C. 1. c. Data Wawancara 1

165 sambil berpikir. Istri agak terbata-bata dalam menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan dirinya dan suami. Namun istri bersikap kooperatif dalam menjawab pertanyaan peneliti. Di akhir wawancara, istri mengatakan pertanyaan kali ini cukup sulit karena ia harus memahami dirinya dulu. Dan pertanyaan- pertanyaan seperti itu tidak pernah diberikan kepadanya sebelumnya. Proses wawancara berjalan dengan lancar tanpa adanya gangguan-gangguan.

IV. C. 1. c. Data Wawancara 1

Hubungan Istri Kasus 3 dengan Suami Istri Kasus 3 menikah dengan suami di bulan Maret 2002. saat ini usia pernikahan mereka memasuki usia 6 tahun 2 bulan. Dan selama mereka menikah, istri dan suami masih tinggal di rumah orangtua suami. Karena saat ini ibu mertuanya sakit dan lumpuh, maka istri dan suamilah yang merawatnya. Sebelum mereka menemukan orang yang dapat merawat ibu mertuanya, istri dan suami yang harus intens memperhatikan. Saat ini mereka telah mendapatkan orang yang dapat merawat sehingga saat ini istri lebih memiliki waktu untuk ikut les salonnya itu. Dan saat ini istri masih mengajari orang itu agar dapat merawat ibu mertuanya dengan baik. Istri mengatakan kegiatan yang biasa ia dan suami lakukan bersama adalah mengurus ibu mertuanya itu. Istri dan suami harus sama-sama membantu mengangkat ibu mertuanya jika ibu mertuanya bosan berada di kamar. “Apa ya?. Kerjain sama-sama. Oh… ini, waktu belum ada yang jaga opung, gitu kan. Ya… sama-samalah kerjainnya. Ngangkat ke tempat tidur, gitu…” K3.I, W1b. 31-34hal. 1. Universitas Sumatera Utara 166 “… Cuman itu aja sih, waktu belum ada orang kan, waktu opung masih… kalo masih gini, pengen keluar opungnya, ya diangkat keluar gitu. Dialah yang ngangkat kan. Sama-samalah gitu. Ngangkat ke kursi roda. Itu aja sih. Kalo apanya… eh… sama-sama ngerjain sama amangboru.” K3.I, W1b. 37-43hal. 1-2. Selain itu istri dan suami biasanya akan pergi ke pesta atau ke gereja berdua. Dan jika bosan dengan makanan rumah, istri dan suami akan pergi keluar dan mencari makan di luar. “Paling ke pesta, ke gereja. Itu aja sih. Standar aja. Ke pesta, ke gereja, itu aja. Kadang-kadang partamiangan, gitu kan, kebaktian, itu aja. Ya… paling makan sama-sama, itu aja. Kalo pengen gitu kan, malas makan di rumah, makan di luar. Itu aja. Standar aja sih.” K3.I, W1b. 75-80hal. 2. Suami di mata istri adalah seorang yang kurang peduli dan tidak terlalu mau menanggapi keluh kesah istri. “… Kalo misalnya, kita lagi curhat sama dia, enggak begitu merespon gitu. Apa namanya itu kayak gitu?. Cuek ya?. Maksudnya, ‘Ya, udahlah, kamu enggak usah mikir yang terlalulah. Enggak usah kau pikirin itu.’ Itu apa namanya? Cuek ya?.” K3.I, W2b. 75-79hal. 20. Istri merasa kurang puas dengan jawaban suami yang sepertinya tidak terlalu memperdulikan keluh kesahnya itu. Sedangkan di sisi lain, istri ingin ia dapat berkeluh kesah dengan suaminya sebagai orang yang terdekat dengannya. “Iya, kan. Kan misalnya, ‘Bang, gini-gini.’ ‘Udah, enggak usah kau pikirin itu. Ngapain kau pikirin,’ gitu. Cuek aja gitu. Kan kita nanya gitu, kayak enggak puas gitu. Enggak puas karena dia menjawabnya gitu. Kayak merasa, ‘Aduh… sama siapa kita curhat, kalo bukan sama suami kan,’ kan gitu. Cuman kadang dia, kalo kita tanya seperti itu misalnya, lagi ngomong-ngomonglah, ‘Bang, kalo gini-gini.’ Dia enggak pernah nanya… enggak pernah nanggapin dengan serius gitu. Kalo enggak diam, ya… pergi. Cueklah namanya, ya. Iya, itulah cuek dia itu.” K3.I, W2b. 81- 92hal. 20. Istri pernah mengatakan langsung kepada suaminya jika is tidak terlalu puas dengan jawaban suami yang terkesan tidak mempedulikan keluh kesahnya. Universitas Sumatera Utara 167 Namun hanya sebatas itu, karena istri menyadari itu sudah menjadi sifat suami dan ia tidak mau memaksakan keinginannya kepada suami. “Pernah… ‘Kok aku enggak memuaskan ya nanya sama kamu,’ gitu. Cuman sebatas itu aja sih… sedih. Ya… udah maksudnya, kalo dia tau kayak gitu, ngapain kita susahin sih. Aku kan gitu orangnya. Enggak mesti aku mengharapkan dia seperti ini, gitu. Kan orang kalo dipaksain, susah kan.” K3.I, W2b. 362-368hal. 26. Istri memandang kehidupan rumah tangganya saat ini masih baik-baik saja. Ketika ada masalah yang mereka hadapi akan mereka selesaikan dengan baik-baik tanpa harus bertengkar. Istri dan suami juga memiliki prinsip ketika mereka ada masalah, masalah itu harus diselesaikan dengan sebelum matahari terbenam. Maksudnya masalah itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut dan harus diselesaikan dengan segera serta dibicarakan dengan baik-baik. Masih baik-baiklah kami yang berumahtangga ini. Mudah-mudahanlah terus, ya. Walaupun, ya… namanya berumahtangga, kan pasti ada cek coknya gitu, kan. Yang karena enggak samalah pandangan kita sama sesuatu, kan itu bisa aja terjadi dalam berumahtangga ini. Dia suka yang kayak gini, tapi, aku kurang suka. Kan bisa kadang timbul perselisihan. Tapi, kalo adapun cek cok kami, masalah… masalah kami gitu, ya… aku sama Amangborumu berusahalah menyelesaikannya berdua. Enggak… enggak… enggak mau kami kalo masalah itu dibiarkan ber… berlarut- larut. Karena semakin dibiarkan kan berlarut-larut gitu, ya… makin susahlah diselesaikan. Jadi… kalo kami, kalo… kalo ada masalah apapun, berusahalah diselesaikan saat itu juga. Jangan dibiarkan sampe matahari terbenam kan namanya. Gitulah kami. Dan syukurnya, sampe saat ini, masalah-masalah itu, bisanya kami hadapi tanpa harus bertengkar yang sampe enggak ngomong gitu. Enggak pernahlah. Dan jangan sampelah. Semuanya berusaha kami selesaikan dengan baik, tanpa… tanpa harus inilah, tanpa harus ribut-ribut. Enggak ada gunanya itu ribut-ribut gitu. Karena kan, kalo ribut gitu, bikin masalah baru aja. Lebih… lebih bagus kan, semuanya dibicarakan dengan baik-baik. Gitu kan.” K3.I, W2b. 489-517hal. 29-30. Saat ini istri dan suami masih mengharapkan kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan mereka. Menurut istri, suami tidak ingin membuatnya putus asa dan Universitas Sumatera Utara 168 mengingatkan untuk berusaha dan yakin jika harapan mereka untuk memiliki anak itu akan dikabulkan oleh Tuhan. Menurut istri, suami tidak ingin membuatnya tertekan dengan menunjukkan sikapnya yang sangat mengharapkan anak. “… Selama ini sih, kulihat dia, ya… apa juga sih… apa namanya… support juga sih. Maksudnya supaya dia juga enggak… enggak ini apa namanya enggak… enggak terlalu gimana-gimana, enggak terlalu gimana- gimana gitu. Ya… kita berobat dan berusaha. Itu aja sih, pandangan dia. Maksudnya, dia juga me… membikin juga supaya jangan ini… apa namanya putus asa. ‘Ya udah, pasti ada… yakin aja,’ gitu. ‘Bang, ini dia udah ada anak.’ ‘Ya udah, kamu yakin aja sih. Kita pasti dikasih, kok. Cuman, belum waktunya aja, kok,’ gitu aja kalo dijawab Amangborumu. Padahal dalam hati pun dia pengen kali punya anak, tapi, kalo samaku, dia enggak mau buat aku tertekan gitu. Karena dia tau, kalo pertanyaan dari orang aja udah buat aku tertekan kan. Kalo dia lagi yang sepertinya menunjukkan kali kalo dia itu pengen kali, malah nambah pikiranku kan. Lagian, kan, Amangborumu itu cuek kali, jadi, jarang dia mau bilang- bilang maunya dia.” K3.I, W1b. 687-708hal. 16. Istri terkadang tertekan jika ia ditanya keluarga kapan mereka akan memiliki anak. Walaupun istri menyadari hal itu mereka tanyakan karena mereka perhatian kepada keadaan istri dan suami. Namun tetap saja hal itu dapat menjadi sesuatu yang membuat istri tertekan. “Gimana, ya… kadang, eh… apa sih… kadang kita merasa tertekan karena ini aja sih, ditanyain. Kok… em, sebenarnya sih, karena saking sayangnya itu kan. ‘Kok lama sih, mana,’ gitu-gitu aja. Cuman… enggak… enggak… enggak merasa tertekan gimana sih. Cuman, kayaknya, saking sayangnya kita ditanya gitu kan. Gitu aja sih, ‘Kok belum punya ini, mana,’ gitu-gitu aja. Kalo ditanya… tanya sama keluarga… ya kan. Gitu aja sih. Hal-hal yang biasa-biasa aja. Enggak sampe yang gimana- gimana gitu, tertekannya.” K3.I, W1b. 251-262hal. 6. Dengan keadaan mereka yang belum memiliki anak, istri memang merasa sedih dan hampa. Namun istri tidak ingin menunjukkan kesedihannya itu kepada orang lain. Istri hanya tetap berusaha untuk tidak putus asa dan teus berusaha. Istri berharap dengan diangkatnya kista yang ada padanya, ia dapat segera memiliki Universitas Sumatera Utara 169 anak. Terlebih kedua belah pihak keluarga terus mendukung mereka untuk segera memiliki anak. 2 Makna Anak menurut istri Kasus 3 a Kehidupan menjadi lebih ramai Istri beranggapan kehadiran anak dapat membuat kehidupan rumah tangganya menjadi lebih ramai dan lebih seru. “… Maunya ada anak yang bisa buat keluarga kita lebih ramai, lebih seru, dan ada yang bisa kita bimbing…” K3.I, W1b. 413-415hal 10. b Anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian Menurut istri, kehadiran anak itu adalah sebuah anugerah terbesar dalam hidupnya dimana ia harus bertanggung jawab untuk memelihara dan merawat titipan Tuhan itu. Selain itu anak itu dapat menjadi tumpuan harapan kedua orangtuanya. “… Anugrah terbesarlah itu. Anugrah yang terbesar, mungkin kalo… kalo kita diberi itu, berarti kita itu… berarti kita itu… apa namanya… harus bertanggung jawab untuk me… memelihara dan merawat yang dititipkan sama Tuhan itu, kali ya.” K3.I, W1b. 330-335hal. 8. “… Harapan kita pun, pasti kita tumpuhkan ke dia, supaya jadi orang yang baik, sukses, dan segala macamnyalah. Kan lebih enak yang seperti itu, kan.” K3.I, W1b. 415-418hal. 10.

3 Dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak

a Dampak Positif Dampak positif yang dirasakan istri dari ketidakhdiran anak, yaitu: 1. Memiliki waktu untuk dapat lebih berbakti kepada orangtua Istri melihat ketidakhadiran anak ini membuatnya memiliki waktu untuk mengurus dan merawat ibu mertuanya yang sedang sakit. Dan membuat istri dapat Universitas Sumatera Utara 170 lebih berbakti kepada ibu mertua yang sudah dianggapnya seperti orangtuanya sendiri. Hal ini memang mungkin saja dilakukan jika mereka telah memiliki anak. Akan tetapi tentunya waktu mereka akan lebih banyak buat anak dari ibu mertuanya. “… Cuman, a… apa namanya, kita bisa… kita masih bisa ngurus opung, gitu kan. Aa… opung lagi sakit, bisa aa… ngurusnya. Gitu. Masih… ya… kita yang mikir, mungkin Tuhan belum ngasih kita keturunan, ee… Tuhan ngasih kesempatan sama kita untuk mengurus, berbakti sama orangtua, gitu kalo saya mikirnya. Gitu.” K3.I, W2b. 608-614hal. 32. b Dampak Negatif Dampak negatif yang dirasakan istri dari ketidakhadiran anak, yaitu: 1. Merasa iri melihat keluarga lain Istri beranggapan ketidakhadiran anak membuatnya merasa iri ketika ia melihat keluarga lain telah memiliki anak. Dan dirinya mulai membandingkan keadaannya itu dengan keadaan orang lain yang telah memiliki anak. “… Saya iri memang sama orang gitu loh. Irinya, ya… kayak-kayak tadi itu aja. Kita merasa rugi, karena iri sih lihat orang-orang aja. Orang baru nikah, udah dikasih. Iri kan namanya. Termasuk kan. Iri lihat orang udah punya anak. Otomatis itu memang. Otomatis itu kalo misalnya seperti kita ini, aduh, dia baru menikah, baru kemaren, ee… baru… baru setahun menikah, udah punya anak. Saya udah berapa tahun, sampe 6 tahun… belum dikasih. Aduh, kapan ya?…” K3.I, W2b. 617-627hal. 32. 2. Merasa tertekan Istri merasa tertekan karena ia belum juga dapat memiliki anak. Istri merasa tertekan ketika keluarganya bertanya kapan mereka akan memiliki anak. “Gimana, ya… kadang, eh… apa sih… kadang kita merasa tertekan karena ini aja sih, ditanyain. Kok… em, sebenarnya sih, karena saking sayangnya itu kan. ‘Kok lama sih, mana,’ gitu-gitu aja. Cuman… enggak… enggak… enggak merasa tertekan gimana sih. Cuman, kayaknya, saking sayangnya kita ditanya gitu kan. Gitu aja sih, ‘Kok belum punya ini, mana,’ gitu-gitu aja. Kalo ditanya… tanya sama keluarga… ya kan. Universitas Sumatera Utara 171 Gitu aja sih. Hal-hal yang biasa-biasa aja. Enggak sampe yang gimana- gimana gitu, tertekannya.” K3.I, W1b. 251-262hal. 6. 4 Gambaran Makna Hidup pada Istri Kasus 3 Istri menjalani kehidupannya saat ini dengan apa adanya dan membiarkannya mengalir saja. Istri selalu berserah kepada Tuhan dan ketika menghadapi persoalan dalam hidupnya, istri akan menghadapinya dengan meminta kekuatan kepada Tuhan agar ia dapat menghadapinya. “Menjalani kehidupan ini gimana?. Apa ya?. Apa namanya… menjalani hidup saat ini… mengalir aja. Selalu inilah… apa pun yang terjadi, dihadapi dengan selalu berserah sama Tuhan. Jadi, walau apapun yang terjadi dalam hidup itu harus dihadapi, jangan kita menghindar. Kalo dihindari malah nambah beban… malah… malah nambah masalah. Jadi, kalo ada pun yang terjadi dalam hidup ini, ya… dihadapi. Kalo merasa enggak kuat, minta pertolongan sama Tuhan. Minta… minta Tuhan untuk menguatkan, beri… beri kita kek… kekuatan yang kita butuhkan. Gitu aja sih kalo aku. Jadi… santailah dalam menjalaninya. Karena kita kan enggak tau memang yang terjadi hari ini, besok… beda-beda juga kan ininya. Jadi, kita jalani aja dengan santai dan tetap pasrah sama Tuhan.” K3.I, W2b. 298-314hal. 24. Ketika dihadapkan pada situasi di mana belum memiliki anak di usia 6 tahun pernikahannya, ia merasa hidupnya kurang puas. Istri juga merasa khawatir dengan keadaannya yang belum memiliki anak ini. “Sebenarnya sih… kurang puas, karena belum ada keturunannya aja sih. Karena belum ada keturunan itu kan. Kita pasrah dan berdoa sama Tuhan aja. Yakin dan percaya, itu pasti dikasih Tuhan. Ya… khawatir sih ada. Manusiawilah ya, khawatir gitu…” K3.I, W1b. 148-153hal. 4. Istri hanya menyerahkan kekhawatirannya dengan berdoa kepada Tuhan. Walaupun terkadang ia merasa sedih dan kecewa karena harapannya untuk memiliki anak belum juga terkabul. Universitas Sumatera Utara 172 “Ada memang. ‘Kok kayak gini sih. Kok lama ya.’ Kadang berdoa sampe nangis gitu ya. ‘Ya ampun, Tuhan, kok sampe selama ini sih. Em… udah… udah hampir… udah hampir 6 tahunlah, gitu kan, belum-belum ada juga. Belum Kau berikan apa yang kami inginkan.’ Ada juga sih kayak gitu. Sampe… ini, minta sama Tuhan, berdoa. Gitulah.” K3.I, W1b. 216- 223hal. 5-6. Dan untuk mengatasi perasaannya itu, istri mencoba untuk melakukan kegiatan- kegiatan yang dapat membuatnya lebih tenang. Seperti memasang kaset-kaset rohani atau pergi ke salon. “… Yah… pasang lagu… kaset-kaset rohani. Kalo enggak keluar gitu. Hanya kalo misalnya terpikirkanlah aku, ‘Aduh, Tuhan, kok apa sih, lama sih belum dikasih,’ gitu kan. Misalnya tiba-tiba mikir, entah siang, ya udahlah, langsung inilah, apa namanya, ambil kegiatanlah. Entah kek mana kek, entah kemana kek, entah ke salon gitu, apa… kalo masih ada waktu ke salon gitu. Gitu aja…” K3.I, W1b. 227-235hal. 6. Ketika mendapatkan hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan kista yang ada padanya harus diangkat karena sudah mengganggu, istri merasa sedih. Bahkan ia menangis di depan dokter. Kesedihan ini dirasakan istri karena ia memikirkan biaya operasi yang besar. Selain itu, istri juga takut karena ia belum pernah menjalani operasi sebelumnya. “Sedihlah. Sikapku ya sedihlah. Sedih dan apalagi katanya harus diangkat kan. Enggak bisa dengan alternatif lain, entah di… disedot atau diapakan gitu. Dioperasi gitu kan membutuhkan biaya yang besar. Sedih memang. Di depan dokternya memang nangis aku. Sedih… artinya, aduh, biayanya kan pasti besar, gitu kan…” K3.I, W2b. 532-538hal. 30. “Iya mengangguk. Karena saya selama hidup saya ini, baru kali ini masuk rumah sakit gitu. Sebelum ini belum pernah sakit sampe opname gitu, belum pernah. Ee… selama hidup saya, baru inilah. Makanya, saya begitu takut dan sedihlah. Takutlah paling ini. Takut dan sedih. Karena belum pernah menjalani seperti ini kan. Soalnya orang juga menguatkan saya, ‘Ya… enggak papa, kok, itu operasi kecil.’ Cuman kan, yang namanya belum pernah mengalami yang seperti itu kan, takut dan sedih juga, gitu kan. Gitu.” K3.I, W2b. 577-587hal. 31. Universitas Sumatera Utara 173 Namun istri dapat berpikir positif mengenai keadaannya yang belum memiliki anak. Dan istri berharap setelah operasi pengangkatan kistanya ini, ia dapat segera memiliki anak. Selain itu, orang-orang di sekelilingnya selalu mengingatkan istri untuk tetap yakin akan bantuan Tuhan. Keluarga baik keluarga suami maupun keluarganya selalu memberikan dukungan kepadanya. Istri merasa kehidupan pernikahannya tanpa anak ini sebagai keadaan yang kurang lengkap. Bahkan ia merasa kehidupannya saat ini masih seperti orang pacaran saja. Karena istri merasa anak itu adalah pelengkap dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Istri merasa kehidupannya saat ini hampa dan sepi tanpa kehadiran anak. Istri merasa ia belum sah menjadi orangtua. “Yang belum punya anak itu?. Hampa ya, kayaknya. Hampa kalo belum ada… ee… keturunan kayak gini, ee… gitulah kayak… kayak masih ini aja, kayak masih pacaran aja. Kayak belum… perasaan kayak belum sah jadi orangtua kalo belum punya keturunan. Maksudnya, kayak belum… belum… belum apalah, kayak belum orangtualah karena belum ada keturunan yang dikasih, kan.” K3.I, W1b. 381-389hal. 9. “… Belum… belum… merasa belum lengkaplah ya, kalo belum dikasih keturunan gitu. Masih… ya, kayak masih pacaran gitulah kembali. Kayak masih belum kawin gitu, karena belum ada pelengkapnya. Pelengkapnya kan anak, kan… keturunan gitu.” K3.I, W1b. 394-399hal. 9. Walaupun saat ini istri merasa hampa karena belum memiliki anak, tetapi istri tetap menjalani hidup ini dengan gigih dan semangat. Selain itu, istri memiliki tujuan dalam hidupnya yaitu agar hubungan-hubungan suaminya dapat langgeng dan tetap abadi sampai tua nanti. Istri tidak ingin pernikahannya seperti artis yang sering bercerai. “Oh… kalo saya ini… kita benar-benar inilah menjaga ini, apa namanya, hubungan apa namanya, hubungan kita sama suami, supaya tetap abadi sampe kakek-neneklah. Langgenglah. Gitulah tujuan hidupku. Supaya jangan ada… ini, apa namanya ya… seperti orang-orang sekarang ya… Universitas Sumatera Utara 174 kayak selebritis, perceraian gitu, kan. Itu jauh-jauhlah, ya. Enggak pernah terpikir sampe ke situ.” K3.I, W2b. 180-188hal. 22-23. Karena itu istri berusaha untuk lebih baik lagi dalam hidupnya seperti mengurangi sifat-sifat negatifnya dan lebih menerima pasangannya apa adanya. “Usaha, ya… kita berusaha untuk inilah, apa namanya… apa namanya, ya. Usaha untuk meraih itu, ya… lebih ke mengurangi sifat yang jelek, gitu kan. Lebih nerima pasangan kita apa adanya. Apapun masalah itu… kita selesaikan dengan… dengan… dengan baik-baik. Saling menghargailah, menghormati, dan yang terpenting saling mengasihi satu sama lain. Karena yang mendasari kita itu membina rumah tangga itu kan kasih. Jadi, kasihlah yang harus dipupuk terus… terus kan. Supaya jangan dia hilang. Kasih itulah satu sama lain, kan.” K3.I, W2b. 201-212hal. 23.

IV. C. 2. d. Analisis Intrapersonal pada Istri Kasus 3