Rumusan Masalah Analisis Spasial untuk Perumusan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pulau Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa Kabupaten Wakatobi)

1.2. Rumusan Masalah

Kabupaten Wakatobi memiliki potensi sumberdaya kelautan cukup besar. Perairan Kepulauan Wakatobi terdiri atas; ekosistem karang seluas 90.000 ha dengan 750 spesies, ekosistem lamun dan ekosistem mangrove seluas 804,45 ha. Tiga ekosistem tersebut merupakan areal penting untuk pemijahan spawning ground, pembesaran nursery ground dan tempat untuk mencari makan feeding ground berbagai jenis burung, species ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan dan species lainnya, serta jasa lingkungan. Selain fungsi ekonomi juga berfungsi untuk menyangga kehidupan untuk melindungi pantai dari ancaman abrasi, erosi, intrusi dan pengaruh gaya yang ditimbulkan oleh pembangkit alam seperti angin dan gelombang. Dari areal penangkapan fishing ground yang potensial seluas 836.400 ha dengan produksi perikanan lestari sekitar 30.000 ton pertahunnya, baru termanfaatkan sekitar 5.000 ton pertahun Coremap II dari; DKP Kab. Wakatobi 2006. Keindahan panorama bawah laut terumbu karang sangat potensial untuk pengembangan industri jasa pariwisata bahari. Sekitar 46 titik kawasan penyelaman di perairan Wakatobi yang paling diminati oleh wisatawan mancanegara dengan rata-rata kunjungan 1200 jiwatahun Hugua 2007. Dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan daerah maka visi, misi dan program kerja Kepala Daerah yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang Daerah RPJMD dan RPJPD Kabupaten Wakatobi menempatkan sektor kelautan, perikanan dan pariwisata sebagai sektor unggulan leading sector pembangunan daerah. Berbagai dukungan kebijakan dan program dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan pelestarian sumberdaya alam di Kepulauan Wakatobi antara lain; 1 Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui program Repayment of Fund and Interest ROFI, 2 Departemen Kehutanan; rezonasi Taman Laut Nasional Wakatobi yang terintegrasi dengan tata ruang wilayah daerah, 3 Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Coral Reef Rehabilitation and Management Program COREMAP serta beberapa program internasional lain seperti; UNDP melalui program MDG’s, Lembaga funding JICA serta lembaga internasional yang concern pada kegiatan konservasi sumberdaya alam seperti; TNC, WWF dan Operation Wallacea Opwal. Namun potensi pembangunan tersebut belum memberikan kontribusi nyata terhadap kinerja pembangunan daerah. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal malah mengkategorikan Kabupaten Wakatobi sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Indonesia Manan 2006. Rendahnya kinerja pembangunan dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain 1 Produk Domestik Regional Bruto PDRB Kabupaten Wakatobi pada tahun 2006 sebesar Rp.184.662,65 juta PDRB perkapita Rp. 1,88 juta. Walaupun terjadi peningkatan ekonomi dari tahun-ketahun, namun menunjukan trend pertumbuhan yang semakin menurun. Pada tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Wakatobi sebesar 7,88 menurun menjadi 6,03 pada tahun 2006, 2 Pendapatan Asli Daerah PAD dari sektor unggulan seperti perikanan sebesar Rp. 208,5 juta tahun 2006 dan menurun menjadi Rp. 95,586 juta tahun 2007 DKP Kab. Wakatobi 2007, sedangkan dari kegiatan pariwisata, walaupun terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisata sebesar 22 pertahun namun PAD menurun sebesar Rp. 130 juta tahun 2003 dan sebesar Rp.100 juta tahun 2005 Coremap II 2007, 3 angka kemiskinan sebesar 14.899 KK atau 15, 4 angka pengangguran meningkat dari 1.926 jiwa tahun 2005 menjadi 7.296 jiwa tahun 2007 BPS Kab.Wakatobi 2007, dan 5 terumbu karang di Kepulauan Wakatobi hanya sekitar 31 tutupan terumbu karang hidup. Hal ini berarti sekitar 69 terumbu karang sudah mengalami kerusakan CRITC LIPI 2006. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan kawasan Kepulauan Wakatobi selama ini belum mampu memanfaatkan potensi sumberdaya ekonomi setiap gugus pulau secara optimal. Rendahnya kinerja pembangunan ekonomi daerah tersebut disebabkan oleh belum terjalinnya pola keterkaitan antar berbagai kekhasan potensi, baik antar faktor ekonomi, institusi maupun aktivitas ekonomi intra wilayah maupun antar wilayah dan gugus pulau dengan baik, sehingga program dan kegiatan antar sektor atau antar satuan kerja pemerintah daerah tidak sinergis bahkan saling melemahkan. Kondisi tersebut terkait dengan model pendekatan perencanaan kebijakan pembangunan yang masih bersifat parsial-sektoral. Hal ini terjadi akibat belum adanya basis ilmu pengetahuan pendukung kebijakan yang mampu menentukan dimensi keterkaiatan berbagai potensi ekonomi wilayah di atas. Karakterisrik kawasan pulau-pulau kecil seperti; smallness, isolatian, dependence dan vulnerability Adrianto 2008 menyebabkan cakupan ekonomi economies of scope, skala ekonomi economies of scale dan kekhasan ekonomi economies of uniqueness setiap kawasan gugus pulau-pulau kecil berbeda dengan pada kawasan daratan besar. Gugusan kepulauan mempunyai ikatan fungsional baik secara ekonomis dan ekologis satu sama lainnya sehingga memiliki kekhasan dan tipologi wilayah yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, nilai kekhasan dan saling terkait antar berbagai faktor ekonomi serta konfigurasi spasial setiap pulau dan daerah menjadi penting dan perlu mendapat perhatian utama dalam perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil. Salah satu basis ilmu pengetahuan yang dapat menentukan dan memetakan berbagai kekhasan tipologi kawasan serta keterkaitan dan konfigurasi spasial dari berbagai potensi ekonomi adalah model analisis spasial. Model analisis spasial tersebut dapat menjadi alternatif model pendukung perumusan rencana kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil, sehingga berbagai keterkaitan potensi ekonomi dan konfigurasi wilayah dapat dipertimbangkan dalam kebijakan pengembangan kawasan pulau-pulau kecil. Untuk mengopimalkan kinerja pembangunan Gugusan Kepulauan Wakatobi, maka diperlukan pendekatan model analisis spasial untuk dapat memetakan berbagai keterkaitan potensi dan konfigurasi wilayah baik antar desa maupun antar wilayah pulau. Studi analisis spasial di kawasan Gugus Pulau Kaledupa menjadi penting dalam rangka peningkatan kinerja pembangunan Wakatobi dengan berbagai pertimbangan seperti: 1 aktivitas ekonomi masyarakat relatif beragam sehingga dapat memperentasikan sebagian besar aktivitas ekonomi di kawasan gugusan Kepulauan Wakatobi, 2 sebagian besar pulau di Kabupaten Wakatobi berada di kawasan Gugus Pulau Kaledupa yaitu sekitar 28 buah pulau dari 48 pulau atau sekitar 58, 3 sekitar 49,65 nelayan Kabupaten Wakatobi tinggal di Gugus Pulau Kaledupa, dan 4 sekitar 67 kepala keluarga KK di Gugus Pulau Kaledupa tergantung secara langsung terhadap sumberdaya laut yang terbagi atas; 30 nelayan, 22 petani rumput laut, dan 14 pada kegiatan ekoturisme Hugua 2007. Dari uraian masalah di atas, tergambar bahwa perlu adaya suatu penelitian melalui pendekatan analisis spasial untuk perumusan kebijakan pengembangan wilayah gugus pulau kecil untuk dapat menjawab: 1. Bagaimana pola asosiasi berbagai potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa? 2. Bagaimana pola spasial tipologi potensi ekonomi kawasan Gugus Pulau Kaledupa? 3. Bagaimana model hubungan gungsional antara potensi ekonomi dengan kinerja pembangunan kawasan Gugus Pulau Kaledupa? 4. Bagaimana arah rencana kebijakan pengembangan kawasan Gugus Pulau Kaledupa? 1.3. Tujuan dan Manfaat 1.3.1. Tujuan