110
terlihat kaku, karena guru terbawa cara mengajar sebelum pelaksanaan tindakan. Menurut Anita Lie 1994:3 sebelum bahan pelajaran diberikan,
guru memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dengan cara menuliskan di papan tulis atau menanyakan kepada siswa. Namun
langkah tersebut belum dilakukan oleh guru. Kegiatan pengenalan topik merupakan kegiatan brainstorming untuk mengaktifkan pengetahuan siswa.
Kurangnya manajemen waktu juga menjadi hambatan. Alokasi waktu pembelajaran terihat tidak mencukupi dengan agenda kegiatan yang
dilakukan. Hasilnya terkadang guru lupa untuk membacakan bagian cerita versi asli secara keseluruhan, memberikan masukan atau koreksi terhadap
penampilan praktik berbicara siswa, dan menyimpulkan kegiatan pembelajaran karena ini merupakan langkah akhir pembelajaran dan guru
cenderung berpikir bahwa siswa sudah memahami materi yang telah dipelajari. Hal ini mengakibatkan hanya siswa-siswa tertentu saja yang
paham dan dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal. Hal tersebutlah yang membuat penerapan model paired storytelling masih perlu diperbaiki
pada siklus selanjutnya.
2. Peningkatan Proses dan Hasil Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Siswa Siklus II
Pada siklus II terjadi peningkatan proses pembelajaran keterampilan berbicara. Peningkatan proses pembelajaran keterampilan berbicara terlihat
pada siswa yang sudah berani bertanya dan berpendapat, antusiasme siswa dalam menjawab pertanyaan dari guru meningkat, dan siswa lebih percaya
111
diri saat melaksanakan praktik keterampilan berbicara dalam bentuk menceritakan kembali isi cerita yang ditulis.
Kegiatan guru juga mengalami peningkatan berupa penyampaian pembelajaran terlihat lebih luwes, sehingga suasana kelas menjadi lebih
menyenangkan bagi siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru telah menguasai langkah-langkah pembelajaran keterampilan berbicara dengan
menggunakan model paired storytelling. Pengaturan waktu yang menjadi kendala pada siklus I juga telah mampu diatasi oleh guru sehingga pada
akhir kegiatan pembelajaran guru tidak melewatkan langkah memberi masukan atau koreksi pada siswa, menyampaikan cerita secara utuh, dan
menyimpulkan kegiatan pembelajaran bersama siswa. Merujuk pada hasil analisis proses pembelajaran keterampilan
berbicara berupa lembar observasi aktivitas siswa dan guru menunjukkan pada angka 88,64 dan 87,67 deng
an kategori “Sangat Baik”, maka dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan proses pembelajaran keterampilan
berbicara telah tercapai. Penggunaan model paired storytelling pada pembelajaran bahasa
Indonesia khususnya keterampilan berbicara juga mengalami peningkatan pada siklus II. Peningkatan keterampilan berbicara siswa yang terjadi pada
siklus II sebesar 5,55, yang kondisi awal 73,91 meningkat menjadi 79,46. Persentase ketuntasan keterampilan berbicara dengan menggunakan model
paired storytelling pada siklus II meningkat sebesar 13 siswa atau 43,33, kondisi awal 14 siswa atau 46,67, meningkat menjadi 27 siswa atau 90.
112
Dari keseluruhan tersisa 3 siswa yang masih tetap berada di bawah KKM. Siswa tersebut diantaranya 2 orang memiliki tingkat konsentrasi rendah,
sering mencari perhatian guru dan peneliti dengan ramai sendiri, sedangkan 1 orang yang lain kurang memiliki keberanian dan rasa percaya diri untuk
melakukan praktik berbicara. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan upaya guru dan peneliti untuk memaksimalkan penerapan langkah-langkah
paired storytelling untuk mencapai kriteria ketuntasan minimal
pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan berbicara telah berhasil ditingkatkan.
Menurut Soenardi Djiwandono 1996:68 kemampuan berbicara menuntut penguasaan aspek kebahasan dan aspek non kebahasaan. Aspek
kebahasaan dan non kebahasaan yang dapat meningkatkan keefektifan berbicara menurut Sabarti Akhadiah, dkk. 1991: 154 adalah sebagai
berikut. a.
Aspek Kebahasaan yang terdiri dari: 1 tekanan, 2 pelafalan bunyi, 3 kosa kata diksi, dan 4 struktur kalimat.
b. Aspek Non Kebahasaan yang terdiri dari: 1 kelancaran, 2 penguasaan
topik, 3 keberanian, dan 4 sikap. Peningkatan keterampilan berbicara dengan menggunakan model
paired storytelling yang berhasil diupayakan, senada dengan pendapat Anita Lie, 2014:71 yang menyatakan siswa dirangsang untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Buah pemikiran siswa akan dihargai sehingga siswa merasa semakin terdorong untuk
113
belajar. Selain itu, kegiatan pembelajaran ini menuntut siswa untuk bekerja secara bersama dan berkomunikasi sehingga dapat melatih keterampilan
berbicara siswa. Seringnya komunikasi yang dilakukan oleh siswa dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan meningkatkan keberanian.
Dalam kegiatan pembelajaran, siswa memiliki tugas dan tanggung jawab pada kelompoknya untuk menyelesaikan bagian dari tugas yang
diberikan. Kemudian siswa bekerja sama dengan pasangannya untuk menyatukan bagian dari tugas yang diberikan dengan cara saling
menceritakan satu sama lain, yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Selain itu, siswa juga dirangsang untuk
mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi. Buah dari pemikiran siswa akan dihargai sehingga siswa merasa semakin termotivasi
untuk belajar. Siswa yang memiliki kemampuan lebih dalam berbicara akan memotivasi siswa lain yang kurang terampil berbicara di depan kelas.
Dalam penelitian ini terjadi peningkatan keterampilan berbicara siswa setelah diterapkannya model paired storytelling. Hal ini dibuktikan
selama praktik berbicara siswa mampu melafalkan bunyi dengan tepat, kosa kata diksi yang digunakan sudah beragam, tekanan saat berbicara sudah
baik sehingga cerita yang disampaikan oleh siswa dapat diterima dengan baik oleh guru, peneliti, dan siswa lainnya. Seringnya praktik keterampilan
berbicara dilaksanakan, membuat siswa menjadi lebih berani, percaya diri, dan ekspesif dalam menyampaikan ceritanya. Dalam praktik menceritakan
kembali isi cerita yang ditulis, siswa sudah menguasai topik isi cerita yang
114
akan disampaikan secara lisan dengan baik. Sasaran dalam penelitian ini berupa keterampilan berbicara yang berhasil ditingkatkan dengan
menggunakan model paired storytelling. Peningkatan yang terjadi pada penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Afiani Rahmawati dengan judul Peningkatan Keterampilan Menyimak Dongeng Melalui Model Paired Storytelling
dengan Media Wayang Kartun pada Siswa Kelas II SDN Mangunsari Semarang. Melalui model paired storytelling dengan media wayang kartun
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran menyimak dongeng yang meliputi keterampilan guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar. Hal ini
dibuktikan dengan guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik. Selama kegiatam proses pembelajaran keterampilan menyimak guru sudah
menyiapkan ruangan, media, presensi, apersepsi, menyampaikan tujuan, menyampaikan materi, membimbing siswa menuliskan kata kunci,
menggunakan media wayang kartun, dan memberikan kesimpulan di akhir kegiatan pembelajaran dengan baik. Selain itu, penggunaan model paired
storytelling dengan media wayang kartun dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, berani dan percaya diri. Penggunaan model paired storytelling
dengan media wayang kartun dapat meningkatkan keterampilan menuyimak dongeng pada siswa kelas II SDN Mangunsari. Peningkatan keterampilan
menyimak siswa pada siklus I sebesar 8,34 yang kondisi awal 60,73 meningkat menjadi 69,09. Pada siklus II peningkatan keterampilan
115
menyimak sebesar 10,56, yang kondisi awal 69,09 meningkat menjadi 79,65.
Dengan demikian penerapan model paired storytelling untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa telah mencapai kriteria
keberhasilan penelitian yang telah ditentukan, dan dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas yang dilakukan untuk meningkatkan keterampilan
berbicara dengan menggunakan model paired storytelling pada siswa kelas VA SD Negeri Demakijo 1 Sleman dinyatakan berhasil, maka penelitian
berakhir pada siklus II.
C. Keterbatasan Penelitian.