1
BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang menginginkan dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, dan
berharga di mata Tuhan. Ayah dan ibu selalu ingin mengasihi dan dikasihi oleh seluruh anggota keluarganya, serta mampu menjalankan dengan sebaik-baiknya
fungsi mereka sebagai orangtua. Sebaliknya apabila ia seorang anak, ia ingin menjadi anak berbakti dan dikasihi serta menjadi kebanggaan kedua orangtuanya.
Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah
tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Dan setiap orang juga pasti mendambakan dapat menjadi orang yang bertanggungjawab untuk dirinya sendiri,
serta menjadi orang yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukan dan apa yang paling baik bagi dirinya dan lingkungannya dalam Bastaman,
2007. Manusia hidup di dunia dengan penuh makna. Setiap manusia mengalami
keadaan yang tidak sempurna, sehingga dapat memberikan makna bagi kehidupannya Adler dalam Septiani, 2007. Makna hidup adalah hal-hal yang
dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Makna hidup adalah
suatu proses yang dicari oleh manusia secara terus menerus, setiap harinya.
Universitas Sumatera Utara
2 Makna hidup dapat berbeda setiap harinya, bahkan setiap jam, dan dapat berbeda
antara individu yang satu dengan individu yang lain. Manusia selalu mencari sumber-sumber pemaknaan baru, apapun artinya, bagi pemaknaan hidupnya. Hal
itu supaya ia merasa hidupnya berarti di dunia ini dalam Bastaman, 2007. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, tetapi harus dicari dan
ditemukan sendiri. Orang lain hanya dapat menunjukkan hal-hal yang potensial bermakna, akan tetapi kembali pada orang itu sendiri untuk menentukan apa yang
dianggapnya bermakna dalam Budiraharjo, 1997. Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama dan
mendasar pada manusia. Hasrat inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan, seperti kegiatan bekerja dan berkarya, agar
hidupnya dirasakan berarti dan berharga dalam Barnes, 2000. Hasrat untuk hidup bermakna ini sama sekali bukan sesuatu yang khayali dan diada-adakan,
melainkan suatu fenomena kejiwaan yang nyata dan dirasakan pentingnya dalam kehidupan seseorang. Penelitian-penelitian di beberapa negara maju menunjukkan
bahwa hasrat untuk hidup bermakna benar-benar ada dan dihayati orang atau sekurang-kurangnya diyakini perlunya dalam kehidupan. Misalnya penelitian
empiris di Perancis dan Wina menunjukkan bahwa 98 dari responden sepakat perlu adanya tujuan hidup, dan 61 menyatakan adanya hal-hal yang mereka
anggap bermakna dalam kehidupan mereka dalam Bastaman, 2007. Makna hidup, bila berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang
merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia happiness. Dan makna hidup ternyata ada dalam kehidupan itu sendiri,
Universitas Sumatera Utara
3 dan dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan, keadaan bahagia maupun penderitaan. Dalam kehidupan seseorang, mungkin saja hasrat untuk hidup secara bermakna ini tidak terpenuhi,
antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu sendiri dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup yang potensial yang
dapat ditemukan dan dikembangkan dalam Bastaman, 2007. Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk
menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, dan negara, atau bahkan umat manusia. Ketidakberhasilan
menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna meaningless, hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan
hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis dalam Bastaman, 2007. Kebermaknaan dan ketidakbermaknaan hidup dapat pula dirasakan oleh
pasangan suami istri dalam kehidupan pernikahan mereka. Patmonodewo, dkk 2001 menyatakan pernikahan adalah peristiwa penting dalam kehidupan seorang
individu, dimana pernikahan ini memiliki beberapa tujuan yaitu mendapatkan kebahagiaan, kepuasan, cinta kasih, dan keturunan. Ketika pasangan telah
menikah, pastilah mereka menginginkan untuk segera memiliki anak. Namun, ada juga pasangan yang sulit memiliki anak dan sedang berusaha untuk segera
memiliki anak. Larasati 2006 mengungkapkan bahwa secara psikologis, kehadiran anak di dalam keluarga memang bisa semakin menyemarakkan
suasana. Kerinduan untuk memiliki anak diungkapkan oleh seorang suami R berikut ini :
Universitas Sumatera Utara
4 ”Yah, terkadang iri hati juga lihat orang lain yang sudah punya anak, tapi
saya belum. Awalnya, memang saya pernah mikir nanti aja punya anaknya. Belum siap sih, takut keuangannya belum cukup. Ngasuh anak
kan gak murah. Tapi sekarang sudah hampir dua tahun tapi belum dikasih juga. Nyesal juga sih dulu mikir seperti itu” Komunikasi Personal, 12
Agustus 2007.
Kehadiran seorang anak dalam sebuah pernikahan merupakan salah satu
motivator seseorang untuk menikah. Bahkan dapat dikatakan kebahagiaan suatu pernikahan baru dapat terwujud manakala ada celoteh anak-anak yang hadir
meramaikan kehidupan rumah tangga Muskibin, 2005. Jika melihat kenyataan di atas, terlihat bahwa, kehadiran anak memiliki
makna tersendiri dalam kehidupan pasangan yang telah berumahtangga. Dalam Ihromi 1999 dinyatakan bahwa kehadiran anak dalam keluarga dapat memberi
manfaat positif bagi pasangan suami istri dari segi psikologis, ekonomis, dan sosial. Salah satunya adalah pasangan suami istri tersebut akan memiliki makna
dan tujuan hidup dengan adanya anak. Beberapa budaya di Indonesia ternyata sangat menekankan pentingnya
kehadiran anak dalam kehidupan pernikahan. Misalnya saja, dalam kehidupan Budaya Tapanuli atau Suku Batak. Salah satu tujuan hidup orang Batak adalah
mencapai hagabeon atau memiliki banyak keturunan terutama anak laki-laki. Bagi orang Batak yang tidak mempunyai anak laki-laki, tujuan tersebut
diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki Irianto, 2005. Tidak hanya Suku Batak saja yang melihat pentingnya kehadiran anak
dalam sebuah pernikahan. Masyarakat Nusa Tenggara Timur juga menyatakan bahwa salah satu tujuan pernikahan menurut adat masyarakat Nusa Tenggara
Universitas Sumatera Utara
5 Timur adalah untuk meneruskan keturunan. Selain itu, di daerah Nusa Tenggara
Barat dan Jawa Barat, menyatakan bahwa tujuan pernikahan menurut adat mereka adalah untuk menjaga kelangsungan keturunan. Begitu juga dengan suku-suku
yang terdapat di daerah Kalimantan Timur seperti Suku Dayak Tanjung dan Suku Dayak Benuaq yang melihat bahwa tujuan terpenting dari pernikahan adalah
untuk mendapatkan keturunan dalam Suwondo, 1979. Sejalan dengan budaya-budaya di atas, kehadiran anak juga memiliki
makna tersendiri jika dilihat dari sudut pandang agama. Dalam agama Islam misalnya, salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memenuhi kebutuhan
biologis yang mendasar untuk berkembang biak dalam Doi, 1996. Hal ini ditekankan kembali oleh Suryaningsih 2006 yang menyatakan bahwa tujuan
pernikahan ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Namun yang terpenting dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi
berusaha untuk mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.
Gereja Katolik juga mengemukakan dua tujuan pokok pernikahan. Yang pertama adalah kebersamaan seumur hidup sebagai suami istri. Sedang yang
kedua adalah keturunan, di mana Gereja Katolik juga berharap bahwa dua orang yang menikah sama-sama mau dan mampu menurunkan dan mendidik anak-anak
Seger, 2007. Hal yang sama juga terlihat dalam agama Kristen Protestan. Tujuan pernikahan menurut agama Kristen Protestan adalah sebagai persekutuan suami
istri untuk mengusahakan dan memelihara kehidupan Subandrijo, 2003.
Universitas Sumatera Utara
6 Melihat betapa pentingnya kehadiran anak dalam sebuah pernikahan, maka
tidaklah heran jika setiap pasangan yang telah berumahtangga berusaha untuk secepat mungkin memiliki anak. Namun, menurut catatan Fertilityfact 2007,
sebuah website yang khusus membahas mengenai fertilitas, menyatakan bahwa setidaknya ada 90 juta pasangan di dunia yang sedang berusaha untuk memiliki
anak. Bahkan karena sulitnya memiliki anak tersebut, dapat menimbulkan stres yang mendalam pada pasangan-pasangan tersebut Fatia, 2005. Pada manusia,
kehamilan dapat terjadi hanya ketika sperma bertemu dengan sel telur. Umumnya, sperma mempunyai kemampuan membuahi sel telur sampai 72 jam. Pasangan
yang subur fertil yang berusaha untuk memiliki anak atau yang telah melakukan hubungan seksual secara teratur tanpa menggunakan alat kontrasepsi
membutuhkan kira-kira 5,3 bulan untuk hamil dalam Masters, 1992. Nyatanya, ada juga pasangan yang telah melakukan hubungan seksual selama lebih dari 12
bulan tanpa menggunakan alat kontrasepsi, tetapi belum juga mendapatkan anak. Keadaan tersebut disebut infertilitas dalam Papalia Olds, 1998.
Ketidakmampuan untuk memiliki anak akan mengakibatkan beban emosional yang besar pada pasangan yang mengalami keadaan infertil. Beckmann, et. al.,
2002. Dari sekian banyak pasangan yang sulit memiliki anak, terdapat pasangan
suami istri yang telah membina rumah tangga selama tujuh tahun namun belum juga dikaruniai keturunan. Sebagai istri, R 32 tahun, merasa stres karena belum
juga dikaruniai anak yang diimpikannya. Berikut kutipan pernyataannya yang dikutip dalam harian Pikiran Rakyat :
Universitas Sumatera Utara
7 ”Terkadang saya seperti orang gila. Saking stresnya, saya sering
menggugat Tuhan. Kok orang begitu mudah memiliki anak, sedangkan saya sudah berusaha kesana kemari tidak juga mendapatkan. Begitu
banyak orang yang menyia-nyiakan anak, saya cukup diberi satu saja sudah sangat bersyukur.”
Van Hoose Worth dalam Kail, 2000 menyatakan pasangan yang tak kunjung memiliki anak harus siap menghadapi kritik sosial dari masyarakat yang
berorientasi pada anak, karena masyarakat tersebut tidak melihat keadaan belum memiliki anak sebagai sesuatu yang positif. Hal ini terlihat dari ungkapan hati L
31 tahun yang tertekan terhadap pernyataan orang di sekitarnya karena di usia pernikahan yang menginjak enam tahun belum juga dikaruniai anak. Berikut
kutipannya: ”Sebagai seorang istri, aku sudah merasa cukup galau karena belum juga
hamil tapi pertanyaan-pertanyaan seputar kehamilan yang dilayangkan orang-orang kepadaku, justru semakin membuatku tertekan. Padahal
menurut dokter, tidak ada masalah dengan kesehatan reproduksiku.”
Sebagai istri, L, seringkali merasa menjadi pihak yang tersudutkan setiap kali bertemu dengan kerabat atau keluarga, terutama mertua, karena pertanyaan yang
muncul selalu berkisar tentang tanda-tanda kehamilan Majidi, 2007. Pasangan suami istri A dan M yang telah membina rumah tangga selama
lebih dari lima tahun juga menghadapi masalah perguncingan akibat belum memiliki anak. A dan M menyatakan lima tahun pertama pernikahan mereka
merupakan tahun terberat karena orang di sekitar mereka kerap mempertanyakan alasan mereka belum memiliki anak. Awalnya, ucapan atau anjuran negatif yang
disampaikan orang membuat mereka kesal bahkan marah. Karena ada saja orang yang menganjurkan agar mereka bercerai dan menikah lagi agar mereka
Universitas Sumatera Utara
8 mendapatkan anak, bahkan ada pula yang menganjurkan agar suaminya menikah
lagi demi mendapatkan keturunan Majidi, 2007. Seringkali terjadi bila suami istri tidak kunjung memiliki anak, yang muncul kemudian adalah konflik-konflik
rumah tangga berkepanjangan. Bermula dari rasa saling curiga hingga berujung pada pertengkaran-pertengkaran tentang siapa yang bersalah. Konflik-konflik ini
sangat mungkin terjadi bagi mereka yang menjadikan anak sebagai tujuan utama pernikahan. Bila anak tidak kunjung hadir, salah satu pihak atau keduanya merasa
kecewa dengan ketiadaan anak lalu menimbulkan frustrasi, yang kadang menyebabkan pasangan saling menyalahkan Muskibin, 2005. Bahkan dalam
penelitian yang dilakukan pada wanita di Midwestern menunjukkan ketidakhadiran anak dapat menimbulkan distress Mc. Quillan, Greil, White,
Jacob, 2003. Inamujur 2007, dalam sebuah website, mengungkapkan kesedihan dan
konflik yang terjadi dalam rumah tangganya sebagai berikut: ”Dear all...sekarang Ina sedih banget, karena jadi sering bertengkar
dengan suami karena masih belum dikaruniai anak. Suami terus menyalahkan Ina, karena katanya postur tubuh Ina yang gemuk tapi Ina
sudah diet dan berat badannya udah dikit dan Ina punya kista yang ukurannya terakhir itu 4 cm itu beberapa bulan yang lalu, kurang lebih 3
bulanlah. Ina jadi sedih banget dan terus terang batin Ina seperti diiris-iris setiap kali menjadikan Ina sebagai faktor utama keluarga kami belum
dikaruniai anak. Padahal kondisi yang sebenarnya menjadi salah satu faktor, kami berdua sama-sama capek. Kadang suami Ina masih sibuk
mengerjakan kerjaan kantor sampe jam 12-1 malam. Kami jarang bertemu, wah...pokoknya banyak dech kendalanya, tapi kok hanya Ina ya yang
disalahkan...”
Menurut data statistik mengenai perceraian di Amerika Serikat pada awal abad 20, Cohen dalam Ihromi, 1999, menemukan bahwa status sebagai orangtua
mempengaruhi kebertahanan sebuah pernikahan. Status sebagai orangtua diartikan
Universitas Sumatera Utara
9 sebagai suatu kondisi dimana pasangan suami istri yang menikah mempunyai
anak selama pernikahan mereka. Perceraian lebih banyak terjadi pada pasangan yang tidak mempunyai anak childless marriages. Sebagai contoh dikemukakan
bahwa pernikahan dari pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak, 71 diantaranya berakhir dengan perceraian, sementara hanya 8 perceraian terjadi di
kalangan pasangan suami istri yang mempunyai anak. Hurlock 1999 juga menekankan ketidakhadiran anak dapat mempengaruhi stabilitas sebuah
pernikahan. Disebutkan bahwa perceraian lebih banyak terjadi karena pasangan tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai beberapa anak daripada karena
pasangan mempunyai banyak anak. Hal ini dialami oleh pasangan A dan M yang telah membina rumah tangga lebih dari lima tahun. Walaupun mereka pada
akhirnya tidak bercerai, namun banyak sekali anjuran-anjuran negatif agar mereka bercerai saja. Anjuran-anjuran ini dapat mempengaruhi stabilitas sebuah
pernikahan, karena pasangan merasa tersudutkan dan tertekan dengan anjuran- anjuran negatif seperti itu.
Keadaan belum memiliki anak, sebenarnya bukanlah suatu kondisi yang hanya memberikan dampak negatif saja. Pada beberapa pasangan, keadaan ini
justru adalah hal yang banyak memberikan dampak positif. Misalnya saja, pasangan akan punya banyak waktu untuk mempertimbangkan tujuan hidupnya,
pasangan akan menjadi semakin matang, dan pasangan akan menjadi lebih mapan dalam karir Olds dalam Santrock, 1995. Sedangkan Callan dalam Papalia
Olds, 2001 mengemukakan dampak positif pasangan yang belum memiliki anak adalah mereka dapat lebih bebas untuk bepergian dan istri tidak perlu cemas
Universitas Sumatera Utara
10 dirinya menjadi tidak menarik. Karena ketika hamil dan melahirkan, terjadi
perubahan dalam berat tubuh wanita sehingga wanita seringkali merasa dirinya menjadi tidak menarik lagi setelah melahirkan.
Pasangan yang menganjurkan kehadiran anak dalam kehidupan mereka akan mengupayakan berbagai cara agar mereka dapat memiliki anak. Banyak cara
dan upaya yang dapat dilakukan oleh pasangan yang menginginkan kehadiran anak. Upaya yang biasa dilakukan adalah dengan mengadopsi anak. Di kalangan
masyarakat, ada pasangan yang memilih mengadopsi anak sebagai “pancingan” untuk memperoleh anak. Akan tetapi, ada juga pasangan yang mengadopsi anak
dikarenakan berbagai cara yang telah dilakukan tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Selain mengadopsi anak, terdapat beberapa cara baru untuk memiliki
anak dengan bantuan medis. Yang pertama adalah inseminasi buatan artificial insemination, yaitu dengan cara memasukkan sperma suami ke dalam rahim istri.
Cara ini dilakukan ketika suami memiliki jumlah sperma yang sedikit. Jika suami infertil, pasangan dapat memilih inseminasi buatan dengan donor sperma dari
orang lain. Cara lain adalah in vitro fertilization IVF yaitu fertilisasi di luar tubuh ibu, yang lebih dikenal dengan sebutan bayi tabung. Cara ini sangat efektif
untuk wanita yang tuba fallopinya telah rusak. Papalia Olds, 1998. Melihat kenyataan di atas, tampaklah bahwa kehadiran anak tersebut
sedikit banyak dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan pasangan. Bahkan dapat mempengaruhi makna hidup pasangan. Maka dari itu, peneliti merasa
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Makna Hidup pada Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
11 metode pengumpulan data secara wawancara dan akan dilakukan observasi pada
pasangan yang belum memiliki keturunan.
I.B. Identifikasi Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Bagaimana Makna Hidup pada
Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan.
I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai gambaran makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan, usaha-
usaha yang telah dilakukan untuk mendapatkan keturunan, dan bagaimana menyikapi keadaan belum memiliki keturunan.
I.D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat mengenai gambaran makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan, yaitu
manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan secara umum dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan psikologi, khususnya Psikologi Klinis
dalam melihat makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan. 2. Manfaat Praktis
Universitas Sumatera Utara
12 Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi para
pasangan yang belum memiliki keturunan, sehingga pasangan akan dapat saling melihat bahwa di tengah-tengah persoalan rumah tangga, yang dalam hal ini
adalah sulitnya memiliki keturunan, mereka masih dapat membuat hidup mereka lebih bermakna dan membuat kehidupan pernikahan mereka lebih bahagia.
I.E. Sistematika Penelitian
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I
Pendahuluan Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,
identifikasi masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori
Bab ini akan memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang
berhubungan dengan makna hidup, pengertian pernikahan, motivasi seseorang untuk menikah, sebab-sebab pasangan sulit
memiliki keturunan, keuntungan-keuntungan memiliki keturunan, serta dampak positif dan dampak negatif belum memiliki
keturunan.
Universitas Sumatera Utara
13 Bab III
Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian,
metode pengumpulan data, populasi, dan metode pengambilan sampel.
BAB IV Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan tentang data pribadi responden, analisa data yang meliputi
hubungan dengan pasangan, makna anak, dampak-dampak yang dirasakan dari ketidakhadiran anak, sumber-sumber makna hidup,
dan makna hidup pada responden. BAB V
Kesimpulan, Diskusi, dan Saran berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada
pasangan yang belum memiliki keturunan. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan
data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang
berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah peneliitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan
penelitian lanjutan.
Universitas Sumatera Utara
14
BAB II LANDASAN TEORI