C. 2. c. Data Wawancara 1

183 sedang. Proses wawancara berlangsung dengan lancar tanpa adanya gangguan- gangguan. Wawancara II dilakukan di tempat yang sama yaitu di ruang TV rumah suami. Saat peneliti datang, suami sedang bermain komputer. Suami mengatakan istrinya belum pulang dari salon. Saat itu suami mengenakan baju abu-abu dan celana hitam pendek selutut. Posisi duduk peneliti dan suami membentuk huruf L. Pada wawancara kali ini, suami agak lama menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti. Suami membutuhkan waktu dalam menjawabnya dan biasanya dahi suami akan berkerut. Ketika suami ditanya tentang kelebihannya dan kelebihan istri, suami menjawabnya dengan cepat. Namun ketika ia diminta untuk menceritakan kekurangan istri, suami mengerutkan dahi dan menjawab agak lama. Volume suara suami berada level sedang dan akan berbeda ketika menunjukkan penegasan pada kalimat-kalimat tertentu. Suami terbiasa menjawab dengan melihat pada peneliti. Suami juga menunjukkan sikap yang kooperatif dalam menjawab setiap pertanyaan peneliti. Proses wawancara berlangsung dengan lancar tanpa adanya gangguan-gangguan.

IV. C. 2. c. Data Wawancara 1

Hubungan Suami Kasus 3 dengan Istri Suami menikah dengan istri di Maret 2002. suami memandang keadaan pernikahannya saat ini bahagia. Karena ia memiliki istri yang mau menerimanya Universitas Sumatera Utara 184 apa adanya. Keadaan rumah tangganya juga baik-baik saja. Waalupun ia belum memiliki anak, ia tetap memiliki keponakan yang dapat ia ajak bermain. “Bahagia karena saat ini aku bisa hidup di keluarga yang menyayangiku… punya istri yang cantik tersenyum, yang juga sayang samaku… perhatian samaku… mau terima aku apa adanya. Rumah tanggaku juga baik-baik aja. Enggak pernahlah kami yang berantam besar. Cuman, kecil-kecil aja. Boumu yang ngambek aja, ya. Pekerjaanku juga bisa dikatakan cukuplah saat ini. Walaupun aku belum punya anak, tapi keponakanku kan banyak yang bisa kuajak main-main. Rumah ini pun selalu ramai. Pokoknya, kalo untuk sekarang udah bahagialah kurasakan.” K3.S, W2b. 318-330hal. 25. Menurut pandangan suami, kehidupan pernikahannya saat ini masih dalam proses perjalanan menuju harapannya sebelum menikah dulu. Karena suami memiliki harapan pernikahannya dengan melihat kehidupan pernikahan orangtuanya. “Sebelum menikah… gambaran tentang pernikahan… ada sih aku. Gambarannya itu… aa… gambarannya itu menatap ke atas apa namanya, ini… kulihat keluarga ini, gitu tangan melambai. Oh… begini, oh… berarti nanti kalo aku married, begini juga. Artinya, kayak mana ya, kayak apa, semacam kita kayak orangtua kita, gitu. Oh… kalo married seperti inilah nanti, kalo kawin seperti ini, gitu.” K3.S, W1b. 216-224hal. 5-6. “Ee… spesifiknya… aku waktu apa itu, aku melihat orangtua gitu. Kayak Bapak, Mamak, kan. ‘Oh… kalo married, aku jadi orangtua ya seperti Bapak-Mamak ini. Harus bertanggungjawab, begini… begono… begini. Ah… gitu, ya.’ Secara apanya, jadi waktu mau married itu, ya itulah awak bayangkan. Oh… jadi, akhirnya kayak gini… kayak orangtua itu juga jadinya, ya. Balek ke kita tanggung jawabnya, kan. Buat kita sekolah, ngapain kita tangan melambai, ini kita, ini kita, gitu. Oh… balek. Ee… kayak kita anggap… kayak apa namanya… siklus. Eh… kita jalani juga ujungnya, kan gitu. Kata-kata waktu kemaren itu. ‘Oh… ya udahlah, udah ke siklus itu,’ pikir awak.” K3.S, W1b. 226-241hal. 6. “Belum. Masih skets minum. Jadi, kalo umpamanya kayak lukisan, sebelum kita melukis, udah bayangkan, kita mau menggambarkan suatu pemandangan. Jadi aku sekarang melihat proses perjalanan perni… per… keluargaku masih di dalam proses sketsa. Masih dalam skets… sketsanya. Kalo umpamanya mau kita buat suatu lukisan, aku kan punya visi, itulah lukisan itu kan. Proses… ‘Oh iya, ya, aku mau jadi punya keluarga seperti Universitas Sumatera Utara 185 ini.’ Jadi… kalo bisa kita apakan itu semacam suatu lukisan yang indahlah, kan. Tapi sekarang masih sketsanya ini… masih oret-oretannya. Belum masuk ke cat airnya, belum masuk ininya, warnanya, pewarnaannya, gitu. Masih menarik-narik garisnya. Masih dalam proseslah.” K3.S, W2b. 337-352hal. 25. “Ke… ke… yang kubilang tadi itu, ya, tahap-tahap tadi kan. Kan kita… pengen… pengennya ini kan, kita punya, sebelum kita menikah itu kan, kita punya… punya suatu gambaran, ‘Aku nanti menikah harus begini,’ kan begitu. Jadi… kita anggap itu suatu target… suatu tujuan. Ya kan. Nah, sekarang masih dalam proses menuju ke situ, itu maksudku. Belum di tahap itu. Kalo sesuai dengan ee… visi ato pandangan pada saat sebelum menikah terhadap keluarga, gitu. Sekarang… aku anggap ini dalam menjalani kehidupan berkeluarga ini… kalo target dari waktu aku me… menikah itu aku kan punya, ‘Oh, keluarga itu begini… begini, begini,’ kubayangkanlah keluarga besar Sihotang ini sekarang kan, dulu. Masih di dalam proses ke situ. Gitu maksudnya. Belum… belum… belumlah, ya… di dalam menjalaninya itu aku happy… senang, bahagia, gitu.” K3.S, W2b. 354-372hal. 25-26. Dalam pandangan suami, istri lebih banyak kelebihannya. Suami memuji istrinya sebagai istri yang baik, perhatian, dan dapat diajak bercanda. Selain itu, istri juga pintar memasak dan mengurus suami. Namun terkadang istri marah. Hal ini biasanya karena suami yang lebih dulu memarahinya. Jika istri marah dan tidak mau berbicara dengannya, suami akan meminta maaf terlebih dulu kepada istri. “Positifnya… banyak kali positifnya… orangnya baik, perhatian… enaklah diajak canda.” K3.S, W1b. 49-50hal. 19. “Negatifnya… apa ya?. Hal yang enggak baik dari si sayang… dahi berkerut. Em… suka marah. Tapi, enggak sering dia marah. Kalo aku marahinya… baru dia marah. Berarti enggak. Dari sisi masakannya… bagus. Sisi ngurus suami… bagus. Kadang mau juga dia uring-uringannya. Kadang mau juga dia marah, tapi, kan tentu dia punya alasan dan kita bisa terima alasan dia marah. Mau marah… itu kali negatifnya.” K3.S, W1b. 53-62hal. 19. “Em… kalo aku marahin dia. Kalo dia enggak salah kan, pas aku lagi uring-uringan… kumarahi dia, eh… dianya malah marah juga samaku, Universitas Sumatera Utara 186 kan. Malah lebih parah marahnya samaku. Oh iya… kalo misalnyalah kan, enggak terlalu kutanggapilah omongannya, kan… marah dia itu. Pigi dia… didiaminnya aku. Enggak mau dia ngomong samaku. Sampe nanti aku minta maaf, barulah dia mau ngomong tersenyum.” K3.S, W1b. 65-73hal. 19. Dalam mengatasi masalah yang dihadapinya, suami terlebih dulu mendiskusikannya dengan istrinya. Baru kemudian ia mendiskusikannya dengan keluarganya. Dan suami yakin dalam setiap masalah yang ia hadapi, istri dan keluarga selalu mendukungnya. “Yang biasa aku lakukan sih pertama berdoa. Tapi, ya untuk memecahkan solusinya, diskusi sama istri. Nanti habis diskusi sama istri, coba lagi, eh… sharing sama keluarga. Udah habis itu nanti, barulah nongol suatu titik cerah. ‘Apa sih, gini-gini. Oh… ke situ rupanya solusinya. Uwes.’ Udah dapat titik cerah, baru minta… baru apalah kita co… jalani, tapi, kita udah yakin bahwasanya kita akan disupport dari bela… dari belakang sama istri dan keluarga, gitu.” K3.S, W2b. 289-298hal. 24. Suami ingin suatu saat nanti, ia dapat meluangkan waktu untuk berlibur bersama istrinya. Suami ingin ia dapat melepaskan beban pekerjaannya dengan pergi berlibur bersama istri. “… Tapi, kan… tersenyum aku maunya bisa berdua aja, gitu. Yah… bisa meluangkan waktu berdualah.” K3.S, W1b. 90-92hal. 3. “Bukan enggak meluangkan waktu sih duduk menyandar pada sofa dan tersenyum. Cuman, kalo di sini kan, banyak yang mau diurusin. Kerjaanlah… apalah, gitu kan. Ini kan maunya benar-benar lepas sama kerjaan apapun, beban apapun, terus liburan sama Boumu. Kayak refreshinglah berdua, gitu.” K3. S, W1b. 95-101hal. 3. Saat istri merasa jenih dan tidak mau memeriksakan diri ke dokter, suami merasa sedih. Tetapi suami berusaha untuk menenangkan istri dan memberikan istri semangat. “Aku sedih juga lihat dia putus asa kayak gitu kan. Ya… kucoba ajaklah dia. Kucoba bilang ke dia, kalo kita enggak boleh putus asa dan harus tetap Universitas Sumatera Utara 187 berdoa… pasrah sama Tuhan. Tetaplah kukasih semangat… kukasih dorongan..” K3.S, W1b. 535-539hal. 12. Walaupun terkadang suami sepertinya tidak terlalu menanggapi omongan istri dan terkesan tidak perduli, sebenarnya suami sangat memperhatikan istri. Suami tidak mau menanggapi omongan istri tersebut karena ia tidak mau membuat istri tertekan dengan pembicaraan-pembicaraan mengenai anak. “… Walaupun dia sering bilang aku ini cuek kali, tapi sebenarnya kan, karena memang seperti itu aku. Perhatian sih sebenarnya. Tapi, kalo untuk memperpanjang cerita-cerita ato masalah gitu, aku enggak mau. Makanya kan, kadang kalo Boumu itu curhat sama aku, aku bilang, ‘Udahlah, adanya itu nanti.’ Karena aku enggak mau buat dia makin tertekan kan. Jadi… lebih suka aku enggak perpanjang omongan kayak gitu dengan dia. Biar aja kayak gitu. Karena kalo semakin diperpanjang omongan kayak gitu… dia bukan lebih lega, jadi malah tertekan. Karena didengarnya juga pasti dariku, kalo aku pun tertekan kayak dia dengan keadaan ini. Tapi, kalo aku pun tertekan… hanya sebentar. Bisanya aku cari kegiatan yang bisa buat aku enggak terlalu pikiri ke situ. Tapi, kan kalo dia… dia kan perempuan. Jauhnya lebih sensitif perempuan itu kan, jadi, jauh lebih tertekan dia… jauh lebih stres dia. Kalo gitu… dia stres terus… kapan kami bisa punya anak?. Kalo dia banyak stres katanya bisa berpengaruh kan ke kesehatan. Kan susah juga nanti kami punya anak kalo gitu. Jadi, sebenarnya menghindari dia stres itunya makanya aku terkadang enggak mau pedulikan omongannya yang berbau anak gitu tersenyum. Walaupun kalo pada masa-masa capek ato stres gitu, aku bisa cueknya minta ampun ya.” K3.S, W1b. 540-567hal. 12-13. Suami mencoba menenangkan istri dan tidak ingin membuat istri semakin tertekan. Dan suami semakin menyemangati istri untuk tetap berusaha melakukan pengobatan agar mereka dapat segera memiliki anak. “Ya… aku tetap berusaha buat dia lebih tenang. Jangan buat dia malah tambah tertekan, kan. Kasih aja dorongan supaya dia tetap berobat, supaya dia jangan takut untuk operasi ini. Karena takut dia untuk operasi ini, katanya tersenyum. Yah… kalo aku gitu aja sih. Tetap positiflah dalam aku memandang hal ini dan juga menyikapinya. Di samping kita pengen… kita tetap kasih semangat untuk istri dan berusaha yang terbaik. Tapi, usaha yang semampunya ya. Kalo kayak bayi tabung gitu kan mahal. Susahlah itu. Belum sampe ke situ. Ato kayak… pancing anak… ngangkat Universitas Sumatera Utara 188 anak, gitu kan. Belum sampe ke situlah kalo aku sama Boumu mikirnya.” K3.S, W1b. 695-709hal. 16. 2 Makna Anak menurut Suami Kasus 3 a Anak dapat membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih ramai Suami beranggapan kehadiran anak akan membuat kehidupan rumah tangga semakin ramai sengan suara-suara anak. “… Tapi, kalo ada anak-anak kan, ada yang bisa digangguin tersenyum… bisa kami dengarlah suara anak-anak di rumah ini. Biar jadi ramai rumah ini. Kalo gini… yang ada malah suara keponakan. Itupun keponakannya udah gede-gede. Enggak bisa lagi digendong-gendong. Maunya kan, anakkulah yang berkicau di rumah ini, suaranya. Bisa bikin ramelah suasana di rumah ini. Enggak kayak gini-gini aja.” K3.S, W1b. 146-154hal. 4. b Anak sebagai penerus keturunan Menurut pandangan suami, anak adalah penerus keturunan mereka nantinya. “… Orang nikah itu kan maunya ada lah anak yang bisa kita urus… yang bisa meneruskan garis keturunan Bou sama aku…” K3.S, W1b. 205-207hal. 5. c Mempunyai tanggung jawab Suami beranggapan dengan adanya anak, suami dapat bertanggung jawab dan hal itulah yang diinginkan suami untuk terjadi dalam kehidupan pernikahannya. “… Jadi, kita punya tanggung jawab gitu. Ya… punya suatu tanggung jawablah terus… yah, beban secara moral itu tentu lebih enak, kalo punya anak, ya kan.” K3.S, W1b. 367-371hal. 9.

3 Dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak

Universitas Sumatera Utara 189 a Dampak Positif Dampak Positif yang dirasakan suami dari ketidakhadiran anak, yaitu: 1. Akan lebih menyayangi anaknya nanti Ketidakhadiran anak saat ini dipandang suami sebagai sesuatu yang dapat membuat kerinduannya kepada hadirnya anak semakin besar sehingga ketika nantinya mereka memiliki anak, ia akan menjadi lebih sayang kepada anak itu. “… Em… mungkin di sini dengan rasa kerinduan yang besar, mungkin nanti rasa sayang sama anak lebih besar lagi. Iya, ada sisi positifnya kupandang dari sini…” K3.S, W2b. 425-428hal. 27. 2. Dapat lebih memperhatikan istri Ketidakhadiran anak saat ini membuat suami dapat lebih memperhatikan istri dan bertanggung jawab kepada istrinya yang mungkin akan terbagi jika ia telah memiliki anak. “… Terus… kayak yang aku bilang tadi… aku jadi lebih bisa bahagiakan Boumu… lebih bisalah bertanggungjawab sama dia, kan. Kalo kita udah punya anak kan, malah lebih perhatian ke anak, kan. Makanya mungkinlah saat ini seperti itu yang dibuat.” K3.S, W2b. 428-434hal. 27. b Dampak Negatif Dampak negatif yang dirasakan suami dari ketidakhadiran anak, yaitu: 1. Merasa iri melihat keluarga lain Suami sering merasa iri ketika melihat keluarga lain yang baru menikah dapat dengan cepat memiliki anak. Berbeda dengan dirinya yang telah 6 tahun menikah namun belum juga dapat memiliki anak. “Negatifnya… ya… jealous itu. Sehingga ya kita kadang kan merasa, ‘Kok gini, ya. Duh… malah dia yang baru kawin, udah punya anak.’ Artinya belum selayaknya punya anak… udah punya anak. ‘Ah, sialan,’ pikir awak kan. Dia kok bisa, aku kok enggak bisa, gitu tersenyum. Iya kan.” K3.S, W2b. 436-442hal. 27. Universitas Sumatera Utara 190 “Gondoknya… kok sus… kok orang udah layak… apa… belum layak, udah punya anak. Awak udah 6 tahun, belum punya gitu, kadang gitu. Ngedumel juga, kan. Wajar dong. Kita udah lama belum dapat juga. Kadang merasa kok enggak adil aja sama kami yang udah lama nikah ini. Harusnya kan sama kami duluanlah dikasih kan.” K3.S, W2b. 450- 457hal. 27-28. 2. Memiliki beban moral Suami memiliki ketakutan jika nanti ada omongan-omongan negatif yang ditujukan kepada istri. Suami takut jika istrinya akan tertekan dengan omongan itu dan beban itulah yang turut memberikan tekanan kepada suami. “… kan kalo kita enggak punya anak, kita punya beban moral tersendiri. Gimanalah tanggapan dari orang-orang di luar sana. Memang kalo dari keluarga dekat… enggak ada yang gituan. Tapi, coba orang di luar sana yang lihat, udah 6 tahun lebih married, tapi belum juga punya anak. Pasti ada lah pemikiran-pemikiran negatif dari mereka. Kadang ada juga kalo kita lihat sekarang ini yang orang-orang itu menyalahkan si pihak istri. Padahal dengan adanya penyalahan-penyalahan kayak gitu, kan, buat dia semakin tertekan.” K3.S, W1b. 375-386hal. 9. 4 Gambaran Makna Hidup pada Suami Kasus 3 Suami Kasus 3 memandang hidupnya saat ini sebagai kehidupan yang bahagia. Karena ia merasa berada di tengah-tengah keluarga yang menyayanginya dan memiliki istri yang juga menyayanginya dan dapat menerimanya apa adanya. Jika ada masalah yang mereka hadapi, mereka dapat mengatasinya dengan baik- baik tanpa harus meributkannya. “Bahagia karena saat ini aku bisa hidup di keluarga yang menyayangiku… punya istri yang cantik tersenyum, yang juga sayang samaku… perhatian samaku… mau terima aku apa adanya. Rumah tanggaku juga baik-baik aja. Enggak pernahlah kami yang berantam besar. Cuman, kecil-kecil aja. Boumu yang ngambek aja, ya. Pekerjaanku juga bisa dikatakan cukuplah saat ini. Walaupun aku belum punya anak, tapi keponakanku kan banyak yang bisa kuajak main-main. Rumah ini pun selalu ramai. Pokoknya, kalo Universitas Sumatera Utara 191 untuk sekarang udah bahagialah kurasakan.” K3.S, W2b. 318-330hal. 25. Ketika dihadapkan pada situasi yang belum memiliki anak, awalnya suami merasa bingung mengapa ia belum juga memiliki anak. Sedangkan orang lain yang baru menikah dapat dengan segera memiliki anak. “Rasanya sih… bingung juga sih, waktu itu. Bingung… bingung sih. Bingung juga. Bingungnya gini… ‘Kok susah, ya, padahal ada orang baru kawin, saudara, 2 tahun kawin… udah punya anak. 2 tahun, udah punya anak. Aku kok susah amatlah punya anak ini,’ itu. Artinya… bingung juga sih.” K3.S, W2b. 377-383hal. 26. Namun suami meyadari Tuhan memiliki rencana lain dan suami hanya dapat berpasrah pada Tuhan. Terlebih ia selalu mendapat dukungan dan doa dari orang- orang terdekatnya dan juga dari teman-temannya di gereja. Dukungan dan doa ini yang dapat menguatkan suami untuk terus berusaha melakukan yang terbaik. “Sebentar. Baru siap itu sadar, ‘Ya uweslah, kalo masih Tuhan punya rencana, kok.’ Akhirnya, ya… balek-balek ke situ juga. Balek-balek ke Yang Maha Kuasa juga.” K3.S, W2b. 386-389hal. 26. “Ya… aku kan mikir juga sih saat itu, mungkin saat ini kami belum dikasih, karena Tuhan mau aku bertanggungjawab dulu sama Boumu. Aku harus bisa dulu membahagiakannya. Harus dulu punya tabungan yang cukup untuk besarin anak. Apalagi kan di gereja juga kalo lagi ngumpul- ngumpul gitu, selalu orang kan bilang kalo ini salah satu rencana Tuhan. Jadi, aku harus tetap percaya sama keindahan rencana Tuhan itu. Saudara juga gitu, selalu mendukung, enggak pernah buat kami putus asa. Jadi, kepikiran itu juga, kan. Apalagi kan opung sakit. Di sini kan aku yang tinggal, jadi yah… aku harus memperhatikan dia, dong. Jadi sebenarnya proses aja… proses perenunganku yang buat aku tetap berserah sama Tuhan. Dan aku yakin itu juga Tuhan yang bantu aku untuk bisa kuat kayak gini. Tetap percaya sama keindahan rencana Tuhan kan susah. Tapi, entah kenapa aku masih bisalah tetap percaya sampe sekarang ini.” K3.S, W2b. 392-412hal. 26-27. Dan sampai saat ini suami tetap berusaha dan tetap meyerahkannya kepada Tuhan. Universitas Sumatera Utara 192 “Ya… menyikapinya ginilah, ya… apa namanya, be… be… berusaha teruslah. Tetap berusahalah supaya bisa punya anak dan tetap menyerahkannya sama Tuhan.” K3.S, W2b. 414-417hal. 27. Terkadang suami merasa iri dan marah mengapa ia yang sudah 6 tahun menikah belum juga memiliki anak. Dan suami memilih untuk berdoa kepada Tuhan dan melepaskan perasaannya kepada Tuhan. Suami merasa lega setelah mencurahkan perasaannya itu. “Gondoknya… kok sus… kok orang udah layak… apa… belum layak, udah punya anak. Awak udah 6 tahun, belum punya gitu, kadang gitu. Ngedumel juga, kan. Wajar dong. Kita udah lama belum dapat juga. Kadang merasa kok enggak adil aja sama kami yang udah lama nikah ini. Harusnya kan sama kami duluanlah dikasih kan.” K3.S, W2b. 450- 457hal. 27-28. “Kadang. Kadang muncul aja dia gitu. Apalagi kalo dengar kan ada saudara yang baruuu… aja married, udah punya anak. Wajar kan, karena kita kan merasa mereka kok cepat kali, gitu. Muncul aja, gitu. Tapi, setelah itu malah mikir, ‘Eh… aku enggak boleh kayak gitu. Maunya Tuhanlah yang terjadi,’ gitu. Kayak ada yang menegor kalo muncul pikiran kayak gitu. Jadi, malah minta maaf saat itu juga sama Tuhan. Karena kan di situ kita udah salah. Udah sempat kita menganggap rancangan enggak baik. Jadi… haruslah minta maaf minum.” K3.S, W2b. 475-486hal. 28. Walaupun saat ini harapan suami dan istri untuk memiliki anak belum terkabul, namun suami tidak menjadikan hal itu beban. “Enjoy aja. Asyik-asyik aja. Ya uweslah. Enjoy aja, enggak papa kok. Jangan jadi beban kalilah kalopun harapan itu belum tercapai. Nanti jadi apa… kalo terus-terusan kita pikiri, jadi heng nanti kan…” K3.S, W2b. 491-495hal. 28. Suami menjalani hidupnya mengalir dan berjalan sesuia dengan prosesnya. Suami juga tetap optimis dalam memandang hidupnya. “Menjalani hidup… ya, kita jalani aja sesuai dengan prosesnya. Enggak… enggak… ya inilah, seperti sekarang inilah yang kau lihat ini. Ya… kita jalani seperti ini ajalah. Seperti mengalir aja, gitu. Pokoknya, apapun yang terjadi aku harus tetap menjalani hidup ini dengan tetap optimis. Masalah apapun yang kuhadapi, aku yakin kalo masalah itu pasti bisa kuselesaikan dengan bantuan Tuhan tentunya…” K3.S, W2b. 222-230hal. 22-23. Universitas Sumatera Utara 193 “Kalo aku… kalo kayak aku sih, di dalam hidup ini, jangan terlalu apalah, apa namanya ya dahi berkerut… sersan ajalah. Serius tapi santai, gitu. Biarkan aja semuanya mengalir apa adanya.” K3.S, W2b. 166-169hal. 21. “Kayak ginilah, kalo adapun harapanku… aku enggak ngoyo dalam mencapainya. Jadi… kalo aku untuk meraih itu, aku yang lebih mengusahakan semampunya. Dan tetap minta sama Tuhan, gitu. Jadi, enggak yang terlalu berambisilah, namanya kan. Enggak terlalu berambisi untuk mencapainya. Serius sih serius, tapi dalam menjalaninya tetap dibawa santai.” K3.S, W2b. 174-181hal. 21-22. Suami juga memiliki tujuan hidup yang jelas yaitu suami ingin agar ia dapat bertanggungjawab membesarkan anaknya nanti. “… Tujuan hidup… tujuan hidup… diam sejenak. Tujuan hidupku… aku harus bertanggungjawab dalam membesarkan anakku nanti.” K3.S, W2b. 119-122hal. 20. Karena itu ia ingin cepat memiliki anak. Namun karena ia belum memiliki anak, saat ini ia ingin agar ia dapat bertanggungjawab dulu pada istrinya dan membahagiakan istrinya. “Ya… itulah, kalo pengen punya anak itu, ya… berbagai usaha udah kita lakukan. Ya… karena aku kan mau aku itu harus bertanggungjawab sama keluarga… sama anak, sama istriku juga. Kalo sekarang belum bisa aku bertanggungjawab sama anak, ya… aku bertanggungjawab dululah sama istri… sama Boumu kan. Berusaha supaya dia itu bahagia, bisa makan- minum, akunya bekerja lebih giat supaya bisa mencukupi kebutuhan kami sehari-hari, aku bisa selalu perhatikan dia. Pokoknya bahagialah dia samaku. Jangan sampe dia enggak bahagia married samaku. Kalo kayak gitu, artinya aku enggak bertanggungjawab sama dia. Kalo untuk anak, ya… aku udah usaha semampu aku. Dan aku tetap percaya, kalo Tuhan udah netapin waktu yang tepat kami punya anak. Kalo sekarang belum dikasih… mungkin supaya aku lebih bisa bertanggungjawab sama Boumu kan. Baru nanti kalo udah bisa aku bertanggungjawab penuh sama Boumu, Tuhan baru kasih tanggung jawab untuk anak samaku. Gitu kali, ya.” K3.S, W2b. 142-163hal. 21. Universitas Sumatera Utara 194

IV. C. 2. d. Analisis Intrapersonal pada Suami Kasus 3