krim. Jamur tiram tersebut berfungsi unik, yakni sebagai penyeimbang makanan berlemak yang dikonsumsi Widyastuti, N. dan Koesnandar, 2005.
2.7 Penelitian Terdahulu
Usahatani jamur tiram putih sudah mulai banyak diusahakan, begitu juga dengan penelitian yang dilakukan pada usahatani jamur tiram putih baik dari
segi budidaya maupun dari segi ekonominya. Berikut adalah penelitian- penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang terdiri dari analisis
pendapatan usahatani dan titik impas.
2.7.1 Analisis Pendapatan Usahatani
Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya-biaya yang dilakukan dalam menjalankan usahatani tersebut. Untuk mengukur tingkat
efisiensi dari suatu usahatani jamur tiram putih dilakukan perbandingan RC rasio. Menurut penelitian Maharany 2007 dan Ruillah 2006, petani jamur
tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat diklasifikasikan menjadi tiga skala. Maharany 2007
mengelompokkan skala usahataninya berdasarkan jumlah log yang dihasilkan, yaitu skala kecil kurang dari 10.000 log, skala menengah 10.000 – 24.000 log,
dan skala besar lebih dari 24.000 log. Berdasarkan nilai RC rasio atas biaya tunai dan RC rasio atas biaya total, skala usahatani menengah 10.000 – 24.000
log adalah yang paling efisien. Ruillah 2006 mengklasifikasikan usahatani jamur tiram putih di Desa
Kertawangi berdasarkan luas kumbung yang dimiliki, yaitu petani skala I adalah petani yang memiliki luas kumbung kurang dari 76,5 meter persegi, skala II
antara 76,5 – 135,5 meter persegi, dan skala III lebih dari 135,5 meter persegi. Dari
analisis pendapatan usahatani diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai untuk petani skala I lebih besar dari skala II dan III, maka dapat disimpulkan
bahwa usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi yang lebih menguntungkan adalah petani skala I. Sedangkan jika dilihat dari nilai RC
rasio, diketahui bahwa RC rasio atas biaya tunai maupun atas biaya total untuk petani skala III lebih besar dibandingkan skala I dan II.
Yanti 2003, menyatakan bahwa kegiatan usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Jawa Barat
menguntungkan untuk diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai RC rasio atas biaya total yang lebih dari satu. Penelitian yang dilakukan oleh Rahwana 2003
memiliki perbedaan
dengan penelitian-penelitian
sebelumnya. Rahwana
menganalisis usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cicurug dan Parung Kuda, Kabupaten Sukabumi berdasarkan skala usaha dan teknologi yang
digunakan. Berdasarkan skala usahanya, usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cicurug dan Parung Kuda dapat dikelompokkan menurut jumlah log
yang dihasilkan, yaitu mulai dari 5.000 sampai 20.000 log. Sedangkan menurut teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan berdasarkan alat sterilisasi,
yaitu drum dan autoklaf. Berdasarkan pendekatan RC rasio dapat disimpulkan bahwa usahatani
jamur tiram putih yang paling efisien adalah usahatani pada skala 10.000 log, baik dengan teknologi drum maupun autoklaf. Hal tersebut dikarenakan petani
pada skala usaha 10.000 log melakukan penghematan tenaga kerja sekitar 50 persen pada tenaga kerja luar keluarga dari standar yang biasa digunakan,
sehingga biaya produksinya dapat ditekan dan pada akhirnya penerimaan yang diperoleh akan lebih besar.
Merajuk pada penelitian Windyastuti 2000, usahatani jamur tiram putih Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat dapat dikatakan menguntungkan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai RC rasio yang lebih besar dari satu.
2.7.2 Analisis Titik Impas