola asosiasi, (2) sumberdaya manusia dibagi atas 3 bidang yaitu; (a) kependidikan terdiri atas 2 pola asosiasi, (b) bidang kependudukan terdiri atas 4 pola asosiasi (c) ketenagakerjaan terdiri atas 3 pola asosiasi, (3) sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum terdiri atas 6 pola asosiasi, (4) sarana perikanan terdiri atas 2 pola asosiasi, (5) kepariwisataan terdiri atas 3 pola asosiasi, dan (6) kinerja pembangunan terdiri atas 3 pola asosiasi.

Pola spasial tipologi potensi ekonomi menghasilkan unit spasial dalam beberapa tipologi wilayah. Aspek sumberdaya alam dari 6 variabel indeks dianalisis, Gugus Pulau Kaledupa dibagi dalam 5 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan pertanian, (2) kawasan perikanan, (3) kawasan sumberdaya alam relatif merata, (4) kawasan pertanian dan perikanan pelagis, teripang dan gurita, dan (5) kawasan hutan dan perikanan demersal. Sumberdaya manusia bidang kependidikan dan kependudukan dari 6 variabel indeks dianalisis, Gugus Pulau Kaledupa dibagi atas 6 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan pendidikan rendah dan


(5)

pasangan usia subur (PUS), (2) kawasan pendidikan dan ketersediaan dokter, (3) kawasan pendidikan, diversitas usia dan dokter tinggi, (4) kawasan dengan diversitas usia tinggi, (5) kawasan potensi sumberdaya manusia relatif merata, dan (6) kawasan kepadatan dan tingkat kelahiran. Sedangkan bidang ketegakerjaan dengan 4 variabel indeks dianalisis, dapat dibagi atas 5 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan keluarga nelayan, (2) kawasan aktivitas keluarga relatif merata, (3) kawasan keluarga jasa, perdagangan, industri dan tambang, (4) kawasan keluarga budidaya agar, dan (5) kawasan keluarga tani. Sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum dengan 6 variabel indeks dianalisis, Gugus Pulau Kaledupa dapat dibagi atas 5 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan listrik non PLN 5 wilayah, (2) kawasan beraspal dan bahan bakar dari minyak, (3) kawasan non listrik dan jalan non aspal, (4) kawasan rumah permanen, sumber air PAM, bahan bakar kayu dan non aspal, dan (5) kawasan mata air rendah/sumur tinggi. Sarana perikanan dengan 3 variabel indeks dianalisis dapat dibagi atas 4 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan sarana perahu dan peralatan tangkap perikanan tinggi, (2) kawasan diversitas alat tangkap rendah, (3) kawasan penangkapan ikan laut dalam, dan (4) kawasan infrastruktur perikanan relatif merata. Kepariwisataan dengan 3 variabel dapat dibagi atas 4 tipologi yaitu: (1) kawasan wisata alam/danau, (2) kawasan wisata bahari, (3) kawasan wisata budaya, dan (4) kawasan non wisata. Kinerja pembangunan dengan 3 variabel dapat dibagi atas 4 tipologi wilayah yaitu: (1) kawasan kinerja pembangunan jasa/industri dan tambang rendah, (2) kawasan kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan pendapatan budidaya agar rendah, (3) kawasan kinerja pembangunan relatif merata, dan (4) kawasan kinerja pembangunan pertanian rendah.

Model spasial hubungan fungsional antara sumberdaya ekonomi dengan kinerja pembangunan dibagi atas 3 bidang: (1) kesejahteraan dan budidaya agar, (2) sektor jasa, industri dan tambang, dan (3) sektor pertanian. Model hubungan fungsional tersebut menunjukkan pengaruh berbagai variabel internal dan ekternal wilayah baik bersifat positif maupun negatif terhadap kinerja pembangunan wilayah. Kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan budidaya agar dipengaruhi secara positif oleh: (1) ketetanggaan terhadap lahan mangrove dan pertanian, (2) indeks pendidikan SMU ke-atas, (3) SMP ke-bawah, (4) sarana perahu dan peralatan tangkap, (5) keluarga budidaya agar-agar, (6) kerapatan obyek wisata bahari. Sedangkan aspek yang berpengaruh negatif yakni: (1) areal tangkap ikan wilayah laut dalam/karang, (2) keluarga yang menggunakan bahan bakar utamanya dari kayu, dan (3) obyek wisata budaya. Kinerja pembangunan jasa, industri dan tambang dipengaruhi secara positif oleh (1) ketetanggaan dengan lahan mangrove dan pertanian, (2) produktivitas lahan dan diversitas tanaman pertanaian, (3) sarana perahu dan alat tangkap ikan, (4) sumber air dari sumur, (5) obyek wisata budaya, (6) sumber listrik non PLN. Sedangkan aspek yang berpengaruh negatif yaitu: (1) wisata bahari dan (2) rumah permanen dan air PAM. Kinerja pembangunan sektor pertanian secara positif dipengaruhi oleh: (1) produktivitas lahan dan diversitas tanaman pertanian, (2) ketetanggaan terhadap lahan mangrove dan pertanian, (3) ketersediaan dokter dan tingkat kematian, (4) kerapatan jalan aspel dan (5) areal tangkap laut dalam/karang. Sedangkan variabel berpengaruh secara negatif adalah: (1) keluarga tani, (2) kinerja pembangunan kesejahteraan dan budidaya agar, (3) kepadatan dan tingkat kelahiran, (4) obyek wisata bahari dan (5) pendidikan SMP ke-bawah.

Dengan memperhatikan pola spasial, tipologi dan hubungan fungsional potensi ekonomi dan kinerja pembangunan di atas, implikasi rumusan kebijakan


(6)

pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa diarahkan pada: peningkatan diversitas tanaman pertanian, pelestarian lahan pertanian dan mangrove, peningkatan derajat pendidikan penduduk, pengendalian tingkat kelahiran, peningkatan pelayanan kesehatan, pengembangan lapangan kerja sektor budidaya agar, pencarian pendapatan alternatif terhadap keluarga pertanian, peningkatan penyediaan air bersih, peningkatan ketersediaan listrik milik masyarakat, peningkatan penyediaan sarana jalan aspal, pengembangan energi pengganti bahan bakar rumahtangga dari kayu, pengembangan sarana perikanan dan transportasi laut dan peralatan tangkap, pengembangan perikanan tangkap laut dalam dan pangembangan pariwisata bahari serta wisata budaya.

Kata kunci: Potensi ekonomi, tipologi spasial, kinerja pembangunan, Gugus Pulau Kaledupa, interaksi dan konfigurasi spasial.


(7)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

©Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan

karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(8)

ANALISIS SPASIAL

UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN

KAWASAN PULAU-PULAU KECIL

(Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

LA ODE SAMSUL BARANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah

dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(9)

Judul Tesis : Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

Nama : La Ode Samsul Barani

NIM : H051060041

Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr Ketua

Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Bambang Juanda, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS  

 

Tanggal Ujian: 21 Agustus 2009 Tanggal Lulus:


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan tesis ini. Penelitian ini berjudul “ Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)”.

Dalam penyelesaian tulisan ini berbagai pihak telah banyak membantu, oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih.

Ucapan terimakasih yang berlimpah kepada Bapak Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S sebagai Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Perdesaan (PWD) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun tesis ini. Ucapan terimaksih setinggi-tingginya kami ucapakan kepada bapak Dr. Ir. H.R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, M.Si selaku pembimbing II yang telah mengarahkan dan membuka cakrawala berpikir penulis serta tanpa mengenal waktu dan selalu terbuka untuk konsultasi penyelesaian tesis ini. Penghargaan penulis kepada Pemerintah Kabupaten Wakatobi, dan BPS Kabupaten Wakatobi serta berberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada atau yang sedang menjalankan kegiatan di Kabupaten Wakatobi seperti; Forkani dan COREMAP Wakatobi yang telah membantu memberikan masukan, data dan informasi yang dibutuhkan untuk penyelesaian tesis ini. Kami sampaikan terimakasih kepada bapak Rektor Universitas Haluoleo yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana. Ucapan terimakasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD khususnya angkatan 2006 atas setiap dukungannya dangan semangat social capital yang terbangun selama ini. Kami ucapkan terimakasih dan permohonan maaf kepada keluarga khususnya Ayahanda La Ode Barani dan Ibunda Asmah Adtjih yang tak putus-putusnya memanjatkan doa untuk kebahagian kami serta Mertua kami bapak La Sawali yang telah banyak membantu. Kepada istri Fatmawati Sawali dan kedua anak kami Wa Ode Nur Fadillah dan La Ode Fattahul yang selalu sabar menunggu penulis untuk menyelesaikan masa studi. Akhirnya terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dukungan dengan caranya masing-masing.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Agustus 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1977 di Buranga Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan La Ode Barani dan Asma Adtjih.

Penulis menyelesaikan pendidikan SDN di Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi sedangkan SMP sampai SMA diselesaikan di Kota Kendari. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Haluoleo Kendari dan lulus tahun 2003.

Sejak tahun 2005 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Haluoleo. Pada tahun 2006 penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan atas bantuan pendidikan BPPS-Dikti Depdiknas.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 6

1.3.1. Tujuan ... 6

1.3.2. Manfaat ... 6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

1.5. Deskriptif Alur Kerangka Pemikiran Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1. Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil ... 10

2.1.1. Definisi Pulau Kecil ... 10

2.1.2. Batasan Tentang Pulau-Pulau Kecil ... 11

2.1.3. Problem Ekonomi Pulau-Pulau Kecil ... 13

2.2. Konsep Pembangunan Daerah ... 15

2.2.1. Pengertian Pembangunan dan Pengembangan Daerah ... 15

2.2.2. Tetrahedron Kemajuan ... 18

2.2.3. Model Pembangunan ... 18

2.2.4. Pergeseran Peranan Pemerintah-Masyarakat serta Kecenderungan Desentralisasi Pembangunan ... 19

2.2.5. Ekonomi Keterkaitan ... 22

2.2.6. Pemodelan Keterkaitan Spasial ... 23

2.4. Beberapa Penelitian Terkait dengan Pengembangan Sumberdaya Ekonomi Kabupaten Wakatobi... 26

2.4.1. Model Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dalam Rangka Pengembangan Wilayah Kepulauan Wakatobi ... 26

2.4.2. Pendekatan Penataan Ruang dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus; Pulau-Pulau Kaledupa Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Sulawesi Tenggara) ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 28

3.1. Lokasi Penelitian ... 28

3.2. Skema Prosedur Kerja Penelitian ... 28

3.2.1. Kerangka Proses Penelitian ... 28

3.2.2. Variabel Dasar dan Sumber Data ... 29

3.3. Analisis Variabel Indikator ... 31

3.4. Ortogonalisasi dan Analisis Kompomen Utama (PCA) ... 31

3.5. Analisis Indeks Komposit ... 33

3.6. Analisis Tree Clustering dan K-Means Clustering ... 34


(13)

3.8. Analisis Deskriptif ... 35

BAB IVGAMBARAN UMUM WILAYAH ... 36

4.1. Kondisi Geografis ... 36

4.1.1. Letak Geografis ... 36

4.1 2. Luas Wilayah ... 37

4.1.3 Keadaan Iklim ... 38

4.2. Kondisi Demografi ... 39

4.3. Ketenagakerjaan ... 40

4.4 Struktur Ekonomi ... 41

4.5. Pendidikan ... 42

4.6. Kesehatan ... 43

4.7. Infrastruktur dan Sarana umum ... 44

4.8. Arah Kebijakan Ekonomi Makro Kabupaten Wakatobi ... 45

4.8.1. Prioritas Pembangunan Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi Tahun 2008 ... 46

4.8.2 Rencana Struktur Ruang Kabupaten Wakatobi ... 48

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN ... 51

5.1 Pola Asosiasi Potensi Ekonomi Kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 51

5.1.1. Pola Asosiasi Potensi Sumberdaya Alam ... 51

5.1.2 Pola Asosiasi Potensi Sumberdaya Manusia ... 55

5.1.3 Pola Asosiasi Sumberdaya Infrastruktur Fasilitas Umum, Perikanan dan Kepariwisataan ... 58

5.1.4 Pola Asosiasi Sumberdaya Kinerja Pembangunan ... 63

5.2 Pola Spasial Tipologi Potensi Ekonomi Gugus Pulau Kaledupa ... 64

5.2.1. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Alam ... 65

5.2.2. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Manusia ... 69

5.2.3. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Infrastruktur dan Fasilitas Umum ... 78

5.2.4. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Infrastruktur Perikanan ... 82

5.2.5. Pola Spasial Tipologi Sumberdaya Kepariwisataan ... 85

5.2.6. Pola Spasial Tipologi Kinerja Pembangunan ... 89

5.3 Model Spasial Hubungan Fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 92

5.3.1. Model Spasial Hubungan Fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Bidang Kesejahteraan dan Budidaya Agar ... 93

5.3.2 Model Spasial Hubungan Fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Sektor Jasa, Industri dan Tambang ... 96

5.3.3 Model Spasial hubungan fungsional Antara Sumberdaya dengan Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian ... 99

5.4. Pembahasan Umum dan Kebijakan Pengembangan Kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 105


(14)

5.4.1. Arahan Kebijakan berdasarkan Aspek Potensi

Sumberdaya ... 105

5.4.2. Arahan Kebijakan Pengembangan Berdasarkan Unit Wilayah Desa dan Pulau di Kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 109

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN ... 115

6.1. Kesimpulan ... 115

6.2 Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 120  


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1  Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen ... 11  2  Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik

(Smallness) ... 14  3  Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan tingkat

insularitas ... 15  4  Matriks Pendekatan Penelitian ... 30  5  Pembagian desa berdasarkan pola penggunaan lahan tahun 2007 di

Gugus Pulau Kaledupa ... 37  6   Data curah hujan selama sepuluh tahun pengamatan (1995-2004) di

Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi ... 38  7   Struktur usia penduduk Gugus Pulau Kaledupa menurut umur tahun

2007 ... 40  8  Peranan sektor ekonomi Gugus Pulau Kaledupa terhadap pendapatan

wilayah atas dasar harga berlaku tahun 2007 ... 41  9  Daerah berdasarkan komoditas ekonomi Gugus Pulau Kaledupa tahun

2007 ... 42  10  Persentase penduduk Gugus Pulau Kaledupa menurut ijazah yang

ditamatkan tahun 2007 (%) ... 43  11   Jumlah sarana sekolah di Gugus Pulau Kaledupa tahun 2007 ... 43  12  Keadaan sarana kesehatan dan tenaga medis di Gugus Pulau Kaledupa

tahun 2007 ... 44  13  Keadaan sarana jalan berdasarkan permukaan jalan di Gugus Pulau

Kaledupa tahun tahun 2007 ... 44  14   Kepala keluarga berdasarkan sumber listrik di Gugus Pulau Kaledupa

tahun 2007 ... 45  15  Zonasi Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi sesuai SK Dirjen

PHKA Departemen Kehutanan no 307 tahun 2007 ... 49  16   Eigenvalues potensi sumberdaya alam bidang penggunaan lahan ... 51  17  Pola asosiasi potensi sumberdaya alam bidang penggunaan lahan Gugus

Pulau Kaledupa ... 52  18  Eigenvalues sumberdaya alam bidang pertanian dan perkebunan Gugus

Pulau Kaledupa ... 52  19  Pola asosiasi potensi sumberdaya alam bidang tanaman pertanian dan

perkebunan ... 53  20  Eigenvalues potensi sumberdaya alam bidang perikanan ... 54  21   Pola asosiasi potensi sumberdaya alam bidang perikanan Gugus Pulau

Kaledupa ... 54  22  Eigenvalues potensi sumberdaya manusia bidang kependidikan ... 55  23  Pola asosiasi potensi sumberdaya manusia bidang kependidikan ... 56 


(16)

24  Eigenvalues potensi sumberdaya manusia bidang kependudukan ... 56 

25 Pola asosiasi potensi sumberdaya manusia bidang kependudukan ... 57 

26 Eigenvalues potensi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan ... 58 

27  Pola asosiasi potensi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan ... 58 

28  Eigenvalues sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum ... 59 

29  Pola asosiasi potensi sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum ... 61 

30  Eigenvalues potensi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 61 

31  Pola asosiasi potensi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 62 

32  Eigenvalues potensi sumberdaya kepariwisataan ... 62 

34  Pola asosiasi potensi sumberdaya kepariwisataan ... 63 

35  Eigenvalues sumberdaya kinerja pembangunan ... 63 

36  Pola asosiasi sumberdaya kinerja pembangunan ... 64 

37  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya alam ... 67 

38  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya manusia bidang pendidikan dan kependudukan ... 71 

39  Wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan ... 76 

40  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya infrastruktur dan fasilitas umum ... 80 

41  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 84 

42  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi potensi sumberdaya kepariwisataan ... 87 

43  Kelompok wilayah berdasarkan tipologi kinerja pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 90 

44 Matriks arahan rumusan kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa ... 101 

45 Matriks arahan kebijakan pengembangan berdasarkan wilayah desa dan pulau di Gugus Pulau Kaledupa ... 110 


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1   Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 9  2  Segitiga Pembangunan ... 18  3   Kerangka pengelolaan daerah laut dan pesisir diera otonomi daerah

(UU no 32 tahun 2004) ... 22  4   Peta Kabupaten Wakatobi dan Gugus Pulau Kaledupa ... 28  5  Diagram kerangka proses penelitian ... 29  6  Kelompok keluarga di Gugus Pulau Kaledupa menurut lapangan

pekerjaan tahun 2007 ... 40  7   Peta Gugusan Kepulauan Wakatobi berdasarkan Satuan Wilayah

Pembangunan (SWP) Daerah ... 49  8   Grafik indeks potensi sumberdaya alam luas tanam dan produksi

tanaman pertanian dan perkebunan ... 65  9   Peta pola spasial tipologi potensi sumberdaya alam bidang luas tanam

dan produksi tanaman pertanian ... 66  10  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi potensi

sumberdaya alam Gugus Pulau Kaledupa ... 67  11   Peta pola spasial tipologi sumberdaya alam Gugus Pulau Kaledupa ... 69  12  Grafik indeks potensi sumberdaya manusia bidang kependidikan Gugus

Pulau Kaledupa ... 70  13  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi potensi

sumberdaya manusia ... 71  14  Peta pola spasial tipologi potensi sumberdaya manusia bidang

pendidikan dan kependudukan Gugus Pulau Kaledupa ... 74  15  Grafik indeks keluarga budidaya agar Gugus Pulau Kaledupa ... 74  16  Peta pola spasial tipologi keluarga budidaya agar Gugus Pulau

Kaledupa ... 75  17  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) indeks potensi sumberdaya

manusia bidang ketenagakerjaan ... 76  18  Peta pola spasial tipologi sumberdaya manusia bidang ketenagakerjaan

Gugus Pulau Kaledupa ... 78  19  Grafik indeks rumah semi permanen dan ketersediaan listrik Gugus

Pulau Kaledupa ... 78  20  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) potensi sumberdaya

infrastruktur dan fasilitas umum Gugus Pulau Kaledupa ... 79  21  Peta pola spasial tipologi sumberdaya infrastruktur dan sarana umum di

Gugus Pulau Kaledupa ... 82  22  Grafik indeks ketersediaan perahu dan alat tangkap Gugus Pulau


(18)

23  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi sumberdaya infrastruktur perikanan ... 83  24  Peta pola spasial tipologi sumberdaya infrastruktur perikanan Gugus

Pulau Kaledupa ... 85  25  Grafik indeks obyek wisata bahari Gugus Pulau Kaledupa ... 86  26  Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi sumberdaya

kepariwisataan Gugus Pulau Kaledupa ... 87  27  Peta pola spasial tipologi sumberdaya kepariwisataan Gugus Pulau

Kaledupa ... 88  28  Grafik indeks kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan budidaya

agar masyarakat Gugus Pulau Kaledupa ... 89  29   Grafik nilai tengah (Euclidean Distance) spasial tipologi kinerja

pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 90  30  Peta pola spasial tipologi kinerja pembangunan Gugus Pulau Kaledupa ... 92  31  Struktur model spasial hubungan fungsional antara sumberdaya dengan


(19)

DAFTAR SIMBOL DAN SINGKATAN

No Simbol Keterangan

(1) (2) (3)

1 SDA_ F1LU : Lahan pertanian dan mangrove 2 SDA_ F2LU : Lahan hutan/lahan terbangun 3 SDA_F1Tmn : Luas tanam dan produksi pertanian

4 SDA_F2Tnm : Produktivitas lahan dan diversitas tanaman pertanian 5 SDA_ F1Ikn : Produksi ikan demersal, alat tangkap sero,bubu dan

panah

6 SDA_ F2Ikn : Produksi ikan pelagis,teripang, gurita, dan alat tangkap pancing

7 SDM_F1Pdkn : Penduduk berijazah SMU ke atas 8 SDM_F2Pdkn : Penduduk berijazah SMP ke bawah 9 SDM_F1Pddk : Rataan dan diversitas usia Penduduk 10 SDM_F2Pddk : Tingkat kematian dan ketersediaan Dokter 11 SDM_F3Pddk : Ketersediaan Puskesmas dan PUS

12 SDM_F4Pddk : Kepadatan dan tingkat kelahiran 13 SDM_F1tngkrj : Keluarga jasa

14 SDM_F2tngkrj : Keluarga pertanian 15 SDM_F3tnkrj : Keluarga budidaya agar 16 IFU_F1SrnPbk : Rumah permanen dan air PAM

17 IFU_F2SrnPbk : Keluarga sumber air hujan dan non PLN 18 IFU_F3SrnPbk : Rumah semi Permanen dan penerangan listrik 19 IFU_F4SrnPbk : Keluarga sumber air sumur dan mata air

20 IFU_F5SrnPbk : Ketersediaan Perumahan bahan bakar minyak / kayu 21 IFU_F6SrnPbk : Kerapatan jalan beraspal

22 IFU_F1Ikn : Sarana perahu dan alat tangkap perikanan 23 IFU_F2Ikn : Areal perikan tangkap laut dalam/karang 24 IFU_F3Ikn : Diversitas alat tangkap

25 IFU_F1Wst : Obyek wisata bahari 26 IFU_F2Wst : Obyek wisata budaya 27 IFU_F3Wst : Obyek wisata alam

28 IKE_F1Pdtn : Kinerja pembangunan sektor jasa industri dan tambang 29 IKE_F2Pdtn : Kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan

budidaya agar

30 IKE_F3Pdtn : Kinerja pembangunan sektor pertanian 31 IndSDA_F1LU : Indeks lahan pertanian dan mangrove, 32 IndSDA_F2LU : Indeks hutan/lahan terbangun,

33 IndSDA_F1Tnm : Indeks luas tanam dan produksi pertanian,

34 IndSDA_F2Tnm : Indeks produktivitas dan diversitas tanaman pertanian, 35 IndSDA_F1Ikn : Indeks produksi ikan pelagis, teripang, gurita dan alat


(20)

(1) (2) (3)

36 37

IndSDA_F2Ikn IndSDM_F1Pdkn

: :

Indeks produksi ikan demersal dan alat tangkap sero, bubu, dan panah.

Indeks penduduk ijazah SMU ke atas 38 IndSDM_F2Pdkn : Indeks penduduk ijazah SMP ke bawah 39 IndSDM_F1Pdkk : Indeks diversitas dan rataan usia penduduk, 40 IndSDM_F2Pdkk : Indeks ketersediaan tenaga dokter dan kematian

penduduk

41 IndSDM_F3Pdkk : Indeks puskesmas dan pasangan usia subur (PUS), 42 IndSDM_F4Pdkk : Indeks kepadatan dan tingkat kelahiran penduduk 43 IndSDM_F1TngKjr : Indeks keluarga jasa, tambang dan industri, 44 IndSDM_F2TngKjr : Indeks keluarga pertanian,

45 IndSDM_F3TngKjr : Indeks keluarga budidaya agar

46 IndIFU_F1SrnPbk : Indeks rumah permanen dan sumber air PAM 47 IndIFU_F2SrnPbk : Indeks listrik non PLN dan sumber air hujan

48 IndIFU_F3SrnPbk : Indeks rumah semi permanen dan ketersediaan listrik 49 IndIFU_F4SrnPbk : Indeks sumber air sumur

50 IndIFU_F5SrnPbk : Indeks ketersediaan rumah bahan bakar kayu/minyak, 51 IndIFU_F6SrnPbk : Indeks kerapatan jalan aspal

52 IndIFU_F1Ikn : Indeks sarana perahu dan alat tangkap perikanan 53 IndIFU_F2Ikn : Indeks areal tangkap laut dalam/karang

54 IndIFU_F3Ikn : Indeks diversitas alat tangkap 55 IndIFU_F1Wst : Indeks obyek wisata bahari, 56 IndIFU_F2Wst : Indeks obyek wisata budaya, 57 IndIFU_F3Wst : Indeks obyek wisata alam.

58 IndIKE_F1Pdtn : Indeks kinerja pembangunan sektor jasa industri dan tambang

59 IndIKE_F2Pdtn : Indeks kinerja pembangunan bidang kesejahteraan dan budidaya agar

60 61 62 63 64 65 66 67 68

IndIKE_F3Pdtn BTNKW RPJMD RPJPD RKPD RTRW PUS PCA SWP

: : : : : : : :

Indeks kinerja pembangunan sektor pertanian Balai Taman Nasional Kepulauan Wakatobi Rencana pembangunan jangka menengah daerah Rencana pembangunan jangka panjang daerah Rencana kerja pemenrintah daearah

Rencana Tata Ruang Wilayah Pasangan usia subur

Principle Component Analysis Satuan wilayah pengembangan


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Variabel Indikator potensi sumerdaya Ekonomi Kawasan Gugus Pulau

Kaledupa ... 121  2 Variabel indeks potensi sumberdaya ekonomi kawasan Gugus Pulau

Kaledupa ... 128  3 Plot eigenvalues potensi sumberdaya ekonomi Gugus Pulau Kaledupa .... 130  4 Diagram Tree-Clustering spasial tipologi potensi ekonomi Gugus Pulau


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, terdiri atas 17.504 buah pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada) serta daerah teritorial seluas 5,1 juta km2 (63% dari total daerah teritorial Indonesia). Perairan Indonesia memiliki ekosistem terumbu karang seluas 75.000 Km2 (sekitar 15% dari terumbu karang dunia), padang lamun seluas 30.000 Km2, dan hutan mangrove seluas 9,2 juta ha. Lebih dari 10.000 pulau-pulau tersebut berukuran kecil dan sangat kecil dengan luas kurang dari 10.000 km2. Pulau-pulau ini mempunyai nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia. Sumberdaya daerah pesisir merupakan sumber pendapatan vital bagi negara yakni; sekitar 24 % Produk Nasional Bruto berasal dari sumberdaya pesisir; 60% protein dari sumber makanan berasal dari ikan; dan 90% produk perikanan laut diperoleh dari perairan 12 mil dari garis pantai (Duncan 2004).

Namun pemanfaatan potensi sumberdaya pulau-pulau kecil belum dikelola secara optimal. Hal ini terkait dengan karakteristik pulau-pulau kecil seperti;

smallness, isolatian, dependence dan vulnerability, sehingga pembangunan di

kawasan pulau-pulau kecil masih mengalami berbagai kendala seperti; ketergantungan terhadap komponen impor, kecilnya pasar domestik, ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonomi pulau, terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal, terbatasnya kompetisi lokal dan persoalan yang terkait dengan pelayanan publik (Adrianto 2005). Sebagian besar nelayan (khususnya penduduk di wilayah pulau-pulau kecil) di Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan kurang dari US$ 10 perkapita perbulan (Fauzi 2007).

Pada sisi lain, ekosistem wilayah pesisir terancam kerusakan yang mengkhawatirkan. Kerusakan dapat dilihat dari presentase kerusakan hutan mangrove sebesar 57,6 %, lamun sebesar 10% dan terumbu karang sebesar 36 %. Perhitungan Green Accounting oleh Repetto (1989) diacu dalam Fauzi (2007), menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade 80-an


(23)

ternyata tidak sebanding dengan laju kerusakan sumberdaya alam. Kerusakan sumberdaya alam tersebut dominan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu; (1) kebutuhan ekonomi (economic driven), dan (2) kegagalan kebijakan (policy

failure driven).

Lingkungan strategis baru dalam pengelolaan pembangunan daerah di Indonesia adalah dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 (jo. UU No. 32 / 2004) tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pemerintah daerah memiliki peran yang penting dalam pengelolaan sumberdaya alam. Kewenangan tersebut mencakup pengaturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang dan penegakan hukum. Hal penting untuk dilakukan oleh pemerintah daerah agar mampu mengemban amanah undang-undang dalam percepatan pembangunan daerah adalah: (1) memperkuat pengetahuan, (2) memperkuat penerapan basis pengetahuan dan (3) memperkuat keikhlasan berbuat (Saefulhakim 2008). Tiga poin tersebut menjadi sangat urgen untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota, khususnya daerah yang masih relatif baru untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya ekonomi yang dimiliki.

Salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki karakteristik wilayah sebagai gugusan pulau-pulau kecil adalah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten Wakatobi terdiri atas 48 pulau dengan luas wilayah sekitar 13.990 km2 dan panjang garis pantai 327 Km. Luas tersebut terdiri atas daratan seluas 457 km2 dan perairan laut 13.533 Km2 atau 97% wilayah laut dan daratan hanya 3% (WWF 2006). Kepulauan Wakatobi pada tahun 1996 ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut memalui SK Menteri Kehutanan RI No 393 dengan luas yang sama dengan wilayah administrasi Kabupaten Wakatobi.

Mengingat potensi kawasan Kepulaun Wakatobi di atas agar dapat sinergis dengan pencapaian tujuan pembangunan daerah serta tujuan kawasan konservasi, diperlukan suatu strategi kebijakan yang lebih spesifik dan terarah yang sesuai dengan kondisi dan tipologi tiap wilayah sehingga potensi yang dimiliki mampu dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(24)

1.2. Rumusan Masalah

Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya kelautan cukup besar. Perairan Kepulauan Wakatobi terdiri atas; ekosistem karang seluas 90.000 ha dengan 750 spesies, ekosistem lamun dan ekosistem mangrove seluas 804,45 ha. Tiga ekosistem tersebut merupakan areal penting untuk pemijahan (spawning

ground), pembesaran (nursery ground) dan tempat untuk mencari makan (feeding

ground) berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan

dan species lainnya, serta jasa lingkungan. Selain fungsi ekonomi juga berfungsi

untuk menyangga kehidupan untuk melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan gelombang. Dari areal penangkapan (fishing ground) yang potensial seluas 836.400 ha dengan produksi perikanan lestari sekitar 30.000 ton pertahunnya, baru termanfaatkan sekitar 5.000 ton pertahun (Coremap II dari; DKP Kab. Wakatobi 2006). Keindahan panorama bawah laut terumbu karang sangat potensial untuk pengembangan industri jasa pariwisata bahari. Sekitar 46 titik kawasan penyelaman di perairan Wakatobi yang paling diminati oleh wisatawan mancanegara dengan rata-rata kunjungan 1200 jiwa/tahun (Hugua 2007).

Dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan daerah maka visi, misi dan program kerja Kepala Daerah yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Daerah (RPJMD dan RPJPD) Kabupaten Wakatobi menempatkan sektor kelautan, perikanan dan pariwisata sebagai sektor unggulan (leading sector) pembangunan daerah. Berbagai dukungan kebijakan dan program dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan pelestarian sumberdaya alam di Kepulauan Wakatobi antara lain; (1) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui program Repayment of Fund and Interest ( ROFI), (2) Departemen Kehutanan; rezonasi Taman Laut Nasional Wakatobi yang terintegrasi dengan tata ruang wilayah daerah, (3) Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program

(COREMAP) serta beberapa program internasional lain seperti; UNDP melalui program MDG’s, Lembaga funding JICA serta lembaga internasional yang

concern pada kegiatan konservasi sumberdaya alam seperti; TNC, WWF dan


(25)

Namun potensi pembangunan tersebut belum memberikan kontribusi nyata terhadap kinerja pembangunan daerah. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal malah mengkategorikan Kabupaten Wakatobi sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia (Manan 2006). Rendahnya kinerja pembangunan dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain (1) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Wakatobi pada tahun 2006 sebesar Rp.184.662,65 juta (PDRB perkapita Rp. 1,88 juta). Walaupun terjadi peningkatan ekonomi dari tahun-ketahun, namun menunjukan trend pertumbuhan yang semakin menurun. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi sebesar 7,88% menurun menjadi 6,03% pada tahun 2006, (2) Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor unggulan seperti perikanan sebesar Rp. 208,5 juta tahun 2006 dan menurun menjadi Rp. 95,586 juta tahun 2007 (DKP Kab. Wakatobi 2007), sedangkan dari kegiatan pariwisata, walaupun terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisata sebesar 22% pertahun namun PAD menurun sebesar Rp. 130 juta tahun 2003 dan sebesar Rp.100 juta tahun 2005 (Coremap II 2007), (3) angka kemiskinan sebesar 14.899 KK atau 15%, (4) angka pengangguran meningkat dari 1.926 jiwa tahun 2005 menjadi 7.296 jiwa tahun 2007 (BPS Kab.Wakatobi 2007), dan (5) terumbu karang di Kepulauan Wakatobi hanya sekitar 31% tutupan terumbu karang hidup. Hal ini berarti sekitar 69% terumbu karang sudah mengalami kerusakan (CRITC LIPI 2006).

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan kawasan Kepulauan Wakatobi selama ini belum mampu memanfaatkan potensi sumberdaya ekonomi setiap gugus pulau secara optimal. Rendahnya kinerja pembangunan ekonomi daerah tersebut disebabkan oleh belum terjalinnya pola keterkaitan antar berbagai kekhasan potensi, baik antar faktor ekonomi, institusi maupun aktivitas ekonomi intra wilayah maupun antar wilayah dan gugus pulau dengan baik, sehingga program dan kegiatan antar sektor atau antar satuan kerja pemerintah daerah tidak sinergis bahkan saling melemahkan. Kondisi tersebut terkait dengan model pendekatan perencanaan kebijakan pembangunan yang masih bersifat parsial-sektoral. Hal ini terjadi akibat belum adanya basis ilmu pengetahuan pendukung kebijakan yang mampu menentukan dimensi keterkaiatan berbagai potensi ekonomi wilayah di atas.


(26)

Karakterisrik kawasan pulau-pulau kecil seperti; smallness, isolatian,

dependence dan vulnerability (Adrianto 2008) menyebabkan cakupan ekonomi

(economies of scope), skala ekonomi (economies of scale) dan kekhasan ekonomi

(economies of uniqueness) setiap kawasan gugus pulau-pulau kecil berbeda

dengan pada kawasan daratan besar. Gugusan kepulauan mempunyai ikatan fungsional baik secara ekonomis dan ekologis satu sama lainnya sehingga memiliki kekhasan dan tipologi wilayah yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, nilai kekhasan dan saling terkait antar berbagai faktor ekonomi serta konfigurasi spasial setiap pulau dan daerah menjadi penting dan perlu mendapat perhatian utama dalam perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil. Salah satu basis ilmu pengetahuan yang dapat menentukan dan memetakan berbagai kekhasan tipologi kawasan serta keterkaitan dan konfigurasi spasial dari berbagai potensi ekonomi adalah model analisis spasial. Model analisis spasial tersebut dapat menjadi alternatif model pendukung perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil, sehingga berbagai keterkaitan potensi ekonomi dan konfigurasi wilayah dapat dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil.

Untuk mengopimalkan kinerja pembangunan Gugusan Kepulauan Wakatobi, maka diperlukan pendekatan model analisis spasial untuk dapat memetakan berbagai keterkaitan potensi dan konfigurasi wilayah baik antar desa maupun antar wilayah pulau. Studi analisis spasial di kawasan Gugus Pulau Kaledupa menjadi penting dalam rangka peningkatan kinerja pembangunan Wakatobi dengan berbagai pertimbangan seperti: (1) aktivitas ekonomi masyarakat relatif beragam sehingga dapat memperentasikan sebagian besar aktivitas ekonomi di kawasan gugusan Kepulauan Wakatobi, (2) sebagian besar pulau di Kabupaten Wakatobi berada di kawasan Gugus Pulau Kaledupa yaitu sekitar 28 buah pulau dari 48 pulau atau sekitar 58%, (3) sekitar 49,65% nelayan Kabupaten Wakatobi tinggal di Gugus Pulau Kaledupa, dan (4) sekitar 67% kepala keluarga (KK) di Gugus Pulau Kaledupa tergantung secara langsung terhadap sumberdaya laut yang terbagi atas; 30% nelayan, 22% petani rumput laut, dan 14% pada kegiatan ekoturisme (Hugua 2007).


(27)

Dari uraian masalah di atas, tergambar bahwa perlu adaya suatu penelitian melalui pendekatan analisis spasial untuk perumusan kebijakan pengembangan wilayah gugus pulau kecil untuk dapat menjawab:

1. Bagaimana pola asosiasi berbagai potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

2. Bagaimana pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

3. Bagaimana model hubungan gungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

4. Bagaimana arah rencana kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa?

1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pola asosiasi berbagai potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

2. Menganalisis pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

3. Menganalisis dan menyusun model hunbungan fungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

4. Menganalisis dan merumuskan rekomendasi kebijakan untuk pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa.

1.3.2. Manfaat

Manfaat dari penelitian model spasial untuk kebijakan pengembangan Gugus Pulau Kaledupa ini adalah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu model pendekatan alternatif dalam perumusan kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil baik kawasan gugus pulau di kepulauan Wakatobi maupun untuk kawasan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia, sehingga potensi yang dimiliki oleh kawasan pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang pembangunan dan kesejahteraan bangsa.


(28)

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup kajian dari penelitian ini dibatasi pada aspek potensi sumberdaya ekonomi, yang terdiri atas (1) potensi sumberdaya alam, (2) potensi sumberdaya manusia, (3) potensi infrastruktur dan kepariwisataan, dan (4) kinerja pembangunan ekonomi, serta (5) aspek konfigurasi spasial Gugus Pulau Kaledupa.

Lingkup wilayah penelitian ini dibatasi pada wilayah Gugus Pulau Kaledupa sebagai satuan pembangunan wilayah (SWP) II Kabupaten Wakatobi. Unit wilayah penelitian ini adalah wilayah desa dan pulau.

1.5. Deskriptif Alur Kerangka Pemikiran Penelitian

Dalam perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil sangat penting untuk mencermati kondisi tipologi wilayah dan struktur keterkaitan serta konfigurasi wilayah setiap pulau maupun gugus pulau. Limpahan potensi ekonomi kawasan pulau-pulau kecil dengan berbagai karakteristik wilayah seperti; sempitnya wilayah daratan, ketergantungan terhadap wilayah lain, dan kerentanan wilayah akan berdampak pada ketidaksempuranaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility), ketaksempurnaan pemilahan antar faktor produksi (imperfect factor divisibility) dan ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect mobility of goods and services) menjadi lebih tinggi. Ketaksempurnaan tersebut akan terkait dengan nilai cakupan ekonomi, skala ekonomi dan kekhasan ekonomi yang ada di setiap pulau maupun gugus pulau. Prisip ilmuh wilayah dan ekonomi diatas akan sanggat mententukan nilai struktur keterkaitan antar berbagai aktivitas, faktor produksi dan institusi baik intra maupun antar gugus pulau. Saling keterkaitan berbagi potensi tersebut menyebabkan kawasan pulau-pulau kecil akan lebih cepat tumbuh. Pada wilayah yang belum terbangun pola keterkaian potensi ekonominya akan cenderung mengalami ketertinggalan bahkan kemunduran pembangunan. Pertumbuhan kawasan akibat dari interaksi antar potensi ekonomi kawasan tersebut bisa terjadi secara seimbang dan tidak seimbang. Interaksi kawasan yang tidak seimbang akan cenderung saling mengeksploitasi dan pada akhirnya akan mengalami ketimpangan pembangunan dan kemunduran. Pada kawasan tersebut perlu


(29)

merevisi kembali pola keterkaitannya. Sedangkan kawasan yang mengalami hubungan interaksi yang berimbang akan dapat berkembangan lebih cepat dan lebih merata. Perkembangan tersebut dapat terbentuk melalui mekanisme pasar dan/atau karena suatu proses perencanaan. Perumbuhan yang berimbang yang terbentuk atas mekanisme pasar dan proses perencanaan dapat mengalami kegagalan atau berhasil didalam mempertahankan keberimbangan. Mekanisme pasar yang gagal dalam mempertahankan keberimbangan pembangunan berdampak pada terabaikannya kepentingan bersama/publik. Sedangkan kegagalan perencanaan pemerintah dapat berdampak pada pengalokasian sumberdaya dan potensi pembangunan yang tidak efektif dan efisien. Kegagalan dalam mempertahankan pembangunan yang berimbang berdampak pada kinerja pembangunan yang rendah, sedangkan keberhasilan didalam pembangunan serta mempertahankan pertumbuhan yang berimbang akan menghasilkan kinerja pembangunan yang lebih baik dan berkelanjutaan.


(30)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

Tidak berkembang

Potensi Ekonomi wilayah Pulau-Pulau Kecil (aktivitas, institusi dan faktor produksi)

Keterkaiatan

kekhasan potensi ekonomi

Karakteristik Kawasan P2K; isolatian, dependence dan vulnerability

Ya Tidak

Seimbang Timpang

Saling ekspoitatif

Pola keterkaitan spasial/potensi ekonomi

1.Imperfect factor mobility 2.Imperfect factor divibility, 3. Imperfect mobility of god and services

Skala ekonomi, cakupan ekonomi, dan kekhasan ekonomi kawasan P2K

Mekanisme pasar

Perencanaan Pemerintah Kepentingan bersama

terabaikan

Inefisien/transaction cost tinggi

Mekanisme keberimbangan Kinerja Pembangunan

ekonomi Wilayah Rendah

Kinerja Pembangunan Wilayah berkembang dan Berkelanjutan

Gagal Tidak Tidak Gagal

Saling menguatkan; antar institusi, factor ekonomi, dan aktivitas ekonomi tindakan


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil 2.1.1. Definisi Pulau Kecil

Dalam praktek, secara visual kita dengan sangat mudah dapat mengetahui, minimal mengenal, mana daratan yang dapat digolongkan sebagai pulau dan mana yang tidak. Nunn (1994) diacu dalam Adrianto (2005) mengkritik bahwa walaupun pulau telah dibicarakan selama berabad-abad, namun definisi lengkap tentang sebuah pulau masih sulit ditemukan. Definisi paling mudah adalah bahwa pulau merupakan daratan yang dikelilingi oleh laut. Dengan demikian seluruh daratan (termasuk kontinen) di dunia ini adalah pulau karena struktur alam bumi memang hanya terdiri dari daratan dan air.

Fairbridge (1968) diacu dalam Adrianto (2005) memberikan definisi lain bahwa pulau adalah daerah daratan laut (ocean basins) yang memiliki karakteristik berbeda dengan daratan kontinen. Terkait dengan definisi ini kemudian Salm (1984) diacu dalam Adrianto (2005) mengajukan karakteristik dua pulau yaitu pulau-pulau oseanik dan kontinental, di mana pulau kontinental memiliki beberapa karakteristik kontinen sedangkan oseanik sama sekali tidak.

Dalam konteks pulau kecil, ada beberapa definisi pulau kecil yang digunakan dalam berbagai studi tentang pulau-pulau kecil di dunia. Towle (1979) diacu dalam Debance (1999) diacu dalam Adrianto (2005) misalnya menggunakan definisi pulau kecil menurut The Commonwealth Secretary yaitu pulau yang memiliki luas kurang dari 10.000 km2 dan penduduk kurang dari 500.000 jiwa. Definisi ini juga digunakan oleh UNESCO dalam sekuel Man and the Biosphere -nya yang ke-5 yaitu Sustainable Development and Environmental Management of


(32)

Tabel 1 Karakteristik Pulau Oseanik, Pulau Kontinental dan Daratan Kontinen

No Characteristics Oceanic Islands Continent Island Continent

1

2

3

4

5

Geographical Remote from continent Bounded by wide Seas, Small areas,

Equable air temperatures

Close to continents, Bounded in part by narrow areas,

Large or small areas, Less equable air temperatures

Very large areas Often very large seasonal and or diurnal temperature ranges Geological Volcanic or coralline

Few valuable minerals Permeable soil Sedimentary or metamorphic Some minerals Various soils Sedimentary or metamorphic or igneous Minerals

Various soils

Biological Impoverished overall

biotic variety

High turnover of species Mass breeding of marine vertebrates

Less impoverished overall biotic variety

Lower species turnover Often mass breeding of marine vertebrates

Full range of biotic variety

Usually low species turnover

Few marine vertebrates breeding ashore Historical Late discovery by humans

Recent settlement

Often early discovery Early or late settlement

Often early discovery Settlement by humans Economic Few terrestrial resources

Marine resources important Distant from major market

Wide range of terrestrial resources

Marine resources important Nearer larger market

Wide range of terrestrial resources Often marine resources unimportant

Market relatively accessible

Sumber: Dimodifikasi dari Salm (1984) diacu dalam Adrianto (2005) 2.1.2. Batasan Tentang Pulau-Pulau Kecil

Dengan perbandingan luas daerah lautan dan daratan sebagai 3:2 memberikan daerah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam. Teristimewa sumberdaya alam yang dapat pulih kembali seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan sebagainya, dan sejak lama dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan makanan utama, terutama sebagai sumber protein hewani. Masih ada sumberdaya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan, ataupun kalau sudah, masih berada pada taraf yang masih rendah dan perlu untuk dimanfaatkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak merupakan objek dari kegiatan pembangunan di daerah pesisir dan lautan.

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di


(33)

Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil, sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang ke dalam air. Jika dilihat dari segi budaya, maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri 1998).

Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis pada Masyarakat menyebutkan bahwa definisi pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa. Selain dari sisi ukuran luas dan jumlah penduduk, pulau kecil menurut Kepmen ini memiliki ciri insular yang tinggi, daerah tangkapan air yang relatif kecil, dan mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi (DKP 2000). Kepmen KP No. 41 Tahun 2000 ini juga menyebut bahwa untuk pulau dengan ukuran kurang dari 2.000 km2 terdapat pedoman khusus yang menyangkut kegiatan ekonomi yang sesuai dengan ukuran pulau tersebut. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan yang berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya.

Setelah keluarnya UU no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan daerah pesisir dan pulau-pulau kecil definisi ditingkat nasional sudah mulai ada kejelasan dengan mendefinisikan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilometer persegi) dengan ekosistimnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang pulau-pulau kecil selain bahwa luas lahan dan populasi menjadi indikator utama bagi definisi tersebut. Sebagai perbandingan, di Jepang tidak mengenal istilah pulau kecil (small islands) namun lebih pada pulau terpencil (remote

islands). Dengan demikian salah satu fokus utama perhatian pemerintah Jepang

terhadap pulau-pulaunya adalah apakah pulau tersebut memiliki ciri insularitas yang tinggi atau tidak. Dengan kata lain, karakteristik pulau oseanik atau kontinental menjadi salah satu indikator bagi pengelolaan pulau-pulau di Jepang.


(34)

yang didasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas maka terdapat 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada pulau lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil.

2.1.3. Problem Ekonomi Pulau-Pulau Kecil

Karakteristik ekonomi lain dari pulau-pulau kecil adalah tingkat ketergantungan yang tinggi dari bantuan atau subsidi dari pihak luar yang dalam konteks negara kepulauan adalah dari pemerintah pusat atau dalam konteks SIDS

(small islands development states) adalah dari negara lain, misalnya

negara-negara pulau yang masuk dalam kategori the common wealth (sekutu Inggris). Karakteristik ini membuat subsidi per kapita dari pulau-pulau kecil menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah lain. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1984 negara-negara pulau (SIDS) menerima subsidi sebesar US$ 248 per kapita dari ODA, lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang sebesar US$ 14 per kapita dan US$ 21,8 per kapita untuk the least developed countries (Hein, 1990) diacu dalam Adrianto (2005).

Pengurangan sama sekali tingkat bantuan/subsidi untuk pulau-pulau kecil merupakan hal yang dipandang tidak realistik meskipun dalam jangka panjang. Karena pulau-pulau kecil memiliki banyak keterbatasan baik dalam konteks ekonomi maupun ekosistem, maka pemberian subsidi yang tepat sasaran masih merupakan strategi yang diperlukan bagi pengelolaan ekonomi pulau-pulau kecil.

Karakteristik penting lain dari pulau-pulau kecil yang terkait dengan pengembangan ekonomi daerah adalah tingkat insularitas. Pulau-pulau kecil memiliki tingkat insularitas yang tinggi karena sebagian besar jauh dari daratan induknya. Persoalan ekonomi pulau-pulau kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung monopolistik, melimpahnya sumberdaya dan dominasi sektor jasa.


(35)

Beberapa hal lain yang menjadi ciri keterbatasan ekonomi daerah pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik (smallness) disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini.

Tabel 2 Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan ukuran fisik (Smallness)

No Keterbatasan

1 2 3 4 5 6 7 8

Terbatasnya sumberdaya alam dan ketergantungan terhadap komponen impor yang tinggi Terbatasnya substitusi impor bagi ekonomi pulau.

Kecilnya pasar domestik dan ketergantungan terhadap ekspor untuk menggerakkan ekonom pulau.

Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal

Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi Terbatasnya kompetisi lokal

Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Adrianto (2005)

Transportasi di pulau-pulau kecil merupakan persoalan yang khas mengingat tingkat insularitas mengakibatkan biaya transportasi yang relatif mahal per km-nya dibanding daerah lain yang lebih dekat dengan daratan induk. Apalagi apabila sistem transportasi antar pulau belum terbentuk dengan baik, sehingga membuat biaya transportasi menjadi semakin mahal. Transportasi feri dari Jepara ke Kepulauan Karimunjawa lebih mahal dibanding lokasi lain dengan jarak tempuh yang sama. Skala yang tidak ekonomis untuk sektor transportasi ini juga dipengaruhi oleh sulitnya membangun jaringan di pulau-pulau oseanik. Berbeda dengan kawasan kontinental yang mampu membangun jaringan transportasi terkait antar daerah, kasus untuk pulau-pulau kecil menjadi sulit karena tidak jarang jarak antar pulau sangat jauh dan pembangunan jaringan antar pulau menjadi sangat mahal (Adrianto 2005).

Terkait dengan persoalan transportasi, terdapat tendensi adanya sistem monopoli dan oligopoli di daerah pulau-pulau kecil (Hein 1990; McKee dan Tisdell 1990)(diacu dalam Fachrudin 2006). Hal ini terkait dengan industri perdagangan di mana karena terbatasnya pilihan terhadap suplier, sehingga cenderung menjadi monopoli. Tabel 2.3 menyajikan karakteristik pulau-pulau kecil dilihat dari sifat insularitas seperti yang disampaikan oleh Adrianto (2005).


(36)

Tabel 3 Keterbatasan ekonomi pulau-pulau kecil terkait dengan tingkat insularitas

No Keterbatasan

1 2 3 4 5 6 7 8

Biaya transportasi per unit produk Ketidakpastian suplai

Volume stok yang besar

Ketergantungan terhadap produk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal

Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi Terbatasnya kompetisi lokal

Persoalan yang terkait dengan administrasi publik Sumber : Adrianto (2005)

2.2. Konsep Pembangunan Daerah

2.2.1. Pengertian Pembangunan dan Pengembangan Daerah

Dalam banyak hal istilah pembangunan dan pengembangan banyak dilakukan dalam hal yang sama dan dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan. Namun beberapa kalangan di Indonesia cenderung menggunakan secara khusus istilah pengembangan untuk beberapa hal yang spesifik. Beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daerah/kawasan dibandingkan dengan pembangunan daerah/kawasan untuk istilah

regional development. Demikian juga banyak yang lebih senang menggunakan

istilah pengembangan masyarakat dibanding dengan istilah pembangunan masyarakat. Secara umum perbedaan istilah pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi “pemberdayaan”, “kedaerahan’ atau “kedaerahan” dan lokalitas. Namun sekali lagi sebenarnya secara umum kedua istilah tersebut diartikan secara tidak berbeda untuk proses yang selama ini secara universal dimaksudkan sebagai pembangunan atau development. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ”pengembangan“ lebih menekankan pada proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa pengembangan melakukan sesuatu yang tidak dari nol atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tetapi kualitas dan kuantitasnya diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki sama sekali), namun perlu


(37)

Dalam penelitian ini, lebih memilih menggunakan istilah pengembangan daripada istilah pembangunan sebab penelitian ini terkait dengan analisis spasial dan variabel-variabel yang diamati adalah potensi sumberdaya perikanan yang sudah ada sebelumnya, sehingga penelitian ini memetakan dan menganalisis dan merumuskan potensi yang lebih startegis untuk dikembangkan.

Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistimatis dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Dengan perkataan lain proses pembangunan adalah proses memanusiakan manusia.

Pembangunan tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan pokok saja, tetapi manusia mempunyai kebutuhan lain yang sangat banyak jumlahnya dan sangat luas jenisnya. Terdapat perkembangan pemikiran dan pendekatan dari pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability), yang pada hakekatnya menghendaki masyarakat yang lebih berkeadilan dan selanjutnya menempatkan peranan sumberdaya manusia (SDM) pada posisi utama dan terutama dalam pembangunan, baik sebagai konsumen maupun sebagai faktor produksi. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dipandang sebagai faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan masyarakat.

Dalam hubungan ini harus diarahkan bukan saja meningkatkan physical

capital stock, tetapi ditujukan pula untuk human capital stock. Capital stock

adalah untuk menunjang penciptaan lapangan kerja, dan human resources untuk menyediakan tenaga yang terampil. Pembangunan harus merupakan suatu kemajuan dan kemampuan internal dalam masyarakat yang bersangkutan, merupakan suatu proses penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas, kontribusi dan partisipasi aktif dan kreatif masyarakat lokal dalam pembangunan. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal merupakan upaya pemberdayaan masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan perkembangan paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people-oriented), partisipatif (participatory), pemberdayaan (empowerment) dan keberlanjutan


(38)

Daerah-daerah yang terbelakang atau tertinggal memiliki ketergantungan yang kuat dengan daerah luar. Mereka melakukan kegiatan pembangunan ekonomi untuk menghilangkan keterbelakangan (backwardness) yang berarti pula untuk mengurangi ketergantungan (dependency). Namun dalam upaya pembangunan ekonomi dihadapi hambatan dibidang sosial (sikap, perilaku dan pandangan hidup, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi). Daerah-daerah yang terbelakang harus melakukan perubahan yang mendasar dan fundamental diperlukan ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas dan terampil (Rustiadi, Saefulhakim, Panuju 2007).

Menurut Saefulhakim bahwa perubahan kearah kemajuan merupakan kata kunci pembangunan. Perubahan terjadi karena didorong oleh empat model proses yaitu: (1) proses alamiah (natural process), (2) mekanisme pasar, (3) proses perencanaan (planning process), atau (4) kombinasi antar berbagai proses tersebut. Pembangunan merupakan perubahan terencana (planned changes), sehingga perubahan tanpa perencanaan tidak dapat dikatakan sebagai pembangunan (Saefulhakim 2008).

Perubahan kearah berbagai bentuk kemajuan berpangkal dari adanya berbagai bentuk: (1) kekhasan subtansial (unique substances), dan (2) keterkaitan fungsional (functional interaction) antar berbagai kekhasan tersebut, yang berlangsung pada ruang dan waktu yang tepat. Dalam konteks pembangunan daerah, berbagai bentuk kekhasan ini dapat berupa karakteristik wilayah, keanekaragaman sumberdaya, institusi pelaku (produsen, konsumen dan pemerintah) serta berbagai aktivitas ekonomi yang tersebar secara spasial antar daerah.


(39)

Kemajuan: resultante keterkaitan fungsional antar kekhasan pada ruang-waktu yang tepat (Saefulhakim 2008)

Gambar 2 Segitiga Pembangunan

2.2.2. Tetrahedron Kemajuan

Perputaran roda perubahan kearah kemajuan (pembangunan) terkait dengan kontribusi/peran banyak pihak/instansi yang pada prinsipnya dapat dikelompokan kedalam empat pihak yaitu; (1) institusi keilmuan, (2) pemerintahan, (3) dunia usaha, dan (4) masyarakat luas. Pembangunan yang menjamin kemajuan yang berkelanjutan adalah kemajuan yang berbasis pada perkembangan ilmu pengetahuan, pemerintah yang lebih bersih dan kredibel (adil), dunia usaha yang semakin adil dan profesional, serta masyarakat luas yang semakin aktif berpartisipatif produktif. Dengan demikian, pembangunan harus semakin terukur peranannya dalam penguatan basis pengetahuan, peningkatan kapasitas pemerintahan, peningkatan kapasitas ekonomi dan peningkatan pemberdayaan masyarakat. Konsep pembangunan yang terlalu menyederhanakan bahwa semuanya akan ikut mendapatkan penguatan dengan hanya mendorong pertumbuhan ekonomi (tricle down effect) tidak mendapat dukungan emperik yang luas (Sen 1992 diacu dalam Saefulhakim 2008).

2.2.3. Model Pembangunan

Dengan menggunakan terminologi model dinamik proses pembangunan dapat diklasifikasi kedalam empat model dasar yaitu; (1) model stimulus

response, (2) model self-referencing, (3) model goal-seeking, dan (4) model goal

KEMAJUAN 

KETERKAITAN  KEKHASAN 


(40)

setting. Keempat model dasar ini bisa dipandang sebagai tahapan pembangunan dari paling primitif hingga paling maju (Saefulhakim 2008).

Pada tahap model stimulus-response, roda aktivitas pembangunan hanya bergerak manakala mendapat ‘rangsangan’ dari luar. Ketika ‘rangsangan’ dari luar itu berhenti, aktivitas pembangunan juga berhenti. Selanjutnya, pada tahapan model self-referencing, perputaran roda aktivitas pembangunan tidak bergantung pada ada–tidaknya rangsangan dari luar. Waktu rangsangan dari luar berhenti aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu membangun rangsangan secara internal (mandiri). Namun belum jelas kaitannya dengan ‘tujuan’ perputaran roda pembangunan pada model ini ‘asal ada aktivitas’. Pada tahapan model Goal-seeking, perputaran roda aktivitas pembangunan seperti pada model

goal-seeking. (1) tidak tergantung pada ada tidaknya rangsangan dari luar,

sehingga walau rangsangan dari luar berhenti, aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu pembangunan rangsangan secara internal (mandiri), dan (2) kaitannya dengan tujuan sudah jelas, perputarannya tidak lagi bersifat asal ada aktifitas. Dibandingkan dengan model sebelumnya, ada tiga perbedaan yaitu; (1) tujuan telah dirumuskan secara mandiri oleh stakholder internal, (2) keterkaitan antar stakehorder internal yang awalnya hanya sekedar terkait (rural

urban and interregional linkages) telah berimbang menjadi hubungan yang

berbasis kesetaraan saling menguatkan (rural-urban and interregional

partnership) dan (3) hubungan eksternal yang semula bersifat ketergantungan

(exsternal resourse dependent) telah berkembang pada hubungan yang lebih

bermartabat (external resourse partnership). Dengan perkembangan pola demikian, pada tahapan model ini perputaran aktivitas pembangunan lebih jelas arahnya terhadap penguatan kapasitas sumberdaya internal setiap waktu secara berimbang dan bermartabat. Pembangunan dengan model Goal-seeking inilah pembangunan dalam pengertian sejati (Saefulhakim 2008).

2.2.4. Pergeseran Peranan Pemerintah-Masyarakat serta Kecenderungan Desentralisasi Pembangunan

Dalam pandangan konsep ekonomi Keynesian, awalnya peranan pemerintah adalah mendorong pembangunan untuk menanggulangi kegagalan pasar (market


(41)

pembangunan cenderung mengarah pada government failure (kegagalan pemerintah) yang dampaknya sering lebih parah dari market failure karena menciptakan transacton cost tinggi yang menurunkan efisensi ekonomi, serta menghambat pemerataan dan pertumbuhan. Selanjutnya menurut Anwar (2000) (dikutip dari Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007), di Indonesia hal ini diperparah oleh kultur (priyaisme) elit masyarakat disamping kapitalis pemerintah yang rendah (lack of government). Dalam paradigma pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus semakin dibatasi pada bidang pengelolaan ”public

good” dan dibidang swasta dan masyarakat tidak punya inisiatif untuk

melakukannya.

Government policy failure dapat terjadi akibat pelaksanaan pembangunan

secara top-down dan sentralistik, dimana pemerintah pusat sering kali tidak mengetahui kondisi ekosistim dan tata-nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Hal ini didorong oleh kesalahan pengaturan perencanaan (design) program dan proyek pembangunan yang berdampak pada pemiskinan masyarakat di daerah (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007).

Dalam paradigma perencanaan daerah yang modern perencanaan daerah diartikan sebagai bentuk kajian yang sistimatis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas dan memenuhi kebutuhan masyarakat

(public) secara berkelanjutan. Awal dari proses perencanaan daerah adalah

beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagi akibat dari adanya perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan (peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain). Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam perencanaan daerah (Clayton dan Dent 1993): (1) kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan (2) adanya polical will dan kemampuan untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Dengan demikian penyusunan perencanaan daerah bukan merupakan sesuatu keharusan tanpa sebab, memalinkan lahir dari adanya kebutuhan (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007).


(42)

Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan inventasi dan teknologi luar semata (perspektif materialistik) yang didominasi oleh peranan pemerintah, telah bergeser kearah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan pada proses patisipatif dan kolaboratif

(participatory and collaborative process) yang ditujukan untuk meningkatkan

kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan pembangunan serta kebebasan dan kemandirian.

Di Indonesia diberlakukannya UU 22/1999 yang diperbaharui melalui UU 32/2004 mengenai pemerintahan daerah berimplikasi terhadap luas dalam sistim perencanaan pembangunan di daerah-daerah. Otonomi daerah mengisyaratkan pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pembangunan daerah dibanding pendekatan sektoral serta lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah dalam pembangunan. Pembangunan yang berbasis pembangunan daerah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial (keruangan), serta antar pelaku (institusi) pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam rangka pembangunan daerah.

Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah juga telah muncul kepermukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah (PAD) sebesar-besarnya cenderung menyebabkan eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam. Sikap ego antar pemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan hidup (Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007).


(43)

Sumber: Adrianto, (2005)

Gambar 3 Kerangka pengelolaan daerah laut dan pesisir diera otonomi daerah (UU no 32 tahun 2004)

2.2.5. Ekonomi Keterkaitan

Seperti kita ketahui bahwa keterkaitan dan berbagai terminologi sepadannya, merupakan kata kunci sentral dalam kajian pembangunan. Nilai-nilai ekonomi yang lahir dari berbagai bentuk keterkaitan ini, berakar dari tiga dimensi nilai ekonomi yaitu, (1) nilai ekonomi kekhasan (economies of uniquess), (2) nilai ekonomi skala/ukuran (economis of scale) dan (3) nilai ekonomi cakupan

(economis of scope). Dalam prespektif teori lokasi (location theory), kesemuanya

ini terkait dengan adanya tiga pilar konfigurasi ruang yaitu; (1) ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility), (2) ketaksempurnan pemilihan/pemisahan antara faktor produksi (imperfect factor divisibility), dan (3) ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect mobility of goods and

services) (Saefulhakim 2008).

Ketaksempurnaan pemilihan/pemisahan antar faktor produksi berimplikasi bahwa pemilahan/pemisahan akan berkonsekuensi pada peningkatan biaya-biaya. Dengan demikian, kerjasama antar institusi pemilik/faktor produksi yang berbeda menjadi penting untuk menekan biaya-biaya itu. Fenomena ini didalam terminologi ekonomi struktur industri (economies of industrial structure) terkait dengan konsep ekonomi cakupan (economies of scope). Ekonomi cakupan ini juga bisa terjadi pada suatu fenomena antar beberapa unit kelembagaan aktivitas ekonomi terdapat faktor yang menjadi perhatian bersama (common factor). Biaya


(44)

penanganan faktor yang demikian bila dilakukan oleh masing-masing unit kelembagaan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan biaya penanganannya yang dilakukan secara bersama. Penguasaan basis pengetahuan untuk mampu secara jeli mengidentifikasi ketaksempurnaan pemilihan/pemisahaan antar jenis faktor produksi dan faktor produksi yang merupakan perhatian banyak pihak, menjadi landasan penting dalam membangun hubungan kerjasama dengan pihak mana dan dalam hal apa (Saefulhakim 2008).

Setiap aktivitas ada batas skala operasi optimalnya yang dalam terminologi ekonomi dikenal dengan skala ekonomi (economies of scale). Analisis titik impas

(breack even ponit Analysis) adalah salah satu instrument yang digunakan. Suatu

kegiatan yang dioperasikan bahwa batas skala ekonomi akan berkonsekuensi pada biaya-biaya tinggi (high cost economy). Dalam perspektif ekonomi keterkaitan, pembangunan dapat dibagi kedalam dua proses utama, yaitu (1) pengembangan keterkaitan (linkage development) dan (2) penataan struktur keterkaitan kearah yang lebih berimbang (linkage reform). Tanpa adanya keterkaitan fenomena yang akan terjadi adalah apa yang menurut Greertz (1981) disebut sebagai involusi

(involution). Segala potensi yang dimiliki tidak berkembang bahkan mengalami

pembusukan. Dengan demikian berbagai pembangunan keterkaitan menjadi penting. Selanjutnya, struktur keterkaitan ini perlu dipantau perkembangannya. Jika perkembangannya mengarah ke pola yang timpang, fenomena yang terjadi adalah eksploitatif. Penataan ulang struktur keterkaitan kearah yang semakin berimbang menjadi semakin penting. Keseimbangan akan lebih menjamin pola hubungan yang saling memperkuat (mutual strengthening) dan pembangunan mengarah kepada kemajuan secara berkelanjutan (Saefulhakim 2008).

2.2.6. Pemodelan Keterkaitan Spasial

Pada umumnya dalam merubah kinerja pembangunan kearah yang lebih baik, asumsi yang harus dibangun yakni adanya faktor-faktor atau instrument yang harus dipetakan atau diperhatikan dengan membuat model hubungan yang kemudian disimulasikan untuk membuat kebijakan mengenai instrument mana yang tepat, dan potensi apa yang harus dikembangkan dalam mendorong kinerja pembangunan.


(45)

Model di atas dapat ditunjukkan dengan model matematik secara konvensional melalui model regresi Cob-Douglas yang menghubungkan antara beberapa variabel penjelas dengan variabel tujuan. Model ini secara interaktif menjelaskan bahwa suatu aspek atau kinerja pembangunan dipengaruhi oleh berbagai aspek yang tidak bekerja sendiri melainkan suatu interaksi dari berberbagai aspek (bekerja secara simultan/secara interaktif) contoh bahwa sistim produksi ditentukan oleh faktor modal, lahan dan tenaga kerja yang tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pendekatan itu merupakan hasil perkalian dari faktor-faktor tersebut bukan hasil penjumlahan sehingga bila salah satu tidak ada maka aspek yang lain tidak ada manfaatnya. Untuk memudahkan estimasi dari berbagai parameter maka perlu didilinearkan atau di log-kan. Tetapi hal ini masih bersifat konvensional karena belum memperhatikan aspek-aspek intra spasial. Secara matetatisnya dapat ditulis sebagai berikut.

keterangan;

yi : nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke i,

xi,j : nilai variabel penjelas ke j untuk individu sampel ke-i,

b0 : parameter konstanta (intercept), dan

bj : parameter koefisien untuk variable penjelas ke-j.

Jika setiap individu sampel menyatakan lokasi, maka model pada persamaan di atas mengasumsikan bahwa apa yang terjadi di suatu lokasi tertentu ke-i (yi)

hanya dipengaruhi oleh karakteristik lokasi tersebut (xi,j). Asumsi demikian dalam

banyak hal tidak realistis, sebagai contoh intensitas serangan hama dan penyakit tanaman yang terjadi pada suatu petak sawah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan pola budidaya yang dilakukan pada petak sawah tersebut, tetapi juga intensitas serangan hama dan penyakit, karakteristik dan pola budiadaya di petak-petak sawah sekitarnya. Kinerja pembangunan pada suatu wilayah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang ada di wilayah tersebut, tetapi kinerja pembangunan, karakteristik serta manajemen pembangunan yang dilakukan di wilayah-wilayah sekitanya dan wilayah-wilayah lain yang terkait dalam sistem ekologi-ekonomi.


(46)

Namun pendekatan yang umum tersebut, masih ada anggapan bahwa sistim wilayah sebagai wilayah tertutup sehingga didalam pendekatan pemodelan tidak ada yang disebut komponen interaksi spasial yang masuk didalam pemodelannya. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek-aspek dari wilayah lain merupakan pendekatan a-spatial.

Dalam ilmu wilayah dikenal bahwa kinerja pembangunan suatu daerah bukan hanya ditentukan oleh instrument atau potensi yang dimiliki tetapi dipengaruhi oleh instrument atau potensi dan kinerja pembangunan yang ada di daerah lain dan kondisi ini yang harus dipetakan. Instrument tersebut dapat mempengaruhi sampai sejauh mana, baik dari aspek positif dan negatifnya sehingga dapat mengatur konteks pembangunan dalam pendekatan spasial. Untuk dapat mengakomodasi fenomena keterkaitan antar satu lokasi dengan lokasi-lokasi lain di sekitarnya dan lokasi-lokasi-lokasi-lokasi yang merupakan satu sistem jaringan ekologi-ekonomi dengannya dalam literatur “ekonomirtika spasial” disebut sebagai Spatial Durbin Model (Saefulhakim, 2008).

Untuk mengakomodasikan peran interaksi antar daerah maka dibuat “Matriks Interaksi Spasial” yang menggambarkan bagaimana pola-pola interaksi maka regresi di atas dimodifikasi menjadi model regresi spasial sehingga bentuk model persamaaan di atas dirubah menjadi;

keterangan;

In : matriks identitas ukuran (n x n)

Wn,k : matriks ukuran (n x n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k


(1)

133

 

 

 

 

Plot

eigenvalues

sumberdaya infrastruktur perikanan

Plot

eigenvalues

sumberdaya kepariwisataan

Plot of Eigenvalues

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Number of Eigenvalues 0.0

0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5

Value

Plot of Eigenvalues

1 2 3 4 5 6 7

Number of Eigenvalues 0.0

0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5


(2)

134

 

 

 

 

Plot

eigenvalues

sumberdaya kinerja ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa

Plot of Eigenvalues

Number of Eigenvalues 0

1 2 3 4 5 6 7 8

Va

lu


(3)

135

 

 

 

 

Lampiran 4 Diagram

Tree-Clustering

spasial tipologi potensi ekonomi Gugus

Pulau Kaledupa

Diagram

Tree-Clustering

spasial tipologi potensi sumberdaya alam

Tree Diagram for 27 Cases Single Linkage Euclidean distances

Mant

igola

s

a

ma bahari

lent

ea

darawa Hoga tanjung

tanomeha

pajam

Tampara

s

andi

Peropa langge ka

su

a

ri

kalimas Waduri buranga

ollo

ollo selatan

balas

una Selat

a

n

lagijaya ambeua

balas

una

lewuto

ambeua ray

a

lauloua horuo

s

o

mbano

0 20 40 60 80 100 120

(Dlink

/Dmax

)*

100

Diagram

Tree-Clustering

spasial tipologi potensi sumberdaya manusia bidang

kependudukan dan kependidikan

Tree Diagram for 27 Cases Single Linkage Euclidean distances

lewuto

ambeua ray

a

ambeua

Hoga sandi buranga darawa ka

su

a

ri

lauloua

ollo selatan

Waduri kalimas lagijaya

balas

una ollo

Tampara

pajam langge

Mant

igola

balas

una Selat

a

n

horuo

s

a

ma bahari

tanjung lent

ea

Peropa

tanomeha so

mbano

0 20 40 60 80 100 120

(Dlink

/Dmax

)*


(4)

13

6

 

 

 

 

Di

ag

ram

Tr

ee-Clus

ter

in

g

sp

as

ial tipologi po

tensi su

m

b

erday

a m

anus

ia

bid

ang

k

ete

na

ga

k

erja

an

Tr ee Di agr am for 27 Cases W a rd `s me th o d Eucl idean di stances sandi langge tanjung tanomeha ollo selatan ollo pajam kalimas buranga horuo ambeua raya ambeua Mantigola sama bahari Peropa kasuari Tampara Hoga darawa lentea Waduri balasuna lewuto lauloua lagijaya balasuna Selatan sombano

0 20 40 60 80

100 120 (Dlink/Dmax)*100

Di

ag

ram

Tr

ee-Clust

er

in

g

spasial tipologi po

tensi

su

m

b

erday

a

infrastruktur dan

fasilitas u

m

u

m

Tr ee Di agr am for 27 Cases Si ngl e Li nkage Eucl idean di stances Hoga Mantigola sama bahari tanjung sandi langge lagijaya ambeua raya darawa lentea pajam tanomeha ollo selatan horuo Waduri buranga ollo Tampara kalimas balasuna Peropa kasuari balasuna Selatan lewuto ambeua lauloua sombano

0 20 40 60 80

100 120


(5)

13

7

 

 

 

 

Di

ag

ram

Tree-Clustering

spasi

al t

ipolog

i pote

n

si

sum

b

erd

ay

a infrastruktur

perik

anan

T ree Diagram

for 27 Cases

W a rd`s m e thod Euclidean distances Peropa kasuari Tampara pajam horuo Mantigola sama bahari lentea darawa tanjung tanomeha sandi langge balasuna Selatan kalimas Hoga buranga lagijaya balasuna ambeua raya ollo lewuto ambeua lauloua Waduri ollo selatan sombano

0 20 40 60 80

100 120 (Dlink/Dmax)*100

Di

ag

ram

Tr

ee-Clus

ter

in

g

sp

as

ia

l t

ip

o

log

i pot

en

si

su

m

b

er

da

ya

ke

p

ari

wi

sat

aa

n

T ree Diagram

for 27 Cases

Single Linkage Euclidean distances Hoga pajam Peropa ollo selatan Tampara horuo kasuari darawa lentea tanjung tanomeha sandi langge balasuna Selatan balasuna Waduri buranga ollo kalimas Mantigola lagijaya sama bahari ambeua raya lewuto ambeua lauloua sombano

0 20 40 60 80

100 120


(6)

13

8

 

 

 

 

Di

ag

ram

Tr

ee-Clus

ter

in

g

spasia

l

tip

ol

o

g

i k

iner

ja pem

b

angun

an w

ilay

ah

T

ree Diagram

for 27 Cases

Single Linkage

Euclidean distances

Hoga Mantigola sama bahari pajam ambeua raya ambeua sandi langge buranga Peropa kasuari Tampara tanjung tanomeha ollo selatan horuo Waduri ollo kalimas lagijaya balasuna Selatan lentea darawa balasuna lewuto lauloua sombano

0 20 40 60 80

100 120