PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN MODEL THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI LEMPUYANGAN 1.

(1)

i

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN MODEL THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA KELAS IV

SD NEGERI LEMPUYANGAN 1

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Pendidikan

Oleh:

Farihda Muthmainnah NIM 13108241111

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

ii

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN MODEL THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA KELAS IV

SD NEGERI LEMPUYANGAN 1

Oleh:

Farihda Muthmainnah NIM 13108241111

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan proses peningkatan keterampilan berbicara menggunakan model Think Pair Share (TPS) pada siswa kelas IV SD Negeri Lempuyangan 1 dan (2) mendeskripsikan hasil peningkatan keterampilan berbicara menggunakan model Think Pair Share (TPS) pada siswa kelas IV SD Negeri lempuyangan 1.

Penelitian ini merupakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Penelitian ini mengambil lokasi di SD N Lempuyangan 1 pada kelas IV B yang berjumlah 24 siswa. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah model spiral dari Kemmis dan Taggart. Metode pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan observasi dan tes. Analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif dan analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV B SD Negeri Lempuyangan 1. Peningkatan tersebut terlihat dari peningkatan proses dan hasil. Peningkatan proses keterampilan berbicara terjadi pada saat berdiskusi berpasangan atau pair dan share dimana siswa mendapatkan ruang yang lebih guna mengasah keterampilan berbicara yang dimiliki. Siswa juga lebih berani dalam menyampaikan gagasan, ide, dan perasaan karena didukung dengan waktu khusus dalam berpikir yaitu think time. Peningkatan selanjutnya adalah peningkatan nilai rata-rata kelas serta ketuntasan yang diraih siswa. Pada pratindakan, persentase ketuntasan siswa adalah 12,5% dengan nilai rata-rata 5,49. Setelah dilakukan tindakan siklus I, persentase ketuntasan mecapai 52,63% dengan nilai rata-rata 7,11. Pada siklus II persentase ketuntasan juga meningkat menjadi 84,21% dengan nilai rata-rata 8,06. Dengan demikian, hasil keterampilan berbicara meningkat dengan penggunaan model TPS.

Kata kunci: keterampilan berbicara, Think Pair Share (TPS), meningkatkan, siswa sekolah dasar


(3)

iii

SPEAKING SKILLS ENHANCEMENT USING THINK PAIR SHARE (TPS) MODEL IN LEMPUYANGAN 1 ELEMENTARY SCHOOL GRADE IV

By:

Farihda Muthmainnah NIM 13108241111

ABSTRACT

The aims from this research is: (1) describe the process of improving speaking skills using Think Pair Share (TPS) model in Lempuyangan I Elementary school Grade IV and (2) describe the increasing conversational skills by result of using Think Pair Share (TPS) modelin Lempuyangan I Elementary school Grade IV.

The kind of the research is a collaborative classroom action research. The subjects are 24 students. The object is improve speaking skills using TPS model,. The design of this research used the spiral model of Kemmis and Taggart. The methods to get data using observation and test. Data was analyzed using descriptive statistical analysis and qualitative analysis.

The results showed that the use of TPS model can improve student’s speaking skills. The increase is evident from the improvement of processes and outcomes. Improved speech skill process occurs during discussion in pairs or pairs and share where students get more space to hone their speaking skills. Students are also more courageous in conveying ideas, ideas, and feelings because it is supported with a special time in thinking that is think time. The next improvement is the increase in the average grade and the completeness of the students. On pratindakan, the percentage of mastery of students is 12,5% with an average grade of 5,49. After the first cycle of action, the percentage of mastery reaches 52,63% with an average score of 7,11. In cycle II the percentage of completeness also increased to 84,21% with an average value of 8,06. Thus, the results of speaking skills increase with the use of TPS models.


(4)

(5)

(6)

(7)

vii MOTTO

Juang Kuat, Hasil Hebat!

Karena setiap perbuatan yang dilakukan jika didasari dengan kemauan, tekat dan usaha yang kuat akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa

Al ummu madrasatul ula

Ibu adalah sekolah utama, bila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi terbaik


(8)

viii

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini Teruntuk: Allah SWT

Yang telah melimpahkan rahmat, anugerah dan barokah dalam proses penyelesaian skripsi ini

Kanjeng Nabi Muhammad saw

Yang telah menjadi sumber inspirasi dalam segala tindakan dan langkah hidup kami

Orang tua tercinta

Ibunda Haryanti dan Ayahanda Wandini

Yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat, inspirasi untuk maju, dan segala hal sampai sedewasa ini

Sahabat-sahabatku

Isti „Anah, Erni, Ina, Nisa, Intan, Lia, Atika, Ade yang selalu memberikan semangat agar segera menyelesikan TAS ini

Mas Mahfud


(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Peningkatan Keterampilan Berbicara Menggunakan Model Think Pair Share (TPS) pada Siswa Kelas IV SD Negeri Lempuyangan 1. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata 1 pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ayahanda tercinta Wandini dan Ibunda Haryanti yang ku sayangi yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat, kesehatan, karunia dan keberkahan di dunia dan di akhirat atas budi baik yang telah diberikan kepada penulis.

Penghargaan dan terima kasih penulis berikan kepada Bapak Drs. HB Sumardi, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ruang belajar di Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Bapak Drs. HB. Sumardi, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing TAS yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunan Tugas Akhir Skripsi ini.

3. Bapak Drs. HB Sumardi, M.Pd., Fathurrohman, M.Pd., Prof. Dr Suhardi, M.Pd., selaku Ketua Penguji, Sekretaris, dan Penguji yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap TAS ini.

4. Drs. Suparlan, M.Pd.I sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar beserta dosen dan staf Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan praproposal sampai dengan selesainya TAS ini.


(10)

x

5. Bapak Haryanto, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi.

6. Bapak Sardjono, M.Pd. sebagai Kepala SD Negeri Lempuyangan 1 yang telah memberikan ijin penelitian di SD Negeri Lempuyangan 1.

7. Ibu Suwardani, S.Pd. sebagai Guru Kelas IV SD Negeri Lempuyangan 1 yang telah membantu dan bekerja sama dalam pengambilan data penelitian.

8. Murid-murid SD N Lempuyangan 1 khususnya kelas IV B yang telah mendukung proses pengambilan data.

9. Mas Mahfud yang tidak henti-hentinya mengingatkan agar segera menyelesaikan TAS ini.

10.Sahabat-sahabatku beserta rekan-rekan mahasiswa khususnya program studi S1 PGSD yang selalu mendukung dan memberi support.

11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi sehingga bisa bermanfaat bagi semua. Amin.

Yogyakarta, 15 Mei 2017


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

ABSTRAK INDONESIA ... ii

ABSTRAK INGGRIS ... iii

SURAT PERNYATAAN... iv

HALAMAN PERSETUJUAN ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Keterampilan Berbicara ... 10

B. Kajian Tentang Model ThinkPairShare (TPS) ... 24

C. Karakteristik Siswa Kelas IV Sekolah Dasar ... 31

D. Kajian Tentang Keterampilan Berbicara Siswa SD... 33

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 37

F. Kerangka Pikir ... 38

G. Hipotesis Tindakan ... 39

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 41

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42

C. Desain Penelitian ... 42

D. Subjek dan Objek Penelitian ... 47

E. Definisi Operasional ... 47

F. Metode Pengumpulan Data ... 48

G. Instrumen Penelitian ... 49


(12)

xii

I. Kriteria Keberhasilan ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 53

B. Pembahasan ... 73

BAB V PENUTUP A.Simpulan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84


(13)

xiii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penilaian Aspektual Individual ... 23

Tabel 3.1 Kisi-kisi Instrumen Lembar Observasi Guru ... 50

Tabel 3.2 Kisi-kisi Skor Penilaian Keterampilan ... 50

Tabel 3.3 Predikat Kualitas Hasil Belajar ... 52

Tabel 4.1 Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara Pratindakan ... 54

Tabel 4.2 Refleksi Tindakan I dan Perencanaan Tindakan II Siklus I ... 60

Tabel 4.3 Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus I ... 63

Tabel 4.4 Refleksi Tindakan II Siklus I dan Perencanaan ... 64

Tabel 4.5 Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus II ... 68

Tabel 4.6 Refleksi Tindakan I Siklus II dan Perencanaan ... 69

Tabel 4.7 Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus II ... 72


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Kerangka Pikir ... 39 Gambar 3.1 Model Spiral dari Kemmis dan Taggart ... 44 Gambar 4.1 Diagram Perbandingan Nilai ... 79


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Jadwal Penelitian ... 88

Lampiran 2 Instrumen Penelitian ... 89

Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I... 92

Lampiran 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II ... 98

Lampiran 5 Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus I ... 115

Lampiran 6 Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara Siklus II ... 116

Lampiran 7 Peningkatan Perolehan Nilai Keterampilan Berbicara ... 117

Lampiran 8 Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian ... 118


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa merupakan sarana untuk berkomunikasi antarmanusia. Sarana ini tidak lepas kaitannya dengan kodrat manusia sebagai makhluk sosial dimana manusia selalu membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika seseorang membutuhkan bantuan orang lain, tentu antar manusia harus saling berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Komunikasi ini dapat berupa lisan maupun non lisan. Dengan demikian, hal yang paling penting ialah bagaimana berkomunikasi dengan orang lain.

Komunikasi yang baik antar sesama manusia memerlukan penguasaan berbahasa yang baik pula. Adapun beberapa cara manusia berbahasa antara lain dengan bahasa diam, bahasa tanda, bahasa kode, bahasa kontak, bahasa simbol, dan bahasa verbal (Suwarna, 2002: 5). Dari beberapa cara tersebut pada hakikatnya yang dimaksud bahasa bahasa verbal, yakni bahasa tulis dan bahasa lisan. Namun, bahasa lisanlah yang sering mendominasi dalam proses interaksi antar manusia.

Bahasa verbal melalui bahasa lisan lebih sering dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari sehingga bekal keterampilan berbahasa sangatlah penting. Keterampilan berbahasa lisan sangat berpengaruh terhadap interaksi yang terjalin dalam interaksi manusia. Komunikasi berbahasa dapat terjadi apabila partisipan (komunikator dan komunikan) menggunakan lambang-lambang verbal atau simbol


(17)

2

vokal yang dipahami dan disepakati bersama. Tanpa pemahaman dan kesepakatan bersama kegiatan berbahasa tidak dapat terjadi karena tidak saling mengerti (Suwarna, 2002: 7).

Keterampilan berbahasa dapat dipelajari. Hal ini sesuai pendapat Zulkifli (2012: 2) bahwa sebenarnya kemampuan berbahasa dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan cara belajar secara formal melalui lembaga pendidikan atau sekolah serta kursus dan dapat pula dengan belajar bahasa secara alamiah atau melalui pergaulan. Salah satu pemerolehan keterampilan berbahasa melalui lembaga pendidikan secara formal ialah melalui pembelajaran bahasa di sekolah melalui pembelajaran Bahasa Indonesia. Salah satu tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) ialah membekali siswa agar dapat terampil berbahasa tulis maupun lisan. Bahasa lisan sangatlah penting sebagai bekal dalam jenjang selanjutnya. Adapun manfaat memiliki keterampilan berbicara dimana termasuk dalam bahasa lisan antara lain dapat memperlancar komunikasi antar sesama serta meningkatkan kepercayaan diri (Zulkifli, 2012: 13). Oleh karena itu, di sekolah terdapat pembelajaran bahasa yang meliputi keterampilan berbicara guna membekali hal tersebut.

Berbicara secara umum dapat diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat dipahami orang lain (Depdikbud, 1984/1985: 7). Berdasarkan pendapat tersebut dapat ditilik bahwa segala aktivitias yang menyangkut penyampaian ide maupun gagasan kepada orang lain itulah yang disebut berbicara.


(18)

3

Pada hakikatnya, berbicara adalah proses komunikasi, sebab terjadi pemindahan pesan dari sumber ke tempat lain. Ketika pesan tersebut dapat tersampaikan dan dapat terima oleh penerima pesan, disitulah komunikasi terjadi. Pada jenjang sekolah dasar, keterampilan berbicara sangat penting untuk dikuasai namun tidak semua peserta didik bisa mengikuti dengan baik.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa di tingkat Sekolah Dasar (SD), keterampilan berbicara sering menjadi keterampilan yang sukar untuk dikuasai siswa. Hal ini sesuai berdasarkan hasil observasi di SD Lempuyangan 1 kelas IV B dengan jumlah siswa 24 yang dilaksanakan pada 20 Oktober 2016 di Kelas IV B SD Negeri Lempuyangan 1. Hasil observasi yang didapatkan peneliti ialah bahwa nilai keterampilan berbicara dan tingkat partisipasi siswa dalam pembelajaran berada dalam kategori cukup dan perlu pendampingan. Diambil dari jumlah 24 siswa, sebanyak 12,5 % mendapatkan nilai ≥75 (tuntas) dan 87,5% mendapatkan nilai <75 (belum tuntas). Seyogyanya, keterampilan berbicara ini dikatakan berhasil jika sudah mencakapi nilai ketuntasan (nilai 75). Penentuan kategori didasarkan pada rubrik penilaian dari kurikulum 2013 melalui kriteria mendengarkan, komunikasi non verbal, dan partisipasi (menyampaikan ide, perasaan, dan pikiran).

Permasalahan lain di kelas IV B yakni keberanian siswa dan mayoritas siswa kelas IV B masih malu-malu dalam mengutarakan pendapat di depan kelas. Hal ini terlihat pada saat guru meminta perwakilan anak maju untuk membacakan hasil diskusi dan hanya ada 1 sampai 3 siswa yang berani mengangkat tangan, selebihnya menunggu ditunjuk. Beberapa siswa bahkan suka menunjuk temannya agar temannya


(19)

4

yang maju. Hal ini juga menunjukkan bahwa kepercayaan diri siswa juga masih kurang.

Permasalahan selanjutnya terjadi ketika anak sudah berani maju ke depan yaitu mengenai kelantangan dalam berbicara. Mayoritas masih kurang lantang dalam menyampaikan hasil diskusi sehingga suara tidak terdengar di beberapa sudut ruangan. Menurut Ibu Suwardani, kemampuan siswa dalam berbicara masih berada pada kategori sederhana yakni siswa menyampaikan gagasan sesuai yang ia sedang rasakan atau yang ia tulis. Pemahaman dan kreativitas berbicara masih perlu bimbingan. Siswa juga belum menyadari penuh bahwa ketika menyampaikan gagasan atau hasil diskusi di depan kelas harus memakai suara lantang dan terdengar ke semua sudut kelas sehingga siswa hanya membacakan seolah-olah untuk dirinya sendiri.

Bahasa campuran juga digunakan pada saat menanggapi maupun menyampaikan hal-hal kepada guru. Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan yang sering menggunakan bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, seharusnya ketika pembelajaran Bahasa Indonesia harus menggunakan Bahasa Indonesia.

Hasil observasi di atas menunjukkan bahwa keterampilan berbicara siswa kelas IV B masih berada dalam kategori cukup dan perlu pendampingan. Adapun masalah dalam proses pembelajaran ialah siswa masih malu-malu dalam menyampaikan pendapat, siswa sering menunjuk temannya untuk maju, siswa masih menggunakan bahasa campuran ketika sedang menanggapi guru maupun teman, serta


(20)

5

masih sulit berargumen dengan gaya sendiri dan cenderung pembicaraan yang disampaikan tidak sesuai topik.

Guru kelas IV B juga mengungkapkan perlu adanya variasi dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Beberpa hal yang dilakukan guru yakni pertama, memberikan kesempatan siswa untuk memimpin berdoa sebelum dan sesudah pelajaran secara bergantian. Kedua, guru juga banyak memberikan motivasi kepada anak agar berani dan tidak takut salah dengan mengatakan bahwa para siswa sudah hebat. Kegiatan ini sering dilakukan guru guna memantik kepercayan diri siswa, karena Guru Kelas IV B meyakini bahwa pondasi utama keterampilan berbicara ialah keberanian terlebi dahulu.

Banyak hal yang mempengaruhi keterampilan berbicara siswa seperti faktor lingkungan dan kebiasaan. Oleh karena itu, untuk melatih keterampilan berbicara seorang guru juga harus memfasilitasi siswa dengan menggunakan variasi pembelajaran agar tercipta suasana belajar yang efektif dan menyenangkan. Selain itu, pembiasaan belajar dengan memperbanyak interaksi antar siswa juga dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa. Pembelajaran interaktif ini dapat dilakukan melalui model-model pembalajaran kooperatif.

Pembelajaran kooperatif menuntut pelajar untuk bekerja sama menyelesaikan tugas bersama, berbagi informasi dan saling mendukung (E. Barkley, 2012: 7). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diartikan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada kerja kelompok sehingga mampu mengasah keterampilan siswa dalam berinteraksi dengan siswa yang lainnya. Selain itu, keterampilan berbicara juga


(21)

6

secara kultural dapat terasah melalui kegiatan tersebut. Beberapa contoh pembelajaran kooperatif antara lain Model Think Pair Share (Bertukar Pikiran secara Berpasangan), Model Round Robin (Merespon Bergiliran), Model Talking Chips (Keping Bicara), dan masih banyak lagi. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang mendukung peningkatan keterampilan berbicara ialah Model Think-Pair-Share (TPS). Dalam model ini, siswa bekerja secara berpasangan dengan memikirkan suatu permasalahan, kemudian bertukar pikiran dan selanjutnya ialah berbagi. Barkley (2012: 155) mengatakan bahwa komponen “Pair” (pasangan) dan “Share” (berbagi) dapat mendorong dan membandingkan pemahaman mereka terhadap orang lain sehingga dapat meningkatkan kesediaan dan kesiapan untuk berbicara dalam kelompok yang lebih besar.

Beberapa fakta di atas menunjukkan bahwa keterampilan berbicara siswa kelas IV B SD Negeri Lempuyangan masih membutuhkan variasi model pembelajaran. Variasi yang digunakan tentu disesuaikan dengan mata pelajaran dan lingkungan siswa. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan mengenai keterampilan berbicara siswa kelas IV B SD Negeri Lempuyangan 1, peneliti menerapkan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dalam pembelajaran bahasa. Dengan demikian, penulis mengajukan penelitian tindakan kelas yang

berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Menggunakan Model Think Pair Share (TPS) pada Siswa Kelas IV SD Negeri Lempuyangan 1 Tahun Ajaran 2016/2017”


(22)

7 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa permasalahan dalam pembelajaran bahasa yaitu:

1. Keterampilan berbicara siswa kelas IV B SD Negeri Lempuyangan 1 mayoritas belum tuntas yaitu mencapai 87,5%.

2. Siswa masih malu-malu dalam menunjukkan ekspresi dalam berbicara.

3. Siswa kurang memiliki kepercayaan diri untuk berbicara di depan kelas yang ditunjukkan dengan seringnya menunjuk temannya untuk ke depan.

4. Siswa kurang keras dalam membacakan hasil karya di depan kelas.

5. Siswa masih menggunakan bahasa campuran dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.

6. Siswa kurang mahir dalam berargumentasi dengan kalimat sendiri.

7. Siswa cenderung kurang berpartisipasi dalam kegiatan diskusi yang ditunjukkan dengan respon yang kurang bahkan tidak sesuai dengan topik.

8. Proses pembelajaran masih kurang variatif-inovatif. C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka batasan masalah dalam penelitian ini ialah pada keterampilan berbicara siswa kelas IV B yang masih dikategorikan belum tuntas.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah disebutkan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:


(23)

8

1. Bagaimana meningkatkan proses keterampilan berbicara menggunakan teknik Think Pair Share (TPS) pada siswa kelas IV SD Negeri lempuyangan 1?

2. Bagaimana meningkatkan hasil keterampilan berbicara menggunakan teknik Think Pair Share (TPS) pada siswa kelas IV SD Negeri Lempuyangan 1?

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan hakikat penelitian tindakan kelas yang bermaksud untuk memperbaiki proses pembelajaran maka penelitian ini memiliki tujuan untuk:

1. Mengetahui proses peningkatan keterampilan berbicara menggunakan teknik Think Pair Share (TPS) pada siswa kelas IV SD Negeri lempuyangan 1.

2. Mengetahui hasil peningkatan keterampilan berbicara menggunakan teknik Think Pair Share (TPS) pada siswa kelas IV SD Negeri lempuyangan 1.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini dapat dirasakan oleh beberapa pihak antara lain:

1. Bagi Guru

a. Penelitian ini diharapkan mampu menginspirasi guru untuk lebih banyak lagi menggunakan model-model pembelajaran dalam pembelajaran bahasa sehingga minat siswa menjadi tinggi dan tertarik terhadap materi yang diajarkan oleh guru. b. Memudahkan guru untuk mengidentifikasi siswa-siswa yang berpotensi dalam


(24)

9 2. Bagi Siswa

a. Mengembangkan keterampilan berbicara dalam kegiatan diskusi di sekolah, di rumah maupun di tempat bermain sehingga sosialisasi anak menjadi semakin luas. b. Melatih mental kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan argumentasi atau

pendapat yang dimiliki siswa. 3. Bagi Peneliti

a. Mengimplementasikan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan.

b. Melatih kepekaan dalam melaksanakan pembelajaran di kelas sebagai bekal dalam mengajar di kemudian hari.


(25)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Tentang Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Berbicara

H.G Tarigan (1981:15) mengartikan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Dalam menyampaikan gagasan, seseorang memerlukan keefektifan kerja anggota tubuh. Hal ini senada dengan pendapat Etty (2011: 25) yang mengartikan bahwa berbicara merupakan aktivitas kompleks yang melibatkan banyak organ tubuh, tidak hanya mulut, tetapi juga otak, lidah, gigi, palatum, otot dada pernapasan, otot leher pita suara,dan diafragma. Keterlibatan argan tubuh tersebut tidak lain bertujuan agar suatu gagasan yang disampaikan dapat tersampaikan dari komunikan ke penerima informasi. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Sidiarto (Zulkifli, 2012: 4) bahwa berbicara adalah suatu sistem komunikasi yang mana seseorang mengutarakan pendapat dan perasaan hati dan mengerti maksud seseorang melalui pendengar.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa berbicara merupakan kemampuan seseorang dalam menyampaiakan ide, gagasan, perasaan yang melibatkan organ anggota tubuh sebagai penunjang keberhasilan penyampaian pendapat. Keterlibatan organ anggota tersebut yang akan menimbulkan bunyi-bunyi yang dapat didengar oleh penerima pesan. Sebagai perluasan dari batasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat di dengar


(26)

11

(audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan, gagasan-gagasan yang dikombinasikan. Berbicara merupakan alat untuk berkomunikasi. Berkomunikasi dalam hal ini ialah mengungkapkan gagasan, pikiran, perasaan, maupun ide kepada orang lain. Keberhasilan dalam berkomunikasi ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam berbicara. Terkadang banyak orang mampu berbicara panjang lebar namun yang dibicarakan kurang jelas, kurang keras, tidak sesuai dengan kebutuhan audiens, serta makna kurang dapat terserap oleh pendengar/penyimak. Keadaan ini merupakan salah satu contoh ketidakberhasilan dalam berkomunikasi, maka keterampilan berbicara untuk berkomunikasi tidak serta merta mengeluarkan bunyi-bunyi yang dapat didengar, namun lebih luas lagi menyangkut pemaknaan. Pernyataan ini didukung oleh pendapat H.G Tarigan (1981: 15) bahwa berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau penyimak. Selain itu, kemampuan berbicara juga merambah pada kemampuan dalam mengungkapkan pada penyimak secara langsung, apakah sang pembicara memahami atau tidak, apakah dalam bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri pada saat dia

mengkomunikasikan gagasan-gagasannya, dan apakah dia waspada serta antusias atau tidak.

2. Pengertian Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara terdiri dari kata keterampilan dan kata berbicara. Keterampilan sama artinya dengan kecekatan. Menurut Muhibin Syah (1995: 118)


(27)

12

keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi sesuai dengan keadaan yang ada untuk mencapai hasil tertentu. Manusia dalam kehidupan sehari-hari sering mengatakan seseorang itu terampil apabila ia dapat melaksanakan suatu hal dengan tepat dan benar. Dengan demikian, seseorang tersebut memiliki keterampilan.

Kata yang kedua ialah berbicara. Seperti ulasan di atas bahwa berbicara merupakan suatu sistem komunikasi yang mana seseorang dapat mengutarakan pendapat, ide, gagasan dan perasaan hati kepada orang lain sehingga keterampilan berbicara dapat diartikan sebagai suatu bentuk kecekatan dalam menyampaikan maksud yang berupa ide, gagasan, maupun perasaan kepada orang lain.

Djago Tarigan, dkk (1997/1998 : 46) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah perilaku manusia yang paling berarti. Keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang diperlukan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Disisi lain, Dadang Sunendar (2008: 241) mengatakan bahwa keterampilan berbicara pada hakikatnya merupakan ketarampilan memproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan, perasanan, dan keinginan kepada orang lain yang dilakukan secara lisan.

Dari kedua pendapat mengenai keterampilan berbicara di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara ialah kecekatan, kemampuan dalam menyampaikan maksud, ide, gagasan, pendapat, dan perasaan kepada orang lain yang dilakukan melalui lisan sebagai perilaku komunikasi.


(28)

13

Keterampilan berbicara dalam rangka untuk menyampaikan pendapat dapat dipelajari dan dibiasakan. Tidak jarang, orang yang sering berbicara di depan ia akan lihai dalam menyusun kata-kata yang tepat ketika menyampaikan sebuah gagasan. Teknik bagaimana agar audiens memperhatikan pun telah mampu dikuasai. Untuk dapat menguasai keterampilan tersebut tentulah berawal dari sebuah pembiasaan yang diawali dengan pemerolehan keterampilan berbicara.

Adapun pemerolehan keterampilan berbicara termasuk ke dalam pemerolehan keterampilan berbahasa. Salah satu pemerolehan keterampilan berbahasa ialah melalui lembaga pendidikan formal (Zulkifli, 2012: 2). Lembaga pendidikan formal di Indonesia yakni sekolah. Pembelajaran bahasa di sekolah diwujudkan dalam sebuah kegiatan pembelajaran. Pembelajaran keterampilan berbicara tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa. Sesuai dengan kedudukan dan fungsinya, tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar siswa mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi baik secara lisan maupun tulisan serta mempunyai sikap positif terhadap bahasa Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Sudarminah (2009: 10) yang menyatakan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara berkaitan dengan pembinaan kemampuan menggunakan bahasa secara lisan. Sangatlah beragam metode maupun strategi yang digunakan dalam pembelajaran keterampilan berbahasa.

Pada prinsipnya strategi belajar mengajar berbicara dapat memilih salah satu atau campuran dari strategi secara individual, berpasangan, berkelompok atau klasikal. Adapun bentuk keterampilan berbicara yang dapat dipelajari dan dibiasakan


(29)

14

antara lain meliputi: berceritera, bertanya-jawab, berpidato dalam berbagai kesempatan, berkhotbah, berdiskusi, berdebat, berwawancara, bertegur sapa, berbicara lewat telepon dan lain sebagainya. Beberapa aspek tersebutlah yang akan menjadi bekal dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Proses belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan guru dan murid. Kegiatan tersebut melibatkan sejumlah komponen antara lain menurut Zulkifli 2012: 10:

a. Siswa merupakan komponen utama

b. Guru komponen yang cukup penting dalam kegiatan belajar mengajar

c. Tujuan adalah sesuatu yang harus diketahui guru dan siswa, bersumber pada kurikulum yang berlaku.

d. Bahan dan materi harus sesuai dengan taraf perkembangan dan kemampuan siswa.

e. Metode ditetapkan oleh guru untuk menentukan keberhasilan siswa. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode ulang ucap, lihat ucap, menjawab pertanyaan, bertanya, pertanyaan menggali dan metode reka cerita gambar seri. f. Evaluasi untuk penilaian keterampilan berbicara dapat dilakukan pada saat

kegiatan pembelajaran

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara

Pengaruh lingkungan yang berbeda antara keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam perkembangan bahasa, akan menyebabkan perbedaan antar anak yang satu dengan yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh pemilihan dan penggunaan kosakata


(30)

15

sesuai dengan tingkat sosial keluarganya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa adalah menurut Zulkifli (2012: 12):

a. Umur anak: manusia bertambah umur akan semakin matang pertumbuhan fisiknya, bertambah pengalamnnya, dan meningkat kebutuhannya.

b. Kondisi lingkungan: lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang memberi andil yang cukup besar dalam kemampuan berbahasa.

c. Kecerdasan anak: untuk meniru lingkungan tentang bunyi suara, gerakan, dan mengenal tanda-tanda memerlukan kemampuan motorik yang baik. Kemampuan morotik seseorang berkorelasi positif dengan kemampuan intelektual atau tingkat berpikir.

d. Status sosial dan ekonomi keluarga: pendidikan keluarga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa.

e. Kondisi fisik: menyangkut kondisi kesehatan anak 4. Manfaat Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara adalah suatu jenis keterampilan yang sangat penting untuk berkomunikasi. Seseorang dapat menyampaikan beberapa hal di bawah ini dengan keterampilan berbicara yakni:

a. Berbagai macam informasi b. Kemauan dan keinginan


(31)

16

Sebenarnya, banyak manfaat yang dapat dirasakan sesorang apabila terampil dalam berbicara. Menurut Zulkifli (2012: 13) beberapa manfaat tersebut diuraikan dalam penjelasan di bawah ini.

a. Memperlancar komunikasi antar sesama

Komunikasi antar sesama manusia paling banyak digunakan dengan lisan melalui berbicara. Ketika berbicara, seseorang menggunakan bahasa tertentu yang saling dimengerti satu sama lain. Hal ini dimaksudkan agar antar individu bisa saling mengerti topik dari pembicaraan yang dibahas. Seseorang yang pandai berbicara dengan baik, maka dengan sendirinya ia akan memperoleh kemudahan dan kelancaran dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Inilah yang dimaksd saling memahami. Dengan demikian kemampuan berbicara sangatlah penting bagi kehidupan manusia guna memperlancar komunikasi.

b. Mempermudah pemberian berbagai informasi

Sebuah informasi dapat secara tepat dan cepat dapat tersampaikan kepada penerima informasi apabila informan memiliki kecakapan berbicara. Betapapun seseorang memiliki kemampuan intelektual yang baik, jika ia lemah dalam berbicara maka ia akan sulit menyampaikan atau mengungkapkan ide atau gagasan kepada orang lain. Hal ini senanda dengan pendapat Romli (Zulkifli 2012: 15) yang mengatakan bahwa banyak orang pandai gagal berkomunikasi, terhambat dalam penyampaian ide atau pemikirannya kapada orang banyak, karena ia tidak memiliki kemampuan dalam berbicara di depan umum. Pendapat tersebut sangat sesuai dengan fakta di lapangan bahwa dalam menyampaikan suatu ide atau gagasan agar dapat


(32)

17

diterima dengan tepat dan efektif apabila infoman memiliki keterampilan berbicara yang baik.

c. Meningkatkan kepercayaan diri

Biasanya, pembicara yang baik memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Ia berani mengungkapkan gagasan secara mantap dan meyakinkan. Seseorang yang pandai berbicara dengan baik, dengan sendirinya ia akan memperoleh kemudahan dan kelancaran dalam berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Orang yang mendengarkan pun ikut yakin dan mudah memahami topik yang sedang dibincangkan. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki keterampilan berbicara yang kurang, output yang keluar bisa tidak jelas, kurang lancar, terbata-bata, susunan kalimat dan katanya sulit dicerna sehingga orang yang mendengarkan pun sukar memahami. Dengan demikian, salah satu manfaat memiliki keterampilan berbicara yang baik ialah dapat meningkatkan rasa percaya diri seseorang.

d. Meningkatkan kewibawaan diri

Menurut Zulkifli (2012: 17) dengan keterampilan berbicara yang baik, maka wibawa seseorang akan secara perlahan mengikuti. Orang yang memiliki keterampilan berbicara yang baik, kepercayaan dirinya juga tinggi sehingga membuat wibawa seseorang menjadi terangkat. Kewibawaan yang dimaksud bukan hanya terletak pada kemampuan berbicaranya, tetapi didukung dengan faktor lainnya. Seseorang yang berbicara bukan sekedar mampu mengungkapkan sesuatu secara lisan, tetapi terhadap kualitas apa yang diungkapkan. Hal ini terkait dengan kualitas pengetahuan atau penguasaan bahasa pembicaraan.


(33)

18

e. Mempertinggi dukungan publik atau masyarakat

Biasanya masyarakat akan lebih tertarik dan memberikan dukungan kepada seseorang yang dapat berkomunikasi secara efektif dengan mereka. Seperti halnya dalam kegiatan politik, seorang juru kampanye yang sudah berpengalaman biasanya dapat menarik simpati massa untuk mendukung partai politiknya. Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004 memperlihatkan bahwa kemampuan berbicara atau kemampuan berkomunikasi cukup mempengaruhi peta pemerolehan suara. Bapak Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dimana salah satu keunggulannya ialah pandai dalam berbicara, keteraturan dalam dalam bertutur kata, juga keruntutan dan kejelasan dalam menjelaskan program dan pandangan politiknya. Namun, kemampuan berbicara bukan satu-satunya penentu seseorang memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat. Sikap dan perilaku juga turut ambil dalam pemerolehan dukungan. Meskipun demikian, keterampilan berbicara tetap menjadi salah satu keunggulan yang mampu memikat dukungan dari masyarakat.

f. Menjadi penunjang meraih profesi dan pekerjaan

Menurut Zulkifli (2012: 18), profesi maupun lapangan pekerjaan banyak yang memerlukan pelamar yang memiliki keterampilan berbicara. Misalnya saja penyiar radio, guru/ dosen, wartawan, dan masih banyak lagi. Beberapa contoh tersebut memerlukan keterampilan berbicara karena dalam kesehariannya mereka tidak lepas kaitannya dengan berbicara atau berkomunikasi dengan orang lain. Dengan memiliki


(34)

19

kemampuan berbicara yang baik maka tugas atau kewajiban dalam profesinya juga akan dapat terlaksanan dengan baik.

g. Meningkatkan mutu profesi dan pekerjaan

Keterampilan berbicara tidak hanya diperlukan untuk mempersiapkan mencarai pekerjaan/profesi, namun dapat berperan dalam peningkatan mutu profesi. Sebagai contoh, seorang kepala sekolah yang memiliki keterampilan mengorganisasi para staf dan para guru akan terlihat berwibawa. Ia mengerti pola pikir dan perilaku bawahannya kemudian menempatkannya sebagai mitra tutur sehari-hari. Ia pandai juga mengoordinasi melalui bahasa lisan. Ketika sudah demikian, maka seorang kepala/ kepala sekolah akan lebih dihormati dan berwibawa.

5. Kegiatan untuk Melatih Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara dapat dilatih guna menunjang keberhasilan siswa dalam berkomunikasi. Selain itu, dengan keterampilan berbicara seseorang dapat dengan mudah menyampaikan informasi dengan orang lain. Ada beberapa kegiatan untuk melatih keterampilan berbicara menurut Ross and Roe (Ahmad Rofi‟udin, 2002: 13) yaitu:

a. Menyajikan informasi b. Berpartisipasi dalam diskusi

c. Menghibur (menyajikan pertanyaan) d. Sandiwara boneka

e. Bercerita atau membaca puisi secara kor f. Bermain drama

Pada poin ke 2 dijelaskan bahwa salah satu kegiatan dalam melatih keterampilan berbicara siswa ialah dengan berpartisipasi dalam diskusi. Diskusi sangat membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan berbicara yang kaitannya


(35)

20

dengan proses interaksi antar siswa. Kegiatan diskusi di sekolah, dalam pembalajaran biasanya berwujud diskusi kelompok yang membahas suatu topik tertentu. Diskusi kelompok dapat melatih bagaimana siswa dapat saling berinteraksi. Dalam kegiatan tersebut, kerjasama dalam kelompok sangat dibutuhkan. Teori Vygotsky dengan konsep ZPDnya juga menekankan pentingnya bekerja secara kelompok karena dapat saling berinteraksi antar siswa (Dwi Siswoyo, 2013: 105). Kegiatan akhir setelah diskusi biasanya menghasilkan suatu solusi jika berwujud permasalahan atau berwujud ulasan jika berbentuk topik bahasan.

Pada hakikatnya, diskusi merupakan suatu metode untuk memecahkan masalah-masalah dengan proses berpikir kelompok (Henry, 1987: 36). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa dalam kegiatan diskusi melibatkan berbagai pendapat dari satu orang ke orang lain yang diorganisasi untuk memecahkan masalah atau memunculkan ide-ide yang dibangun dalam kelompok. Kegiatan diskusi dapat berlangsung jika antar individu yang berkumpul tersebut saling memahami topik perbincangan. Oleh karena itu, sangat penting bagi tiap individu untuk memiliki keterampilan berbicara yang baik sehingga proses penyampaian pendapat dapat diterima oleh orang lain dan ada timbal balik dalam satu kelompok.

Peran guru dalam kegiatan diskusi ialah mengontrol jalannya diskusi dengan memfokuskan perhatian murid pada topik yang sedang dibahas. Terkadang, dalam kegiatan diskusi ada siswa atau kelompok yang menyimpang dari topik bahasan sehingga tugas guru ialah memfokuskan kembali dengan cara mengajukan pertanyaan atau hal-hal yang merujuk kepada topik bahasan. Udin Syaefudin (2014: 133)


(36)

21

mengatakan bahwa lingkungan kelas akan berpengaruh terhadap kemampuan siswa dalam memusatkan perhatian dan meyerap informasi sebanyak-banyaknya. Sehingga desain kelas berupa tata letak, kelompok, pola ruangan dan sebagainya harus dibuat sedemikian rupa oleh guru agar mendukung jalannya diskusi, bukan membelokkan topik diskusi.

Selain itu, Saleh Abbas (2006: 98) berpendapat bahwa sebelum kegiatan diskusi, guru perlu memberikan arahan kepada peserta diskusi tentang aturan dan cara berdikusi. Arahan dari guru ini dimaksudkan agar kegiatan diskusi berlangsung dengan baik dan terkondisi.

Adapun menurut Arends (Saleh Abbas, 2006: 98) memberikan pedoman kepada guru ketika hendak melaksanakan pembelajaran diskusi di kelas yaitu:

a. Jelaskan tujuan diskusi,

b. Guru tetap mengontrol jalannya diskusi, c. Awasilah jalannya diskusi,

d. Akhiri diskusi dengan memberikan kesimpulan,

e. Adakan tanya jawab mengenai diskusi yang telah berlangsung.

Beberapa langkah ini dapat membantu guru dalam melaksanakan kegiatan diskusi di kelas. Pelaku diskusi pun juga akan memperoleh pelajaran/inti dari kegiatan diskusi.

Penulis memfokuskan pada peningkatan keterampilan berbicara menggunakan model Think Pair Share (TPS) dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV B SD Lempuyangan 1 dalam penelitian ini.


(37)

22 6. Penilaian Keterampilan Berbicara

Keberhasilan dalam berbicara menjadi suatu hal penting dalam penyampaian informasi maupun gagasan. Untuk itu, ada beberapa hal untuk mengevaluasi keterampilan berbicara. Dalam mengevaluasi keterampilan berbicara seseorang, pada prinsipnya harus memperhatikan lima faktor menurut Brooks (Henry 1987: 26). a. Apakah bunyi-bunyi tersendiri (vokal, konsonan) diucapkan dengan tepat?

b. Apakah pola-pola intonasi, naik dan turunnya suara serta tekanan suku kata, memuaskan?

c. Apakah ketepatan dan ketepatan ucapan mencerminkan bahwa sang pembicara tanpa referensi internal memahami bahasa yang dipergunakan?

d. Apakah kata-kata yang diucapkan itu dalam bentuk dan urutan yang tepat?

e. Sejauh manakah kewajaran atau kelancaran ataupun ke-native-speaker-an yang tercermin bila seseorang berbicara?

Menurut Ahmad Rofi‟uddin (2002: 171) penilaian keterampilan berbicara dapat dilakukan secara aspektual dan secara komprehensif. Pada penilaian aspektual difokuskan pada spek-aspek tertentu sedangkan secara komprehensif penilaian difokuskan pada keseluruhan kemampuan berbicara.

a. Penilaian Aspektual

Penilaian aspektual dibedakan menjadi penilaian aspektual individual dan penilaian aspek kelompok. Penilaian aspektual individual dapat dilihat dari aspek kebahasaan dan non kebahasaan. Perhatikan tabel berikut.


(38)

23

Tabel 2.1 Penilaian Aspektual Individual Keterampilan Berbicara Aspek Kebahasaan Aspek Non Kebahasaan

Tekanan Kelancaran

Ucapan Pengungkapan Materi Wicara

Nada dan Irama Keberanian

Persendian Keramahan

Kosakata/ Ungkapan Ketertiban Struktur Kalimat yang

digunakan

Semangat Sikap Perhatian

Sedangkan penilaian aspektual kelompok dimaksudkan untuk mengetahui keterampilan berbicara dalam kelompok yang dapat dinilai dengan:

1) pemerataan kesempatan berbicara, 2) keterarahan pembicaraan,

3) kejelasan bahasa yang digunakan, 4) kebakuan bahasa yang digunakan, 5) penalaran dalam berbicara,

6) kemampuan mengemukakan ide baru, 7) kemampuan menarik kesimpulan, 8) kesopanan dan rasa saling menghargai, 9) keterkendalian proses berbicara, 10)ketertiban berbicara,

11)kehangatan dan kegairahan berbicara, 12)pengendalian emosi

Beberapa aspek di atas sangat membantu guru dalam melaksanakan evaluasi kegiatan pembelajaran serta menaksir seberapa dikuasainya keterampilan siswa yg dimiliki oleh siswa.

b. Penilaian Komprehensif

Penilaian komprehensif ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan anak dalam berbicara secara menyeluruh, tidak sepotong-potong (Ahmad Rofi‟uddin: 172). Penilaian ini menentukan keberhasilan penyampaian informasi dari informan ke komunikan karena dalam penilaian ini dilihat dari mudah tidaknya dipahami isi yang dibicarakan, menarik tidaknya, serta lancar tidaknya dalam menyampaikan.


(39)

24

Berdasarkan 2 pendapat mengenai penilaian keterampilan berbicara pada siswa, maka dapat ditarik kesimpulan dalam melaksanakan penilaian keterampilan berbicara. Penilaian tersebut berupa penilaian individual dengan memperhatikan aspek-aspek kebahasaan dan non kebahasaan. Selain itu, penilaian juga dilakukan secara komprehensif yakni menyeluruh terhadap performance pembicara secara keseluruhan.

B. Kajian Tentang Model Think Pair Share (TPS) 1. Pengertian Think Pair Share (TPS)

Menurut Trianto (2013: 81) strategi think-pair-share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Interaksi antar siswa sangat dibutuhkan dalam pembelajaran agar terbentuk suatu pembelajaran yang aktif. Pembelajaran yang aktif juga harus disertai dengan pembelajaran yang komunikatif. Perpaduan antara pembelajaran aktif-komunikatif ini yang nantinya akan menghasilkan pembelajaran efektif. Menurut Ali Mustadi (2013: 18) the communicative approach relates to communicative competence which refers to the capacity to use language appropriately in communication based on the setting, the roles of the participants, and the nature of the transaction. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembelajaran yang komunikatif berkaitan dengan kompetensi komunikatif yang mengacu pada kapasitas untuk menggunakan bahasa secara tepat.

Pendapat lain dari Agus Suprijono (2011: 91) bahwa TPS merupakan pembelajaran yang diawali dengan pengajuan pertanyaan dari guru dan dipikirkan


(40)

25

oleh peserta didik (think), diskusi berpasangan (pairing) untuk menemukan jawaban, serta diakhiri dengan kegiatan masing-masing pasangan membicarakan dengan pasangan seluruh kelas (sharing). Kegiatan yang paling khas disini ialah pemberian pertanyaan oleh guru guna memberikan pemantik agar siswa berpikir. Proses seperti ini dapat meningkatkan keterampilan anak dalam menyampaikan gagasannya kepada orang lain.

Adapun pengertian lain mengenai TPS yang dikemukakan oleh Frank Liman (Anita Lie, 2007: 57) yaitu kegiatan belajar mengajar yang memadukan siswa belajar secara sendiri dan juga bekerja sama dengan orang lain. Teknik ini memberikan kesempatan lebih banyak pada siswa dalam berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.

Arends (Trianto, 2013: 81) menyatakan bahwa think pair share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Diskusi kelas ini dapat memadukan bagaimana siswa berkomunikasi, menyampaikan gagasan atau ide dimana hal tersebut sangat membutuhkan keterampilan dalam berbicara. Hal ini didukung oleh pendapat Sugihartono, dkk (2013: 83) bahwa diskusi dapat mendorong siswa untuk mampu mengemukakan pendapat serta membiasakan siswa untuk bersikap toleran pada pendapat orang lain. Sikap seperti ini yang nantinya berguna bagi siswa ketika berinteraksi dengan orang lain. Dengan prosedur yang digunakan dalam TPS dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir untuk merespons dan saling membantu


(41)

26

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa think pair share merupakan model pembelajaran kooperatif dimana anak berpikir terhadap suatu permasalahan yang diberikan oleh guru (think) kemudian diskusi berpasangan (pair) dan yang terakhir ialah mengemukakan hasil diskusi di depan seluruh pasangan di kelas (share). Think pair share dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran di kelas.

2. Tujuan Think Pair Share (TPS)

Think Pair Share (TPS) memberikan keleluasaan siswa dalam berpikir, merespon suatu topik atau permasalahan, mengutarakan ide, dan kemudian berbagi. Berbagi dalam hal ini ialah mengemukakan pendapatnya ke area yang lebih luas yakni di depan kelas. Peran guru dalam pembelajaran TPS yakni mengawasi dan melengkapi penyajian singkat dari siswa maupun situasi yang menjadi tanda tanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Trianto (2013: 81) bahwa dengan TPS harapanya siswa dapat mempertimbangkan lebih banyak atas apa yang dijelaskan dan dialami. Dengan demikian, tujuan TPS ini adalah melatih siswa dalam berpikir, merespon, serta berbagi pendapat dalam kegiatan diskusi.

Strategi pembelajaran yang sesuai dapat mendukung keberhasilan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, pengalaman belajar di sekolah harus fleksibel dan tidak kaku, serta perlu menekankan kreativitas, rasa ingin tahu, dan menyangkut bimbingan dan pengarahan ke arah kedewasaan (Mulyasa, 2007:107). TPS mencakup beberapa hal di atas, fleksibel dan tidak kaku serta menekankan kreativitas didapatkan melalui kegiatan berpasangan (siswa dapat saling bertukar pendapat dan


(42)

27

memecahkan persoalan), melatih rasa ingin tahu dan bimbingan ke arah kedewasaan didapatkan dari bagaimana siswa menyelesaikan permasalahan (anak memilih bagaimana menentukan solusi yang tepat).

3. Manfaat Think Pair Share (TPS)

Pelaksanaan pembelajaran hendaknya dapat memodifikasikan berbagai strategi dalam menyampaikan materi ajar. Strategi ini dapat berupa teknik, model, metode dan sebagainya. Adapun tujuannya untuk mencapai kompetensi tertentu yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Iskandarwassid (2009: 175) bahwa agar interaksi dapat bermakna bagi peserta didik dan dapat mencapai kompetensi dasar tertentu, pengajar dituntut untuk lebih memiliki kemampuan atau kecakapan dalam menjalankan profesionalismenya. Kecakapan tersebut terwujud pada penguasaan keilmuan pengajaran serta penguasaan memilih dan menerapkan strategi yang di dalamnya terdapat pendekatan, metode, dan teknik secara baik. Think Pair Share masuk ke dalam kategori teknik dalam strategi pembelajaran dimana cara ini merupakan salah satu cara menghidupkan suasana kegiatan diskusi kelompok dalam melatih keterampilan berbicara. TPS ini memiliki beberapa manfaat antara lain menurut Trianto (2013: 81) bahwa dengan TPS ini mampu melatih meningkatkan kemampuan berkomunikasi anak dari kegiatan pair (berpasangan) dan share (berbagi). Pada kegiatan berbagi, siswa menyampaikan hasil diskusi yang telah dibahas bersama pasangannya.


(43)

28

Adapun kelebihan lain dari pembelajaran yang dilakukan secara kelompok dibandingkan dengan individual. Keunggulan tersebut menurut Yosal Iriantara (2014: 140) yaitu:

a. Adanya akses terhadap sumberdaya seperti waktu, dana, pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki anggota kelompok,

b. Memungkinkan anggota kelompok bisa memahami konsep-konsep atau topik yang sedang dibahas,

c. Memperoleh keberagaman pandangan yang didiskusikan,

d. Proses kreatif, karena dapat memunculkan gagasan baru melalui diskusi. Sudah bisa dipastikan bahwa dalam kegiatan pembelajaran seperti diskusi memiliki lebih banyak keunggulan dibanding dengan belajar mandiri/individu. Pembelajaran menggunakan TPS merupakan salah satu pengembangan dari pembelajaran yang dilakukan secara kelompok. Bukan pada kegiatan berpasangannya, namun pada proses sharing (berbagi) di hadapan seluruh siswa dimana hasil yang diuraikan oleh siswa di depan masih bisa diberi tanggapan, masukan, dan sebagainya.

4. Langkah-langkah Think Pair Share (TPS) dalam Pembelajaran Bahasa

Pada kegiatan pembelajaran, pembentukan kelompok antar teman harus dilakukan dengan adil oleh guru. Hal ini dikarenakan karakteristik siswa yang bermacam-macam. Ada yang senang bergaul dengan semua teman, ada yang

memilih-milih, dan sebagainya. Guru harus memperhatikan komposisi antar anggota kelompok. Desmita (2012: 224) mengatakan bahwa dalam mementukan sebuah kelompok teman, anak usia sekolah dasar lebih menekankan pada pentingnya aktivitas bersama-sama, seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik, bermain game, dan melucu. Adapun


(44)

29

karakteristik anak usia 9 tahun, anak-anak lebih senang berkumpul menurut minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan. Dalam kenyataan pembejaran, hal ini dapat terlihat dimana setiap kelompok siswa selalu ingin menjadi kelompok yang terbaik dan senang sekali jika hasil pekerjaan kelompoknya menjadi yang terbaik.

Adapun langkah-langkah TPS dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut. a. Langkah 1: Berpikir (Thinking)

Menurut Trianto (2013: 81) langkah pertama dalam kegiatan thinking adalah guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah.

b. Langkah 2: Berpasangan (Pair)

Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban atas suatu pertanyaan yang diajukan atau dapat menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus perlu diidentifikasi. Secara normal, guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.

c. Langkah 3: Berbagi (Sharing)

Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan (Arends dalam Trianto, 2013: 82).


(45)

30

Langkah-langkah di atas jika antar siswa dan guru saling bekerja sama maka dapat membentuk pola komunikasi yang efektif karena melibatkan peran antar siswa maupun peran siswa dengan guru. Peran antar siswa diperlihatkan pada langkah pair dan peran siswa dengan guru pada proses share. Hal ini didukung oleh pendapat Onong Uchjana (1998: 102) bahwa komunikasi dalam diskusi dapat berlangsung secara efektif dikarenakan mekanisme dari kegiatan tersebut memungkinkan siswa terbiasa menyampaikan argumentasinya dan dapat melihat benar atau salah.

Adapun langkah-langkah think pair share menurut Agus Suprijono (2011: 91) yaitu:

1. Thinking

Pembelajaran diawali dengan guru mengajukan pertanyaan atau isu yang terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan peserta didik. Guru memberikan kesempatan pada siswwa untuk memikirkan jawabannya.

2. Pairing

Pada tahap ini, guru meminta peserta didik agar berpasang-pasangan untuk melakukan diskusi. Pada kegiatan ini diharapkan peserta didik dapat memikirkan matang-matang jawaban yang diambil.

3. Sharing

Setelah jawaban didapatkan, tiap-tiap pasangan melaporkan dengan pasangan seluruh kelas di depan kelas. Pada tahap ini diharapkan terjadi tanya jawab yang mendorong pada pengonstruksian pengetahuan secara integratif. Dengan demikian siswa aakan memperoleh pengetahuan.


(46)

31

Dari kedua langkah di atas, maka dapat dapat disimpulkan bahwa tahap-tahap dari model pembelajaran TPS ialah think (berpikir) mengenai isu, pertanyaan, topik yang sedang dibahas, pair (berpasangan) untuk memikirkan jawabannya, dan share (berbagi) atas jawaban yang didapatkan.

C. Karakteristik Siswa Kelas IV Sekolah Dasar

Secara umum, siswa mempunyai sifat yang sama yaitu senang bermain dan bergerak. Selain itu dengan adanya keterlibatan langsung dalam melakukan permainan dan aktivitas, maka siswa akan merasa senang dan mempunyai pengalaman. Suherman (2000: 67) menjelaskan bahwa, jenis-jenis mainan anak usia sekolah antara lain:

1. Usia 6-8 tahun antara lain puzzle (teka-teki), kartu, buku, alat untuk mencat/ melukis, sepeda.

2. Usia 8-12 tahun antara lain buku, pengumpulan perangko, mainan kartu, pekerjaan tangan, dan olahraga.

Pada usia sekolah dasar, siswa masih dapat berkembang secara luas baik dari kognitif, afektif maupun psikomotornya. Menurut Suherman (2000: 67),

Di usia sekolah, siswa bermain dengan dimensi. Siswa tidak hanya senang dengan permainan fisik tetapi juga keterampilan intelektual, fantasi serta terlibat dalam kelompok atau tim yang sudah timbul. Bermain tim menolong siswa untuk belajar tentang persaingan alamiah. Karakteristik mainannya adalah cooperative play.

Aktivitas bermain bagi siswa Sekolah Dasar dalam perkembangan kognitif berfungsi untuk belajar berhubungan dengan lingkungannya, belajar mengenai objek


(47)

32

dan bagaimana menggunakannya. Siswa yang belajar berpikir abstrak, dapat meningkatkan kemampuan berbahasa dan dapat mengatasi masalah serta menolong siswa membandingkan fantasi dan realitas. Bermain juga berfungsi untuk menciptakan dan meningkatkan kreativitas siswa. Selain perkembangan kognitif, terdapat pula perkembangan afektif siswa seperti rasa kepedulian dengan orang lain.

Munif Chatib (2012: 51) menyatakan bahwa, kemampuan afektif mempunyai dimensi utama antara lain:

1. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan diri sendiri 2. Respons dan kemampuan membina relasi dengan orang lain.

3. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan lingkungan yang selalu berubah.

4. Respons dan kemampuan membangun relasi dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta dan tujuan perjalan kehidupan.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa karakter yang dimiliki siswa sekolah dasar yaitu senang bermain secara berkelompok.

Perkembangan anak dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Perkembangan baik atau tidaknya pun dapat dilihat melalui beberapa aspek yang dilihat dari umurnya. Menurut Havighurst (Singgih, 1990: 62), development tasks atau tugas-tugas perkembangan anak bersumber pada 3 hal yaitu: kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat, dan norma pribadi mengenai aspirasinya. Pada umur 6 – 12 tahun, dimana umur tersebut berada pada usia sekolah dasar, tugas-tugas perkembangannya salah satunya ialah bergaul dengan teman-teman seumuran


(48)

33

dan membentuk sikap-sikap terhadap kelompok sosial. Dengan demikian, penanaman pola interaksi anak dengan teman-teman akan sangat baik jika dilatih baik di lingkungan sekolah, rumah maupun teman-teman bermainnya.

Pembiasaan di sekolah juga dapat dilaksanakan melalui kegiatan pembelajaran di kelas dengan menerapkan sistem kerja kelompok. Selain melatih keterampilan dalam berkomunikasi, dalam hal ini keterampilan berbicara anak juga akan terlaith bagaimana berinteraksi dengan banyak orang. Correy dan Herick (Singgih, 1990: 64) juga menggaris bawahi bahwa setiap tugas perkembangan harus dipelajari dan dikuasai pada tingkat-tingkat tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, maka anak harus berhasil dalam melewati masa-masa perkembangan pada usianya karena jika tidak, perkembangan selanjutnya akan terhambat atau kurang maksimal.

D. Kajian Tentang Karakteristik Keterampilan Berbicara Siswa SD

Adapun istilah “bicara” dijelaskan oleh Elizabet Hurlock (Baharuddin, 2014: 121) sebagai bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Bicara merupakan komunikasi yang paling efektif, paling luas (penggunaannya), dan paling penting. Oleh sebab itu, berbicara merupakan komponen penting dalam kemampuan berbahasa.

Terdapat dua unsur penting dalam komunikasi. Pertama, anak harus menggunakan bentuk bahasa yang bermakna bagi orang yang mereka ajak berkomunikasi. Sebagai contoh, apabila anak terbiasa berbicara menggunakan bahasa inggris, mereka tidak akan mengerti apa yang dikatakan dalam bahasa Indonesia.


(49)

34

Kedua, dalam berkomunikasi anak harus memahami bahasa yang digunakan orang lain. Sebagai contoh mereka harus tahu bahwa pada waktu seseorang menunjuk sesuatu benda berarti diharapkan mereka melihat benda tersebut. Apabila berkomunikasi dalam bentuk bicara, maka mereka harus mengerti apa yang dikatakan kepada mereka dalam bahasa tersebut.

Bagaimana bicara dapat mempengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak bergantung atas pemuasan kebutuhan dan keinginan anak kepada orang lain. Perhatian dari orang lain memberikan penemuan terhadap kemampuan yang mereka capai, oleh karena itu anak merasa senang dengan penilaian sosial dari orang lain dan penilaian diri. Ukuran kosakata juga mempengaruhi kemampuan anak dalam berbicara dan menulis yang merupakan hal penting bagi keberhasilan mereka di sekolah.

Dukungan orang dewasa untuk mendidik anak-anak berbicara hal-hal baik akan mempertinggi kesempatan anak-anak untuk diterima oleh orang lain. Penerimaan dari orang lain dengan sendirinya dapat memberi pengaruh terhadap perilaku orang lain. Contohnya adalah hubungan anak-anak dengan teman sebayanya.

Menurut Baharuddin (2014: 123) usia 5-6 tahun merupakan usia ketika anak bersekolah. Belajar merupakan kebutuhan bagi perkembangannya dalam mencapai taraf optimal apabila ditunjang dengan kemampuan berbahasa. Kemampuan bahasa yang dipahami anak ialah: (a) pronounciation „pelafalan (pengucapan); (b) syntax „kalimat‟; (c) vocabulary and meaning „kosakata dan arti‟; (d) pragmatics„pragmatis; (e) metalinguistic ‘metalinguistik’; dan (f) partnership with falily ‘pengaruh bahasa


(50)

35

keluarga’. Lebih dari itu, pada usia sekolah dasar tugas perkembangan yang harus dikuasai salah satunya belajar bergaul dan bekerja sama dalam kelompok (Havighurst dalam Desmita, 2012:35). Keterampilan berbahasa diperlukan disini.

Menurut Desmita (2012: 35), mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, usia sekolah berada dalam 2 perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-kanak-kanak-kanak akhir (10-12 tahun). Usia anak kelas IV SD berada dalam kisaran usia 9-10 tahun. Usia ini tentu mempengaruhi tingkat perkembangan keterampilan berbicara.

Havighurst (Desmita, 2012:35) mengatakan bahwa tugas perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi:

1. Menguasai keterampilan fisik yang diperlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.

2. Membina hidup sehat.

3. Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.

4. Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.

5. Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam masyarakat.

6. Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efketif. 7. Mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai.

8. Mencapai kemandirian peribadi.

Beberapa poin di atas merupakan tugas perkembangan anak usia sekolah dasar. Anak SD yang biasa disebut sebagai siswa harus mampu menguasai beberapa tugas perkembangan tersebut sebagai bekal dalam tugas perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, dalam upaya mencapai setiap tugas perkembangan tersebut, menurut Desmita, (2012: 36) guru dituntut untuk memberikan bantuan berupa:

1. Menciptakan lingkungan teman sebaya yang mengajarkan keterampilan fisik.


(51)

36

2. Melaksanakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar bergaul dan bekerja dengan teman sebaya, sehingga kepribadian sosialnya berkembang.

3. Mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memberikan pengalaman yang konkret atau langsung dalam membangun konsep.

4. Melaksanakan pembelajaran yang dapat mengembangkan nilai-nilai, sehingga siswa mampu menentukan pilihan yang stabil dan menjadi pegangan bagi dirinya.

Poin nomor 2 di atas menjelaskan bahwa guru harus melaksanakan pembelajaran yang mampu memberikan kesempatan siswa untuk bergaul dengan sebaya agar kepribadian sosialnya berkembang. Apalagi anak usia sekolah dasar memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Hal ini didukung dengan pendapat Rita, dkk (2013: 115) bahwa anak masa sekolah dasar memiliki ciri khas tersendiri yaitu rasa ingin tahu yang tinggi, ingin belajar, dan realistis.

Kepriadian sosial ini tentu sangat didukung oleh keterampilan siswa dalam berbicara. Jika keterampilan berbicara baik, maka interaksi antar teman sebaya pun dapat terjadi dengan baik. Adapun keterampilan berbicara seorang siswa dipengaruhi juga oleh faktor bawaan. Senada dengan pendapat Desmita (2012: 55) yang mengatakan bahwa faktor nature dan nurture (pembawaan dan lingkungan) sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak.

Selama masa akhir anak-anak, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata anak meningkat, cara anak-anak menggunakan kata dan kalimat bertambah kompleks serta lebih menyerupai bahasa orang dewasa (Desmita, 2012: 178). Dalam fase ini, anak-anak mendapatkan perbendaharaan kosa kata dari tayangan televisi, radio, pembicaraan dengan teman, dan sebagainya. Ketika anak masuk kelas satu sekolah dasar perbendaharaan kosa katanya sekitar 20.000 hingga


(52)

37

24.000 kata. Pada saat duduk di kela enam, perbendaharaan kosa katanya meningkat menjadi sekitar 50.000 (Seifert & Hoffnung dalam Desmita, 2012: 179).

Peningkatan kemampuan analitis terhadap kata-kata juga disertai dengan kemajuan tata bahasa. Anak usia 6 tahun sudah menguasai hampir semua jenis struktur kalimat. Dari usia 6 hingga 9 atau 10 tahun, panjang kalimat semakin bertambah. Setelah usia 9 tahun, secara bertahap anak mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat. Usia 9 tahun inilah usia siswa sekolah dasar kelas IV sehingga siswa harus mampu menggunakan kalimat secara tepat terlebih dalam upaya menyampaikan pendapat atau gagasan kepada orang lain.

E. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian sebelumnya yang dijadikan masukan adalah penelitian Retno Isnaeni (2011) dengan judul “Upaya Peningkatan Keterampilan Berbicara Menggunakan Model Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray pada Siswa Kelas V SD Negeri 1 Penaruhan Purbalingga. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan model kooperatif two stay two stray dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SD Negeri 1 Penaruban. Hal ini terbukti dari peningkatan nilai siswa. Pada kondisi awal memperoleh nilai rata-rata kelas 60,5 dan termasuk dalam kategori cukup. Siklus 1 nilai rata-rata kelas 68 dan termasuk kategori baik. selanjutnya, siklus II nilai rata-rata siswa adalah 80 dan termasuk dalam kategori baik sekali. Di siklus II semua nilai siswa sudah memenuhi nilai KKM.


(53)

38

Penelitian lain yang menjadi masukan ialah penelitian Ari Prasati (2012) dengan judul Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Show And Tell pada Anak TK kelompok B di TK ABA Kasihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan berbicara anak dapat meningkat setelah adanya tindakan yakni menggunakan metode show and tell . Hasil observasi menunjukkan ketuntasan keterampilan berbicara sebesar 29,1% yaitu masih berada pada kriteria tidak baik. Pada siklus I meningkat menjadi 66,7% yaitu berada pada kriteria cukup dan pada siklus II mencapai 87,5% yaitu sudah mencapai kriteria baik. Pada siklus II ini telah dikatakan mencapai indikator keberhasilan.

F. Kerangka Pikir

Keterampilan berbicara merupakan salah satu keterampilan kebahasaan yang harus dimiliki siswa. Keterampilan ini sangat dibutuhkan dalam proses komunikasi maupun interaksi antar siswa. Fakta di lapangan yaitu di SD Lempuyangan 1 pada siswa kelas IV, keterampilan berbicara masih berada pada kategori cukup dan perlu pendampingan. Selain itu, kepercayaan diri dalam menyampaikan gagasan pun rendah. Untuk itu, proses pembelajaran yang memungkinkan untuk mengembangkan pola interaksi antar siswa juga sangat dibutuhkan. Salah satunya dengan penerapan model pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) dimana siswa berpikir secara mandiri, kemudian bertukar pikiran secara berpasangan, lalu dikomunikasikan dengan siswa yang lain atau disebut sharing. Proses seperti ini dibutuhkan dalam rangka mengembangkan keterampilan berbicara maupun kepercayaan diri siswa yang mana sangat penting untuk keberlanjutan siswa pada jenjang selanjutnya. Dengan


(54)

39

demikian, maka dengan TPS diharapkan mampu meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas IV sekolah dasar.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan bagan berikut ini.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

G. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan merupakan jawaban sementara dari rumusan masalah penelitian. Jawaban sementara belum didasarkan pada data fakta-fakta empiris di

Permasalahan

Keterampilan berbicara berada pada kategori cukup dan perlu

pendampingan

Diatasi dengan model pembelajaran Think Pair Share

(TPS)

Meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV sekolah


(55)

40

lapangan namun berdasarkan teori-teori yang relevan. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan hipotesis tindakan seperti berikut. Penggunaan model Think Pair Share (TPS) dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas IV SD Lempuyangan 1.


(56)

41 BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini mengunakan jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Research. Menurut Rochiati (2012: 13) penelitian tindakan kelas adalah bagaimana sekelompok guru dapat mengorganisir kondisi praktik mereka, dan belajar dari pengalaman mereka sendiri. Pendapat ini mengacu pada penelitian yang dilakukan di kelas berdasarkan pengalaman-pengalaman belajar yang telah dilakukan.

Pendapat lain mengenai pengertian penelitian tindakan kelas ialah dari Rapoport (Rochiati, 2012:11) yang menjelaskan bahwa penelitian tindakan kelas dilaksanakan untuk membantu seseorang dalam mengatasi secara praktis persoalan yang dihadapi dalam situasi darurat dan membantu mencapai tujuan ilmu sosial dengan kerjasama dalam kerangka etika yang disepakati bersama. Melalui pendapat ini dapat diketahui bahwa penelitian tindakan kelas memang dikhususkan bagi kelas yang sebelumnya didapati suatu persoalan yang harus dihadapi untuk mencapai tujuan pendidikan.

Senada dengan pendapat Samsu Sumadayo (2013: 20) bahwa penelitian tindakan kelas merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hal


(57)

42

tersebut, maka PTK dilaksanakan salah satunya guna meningkatkan hasil pembelajaran siswa.

Hasil yang ditingkatkan dalam penelitian ini ialah mengenai keterampilan berbicara siswa kelas IV B SD Lempuyangan 1. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan antara mahasiswa dan guru kelas dimana peneliti juga terlibat sebagai pengamat pembelajaran dari awal sampai akhir penelitian. Jenis ini merupakan jenis PTK Partisipatif dimana peneliti terlibat langsung untuk kemudian mencatat, memantau, mengumpulkan data serta menganalisis data yang diperoleh.

B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di SD N Lempuyangan 1 dengan alamat Jalan Tukangan Nomor 6 Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan pelaksanaan penelitian tindakan kelas di sekolah ini karena keterampilan berbicara siswa kelas IV B masih dalam kriteria cukup dan perlu pendampingan.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan pada bulan Februari 2017 sampai Maret 2017.

C. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan rancangan untuk memberikan gambaran mengenai tahap-tahap penelitian yang dilakukan. Rancangan pada dasarnya merencanakan suatu kegiatan sebelum dilaksanakan. Moleong (Samsu Sumadayo, 2013: 47) mengatakan bahwa rancangan penelitian diartikan sebagai usaha


(58)

43

merencanakan dan menetukan segala kemungkinan dan perlengkapan yang diperlukan dalam suatu penelitian kualitatif. Berdasarkan pendapat ini, sangat jelas bahwa rancangan penelitian sangat diperlukan guna menetukaan tahap-tahap yang dilakukan. Dengan adanya desain penelitian, maka penelitian dapat terarah dan memudahkan dalam memperoleh hasil penelitian.

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah desain penelitian tindakan kelas model spiral dari Kemmis dan Taggart. Prosedur penelitian yang digunakan oleh model ini terdiri dari 4 siklus atau fase kegiatan, yang meliputi perencanaan (plan), pelaksanaan tindakan (action), observasi (observation), dan refleksi (reflection). Sesudah pelaksanaan pada tahap refleksi, kemudian diikuti dengan adanya perencanaan ulang yang terurai dalam siklus tersendiri. Dengan tahap tersebut diharapkan penelitian tindakan kelas mendapatkan hasil sesuai tujuan penelitian. Pada pelaksanaannya, prinsip umum penelitian tindakan setiap tahap penelitian selalu dilakukan secara partisipatoris dan kolaboratif antara peneliti dengan praktisi (guru dan kepala sekolah). Praktisi dalam penelitian ini adalah Guru Kelas IV B bernama Suwardani, S.Pd. Peneliti juga dibantu dengan 1 orang observer bernama Rifka Anisa dan 1 orang dokumentor bernama Erni Palupi dalam pelaksanaan kegiatan penelitian. Observer dilakukan oleh 2 orang sehingga dalam pengamatan yang dilakukan, 1 orang observer mengamati 12 siswa. Observer yang digunakan tidak berubah-ubah dari awal sampai akhir guna menjaga data yang diperoleh agar objektif terhadap apa yang terjadi di lapangan. Dokumentor bertugas


(59)

44

mendokumentasikan seluruh potret kegiatan pembeljaran yang mendukung dengan penelitian tindakan kelas menggunakan TPS.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut.

Gambar 3.1 Model Spiral dari Kemmis dan Taggart

Tujuan utama penelitian tindakan kelas adalah memperbaiki dan meningkatkan mutu praktik pembelajaran yang dilaksanakan guru demi tercapainya tujuan pendidikan (Samsu Sumadayo, 2013: 23). Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat diartikan bahwa dalam pelaksanaan penelitian terus dilakukan apabila belum memenuhi target capaian dimana penelitian dilaksanakan kembali dalam siklus selanjutnya setelah kegiatan refleksi.

Kegiatan-kegiatan dalam siklus penelitian tindakan kelas dijelaskan sebagai berikut ini.

Keterangan:

Siklus 1 : Perencanaan I Tindakan 1 Pengamatan 1 Refleksi 1 Siklus II : Perencanaan II

Tindakan 1I Pengamatan 1I Refleksi 1I Siklus I


(60)

45 1. Putaran pertama atau siklus I

a. Perencanaan

Sebelum melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif think pair share, peneliti melakukan kegiatan perencanaan tindakan. Peneliti melakukan studi pendahuluan dengan melakukan refleksi berupa wawancara dengan guru kelas IV B SD Lempuyangan 1 dan melihat data nilai keterampilan berbicara siswa. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada keterampilan berbicara peneliti menemukan masalah pada: dari jumlah 24 siswa, sebanyak 12,5 % mendapatkan nilai ≥75 (tuntas) dan 87,5% mendapatkan nilai <75 (belum tuntas). Selain itu, siswa juga malu-malu dalam menyampaikan pendapat atau gagasannya.

Permasalahan di atas digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan penelitian. Guru bersama peneliti kemudian melakukan perencanaan dengan melakukan: 1) mendiskusikan tentang tata cara pelaksanaan model Think Pair Share (TPS) di kelas, 2) berlatih melaksanakan model TPS di kelas dengan memberitahu siswa langkah-langkahnya, 3) mendiskusikan variasi tempat duduk siswa, 4) membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 5) menyiapkan nomor identitas siswa, dan 6) menyiapkan pedoman observasi dan tes.

b. Tindakan

Tahap tindakan ini, praktisi melaksanakan tindakan sesuai dengan perencanaan yang dilakukan yakni melaksanakan pembelajaran menggunakan model pembelajaran think pair share. Praktisi dalam hal ini guru kelas IV B dalam


(61)

46

melaksanakan pembelajaran dilakukan seperti biasanya dan tidak dibuat-buat karena adanya kegiatan penelitian. Perbedaan yang terjadi ialah model yang digunakan yaitu model pembelajaran Think Pair Share (TPS).

c. Observasi

Observasi dilakukan dengan mengamati tindakan yang sedang berlangsung pada proses pembelajaran. Peneliti mengukur keterampilan berbicara siswa dengan menggunakan pedoman penilaian. Peneliti juga menggunakan lembar observasi untuk guru dan siswa agar mempermudah penilaian pada saat proses pembelajaran berlangsung. Hasil observasi ini digunakan untuk menentukan perencanaan selanjutnya.

d. Refleksi

Pada kegiatan refleksi ini, peneliti berdiskusi dengan guru untuk meninjau tindakan yang telah dilaksanakan berdasarkan hasil observasi dan bersama-sama mencari solusi dalam mengatasi kendala yang diperoleh. Kegiatan refleksi memperhatikan evaluasi terhadap apa yang telah dilaksanakan, sesuai tidaknya dengan skenario, apa yang telah dan belum dicapai, masalah apa yang ditemui, solusi apa yang dilaksanakan, serta bagaimana meningkatkan hasil pembelajaran yang diimplementasikan pada siklus selanjutnya.

2. Putaran kedua atau siklus II

Pelaksanaan siklus II sama dengan pelaksanaan siklus I. Perbedaannya ialah pada siklus II diterapkan hal-hal solutif sesuai permasalahan yang terjadi pada siklus I guna mencapai target yang diinginkan. Permasalahan yang muncul ditulis dalam


(62)

47

refleksi guna melakukan perbaikan pada tindakan selanjutnya. Hal-hal yang belum dicapai pada siklus I dilaksanakan di siklus II. Oleh karena itu, peneliti belum bisa menentukan perbaikan apa yang harus dilakukan pada siklus II.

3. Putaran ketiga atau siklus III

Siklus III dilaksanakan apabila indikator keberhasilan yang direncanakan pada siklus II belum tercapai. Kegiatan pada siklus III bergantung pada hasil siklus II sehingga dalam rancangan penelitian ini belum dapat dideskripsikan.

D. Subjek dan Objek Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 188), subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti, menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti. Penelitian ini menggunakan subjek siswa kelas IV B Tahun Ajaran 2016/2017 SD Negeri Lempuyangan 1 yang berjumlah 24 siswa. Objek yang diteliti keterampilan berbicara siswa dalam kegiatan diskusi kelas.

E. Definisi Operasional

1. Keterampilan Berbicara Siswa Kelas IV SD

Keterampilan berbicara siswa kelas IV SD merupakan keterampilan siswa dalam mengungkapkan ide, gagasan, hasil diskusi, dan perasaan dengan menggunakan tata bahasa yang tepat. Keterampilan berbicara siswa diukur melalui observasi dan tes yang dilakukan saat pembelajaran di kelas berlangsung. Keterampilan berbicara juga dilihat dalam kegiatan diskusi bersama teman kelasnya.


(63)

48 2. Think Pair Share (TPS)

TPS merupakan model pembelajaran kooperatif yang melibatkan aktivitas berpikir secara berpasangan. Setelah itu, hasil pemikiran dibagikan atau dipresentasikan di depan seluruh pasangan yang ada di kelas. Dengan kesempatan seperti ini, keterampilan siswa dalam berbicara dapat diketahui.

F. Metode Pengumpulan Data 1. Observasi

Observasi adalah suatu tindakan pengamatan terhadap kegiatan-kegiatan faktual yang terjadi saat pengamatan dengan mengesampingkan penafsiran dari teori (Rochiati, 2012: 104-105). Peneliti mengamati hal-hal yang ditemui saat pengamatan tanpa adanya keinginan untuk menjustifikasi sebuah teori atau menyanggahnya. Dalam penelitian ini, teknik observasi yang digunakan peneliti adalah teknik observasi partisipatif dimana pengamat atau observer mempunyai hubungan yang akrab dengan pihak yang diamati. Peneliti yang berperan sebagai pengamat ikut serta dalam berbagai kegiatan pihak yang diamati dan segera mencatatkan apa yang terjadi dalam catatan lapangan. Adapun tiga fase esensial dalam mengobservasi kelas adalah pertemuan dan perencanaan, observasi kelas, dan diskusi balikan (Rochiati, 2012: 106). Ketiga fase tersebut dilaksanakan oleh peneliti dan praktisi (guru) guna menyepakati berbagai hal yang dijadikan catatan lapangan serta menentukan langkah-langkah berikutnya.


(64)

49 2. Tes

Menurut Wijaya dan Dedi (2010: 78) tes adalah seperangkat rangsangan (stimuli) yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dijadikan penetapan skor angka. Dalam penelitian ini, tes yang diberikan berupa pertanyaan dari topik bahasan yang dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi menggunakan model think pair share. Jawaban yang ditulis siswa kemudian disampaikan melalui lisan guna mengetahui seberapa jauh keterampilan berbicara siswa tersebut.

G. Instrumen Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (1997: 136-137) instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Variasi jenis instrumen penelitian adalah angket, ceklis, daftar centang, pedoman, observasi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman observasi kelas untuk guru serta kisi-kisi penilaian pada saat pembelajaran berbicara menggunakan model pembelajaran think pair share.

Observasi siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara dinilai berdasarkan partisipasi dalam belajar mengajar Di bawah ini kisi-kisi instrumen lembar observasi guru dan kisi-kisi skor penilaian keterampilan berbicara menurut kurikulum 2013.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

130 LAMPIRAN 10 CONTOH KARYA SISWA


(6)

Dokumen yang terkait

Pengaruh model cooperative learning teknik think-pair-share terhadap hasil belajar biologi siswa pada konsep sistem peredaran darah : kuasi eksperimen di smp pgri 2 ciputat

0 11 202

Perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif teknik think pair share dan teknik think pair squre

0 4 174

Upaya meningkatkan hasil belajar IPS melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model think, pair and share siswa kelas IV MI Jam’iyatul Muta’allimin Teluknaga- Tangerang

1 8 113

Penerapan model pembelajaran cooperative teknik think pair square (Tps) dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran fiqih kelas VIII H di Mts pembangunan uin Jakarta

0 15 161

Perbedaan hasil belajar biologi siswa menggunakan model Rotating Trio Exchange (RTE) dengan Think Pair Share (TPS) pada konsep virus

1 7 181

Peningkatan Hasil Belajar Ips Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Thinks Pair Share Pada Siswa Kelas V Mi Manba’ul Falah Kabupaten Bogor

0 8 129

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA DENGAN MENGGUNAKAN STRATEGI THINK-PAIR-SHARE PADA PATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI 101765 BANDAR SETIA.

2 5 27

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR IPA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) PADA SISWA Peningkatan Motivasi Belajar IPA Melalui Strategi Pembelajaran Think Pair Share (Tps) Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 01 Mojoreno Kecamatan SidoharjoKabupate

0 1 16

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MENGGUNAKAN MODEL THINK-PAIR-SHARE PADAKELAS XI IPA SMAN 1 ARTIKEL PENELITIAN

0 1 10

SKRIPSI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) UNTUK

0 2 21