setting. Keempat model dasar ini bisa dipandang sebagai tahapan pembangunan dari paling primitif hingga paling maju Saefulhakim 2008.
Pada tahap model stimulus-response, roda aktivitas pembangunan hanya bergerak manakala mendapat ‘rangsangan’ dari luar. Ketika ‘rangsangan’ dari luar
itu berhenti, aktivitas pembangunan juga berhenti. Selanjutnya, pada tahapan model self-referencing, perputaran roda aktivitas pembangunan tidak bergantung
pada ada–tidaknya rangsangan dari luar. Waktu rangsangan dari luar berhenti aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu membangun rangsangan
secara internal mandiri. Namun belum jelas kaitannya dengan ‘tujuan’ perputaran roda pembangunan pada model ini ‘asal ada aktivitas’. Pada tahapan
model Goal-seeking, perputaran roda aktivitas pembangunan seperti pada model goal-seeking. 1 tidak tergantung pada ada tidaknya rangsangan dari luar,
sehingga walau rangsangan dari luar berhenti, aktivitas pembangunan tetap melaju, karena telah mampu pembangunan rangsangan secara internal mandiri,
dan 2 kaitannya dengan tujuan sudah jelas, perputarannya tidak lagi bersifat asal ada aktifitas. Dibandingkan dengan model sebelumnya, ada tiga perbedaan yaitu;
1 tujuan telah dirumuskan secara mandiri oleh stakholder internal, 2 keterkaitan antar stakehorder internal yang awalnya hanya sekedar terkait rural
urban and interregional linkages telah berimbang menjadi hubungan yang berbasis kesetaraan saling menguatkan rural-urban and interregional
partnership dan 3 hubungan eksternal yang semula bersifat ketergantungan exsternal resourse dependent telah berkembang pada hubungan yang lebih
bermartabat external resourse partnership. Dengan perkembangan pola demikian, pada tahapan model ini perputaran aktivitas pembangunan lebih jelas
arahnya terhadap penguatan kapasitas sumberdaya internal setiap waktu secara berimbang dan bermartabat. Pembangunan dengan model Goal-seeking inilah
pembangunan dalam pengertian sejati Saefulhakim 2008.
2.2.4. Pergeseran Peranan Pemerintah-Masyarakat serta Kecenderungan Desentralisasi Pembangunan
Dalam pandangan konsep ekonomi Keynesian, awalnya peranan pemerintah adalah mendorong pembangunan untuk menanggulangi kegagalan pasar market
failure. Namun fakta empirik juga menunjukan bahwa diberbagai negara, proses
pembangunan cenderung mengarah pada government failure kegagalan pemerintah yang dampaknya sering lebih parah dari market failure karena
menciptakan transacton cost tinggi yang menurunkan efisensi ekonomi, serta menghambat pemerataan dan pertumbuhan. Selanjutnya menurut Anwar 2000
dikutip dari Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007, di Indonesia hal ini diperparah oleh kultur priyaisme elit masyarakat disamping kapitalis pemerintah
yang rendah lack of government. Dalam paradigma pembangunan sekarang, kekuasaan pemerintah harus semakin dibatasi pada bidang pengelolaan ”public
good” dan dibidang swasta dan masyarakat tidak punya inisiatif untuk melakukannya.
Government policy failure dapat terjadi akibat pelaksanaan pembangunan secara top-down dan sentralistik, dimana pemerintah pusat sering kali tidak
mengetahui kondisi ekosistim dan tata-nilai masyarakatnya yang tersebar luas secara spasial. Hal ini didorong oleh kesalahan pengaturan perencanaan design
program dan proyek pembangunan yang berdampak pada pemiskinan masyarakat di daerah Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007.
Dalam paradigma perencanaan daerah yang modern perencanaan daerah diartikan sebagai bentuk kajian yang sistimatis dari aspek fisik, sosial dan
ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan sumberdaya yang terbaik untuk meningkatkan produktifitas dan memenuhi kebutuhan masyarakat
public secara berkelanjutan. Awal dari proses perencanaan daerah adalah beranjak dari adanya kebutuhan untuk melakukan perubahan sebagi akibat dari
adanya perubahan pengelolaan maupun akibat perubahan-perubahan keadaan peningkatan kesejahteraan, bencana alam, perkembangan sosial dan lain-lain.
Jadi pada dasarnya harus ada dua kondisi yang harus dipenuhi dalam perencanaan daerah Clayton dan Dent 1993: 1 kebutuhan masyarakat untuk melakukan
perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan dan 2 adanya polical will dan kemampuan untuk
mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Dengan demikian penyusunan perencanaan daerah bukan merupakan sesuatu keharusan tanpa sebab,
memalinkan lahir dari adanya kebutuhan Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007.
Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan. Cara pandang pembangunan yang berorientasi pada laju
pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan inventasi dan teknologi luar semata perspektif materialistik yang didominasi oleh peranan pemerintah, telah
bergeser kearah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang
berkembang lebih menekankan pada proses patisipatif dan kolaboratif participatory and collaborative process yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial dan material, termasuk meningkatnya keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan pembangunan serta kebebasan
dan kemandirian. Di Indonesia diberlakukannya UU 221999 yang diperbaharui melalui UU
322004 mengenai pemerintahan daerah berimplikasi terhadap luas dalam sistim perencanaan pembangunan di daerah-daerah. Otonomi daerah mengisyaratkan
pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pembangunan daerah dibanding pendekatan sektoral serta lebih berperannya masyarakat dan pemerintah di daerah
dalam pembangunan. Pembangunan yang berbasis pembangunan daerah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial keruangan, serta
antar pelaku institusi pembangunan di dalam dan antar daerah. Sehingga setiap program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam rangka
pembangunan daerah. Namun demikian, berbagai permasalahan yang menyangkut otonomi daerah
juga telah muncul kepermukaan. Orientasi untuk mendapatkan penerimaan daerah PAD sebesar-besarnya cenderung menyebabkan eksploitasi besar-besaran atas
sumberdaya alam. Sikap ego antar pemegang otoritas daerah dapat mengakibatkan konflik yang semakin memperparah kondisi sumberdaya alam dan lingkungan
hidup Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju 2007.
Sumber: Adrianto, 2005
Gambar 3 Kerangka pengelolaan daerah laut dan pesisir diera otonomi daerah UU no 32 tahun 2004
2.2.5. Ekonomi Keterkaitan