B. 2. c. Data Wawancara 1

136 yang melambai. Kontak mata dengan peneliti pun telah terjaga dengan baik. Hal yang mengganggu saat wawancara ini adalah teman satu runah suami yang keluar masuk dan melewati ruang tamu di mana suami dan peneliti melakukan wawancara.

IV. B. 2. c. Data Wawancara 1

Hubungan Suami Kasus 2 dengan Istri Pernikahan suami Kasus 2 dan istrinya telah memasuki usi pernikahan 3 tahun 8 bulan dan sudah 2 tahun ini suami bekerja sebagai tukang las di luar kota yang membuat suami harus sering pergi dan tinggal di kota tersebut sampai proyek yang dikerjakannya itu selesai. Dalam sebulan suami hanya dapat kembali sekali bahkan terkadang baru kembali setelah 2 bulan di luar kota. Namun bisa saja dalam seminggu suami dapat kembali ke Medan. Pekerjaan suami inilah yang membuatnya harus sering meninggalkan istri sendiri di Medan. Ketika suami berada di luar kota, ia sering merindukan keadaan rumah dan istri. Suami juga mengatakan sesulit apapun hidupnya saat berada di Medan, ia tidak merasa memiliki beban. Berbeda ketika ia berada di luar kota. Saat di luar kota suami sering merasa tertekan karena ia sudah lelah bekerja namun kurang bisa mencukupi kebutuhan mereka. “… Udah jauh-jauh kita di negeri orang, udah enggak punya, jauh kita lagi dari keluarga, enggak punya anak lagi. Kita capek-capek kerja, enggak ada hasilnya. Kadang itulah yang bisa buat Amangboru tertekan, kalo di luar kota. Kalo pada saat di Medan kayak gini, biarpun kita susah, enggak ada beban pikiran sama saya gitu.” K2.S, W1b. 180-187hal. 5. Suami beralasan ketika di Medan, ia tidak terlalu memikirkan hal itu karena ketika di Medan, ia dapat berbagi dan berkeluh kesah dengan istrinya. Masalah Universitas Sumatera Utara 137 apapun yang sedang mereka hadapi di Medan tidak terlalu membuat suami tertekan karena ia dapat membahasnya bersama istri dan dipecahkan bersama- sama. “Ya, iyalah. Di sini kita bisa berbagi sama Boumu kan. Coba kalo di sana, kita pun ada masalah, kita pengennya cerita sama istri, tapi, enggak bisa. Paling hanya lewat teleponlah. Tapi, kan kurang rasanya. Tapi, kalo di Medan ini, kan, ada pun masalah kita tanggulangi bersama kan di sini…” K2.S, W1b. 190-196hal. 5. Menurut suami, istri kurang suka jika suami harus pergi kerja di luar kota. Namun suami tidak dapat berbuat apa-apa selain memberikan penjelasan kepada istri bahwa pekerjaan inilah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Dan suami juga mengatakan pada istri agar mereka harus berusaha menabung sehingga kehidupan mereka dapat lebih baik lagi. “Ya… satu kayak… kayak ceritaku yang tadi juga, karena saya sering di negeri orang. Saya jarang pulang. Di situlah dia kurang enaknya.” K2.S, W1b. 500-502hal. 12. “Ya… paling saya bilang, ‘Sabar ajalah dulu. Untuk saat ini, itulah yang bisa saya kerjakan untuk bisa mencukupi kebutuhan kita. Nanti kita tabung kalo ada lebih, supaya bisa kita lebih baik lagi nantinya.’ Gitu aja paling saya bilang ke dia.” K2.S, W1b. 504-509hal. 12. Bukan hanya istri yang tidak suka melihat suami bekerja di luar kota. Keluarga istri pun juga kurang dengan hal itu. Menurut suami, ketika keluarga istri bertemu atau berbicara dengannya di telepon, suami merasakan kekurang sukaan mereka dengan pekerjaan suami saat ini. Selain itu, keluarga istri juga ingin memiliki cucu dan mereka belum dapat memberikan cucu yang diharapkan itu. Hal itu juga menjadi faktor kekurang sukaan yang dirasakan oleh pihak keluarga istri. Universitas Sumatera Utara 138 “Kayak mana… kalo dalam hal ini sebenarnya, saya dari keluarga, apalagi dari pihak mertua volume suara menurun, ini kayaknya kurang merasa enak melihat aku pribadi sendirilah menunduk.”K2.S, W1b. 429- 432hal. 10. “Satu sebabnya, karena kita kerja sering merantau. Yang kedua, udah kita kayak gini enggak punya anak, kita merantau-merantau lagi, mereka itu enggak senang gitu. Enggak senang mereka itu kalo kita itu merantau- merantau kerja.” K2.S, W1b. 442-447hal. 10. Ketidak sukaan keluarga istri yang dirasakan suami ini tidak pernah dibicarakan suami kepada istri. Suami menerima ketidak sukaan mertuanya itu dan menerimanya sebagai nasib yang harus ia jalani dan hadapi. “Ya… saya sabar ajalah kalo selama ini. Ya… saya diam aja. Enggak pala saya ucapkan sama boumu kan. Enggak saya bilang-bilang itu. Saya diam- diam aja. Mungkin udah jadi nasib saya, itu ajalah pikiran saya batuk.” K2.S, W1b. 452-456hal. 11. Suami memiliki rencana jika nanti tabungan mereka sudah cukup, suami ingin membuka usaha di Medan. Memang usaha apa yang akan dikerjakannya belum pernah terpikirkan oleh suami. Hal ini dipikirkan suami karena suami juga tidak mau kalau ia harus terus bekerja di luar kota, harus berpindah-pindah, dan sering meninggalkan istri di Medan. “… Jadi, ya… sabarlah dulu kan, supaya ada tabungan kita. Nanti entah bisanya buka usaha entah apa di Medan, kan, supaya enggak usah saya kerja di luar kota terus kayak gini.” K2.S, W3b. 396-401hal. 31. “Belum terpikirkan saya. Cuman, ya… saya pengen nabung aja, entah nanti mau buka usaha apa, lihat dari tabungan itu, cukupnya untuk apalah nanti.” K2.S, W3b. 404-407hal. 31-32. Istri di mata suami adalah seorang yang mudah marah. Ketika istri marah, suami lebih memilih diam dan tidak mau memancing emosi istri. Ketika kemarahan istri sudah mereda, barulah suami meminta maaf. Universitas Sumatera Utara 139 “Ya… kalo dia marah, saya enggak mau pancing. Jadi, diam aja. Nanti kalo udah reda, baru dia ngomong. Nanti kalo saya yang salah, saya minta maaflah gitu.” K2.S, W2b. 74-77hal. 15. Ketika pun dalam rumah tangganya mereka menghadapi suatu masalah, suami memilih untuk pergim keluar dari rumah dan menenangkan diri dulu. Ketika suami sudah tenang, baru ia kembali lagi ke rumahnya. “… Kalo dalam rumah tangga itu, kalo ada masalah, begitu juga. Saya keluar dari rumah gitu.” K2.S, W2b. 225-227hal. 19. “Dibiarin dulu sampai nanti udah dingin, baru balek lagi ke rumah.” K2.S, W2b. 229-230hal. 19. Saat ini suami masih mengharapkan kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan mereka dan tidak tahu kapan ia bisa mendapatkan anak itu. Saat ini suami hany bisa berdoa agar ia segera memiliki anak. “Kalo harapan, ya… ada, ada. Kalo harapan saya untuk punya anak memang ada. Cuman entah kapan tibanya, enggak taulah aku menunduk. Kita ya, berdoa aja.” K2.S, W1b. 539-542hal. 12. Istri pun mengharapkan hal yang sama. Bahkan menurut suami, istri merasa sedih dengan keadaan mereka yang belum memiliki anak ini. Melihat kesedihan istri tersebut, suami berusaha menenangkannya dan tidak mau semakin menambah kesedihan istri. Dan yang dapat dilakukan suami adalah dengan berdoa kepada Tuhan sambil terus mengusahakan pengobatan yang dapat membantu mereka untuk segera memiliki anak. “Kalo saya enggak mau buat dia tambah sedih. Jadi, kalo dia lagi sedih gitu, ya… saya berusahalah menenangkannya. Karena kan enggak baik kalo kita itu terlalu lama sedih dan berlarut-larut. Kita pikirkan kali pun Universitas Sumatera Utara 140 itu, nanti stres kan enggak baik. Lebih baik kita itu berdoa aja. Tapi, kan enggak boleh kita itu hanya berdoa. Sambil berdoa, kita itupun tetap harus berusaha semampunya kita…” K2.S, W3b. 76-85hal. 24-25. 2 Makna Anak menurut Suami Kasus 2 a Anak merupakan penerus keturunan Menurut suami, anak adalah penerus bagi marga mereka, terlebih karena mereka berasal dari suku Batak yang menekankan pentingnya kehadiran anak dalam sebuah pernikahan. Dengan adanya anak, maka keturunan atau marga mereka tidak akan terputus sampai di dirinya saja. “… Apalagi, kita kan orang Batak. Kalo enggak ada anak itu, rasanya jelek kali. Enggak ada yang meneruskan marga kita itu…”K2.S, W3b. 7- 10hal. 23. b Anak dapat lebih mengikat tali pernikahan Suami beranggapan dengan adanya anak, ia dan istri memiliki pengikat. Dimana ketika ada masalah di antara mereka, suami tidak terlalu mau memperpanjangnya dan memilih untuk memikirkan masalah itu dengan lebih tenang. Jadi dengan melihat adanya anak, suami akan menjadi lebih fokus untuk membesarkan anak daripada membesarkan masalah yang ada dengan istrinya. “… ada pengikat menyimpulkan jari antara suami-istri. Kalopun kita berantam-berantam gitu… lihat anak ada, jadi enggak mau memperpanjang lagi. Jadi lebih suka damai. Kan saya kalo lagi ada masalah di rumah, lebih baik saya keluar kan. Tapi, kalo ada anak, mungkin saya keluar?. Enggaklah. Kasihanlah lihat anak itu. Jadi, kalo mau berantam pun, kalo ada masalah pun, dipikir dengan kepala dingin dulu. Kan anak ini gimanalah kalo lihat orangtuanya berantam. Walau masih kecil dia, pasti dia bisa merasakan kalo orangtuanya berantam kan. Dan boumu juga pasti kayak gitu. Jadi, kayaknya kan, melambaikan tangan dan menghisap rokoknya ada pengikat itu antara suami dan istri kalo ada anak. Karena kita udah kurang mau cari masalah kan. Karenanya, udah lebih fokus mau besarin anak kan. Jadinya, kan lebih damai… lebih Universitas Sumatera Utara 141 bahagialah. Semua masalah dipikirkan dengan kepala dingin.” K2.S, W3b. 15-36hal. 23. c Anak membuat hidup menjadi lebih berwarna Suami berpendapat jika ia memiliki anak akan bertambah lagi satu anggota dalam keluarga mereka dan membuat suasana itu menjadi lebih ramai. Dengan adanya anak, suami merasa akan terdengar suara anak yang lebih mewarnai hidupnya. “… Karena hidup itu akan lebih berwarnalah kalo ada anak.” K2.s, W3b. 301-302hal. 29. “Kalo ada anak, kan, enggak hanya berdua aja. Jadi, kalo nambah 1 lagi anggota keluarga kan jadi lebih berwarna. Ada nanti yang nangis, ketawa, kalo lapar, dia nangis kan. Nanti kalo kita ajak ngomong, dia ikut-ikutin kita. Kan lebih berwarna hidup ini. Tapi, kalo hanya berdua aja kayak gini, kan sepi rasanya. Gini-gini aja hidup, enggak ada anak.” K2.S, W3b. 304-312hal. 29.

3 Dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak

Suami merasakan adanya dampak dari ketidakhadiran anak dalam kehidupan pernikahannya, yaitu: a Dampak Positif 1. Lebih dapat memperhatikan istri Suami beranggapan ketidakhadiran anak saat ini dalam kehidupan pernikahannya membuat suami lebih memiliki waktu untuk lebih memperhatikan istri. Karena suami berpendapat saat ini istrinya pun harus diperhatikan. Istrinya masih butuh perhatian dari suami. Jika mereka telah memiliki anak saat ini, kemungkinan waktu-waktu suami akan lebih banyak untuk memperhatikan anaknya. Karena itulah saat ini suami berusaha untuk lebih memperhatikan istri. Universitas Sumatera Utara 142 “… Terus… saya jadi lebih bisa memperhatikan istri kali ya tersenyum. Kalo kami sudah punya anak kan, mana mungkin saya bisa memperhatikan dia kayak sekarang ini. Karena perhatian kita sudah pasti lebih ke anak kita kan. Karena dia kan masih butuh banyak perhatian dari kita, orangtuanya. Tapi, kalo istri kan sudah besar, enggak terlalu diperhatikan kali kan. Padahal pun sebetulnya dia juga pasti butuh diperhatikan kan. Tapi, karena udah ada anak kita, kan jadi enggak terlalulah memperhatikan istri. Mungkin itu ya, yang saya lihat.” K2.S, W3b. 148-161hal. 26. 2. Suami lebih belajar bersabar Ketidakhadiran anak dalam kehidupan pernikahan mereka mengajarkan kepada suami agar ia lebih belajar untuk bisa bersabar dalm menunggu kehadiran anak yang sangat mereka harapkan. Selain itu, suami jadi lebih banyak berdoa dan pasrah kepada kehendak Tuhan. Karena suami menyadari keadaannya saat ini sudah menjadi kehendak Tuhan. “… Paling saya jadi lebih belajar bersabar dan lebih banyak berdoa jadinya. Pasrah sama Tuhan kan. Karena ini sudah jadi kehendak Tuhan kan, kalo kami masih harus menunggu masalah momongan ini…” K2.S, W3b. 144-148hal. 26. b Dampak Negatif 1. Menambah beban pikiran Ketidakhadiran anak membuat suami tertekan dan berpikir mengenai siapa yang salah di antara mereka dan mengapa hal ini dapat terjadi pada mereka. Namun suami tidak berlama-lama dengan pikiran-pikiran seperti itu dan akan membawa pikiran-pikirannya itu dalam doa. “… Kalo lagi kita suntuklah. Kalo lagi teringat ke situ, bertanya ke diri sendirilah. Siapalah di antara kami yang salah. Apa aku yang salah, atau dia yang salah. Apa ada perbuatan saya yang enggak benar, gitulah.” K2.S, W1b. 310-314hal. 7-8. “Ya… menurut pribadi saya sendiri ya… saya santai aja. Saya berdoa aja kalo dalam hal itu.” K2.S, W1b. 317-318hal. 8. Universitas Sumatera Utara 143 4 Gambaran Makna Hidup pada Suami Kasus 2 Suami memandang kehidupannya saat ini sulit, karena ia merasa penghasilan yang ia dapat selama ini hanya cukup untuk mereka berdua saja. Suami merasa ia telah jauh-jauh bekerja di luar kota, namun hasilnya tetap hanya cukup, tidak berlebih. “Ya… kayak manalah mau dibilang, memang kita susah. Kita kerja pun pas-pasannya, kan. Cukup untuk kita ajanya itu kalo kita kerja itu. Jauh- jauh pun kita kerja di negeri orang sana, pas-pas untuk kita ajanya.” K2.S, W1b. 88-92hal. 3. “… Udah jauh-jauh kita di negeri orang, udah enggak punya, jauh kita lagi dari keluarga, enggak punya anak lagi. Kita capek-capek kerja, enggak ada hasilnya…” K2.S, W1b. 180-183hal. 5. Walaupun suami merasa hidupnya saat ini hanya pas-pasan, namun suami tidak mau terlalu memikirkan hal itu dan segala sesuatunya tetap ia jalani dengan santai. Hal ini ia lakukan agar ia menjadi lebih bahagia dalam menjalani hidup. “Iyalah mengangguk. Yah… walaupun mungkin hidup kami pas-pasan, tapi kan kalo itu terlalu dipikirin kali kan juga enggak baik. Jadi misalnya kalo saya bilang, dalam menjalani hidup ini, saya jalani aja dengan baik… dengan enteng, supaya dalam hidup ini kita bisa bahagia, kan.” K2.S, W2b. 53-59hal.15. Tujuan hidup suami saat ini adalah hidup dengan tenang dan sehar serta memiliki keluarga yang akur. “… Sebenarnya kalo untuk tujuan hidup, sebenarnya saya rasa yang paling utama, kita bisa hidup dengan tenang, dengan sehat ya kan, satu. Yang kedua, kita sama keluarga, akur dan juga kita bisa makan, minum, sehat, bisa kita tinggal di rumah.” K2.S, W1b. 91-96hal. 16. Dan untuk meraih tujuan hidup tersebut, suami bekerja dengan semangat agar suami dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehari-hari dan memiliki uang yang cukup sehingga tidak perlu terlalu pusing memikirkan mengenai Universitas Sumatera Utara 144 keuangan. Menurut suami jika penghasilannya kurang, maka ia harus lebih memilah-milah dalam membeli sesuatu dan harus lebih pintar dalam mengatur keuangan. “Ya… kalo menurut yang saya lakukan tadi kan. Kalo bekerja itu kan cari duit. Udah ada duit itu, kita juga senang, kan begitu. Karena setidak- tidaknya untuk hidup sehari-hari ada. Kita enggak perlu pusing-pusing memikirkan apa yang mau dimakan hari ini. Karena udah ada uang itu kan. Tapi, kalo masih kurang kan, agak bingung kita mau ngeluarkan uang itu.” K2.S, W2b. 148-155hal. 17. Selain itu, suami juga berusaha untuk semakin bijaksana dalam mengambil keputusan agar apa pun keputusan yang ia ambil, itu tidak akan memancing pertengkaran ataupun emosi dari istrinya. Suami juga berusaha untuk lebih sabar dalam menghadapi kejadian atau masalah apa pun yang ia hadapi dalam hidupnya saat ini. “Ya… usahanya saya lebih berusaha untuk bijak dalam mengambil setiap keputusan. Enggak memancing emosi, kan. Lebih sabar dalam menghadapi apa pun yang terjadi. Terus… bekerjalah lebih giat. Karena kalo ada lah duit kita kan, pasti enggak usah terlalu sibuk memikirkan pengeluaran-pengeluaran. Bisa makan… minum, enak. Enggak terlalu memikirkan mau makan apa besok. Kan kita kalo ada duit kan lebih tenang. Enggak harus memikirkan yang lain-lain. Tapi, inilah… masih sulit nih dalam masalah duit. Karena enggak bisa terlalu mengharapkan kali dari gajiku ini kan. Yah… memang sih, kalo dihitung-hitung, pas- pasanlah. Dipas-pasinlah. Kurang pun ya… cobalah dipas-pasin gimana caranya. Enggak usah terlalu mau beli ini itu dulu. Untuk sehari-hari aja dulu dipikirkan kan. Yah… ginilah hidup ini. Mau susah pun harus kita jalani kan.” K2.S, W3b. 223-243hal. 28. Dan dengan kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi olehnya, suami tetap mnjalaninya seperti air yang mengalir. Suami menjalaninya dengan berdoa dan berusaha. Karena suami berpendapat ia akan sulit menjalani hidupnya tanpa doa dan menyerahkan segala sesuatu di tangan Tuhan. Universitas Sumatera Utara 145 “Ya… dijalani aja kayak air yang mengalir. Sambil berdoa dan berusaha. Karena tanpa kita berdoa kan, kayaknya sulit menjalani hidup ini. Beda kalo kita berdoa dan menyerahkan segala sesuatunya sama Tuhan. Kalo dipikir-pikir kali pun yang susah hidup ini, tapi, kita tetap enggak berusaha dan berdoa, sama aja. Hanya buat kita stres…” K2.S, W3b. 247-255hal. 28. Dalam menjalani hidupnya saat ini, suami juga menjalaninya dengan berpikir positif. Karena menurut suami dengancara seperti itu kehidupan akan lebih baik dan lebih mudah dalam menjalaninya. “… Walaupun saat ini saya melihat hidup ini sulit, tapi, saya yakin kalo saya menjalaninya dengan baik dan berpikir positif, pasti akan lebih baik dan lebih mudah menjalaninya kan…” K2.S, W3b. 257-261hal. 28. Dan suami memiliki prinsip bahwa ia dapat mencukupi kebutuhan keluarganya tanpa harus meminta kepada orang lain. Hal ini ditekankan suami kepada istrinya dan sampai sekarang, suami belum pernah meminta bantuan sama keluarga kalau hanya untuk kebutuhan makan sehari-hari. “… saya bisa makan dengan hasil keringat saya sendiri. Keluarga juga bisa saya kasih makan. Jangan kita harus minta sama orang lain.” K2.S, W2b. 101-104hal. 16. “… Saya pun sejak nikah sampe saat sekarang ini selalu bekerjanya kan, belum pernah minta-minta sama keluarga, kalo hanya untuk makan. Memang dari awal pun, sudah saya tekankan, kalo memang umpamanya untuk keluarga saya sehari-hari makan saja, enggak mau minta-minta sama keluarga gitu.” K2.S, W2b. 125-131hal. 16-17. Kegelisahan karena belum memiliki anak dirasakan suami saat usia pernikahannya 2 tahun. Awalnya suami masih merasa wajar belum memiliki anak, karena usia pernikahannya juga masih baru. Namun ketika usia pernikahan memasuki 2 tahun, suami mulai bertanya-tanya mengapa ia belum juga memiliki anak. Universitas Sumatera Utara 146 “Memang waktu… apa itu, 2 tahun pun baru ada. Sudah sadarlah gitu. Di 2 tahun itu, kok belum ada. Di situlah kita baru sadar, kok siapa yang salah, kenapa kita ini ya kan, apa kita sakit, apa kita ada yang salah gitu. K2.S, W1b. 290-294hal. 7. Hal itu membuat suami berpikir dan merasa stres. Pikiran-pikiran dan pertanyaan tentang siapa yang salah dan mengapa hal itu terjadi telah membuat suami menjadi stres dan sempat merasa Tuhan tidak adil kepadanya. “Iya mengangguk dan menghantuk-hantukkan rokok ke lantai. Kalo lagi kita suntuklah. Kalo lagi teringat ke situ, bertanya ke diri sendirilah. Siapalah di antara kami yang salah. Apa aku yang salah, atau dia yang salah. Apa ada perbuatan saya yang enggak benar, gitulah.” K2.S, W1b. 309-314hal.7. “… Ya… saya saat itu mikir, ‘Kok kayak gini?. Apa sebenarnya salahku. Kok bisa aku susah punya anak. Udah 2 tahun kami married, kok belum bisa dapat momongan. Apa salahku,’ gitu dulu. Pernah sih, saya sampe bertanya sama Tuhan, kenapa Dia sepertinya enggak adil sama saya. Saya hidup ini udah susah, kok dapat anak juga susah. Orang sana, udah hidupnya enak, cepat bisa punya anak. Awalnya, merasa enggak adil aja yang terjadi sama saya. Apalagi kan di saat-saat 1 tahun gitulah, barang- barang kami mulai kami jual kan, untuk makan sehari-hari. Jadi, rasanya kok gini. Kenapa semuanya enggak bisa kami raih volume suara menurun dan menunduk. Kenapa orang bisa hidup enak, harapannya terkabul. Sedangkan aku, hidup udah susah, tapi, masih aja dikasih cobaan… enggak bisa punya anak kayak gini. Gitulah aku dulu. Merasa kok kayaknya Tuhan enggak adil samaku… sama keluargaku. Gitu. Nolak gitu awalnya sama keadaan ini.” K2.S, W3b. 445-467hal. 32-33. Rasa emosi juga terkadang muncul. Karena suami merasa terlalu lelah untuk melakukan pengobatan tapi belum terkabul juga. Akan tetapi rasa emosi itu tidak pernah dikatakan suami kepada istri. Suami hanya mnyimpannya dalam hati. “Ya… paling terucap dalam hati kita sendirilah menunjuk ke arah dada. Kalo seumpamanya pun yang begituan, karena kita terlalu capek, lelah kita untuk melakukan itu, padahal enggak terkabul. Di situlah kita kadang ada rasa emosi kan. Tapi, enggak kita ucapkan di sini. Cuma di dalam hati kita aja kita ucapkan menunjuk ke arah dada.” K2.S, W1b. 361-367hal. 9. Universitas Sumatera Utara 147 Hal itu dilakukan suami karena takut jika hal itu membuat istri terbeban dan semakin tertekan dengan keadaan mereka saat ini. Suami berpendapat jika istri memiliki banyak pikiran, itu akan membuatnya sulit memiliki anak. “Hah… gitulah. Jadi, kadang kan dalam keadaan kayak gitu, kita kasih tau sama dia, mungkin dia nanti jadi beban pikiran pulak sama dia.” K2.S, W1b. 373-376hal. 9. “Hah… maunya jangan ada lah sama dia beban pikiran. Karena kan katanya kalo banyak pikiran, bakal susah punya anaknya.” K2S, W1b. 379-381hal. 9. Sampai saat ini suami masih mengharapkan anak dan tetap mengharapkannya. Sehingga suami tidak pernah berpikir jika nantinya mereka tidak dapat memiliki anak. Jadi sampai saat ini suami merasa dirinya harus tetap bersabar menunggu kehadiran anak dalam kehidupan mereka. “Enggak tau aku bilangnya. Enggak bisa kujawab. Dalam hal itu, enggak bisa kujawab. Karena aku belum berani memikirkan ke situ. Harapan… harapan itu masih besar, supaya bisa punya anak dari kami sendiri. Karena pun kita sama keluarga kita diberkati di gereja itu, waktu kita diberkati itu, enggak bisa pisah. Kalo dalam hal itu, kalo seumpamanya kita enggak punya anak makanya kita pisah, enggak boleh. Kita harus tetap sabar. Dijalani aja.” K2.S, W1b. 549-559hal.13. Dari keadannya yang belum memiliki anak ternyata tidak mempengaruhi bagaimana suami menjalani dan memaknai hidupnya. Suami tetap memiliki tujuan hidup yang jelas dan tetap berusaha untuk meraih tujuan tersebut dengan gigih dan semangat. Walaupun ia merasa sedih ketika ia melihat keluarga lain telah dapat bermain bersama anaknya, tetapi suami tetap menjalaninya dengan bersabar dan berdoa kepada Tuhan. Universitas Sumatera Utara 148

IV. B. 2. d. Analisis Intrapersonal pada Suami Kasus 2