114
IV. B. 2. Data Observasi
Tabel 12 Waktu Wawancara
No. Responden
Tanggal Wawancara
Waktu Wawancara
Tempat Wawancara
1. Kasus 2 Istri
07 April 2008 08.30 sd 09.40
WIB Rumah
Responden 2.
Kasus 2 Istri 14 April 2008
08.00 sd 09.15 WIB
Rumah Responden
Istri Kasus 2 adalah seorang wanita yang memiliki tinggi sekitar 158 cm dan berat badan sekitar 48 kg. Istri berkulit putih dan berambut panjang. Peneliti
pertama kali bertemu istri di rumahnya. Rumah istri terletak di sebuah gang kecil. Rumah yang ia tempati bersama suami saat ini disewa bersama dengan satu
keluarga lain yang memiliki 2 orang anak. Rumah mereka terbuat dari kayu dan terdapat 2 buah kamar di dalamnya. Di depan rumah mereka terdapat sebuah kursi
kecil untuk anak-anak. Peneliti langsung menemui istri dan memperkenalkan diri. Pada saat peneliti datang, istri mengenakan daster bermotif bunga-bunga berwarna
oranye. Peneliti dan istri duduk di ruang tamu. Peneliti mengenal istri dan suami dari suami Kasus 1 yang masih memiliki hubungan saudara dengan suami
Kasus 2 ini. Peneliti meminta bantuan istri untuk menjadi responden penelitian peneliti. Awalnya istri terlihat ragu-ragu dan menanyakan apakah namanya akan
dicantumkan dalam penulisan laporan. Peneliti menjawab bahwa identitas responden akan dirahasiakan. Ketika peneliti mengatakan bahwa selama proses
wawancara, peneliti akan menggunakan tape recorder untuk merekam
Universitas Sumatera Utara
115 pembicaraan wawancara, istri terlihat mengerutkan dahi dan bertanya apakah itu
harus. Peneliti menjelaskan jika hasil wawancara ini harus dicatat kata per kata, dan akhirnya istri dapat menerimanya dan mengizinkan pembicaraannya direkam.
Proses wawancara dengan istri dilakukan sebanyak 2 kali. Wawancara I dilakukan di ruang tamu rumah istri dan suami. Ruangan tersebut berukuran
panjang sekitar 4 m dan lebar sekitar 3 m. Di dalam ruangan tersebut tidak terdapat meja maupun kursi. Yang ada hanya TV dan DVD. Di sebelah kanan dan
kiri TV terdapat lemari kecil yang berisi pakaian. Di atas TV terdapat foto istri dan suami dengan frame yang terbuat dari gabus putih. Di dinding terdapat foto-
foto pernikahan suami dan istri, serta ukiran nama suami yang terbuat dari kayu berwarna coklat. Dalam ruang tamu tersebut juga terdapat 2 buah jendela. Satu
terdapat di belakang TV, dan satunya lagi di sebelah kiri TV. Pada wawancara I, istri mengenakan daster berwarna merah jambu. Ketika
peneliti datang, istri sedang tidur. Pintu rumah mereka tertutup. Peneliti mengetuk pintu dan memanggil istri, tetapi tidak ada yang menjawab. Yang terdengar dari
dalam hanyalah suara lagu Batak. Tetangga peneliti menyuruh peneliti untuk masuk lewat samping rumah karena biasanya istri berada di belakang dan tidak
mendengar suara peneliti yang memanggilnya. Sewaktu peneliti masuk melewati samping, peneliti melihat istri sedang tidur di kamarnya dan dari jendela peneliti
membangunkan istri. Istri terbangun dan langsung membukakan pintu depan. Istri meminta maaf dan mengatakan bahwa ia baru saja selesai mencuci baju dan
karena kelelahan, ia tertidur. Istri membentangkan tikar dan mempersilahkan
Universitas Sumatera Utara
116 peneliti duduk. Istri duduk dengan posisi menyandar pada dinding. Posisi duduk
peneliti dan istri berhadapan. Istri menjawab setiap pertanyaan yang diajukan peneliti dengan cepat dan volume suara sedang. Tidak terlalu kuat dan tidak juga
terlalu kecil. Namun ketika istri bercerita tentang hubungannya dengan mertua dan tentang kekecewaannya terhadap sikap mertua kepadanya, volume suara istri
meninggi dan terkadang diiringi dengan gerakan tangan yang melambai. Hal yang sering dilakukan istri selama wawancara adalah menyisir rambutnya dengan
jarinya. Istri terbiasa melakukan kontak mata dengan peneliti. Ketika istri menceritakan kekesalan atau masalah yang ia hadapi, istri mengerutkan dahi dan
volume suaranya meninggi. Istri bersikap kooperatif dan mau menjawab pertanyaan peneliti dengan ramah.
Hal yang mengganggu dalam wawancara I ini adalah ketika anak dari keluarga yang tinggal satu rumah dengan istri menangis. Tangisan ini membuat
istri berhenti berbicara dan menunggu sampai tangisan anak itu berhenti. Wawancara II dilakukan di tempat yang sama. Saat peneliti datang, istri
terlihat sedang menonton TV. Istri lalu membentangkan tikar dan mempersilahkan peneliti duduk. Posisi duduk peneliti dan istri saling berhadapan dan istri duduk
menyandar pada dinding. Istri mengenakan daster berwarna oranye saat itu. Rambut istri yang panjang kali ini diikat ke belakang. Istri bersikap kooperatif
dalam menjawab pertanyaan peneliti. Hal yang sering dilakukan istri saat wawancara ini adalah memperbaiki letak duduknya sambil membereskan
dasternya. Ketika membicarakan tentang kerinduannya untuk memiliki anak, istri
Universitas Sumatera Utara
117 sering melihat ke arah jendela. Proses wawancara berlangsung dengan lancar
tanpa adanya gangguan-gangguan. IV. B. 1. c. Data Wawancara
1 Hubungan Istri Kasus 2 dengan Suami
Di usia pernikahannya yang memasuki 3 tahun 8 bulan, istri memandang keadaan pernikahannya semakin sulit. Karena menurut istri, saat mereka baru
menikah, mereka masih memiliki barang seperti angkot yang dulu digunakan suami untuk mencari nafkah. Namun sekarang semuanya telah habis terjual untuk
menutupi kebutuhan mereka sehari-hari. “Kayak manalah kubilang ya pandanganku sekarang ini. Tambah merosot
kayaknya kami sekarang ini. Tambah susah, bukan kayak dulu. Dulu kami baru-baru kawin memang, udah sempat kami ada baranglah sikit. Ada…
tapi, sekarang entah kayak mana. Itulah kadang kupikirin, ‘Kok bisa gitu. Bisa habis semua ya,’ pikirku. Dulu kami sempat kayak ambil beli…
sekarang ini angkotnya kan. Sekarang, udah terjual… udah habis. Kok, kok bisa gini, kami tambah merosot intonasi suara menurun. Kayaknya…
tambah susah sekarang…” K2.I, W1b. 682-694hal. 15-16.
Dan dengan keadaan mereka saat ini, istri masih merasa kurang puas. Namun istri tidak ingin kekurangpuasannya ini membuat ia menjadi putus asa.
Dalam kehidupan pernikahannya, ketika istri dan suami menhadapi masalah, istri lebih memilih untuk diam dan membiarkannya sampai keadannya
tenang. Saat ia merasa keadaannya sudah tenang, baru ia akan membicarakannya dan mencari penyelesaian atas masalah tersebut.
“Iya mengangguk. Dicuekin aja terus tangan melambai ke belakang, biar jangan ribut. Aku kadang kalo udah sakit hati, gondok… malas.
Nengok orangnya pun aku benci. Bagusan aku nonton, tidur, kucuekin
Universitas Sumatera Utara
118 semua. Pokoknya rasa cueklah semua. Enggak peduli. Enggak openi.
Udah merasa dingin, baru.” K2.I, W1b. 25-32hal. 1. “Baru diomongin gitu. Biasa aku, kalo pas lagi aku emosi pun, aku
diomongin, aku bisa ngamuk. Pokoknya kalo udah emosi, jangan diomongin, jangan diapain. Aku pun merasa cuek semuanya. Enggak
kupedulikan apa-apa, kalo aku udah emosi.” K2.I, W1b. 34-39hal. 1-2.
Begitu juga dengan suami. Ketika suami sedang marah, suami memilih pergi keluar dan akan kembali ke rumah ketika suami merasa keadaan istri sudah lebih
baik. Berbeda dengan istri yang akan membicarakan dan mencari penyelesaian masalah, suami lebih berusaha melupakan masalah tersebut dan menganggap
masalah itu tidak pernah ada. “Kalo dia itu, kalo aku emosi, dia pergi. Dia pun emosi, dia pergi itu.
Udah berapa lama kalo… ‘Ah, udah dingin itu,’ pulang. Kalo aku enggak. Sebelum dijawab itu maksudku, enggak bisa diam aku. Harus tuntas. Kalo
dia enggak memang. Kalo dia udah emosi kan, ha… takut ribut di rumah, pergi dia itu melambaikan tangan. Entah kemana pun dia pergi, enggak
tau. Kalo udah merasa dingin, dia buat canda-canda tawa, biar agak ketawa. ‘Kau pikir aku udah… udah apa, udah bagus kalo ketawa kau
buat?,’ kubilang. Kayak gitu lagi. Pigi lagi dia. ‘Itulah, kau, orang udah pigi, ribut lagi kau,’ katanya. Musti dijawab. Kalo enggak dijawab, aku
enggak tenang. Tapi, kalo dia… kalo dia emosi, kalo kujawab, emosi. Bagusan aku diam. Aku lain. Kalo aku udah emosi, musti dijawab.” K2.I,
W1b. 47-65hal. 2.
Suami meminta istrinya jika mereka memiliki masalah dalam rumah tangga mereka, suami tidak mau masalah itu sampai diketahui oleh pihak ketiga.
Suami mau jika ada masalah langsung saja diselesaikan dengan damai tanpa harus bertengkar dan diketahui pihak lain.
“Ya… memang itu amangborumu bilang dari dulu itu. Kalo adapun kita cek cok di rumah, maunya, ibarat kamarlah ya, jangan sempat keluar
masalah ini dari kamar. Udah sempat keluar dari kamar, bukan kita yang punya lagi. Udah semua orang tau. Kalo masih bisa kita atasi, yang
penting, janganlah sampe ketauan sama orang. Kalo bisa cepat didamaikan, damaikan juga. Ya… namanya rumah tangga ini kan, sampe
Universitas Sumatera Utara
119 tua pun, enggak ada yang tamat, kalo rumah tangga ini. Masalah itu selalu
datang. Tapi, enggak ada… enggak ada kebahagiaan, kalo enggak ada percekcokan dalam rumah tangga...” K2.I, W1b. 617-631hal. 14.
Dengan keadaan mereka yang belum memiliki anak, istri masih mengharapkan kehadiran dalam kehidupan pernikahannya. Karena itu sampai saat
ini, istri mengusahakan pengobatan alternatif yang dapat mereka jangkau dari segi ekonomi. Istri merasa selama ini suami tidak pernah mendesaknya untuk segera
memiliki anak. Walaupun ketika melihat keluarga lain yang sudah dapat bermain bersama anak-anaknya, suami kadang bertanya kapan mereka dapat seperti itu.
“Dia… dia pengen juga sih punya anak. Kadang kalo kami lagi jalan gitu, dia lihat keluarga gitu kan sama anaknya main-main… dia mau itu bilang
samaku, ‘Ih… senangnya mereka, ya. Bisa main sama anaknya. Bahagia kali mereka, ya. Kapan ya, kita bisa kayak gitu.’ Kalo masalah
pengennya… ya, dia pengen juganya itu. Tapi, dia enggak pernah mendesak aku. Malah kadang aku yang kelihatan mendesak dia. ‘Ayoklah
kita berobat ke sini, biar cepat kita punya anak.’…” K2.I, W2b. 687- 697hal. 34-35.
Dan selama ini suami berusaha memberi semangat dan dukungan kepada istri agar istri jangan patah semangat. Suami mengingatkan istri agar istri berdoa
saja dan menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan. “Ya… gitulah mengangguk. Dan sebenarnya, dia yang lebih banyak
kasih aku semangat, dukungan, ‘Udahlah, kita berdoa aja. Mungkin belum sekarang waktunya,’ gitu katanya. Dialah yang membesarkan hatiku…
yang buat aku jangan patah semangat kan. Dia yang lebih nenangin aku.” K2.I, W2b. 716-722hal. 34.
Istri mengerti dengan keadaan suami yang harus sering keluar kota sehingga tidak dapat ikut pengobatan alternatif bersamanya secara rutin. Istri
beranggapan jika ia tidak memberi izin suami pergi keluar kota, maka kebutuhan mereka sehari-hari tidak akan tercukupi. Terlebih jika mereka memiliki anak. Dari
mana mereka dapat membiayai anak itu jika suaminya tidak bekerja.
Universitas Sumatera Utara
120 “… Tapi, karena dia juga sibuk kan, ke Medan paling lama seminggu.
Udah gitu, balek lagi dia kerja di luar kota. Makanya susah juga. Karena katanya yang kusuk gitu, maunya sama-sama dikusuk dan rutin pulak.
Tapi, dianya kan enggak bisa. Toh, dia kerja juga untuk kami… supaya kami bisa makan, bisa hiduplah. Makanya, kalo dia pun enggak bisa, ya…
akulah yang pergi yang kusuk sendiri gitu. Ngerti ajalah. Kalo aku enggak kasih dia pergi kerja, terus kami ada anak, tapi, enggak ada uang kan sama
aja. Maunya aku kan, ada lah uang untuk anak ini. Biar bisa sehat dia, biar bisa dia sekolah tinggi. Jangan kayak aku ini kan.” K2.I, W2b. 698-
712hal. 35.
2 Makna Anak menurut istri Kasus 2
a Rumah tangga lebih akur
Istri beranggapan jika ia memiliki anak, ia dapat bertukar pikiran dengan anak itu. Dan ketika ia dan suami ada masalah, istri jadi lebih tahan di rumah dan
tidak pergi keluar. “Ya… otomatiskan kita udah kayak akur. Kalopun kita cek cok sama
suami kan, udah bisa kita sama anak kita main-main gitu. Kayak teman- teman tukar pikiran jugalah, buang-buang suntuk sama anak. Kalo kita
udah suntuk gini kan, lalap kita keluar, lalap keluar. Tapi, kalo kita udah punya anak, adapun cek cok sedikit, kan enggak keluar lagi. Udah ngekor
sama anak. Ya… pasti kita ngurus anak di rumah, cuek aja sama orang, seandainya kita punya anak…” K2.I, W1b. 78-88hal. 2-3.
b Lebih dapat berhemat
Istri beranggapan jika ia memiliki anak, ia akan lebih berpikir dalam mengeluarkan uang dan lebih dapat berhemat, karena dengan hadirnya anak,
bertambah satu lagi yang harus dipikirkan kebutuhannya. “… Nanti berarti entah bisanya aku pikir, oh udah adanya anakku, udah
bisa berpikir untuk ini,’ gitulah pikiranku. Karena kalo udah ada anak sama kita, panjang pikiran kita kalo mau ngeluarkan duit itu kan. Enggak
sembarangan lagi kayak gini. Karena udah ada yang harus kita pikirin kebutuhannya kan.” K2.I, W1b. 697-705hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
121
3 Dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak
a Dampak Positif
Dampak positif yang dirasakan istri dari ketidakhadiran anak, yaitu: 1. Lebih belajar bersabar
Istri beranggapan ketidakhadiran anak dalam kehidupan pernikahan mereka membuat istri dapat belajar bersabar dalam menanti kehadiran anak. Istri
beranggapan saat ini kesabarannya sedang diuji, sehingga ia harus dapat lebih bersabar.
“… Mungkin ya, aku jadi lebih bisa sabar menunggu. Karena udah hampir 4 tahun kan aku nunggunya. Mungkin itu juga yang sedang diuji dari aku
ya. Kesabaran itu. Sabar enggak aku. Tapi, kadang kan aku memang kurang sabar. Apalagi kalo tau ada kawan yang baru setahun, terus punya
anak. Iri rasanya. Kok aku enggak bisa kayak mereka. Gitulah.” K2.I, W1b. 787-795hal. 18.
b Dampak Negatif
Dampak negatif yang dirasakan istri dari ketidakhadiran anak, yaitu: 1. Desakan dari pihak mertua
Istri merasa selama ini mertuanya selalu bertanya dan mendesak mereka untuk segera memiliki anak tanpa mertuanya mau membantu istri dan suami
dalam mengusulkan pengobatan alternatif. Istri merasa hal ini menimbulkan beban tersendiri baginya.
“… Kayak mertuaku sendiri, udah 4 tahun aku berumahtangga, belum pernah mereka itu bilangkan, ‘Udah kalian pulang dulu untuk berobat.’
Belum pernah sepatah kata kudengar kayak gitu. Cuman hari itu ajalah, sekali. Pas ada yang meninggal, mertuaku, itu mamak itu… mamak Bapak
Dapot. Pas meninggal opung… opung Bintanglah, kami pulang kampung. Ada saudara gitu, saudara dari amangborumu ini bilang, mertua jugalah,
tapi, udah… kayak adek-adek gitu tangan melambai, entah dari mana,
Universitas Sumatera Utara
122 enggak tau. ‘Bawa dulu sekali menantu kita itu berobat,’ katanya. Karena
ada orang bilang sama mertuaku. Datang mertuaku, ‘Udah dulu, inang, kalo enggak, di sini dulu kalian, biar berobat.’…” K2.I, W1b. 421-
438hal. 10. “Bebanlah. Karena kalo terus-terusan ditanya kapan-kapan, tapi, kasih
semangat juga enggak ada. Cuma mendesak, ya… gimanalah kalo kita terus didesak-desak, tapi, sama sekali enggak ada dikasih dukungan…
dikasuh semangat, kan, kayaknya hanya aku sendiri yang nanggung beban itu. Kan sakit rasanya itu…” K2.I, W2b. 433-440hal. 29.
Istri merasa takut jika nantinya mertuanya meminta suami untuk meninggalkan dirinya. Hal inilah yang sebenarnya menjadi kekhawatiran dalam diri istri.
“… Makanya, aku pun kubilang, kalo kurasa 5 tahun aku enggak punya anak, kurasa saran mertuaku bukan untuk bagus. Untuk ninggalkan gitu
aja. Ya… kita cuman… apa aja… perasaan batinku aja yang bilang. Karena buktinya udah kutau selama ini. Bukannya pernah dia bilang gini-
gini sama aku. Bukannya gini-gini. Enggak pernah itu…” K2.I, W1b. 514-521hal. 12.
2. Harus menerima kritik sosial dari orang sekitar Tetangga di sekitar rumah istri beranggapan bahwa penyebab suami dan
istri belum mempunyai anak adalah karena kesalahan di istri. Pembicaraan- pembicaraan negatif itu pernah didengar istri dan itu membuatnya sedih dan
marah. “… Mereka sepertinya melihat akunya yang salah, makanya kami susah
punya anak ini. Mereka kayak ngejek gitu, karena aku belum bisa punya anak.” K2.I, W2b. 632-636hal. 33.
4 Gambaran Makna Hidup pada Istri Kasus 2
Istri menjalani kehidupannya saat ini dengan apa adanya. Istri tidak terlalu mau memikirkan hal-hal yang membuatnya bertambah susah. Karena dengan
keadaannya saat ini, istri merasa sudah cukup sulit. Jadi istri tidak mau menambah kesulitan lagi. Istri merasa kehidupannya saat ini sulit dari segi ekonomi. Ketika
Universitas Sumatera Utara
123 mereka akan menikah dulu, mereka masih memiliki barang seperti angkot. Tetapi
sekarang angkot itu telah dijual untuk menutupi kekurangan keuangan mereka. “Kayak manalah kubilang ya pandanganku sekarang ini. Tambah merosot
kayaknya kami sekarang ini. Tambah susah, bukan kayak dulu. Dulu kami baru-baru kawin memang, udah sempat kami ada baranglah sikit. Ada…
tapi, sekarang entah kayak mana. Itulah kadang kupikirin, ‘Kok bisa gitu. Bisa habis semua ya,’ pikirku. Dulu kami sempat kayak ambil beli…
sekarang ini angkotnya kan. Sekarang, udah terjual… udah habis. Kok, kok bisa gini, kami tambah merosot intonasi suara menurun. Kayaknya…
tambah susah sekarang…” K2.I, W1b. 682-694hal. 15-16.
Selain masalah ekonomi yang masih kurang pada mereka, istri juga merasakan kekurangan karena mereka belum memiliki anak. Istri merasakan
kegelisahan karena belum memiliki anak di 1 tahun pernikahannya. Namun istri belum pernah memeriksakan diri ke dokter untuk melihat apa yang menjadi
masalah mereka belum memiliki anak. Istri belum memeriksakan diri karena istri merasa tidak ada masalah dengan kesehatannya. Ketika 1 tahun pernikahannya
itu, istri mulai bertanya-tanya di dalam dirinya mengapa ia belum juga dapat memiliki anak. Dan hal yang dirasakan istri saat ini adalah kebingungan. Karena
ia sudah mencoba pengobatan-pengobatan alternatif, namun belum juag menunjukkan hasilnya.
“Ya… bingunglah. Kadang kita apa… kayak manalah kami ya, gini, udah 4 tahun kok belum punya anak juga. Kayak mana ini. Bingunglah kadang.
Kadang datang orang, ‘Ke sanalah kalian berobat.’ Pergi. Tetap juga enggak ada…” K2.I, W1b. 98-103hal. 3.
Perasaan sedih juga dirasakan oleh istri karena ia belum juga dapat memiliki anak. Apalagi jika ia membandingkan dirinya dengan orang lain yang
dapat segera memiliki anak. Sedangkan dirinya harus melakukan berbagai usaha
Universitas Sumatera Utara
124 untuk mendapatkannya dan sampai saat ini usaha itu belum juga membuahkan
hasil. “Sedih gitu. Kenapa aku enggak punya-punya anak. Aku udah usaha, tapi,
belum ada juga. Padahal orang lain, setahun… 2 tahun kan, udah ada anaknya. Tapi, aku ini yang udah hampir 4 tahun, tapi, belum-belum
juga.” K2.I, W2b. 229-233hal. 24-25.
Walaupun saat ini istri merasa sedih dan sepi karena belum memiliki anak, hal ini tidak membuat istri menjadi tidak bersemangat dalam menjalani hidupnya.
Istri tetap memiliki tujuan hidup. Yang menjadi tujuan hidup istri saat ini adalah bekerja untuk kehidupannya kelak. Menurut istri, apapun yang ia kerjakan saat
ini, bukanlah untuk saat ini, tetapi untuk masa depannya dan anaknya. “Ya… kita kerja, biar ada untuk masa depan. Tujuan hidup kita, kerja gini,
biar ada untuk punya anak, untuk di hari-hari yang akan datang. Pokoknya, kita kerjakan pun semua sekarang, untuk masa depanlah. Bukan untuk
sekarang untuk hidup mewah-mewah, untuk foya-foya. Untuk masa depan aja. Untuk memikirkan masa depanlah sama anak itu.” K2.I, W1b. 194-
202hal. 5.
Jadi dalam bekerja istri semangat dan gigih. Karena istri berharap ia dapat menyekolahkan anaknya agar anaknya tidak seperti dirinya.
“Ya… aku harus bekerja lebih keras. Aku juga bilang ke Amangboru, kan, supaya bekerja jangan main-main… lebih giatlah biar kita bisa nabung
untuk masa depan kita nantinya kan.” K2.I, W1b. 210-214hal. 5. “Kalo prinsip sih, sekarang, hanya kita cari duit dapat banyak. Nanti kalo
ada anak, biar bisa nyekolahkan. Biar jangan kayak awak ini, gitu.” K2.I, W1b. 218-221hal. 5.
Keadaan mereka yang belum memiliki anak membuat mertuanya selalu
bertanya kapan mereka akan memiliki anak. Desakan ini sering membuat istri tertekan. Istri membandingkan perlakuan mertuanya dengan perlakuan
orangtuanya sendiri. Istri berangganpan keluarganya memang juga bertanya kapan
Universitas Sumatera Utara
125 mereka akan memiliki anak. Namun bedanya keluarganya tetap memberikan
dukungan dan semangat serta mereka berusaha untuk membantu mencari informasi tentang pengobatan alternatif yang bagus.
“Paling, kek… terhadap aku sendirilah, aku bilang ya, udah aku… udah tau kayak gini aku belum punya anak, kayaknya pemasukan dari
orangtuaku bilang samaku, enggak pernah kayak gitu. Bukan kayak orangtuaku ini, ‘Berobat dulu kalian, Nak. Udah kayak gini-gini.’ Apalagi
anak pertama kan gitu dari orangtua…” K2.I, W1b. 414-421hal. 10.
Istri khawatir desakan mertuanya itu membuatnya harus berpisah dengan suaminya.
“… Yang kupikirkan kan desakan dari orangtua dia, mertuaku. Taulah kalo orang… mertua sama menantu, jarang akurnya itu. Paling nanti kalo
udah ada sikit-sikit masalah apa-apa, ‘Udahlah, tinggalkanlah itu.’ Orang Batak sekarang kan kayak gitu. Apalagi kayak sampe kami ini 4 tahun.
‘Ah… enggak bagus juga kurasa itu, tinggalkan aja.’ Kan mau itu. Itu aja yang kutakuti.” K2.I, W1b. 286-295hal.7.
Istri berharap jika mertuanya lebih dapat memperhatikannya, ia pasti sangat senang.
“… Enggak ada pun dorongan dari kau untuk bawa aku berobat.’ Otomatis kan, ibarat untuk manis-manis di mulut aja, ‘Pulang dulu kalian berobat,
Nak. Biar berobat di sini dulu kalian coba. Entah kayak mana, entah apa yang salah.’ Kurasa perasaanku pun udah kayak… kayak penyakitku udah
menunjuk ke arah dada… setengah… setengah apa… kurasa udah sembuh separoh, kalo dibilang kayak gitu sama aku. Berarti perasaanku,
‘Oh… berarti mertuaku ini, sayang juga sama aku.’ Pasti ada perasaanku kayak gitu. Ini udah 4 tahun… enggak pernah dibilang samaku kayak gitu.
Apalagi yang ku… kuapain sama dia… kubuka-buka perasaanku sama dia. Makanya aku perasaanku kayak gitu. Karena enggak… enggak pernah
dibilang mertuaku kayak gitu samaku…” K2.I, W1b. 491-509hal. 11- 12.
Saat ini memang istri menghadapi masalah dari desakan mertuanya untuk segera memiliki anak. Namun hal ini tidak mempengaruhi istri dalam memaknai
Universitas Sumatera Utara
126 hidupnya. Istri tetap melaksanakan aktivitas hidupnya dengan apa adanya dan
tetap semangat. Istri tetap memiliki tujuan hidup yang jelas dan melakukan kegiatan-kegiatan dengan semangat.
IV. B. 1. d. Analisis Intrapersonal pada Istri Kasus 2