Putusan arbitrase ICSID sebagai preseden sehingga tercipta kepastian hukum.

181 mengapa jumlah sengketa yang diselesaikan melalui ICSID tidak mengalami peningkatan yang signifikan adalah : a. Kewenangan Centre yang terbatas pada sengketa hukum yang timbul secara langsung dari investasi. Berkaitan dengan Pasal 25 Konvensi di mana arbitrase harus dilakukan antara contracting state dan investor dari contracting state lain sehingga kegiatan ICSID sebanding dengan jumlah negara yang meratifikasi Konvensi. b. Fakta bahwa ICSID tidak terkenal, sehingga perlu dilakukan promosi, konferensi maupun publikasi. c. Investor enggan untuk mencoba institusi baru dan lebih menunggu hasil pelaksanaan putusan. d. Kondisi ratione materiae yaitu investasi dan mayoritas kontraknya bersifat jangka panjang. e. Para pihak dalam perjanjian investasi umumnya tidak menyukai publikasi terhadap sengketanya, lebih memilih menyelesaikan dengan damai, dan f. Terakhir adalah alasan mendasar berkaitan dengan kedaulatan negara. Masalah publikasi putusan ICSID telah menjadi perdebatan yang panjang, ternyata alasan tidak menyukai publikasi putusan tidak selamanya benar, bahkan timbul beberapa alasan mengapa keterbukaan putusan lebih banyak diinginkan dalam arbitrase internasional dan menjadi tujuan bagi investor. Beberapa alasan perlunya keterbukaan putusan, adalah sebagai berikut :

1. Putusan arbitrase ICSID sebagai preseden sehingga tercipta kepastian hukum.

Preseden dalam sistem hukum nasional merupakan titik tolak dari penalaran hakim. Sebagian besar waktu hakim habis untuk menghasilkan preseden dengan tujuan kepastian hukum dan karena takut bahwa putusan yang dihasilkan mungkin akan diuji di tingkat yang lebih tinggi. Praktek ini diterjemahkan ke dalam aturan “stare decisis” dalam sistem Common Law dan juga dalam konsep “jurisprudence Universitas Sumatera Utara 182 constante ” dalam sistem hukum Romawi-Jerman. Sedangkan dalam hukum internasional, 341 aturan “stare decisis” telah ditiadakan sejak tahun 1922, namun secara hukum tetap mengacu pada putusan sebelumnya. Meskipun demikian, para pendahulu masih menilai kembali yurisprudensi yang telah ada dengan berbagai metode untuk mempertimbangkan evolusi hukum dan masyarakat internasional. Secara historis, isu preseden dalam hukum internasional untuk pertama kalinya muncul pada Permanent Court of Arbitration in the Hague Conventions tahun 1899 dan 1907. Para perancang perjanjian ini tentu sadar bahwa pengadilan telah diciptakan berupa nama saja serta tidak permanen. Tetapi diharapkan, dalam kata- kata Louis Renault 342 bahwa “when a controversial issue has been settled in the same way by several arbitration tribunals, the chosen solution will enter the body of international law ” ketika suatu isu kontroversial telah diselesaikan dengan cara yang sama oleh beberapa mahkamah arbitrase, maka solusi yang dipilih akan diadopsi menjadi hukum internasional. Untuk mengatasi dua sisi mata yang berbeda dari pemakaian preseden tersebut maka dalam mengembangkan yurisprudensi, majelis dapat merujuk pada preseden, tetapi tidak mengikat dan dapat dikesampingkan. 341 Hukum internasional atau hukum bangsa-bangsa atau hukum antarbangsa atau hukum antarnegara ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain. Lihat dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan dan PT. Alumni, 2003, hlm. 4. 342 Gilbert Guillaume, “The Use …, op.cit. Universitas Sumatera Utara 183 Preseden merupakan salah satu asas dari yurisprudensi. 343 Preseden stare decisis berarti bahwa petugas peradilan hakim terikat atau tidak boleh menyimpang dari keputusan-keputusan yang terlebih dahulu dari hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatnya. 344 Sistem preseden adalah apabila suatu nilai hukum telah dikonkritkan melalui putusan pengadilan sehingga semua pihak terikat dengan nilai hukum tersebut, dengan demikian sistem preseden menegakkan asas yang harus dipedomani oleh para hakim yang terdahulu dan putusan terdahulu menjadi “stare decisis ” atau menjadi patokan penerapan hukum. Sesuai ungkapan “let the decision stand ” dengan asas “the law previously applied by their predecessor.” 345 Jadi dalam sistem “common law” putusan pengadilan bersifat mempunyai kekuatan mengikat yang bersifat mutlak untuk diikuti putusan-putusan selanjutnya “binding force”. Hal itu dengan sendirinya menjadikan putusan terdahulu menjadi preseden dari putusan- putusan berikutnya. 346 Sedangkan menurut Pasal 59 Statuta Mahkamah Internasional adalah bahwa “keputusan dari Mahkamah hanya mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak- pihak dan hanya berhubungan dengan perkara khusus itu saja.” 343 Dalam Bahasa Latin : jurisprudential berarti pengetahuan hukum rectsgeleerdheid, Bahasa Belanda : jurisprudentie, Bahasa Perancis : jurisprudence yang berarti peradilan tetap atau hukum peradilan, Bahasa Inggris : jurisprudence yang berarti teori ilmu hukum, bahasa Jerman : jurisprudenz yang berarti ilmu hukum dalam ati sempit. Lihat dalam Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 47-48. 344 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, ibid, hlm. 55-56. 345 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 426. Bandingkan dengan MallorBarnesBowersLangvardt, Business Law The Ethical, Global, and E-Commerce Environment, Fifteenth Edition, New York : McGraw- HillIrwin, 2013, hlm. 3 yang menyatakan bahwa “judge began to follow the decisions of other judges in similar cases, called presedents. This practice became formalized in the doctrine of stare decisis let the decision stand.” 346 Ibid., hlm. 427. Universitas Sumatera Utara 184 Prinsip “stare decisis” dapat disingkat dengan sederhana, artinya bahwa dua sengketa dengan sebagian besar fakta-faktanya relevan sama yang dapat diputuskan dengan cara yang sama. 347 Preseden yang berlaku di negara-negara Anglo Saxon didasarkan pada empat faktor, yaitu : 348 1 …that the application of the same rule to successive similar cases results in equality of treatment for all who come before the court … bahwa penerapan aturan yang sama untuk sengketa serupa berturut-turut menghasilkan persamaan perlakuan bagi semua yang datang pada pengadilan. 2 …that consistent following of precedents contributes predictability in future disputes …bahwa mengikuti konsistensi atas preseden memberi prediktabilitas dalam perselisihan di masa depan. 3 …that the use of established criteria to settle new cases saves time and energy …bahwa penggunaan kriteria yang ditetapkan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa baru yang menghemat waktu dan energi. 4 …that adherence to earlier decisions shows due respect to the wisdom and experience of prior generations of judges … bahwa terhadap keputusan sebelumnya menunjukkan kepatuhan kepada kebijaksanaan dan pengalaman hakim generasi sebelumnya. Buscaglia dan Ratliff 349 mengatakan bahwa putusan arbitrase terdahulu secara luas tidak menjadi preseden dan mengikat putusan selanjutnya, inilah yang menjadi salah satu kekurangan dari arbitrase. Akan tetapi dapat menjadi acuan dalam menentukan hukum selanjutnya, hal mana senada yang dikatakan Stefan Kirchner 350 bahwa : 347 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Bandung : Nusamedia, 2010, hlm. 143. Bandingkan dengan .H. Bailey, S.H., M.J. Gunn, Smith Bailey On The Modern English Legal System, Third Edition, Third Edition, London : Sweet Maxwell, 1996, hlm 414. 348 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 56. 349 Edgardo Buscaglia William Ratliff, op.cit., hlm. 85. 350 Stefan Kirchner, “Transnational Law and The Choice-of-Law Competence of Arbitral Tribunal in International Commercial Arbitration, ” hlm.7., diakses dari http:ssrn.comabstract=988677 tanggal 3 Maret 2013. Universitas Sumatera Utara 185 Arbitral decisions are quasi-judicial decisions which are meant to lack and precedential function. In fact, the parties will often have an interest in avoiding the publication of the details of the case. At the best, arbitral awards can provide soft precedents which do not have to but can be taken into account. Although arbitral awards are unlikely to gain the same status as ICJ decisions which technically are also not binding as precedents but help in determining the law. Terjemahan : keputusan arbitrase adalah keputusan quasi-judicial yang dimaksudkan untuk kekurangan dan fungsi preseden. Bahkan, para pihak akan sering memiliki kepentingan dalam menghindari publikasi rincian sengketa. Kebaikannya, putusan arbitrase dapat memberikan preseden lunak yang tidak perlu, tetapi dapat diperhitungkan. Meskipun putusan arbitrase tidak mungkin untuk mendapatkan status yang sama seperti putusan ICJ yang secara teknis juga tidak mengikat sebagai preseden tetapi membantu dalam menentukan hukum. Suatu putusan dapat berdasarkan atas hukum yang berlaku maupun atas putusan sebelumnya yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan menjadi acuan sebagai yurisprudensi. John Chipman Gray 351 mengatakan bahwa hukum dan preseden merupakan sumber hukum atas tindakan badan hukum yang menerapkan peraturan, selanjutnya dikatakan bahwa ”to determine rights and duties, the judges settle what facts exist and also lay down rules according to which they deduce legal consequences from facts, these ru les are the law” untuk menentukan hak dan kewajiban, hakim menyelesaikan fakta apa yang ada dan juga aturan yang menurutnya menyimpulkan konsekuensi hukum dari fakta-fakta, aturan hukum tersebut. Hal yang menjadi preseden adalah pertimbangan hukum yang menjadi 351 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London : Stevens Sons Limited, 1960, hlm. 219. Universitas Sumatera Utara 186 dasar untuk menjatuhkan putusan dan bersifat mengikat sebagaimana dikatakan Paton 352 bahwa : A previous case is binding only as to its ratio decidendi, the ratio decidendi of a case is the underlying principle or legal reason on which the result of the case depends. Ratio was the priciple of law which the judge declared in his judgement to justify and explain his decision of the case. Terjemahan : sebuah sengketa sebelumnya mengikat hanya untuk pertimbangan hukumnya ratio decidendi, ratio decidendi atas suatu sengketa adalah alasan prinsip atau hukum yang mendasari di mana hasil dari sengketa tersebut tergantung. Rasio adalah prinsip hukum yang dinyatakan hakim dalam pertimbangannya untuk membenarkan dan menjelaskan keputusannya atas sengketa tersebut. Sistem non-preseden tersebut tentunya akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum dan akan timbul putusan yang berlawanan dengan dasar hukum yang sama. Hal ini tentunya akan sangat bertentangan dengan putusan pada umumnya yang harus didasari oleh hukum yang ada dan tertulis, terutama apabila putusan dibuat secara lisan tentunya akan sangat menyulitkan. Padahal dengan sistem preseden akan dapat memudahkan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketanya demikian juga arbiter. Setelah suatu sengketa diputuskan maka Sekretaris-Jenderal mengirim salinan resmi putusan 353 kepada para pihak, di mana publikasi atas seluruh isi putusan itu oleh Centre dilakukan atas persetujuan para pihak. Putusan mengikat dan final hanya ada dalam proses ICSID yang kompeten untuk diinterpretasi, diubah dan dibatalkan putusannya disebabkan karena putusan 352 G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, third edition, London : Oxford University Press, 1964, hlm.180. 353 Pasal 49 1 Konvensi ICSID : ”The Secretary-General shall promptly dispatch certified copies of the award to the parties. The award shall be deemed to have been rendered on the date on which the certified copies were dispatched.” Universitas Sumatera Utara 187 secara langsung dapat dilaksanakan oleh setiap ”contracting state” tanpa prosedur eksequatur sebagaimana putusan arbitrase komersial asing dan tidak ada pengadilan nasional yang dapat meninjau kembali putusan dengan berbagai alasan termasuk alasan ketertiban umum public policy nasional. Sebagaimana juga dikatakan oleh Delaume bahwa 354 ”prompt and effective recognition of ICSID awards is assured in all the contracting state” pengakuan dan putusan ICSID yang efektif dijamin oleh semua negara peserta. Suatu putusan bersifat final jika arbiter menentukan secara tegas sengketa tersebut. Arbiter harus memutuskan semua masalah yang diajukan kepadanya oleh para pihak. Jika suatu putusan tidak final, hal itu disebabkan karena ditentukan untuk tidak final sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Konvensi ICSID bahwa : Except as the parties otherwise agree, the Tribunal shall, if requested by a party, determine any incidental or additional claims or counterclaims arising directly out of the subject-matter of the dispute provided that they within the scope of the consent of the parties and are otherwise within the jurisdiction of the Centre. Terjemahan : kecuali para pihak menyepakati sebaliknya, majelis jika dimohonkan oleh salah satu pihak, harus menentukan setiap klaim insidentil atau klaim tambahan atau gugatan balik yang timbul secara langsung dari pokok permasalahan dalam sengketa dengan ketentuan bahwa putusan ada dalam lingkup yang disepakati para pihak dan hal lainnya dalam wewenang dari Centre . Fungsi utama dari hakim nasional atau arbiter, seperti halnya hakim atau arbiter internasional yaitu untuk mengadili sengketa. Hakim atau arbiter jarang memutuskan secara “ex aequo et bono,” karena paling sering memutuskan atas dasar hukum yang berlaku dan sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum gugatan. 354 Wolfgang Peter, op.cit., hlm. 318. Universitas Sumatera Utara 188 Dengan demikian, hakim atau arbiter menafsirkan aturan hukum yang dipilih. Dengan kebebasan tersebut, preseden dianggap oleh para pihak akan menjamin kepastian hukum, perlakuan seimbang dan dapat diprediksi. Namun di sisi lain jika terus mengikuti preseden maka akan menimbulkan kefakuman hukum dan mencegahnya mengikuti hal-hal baru yang timbul dalam masyarakat, oleh karenanya perlu keseimbangan antara kepastian hukum dan evolusi hukum. Sistem Common Law Inggris mengikuti aturan stare decisis, atau lebih tepatnya aturan stare rationibus decisis, bahwa pengadilan terikat oleh penalaran dari putusan yang sudah diberikan. Pertimbangan tersebut menciptakan hukum, dan hukum yang harus dihormati. Situasi ini pada prinsipnya sangat berbeda dengan negara-negara Civil Law di mana hakim menempati peran yang berbeda yaitu hakim tidak membuat hukum namun menerapkan dan menemukan hukum. Pada akhirnya dalam semua hukum nasional, preseden adalah titik awal refleksi hakim. Putusan hakim bahkan dapat dicapai dengan amar yang sama tetapi dengan alasan yang berbeda, sebagian besar hakim berpegang pada hal itu untuk kepentingan kepastian hukum, karena takut dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi atau bahkan agar tidak ada kemalasan intelektual. Pada tahun 1967, Sir Robert Jennings 355 masih bisa mencatat bahwa “very little has-been done to elaborate principles governing the use of precedent in international law ” sangat sedikit yang 355 Dalam Robert Jen nings, “General Course on Principles of International Law,” Academy of International Law, 1967, 121 Recueil des cours 2, hlm. 342. Universitas Sumatera Utara 189 telah dilakukan untuk mengelaborasi prinsip yang rumit dengan penggunaan preseden dalam hukum internasional . Perkembangan hukum internasional dan peningkatan jumlah lembaga penyelesaian sengketa internasional telah mempengaruhi pula perhatian dunia pada preseden yang digunakan dalam hukum internasional publik dan privat. Namun pemakaian preseden menurut Gilbert Guillaume 356 telah menimbulkan dua masalah yaitu pertama, perlu diketahui bagaimana badan peradilan atau arbitrase menggunakan preseden, dan kedua, berkaitan dengan otonomi yurisdiksi maka perlu diketahui bagaimana menciptakan dan memanfaatkan preseden terutama untuk masalah yang sama dalam arbitrase, sebagaimana dijelaskan : The preceden using have two problem that are : as in domestic law, we must consider the methods followed by each of the judicial and arbitration bodies in the use of its own precedents; and further, due to the proliferation of autonomous jurisdictions, it is also necessary to investigate the extent to which each court or tribunal makes use of the precedent that other courts or tribunals create. A similar problem arises for arbitration institutions. Terjemahan : Preseden yang digunakan memiliki dua masalah yaitu : seperti dalam hukum domestik, harus dipertimbangkan metode yang diikuti oleh masing-masing badan peradilan dan badan arbitrase dalam penggunaan preseden itu sendiri; dan selanjutnya, karena perkembangan otonomi yurisdiksi , juga diperlukan untuk menyelidiki sejauh mana masing-masing pengadilan atau majelis menggunakan preseden yang dibuat pengadilan atau majelis lain. Masalah yang sama muncul bagi lembaga arbitrase. 356 Gilbert Guillaume, “The Use of Precedent by International Judges and Arbitrators,” Jurnal Oxford , diakses dari http:jids.oxfordjournals.orgcontent215.full. tanggal 15 Februari 2013. Universitas Sumatera Utara 190 Hal serupa diutarakan oleh Joy Cherian bahwa 357 satu situasi yang diatur dalam Pasal 42 ayat 2 Konvensi ICSID, majelis arbitrase dipaksa untuk mencari prinsip-prinsip umum yang sesuai dan aturan dari sistem hukum lain yang ada seperti hukum umum home state atau hukum suatu negara ketiga ketika prinsip-prinsip hukum publik internasional tidak cukup memuaskan dalam menangani sengketa. Penerimaan prinsip-prinsip hukum umum menjadi logis bagi majelis arbitrase yang menerapkan hukum internasional, karena dianggap bahwa prinsip-prinsip hukum umum yang diakui merupakan sumber untuk pengayaan hukum internasional. Selain itu, “founding father” ICSID membolehkan ICSID untuk menerapkan hukum internasional yang didefinisikan dalam Pasal 38 Statute of the International Court of Justice 358 dan didesain untuk diterapkan dalam sengketa antara negara- negara berdaulat dalam sengketa antara pihak swasta dan negara yang berdaulat. Alasan kedua berkaitan dengan kekhawatiran atas syarat mutlak yang diberikan oleh Pasal 48 ayat 3 Konvensi ICSID yang mengatur bahwa “the award shall deal with every question submitted to the tribunal and shall state the reasons upon which it is based.” Ketika Majelis ICSID menjabarkan setiap alasan yang mengarah pada suatu 357 Joy Cherian, op.cit. 358 Pasal 38 Statute of the International Court of Justice , berbunyi : 1 The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: a. international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law; c. the general principles of law recognized by civilized nations; d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. 2. This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the parties agree thereto. Universitas Sumatera Utara 191 putusan tertentu, maka majelis harus mendukung alasan tersebut dengan prinsip- prinsip hukum dan aturan tertentu, karena isu yang menimbulkan sengketa adalah masalah hukum. 359 Oleh karenanya, setiap kali Majelis ICSID menerima prinsip-prinsip umum dan aturan hukum dari sistem hukum lain dan menerapkan prinsip-prinsip dan aturan tersebut ke dalam arbitrase yang berkaitan dengan TEDC Transnational Economic Development Contracts , maka Majelis ICSID di masa yang akan datang secara otomatis mendapat kesempatan untuk menafsirkan dan mengembangkan aturan- aturan seperti itu untuk diaplikasikan kepada sengketa hukum yang serupa di masa mendatang. Prinsip-prinsip baru seperti hukum mungkin tepat dapat disebut sebagai prinsip-prinsip pembangunan hukum ekonomi transnasional “principles of transnational economic development law” karena telah dihasilkan dalam bentuk yang sesuai untuk diaplikasikan ke dalam arbitrase yang secara langsung terkait dengan kontrak pembangunan ekonomi transnasional. Produk Majelis ICSID ini tidak hanya akan membuat Majelis ICSID menjadi unik, yang sangat berguna dan dapat diterima oleh para pihak yang sengketanya berkaitan dengan sengketa TEDC, tetapi juga dapat digunakan oleh majelis arbitrase lainnya yang dihadapkan dengan sengketa yang sama dengan “penemuan” prinsip-prinsip yang ditemukan oleh Majelis ICSID dan menjadi bagian dari hukum internasional. 360 Jadi masalah yang pertama 359 Sesuai Pasal 25 ayat 4 Konvensi ICSID, setiap negara harus memberitahukan kepada Centre mengenai jenis sengketa yang hendak diajukan kepada kewenangan Centre. 360 Joy Cherian, Investment Contacts and Arbitration : The World Bank Convention on The Settlement of Investment Disputes, Leiden : A.W. Sijthoff, 1975, hlm. 91-92. Universitas Sumatera Utara 192 berkaitan dengan kepastian hukum di bidang tertentu dan kedua adalah masalah koherensi hukum internasional secara keseluruhan. Situasi sengketa dalam arbitrase internasional berbeda satu sama lain sehingga menimbulkan putusan yang berbeda kualitasnya satu sama lain. Hal mana didukung oleh situasi di mana tidak semua putusan arbitrase yang dipublikasikan, sehingga majelis arbitrase tidak akan mengetahui seluruh sengketa yang telah diselesaikan dengan jelas. Demikian juga bagi arbiter, preseden kurang berperan dibandingkan fungsinya bagi hakim. Publikasi putusan sangat bertalian erat dengan penggunaan preseden dalam putusan arbitrase. Preseden memiliki makna yang sangat luas. Pada segi hukum, preseden yang dimaksud adalah putusan terdahulu di mana pengadilan mengikuti dan menjadikan acuan yang dibuat oleh pengadilan. Elkouri 361 mengungkapkan bahwa : Publication of awards is an effective way to help ensure accountability of arbiters. No doubt, an arbiter will take greater care to make the award clear and the reasoning logical if it is known that the award will be subject to public inspection … published awards on a matter will, in any event, provide the setting for evaluating related cases. Terjemahan : publikasi putusan adalah cara yang efektif untuk membantu memastikan pertanggungjawaban arbiter. Tidak diragukan lagi, seorang arbiter akan mengurus yang lebih besar untuk membuat putusan yang jelas dan penalaran logis jika diketahui bahwa putusan akan dikenakan inspeksi publik ... putusan yang diterbitkan mengenai suatu hal akan, dalam hal apapun, memberikan pengaturan untuk mengevaluasi sengketa terkait. Dengan publikasi putusan maka arbiter dan para pihak memperoleh acuan bagi penyelesaian sengketa atas sengketa yang serupa, sehingga tidak terjadi penerapan 361 Elkouri Elkouri, op.cit., hlm. 601. Universitas Sumatera Utara 193 hukum yang berbeda-beda satu sama lain dan tentunya akan menciptakan suatu kepastian hukum dalam arbitrase. Berkaitan dengan hal tersebut dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga ICSID terdapat suatu kontrol yang dilaksanakan oleh komite ad hoc terhadap putusan arbitrase ICSID sesuai Pasal 52 ayat 1 Konvensi ICSID yang berbunyi : Either party may request annulment of the award by an application in writing addressed to the Secretary-General on one or more of the following grounds : a.That the Tribunal was not properly constituted ; b That the Tribunal has manifestly exceeded its power ; c That there was corruption on the part of a member of the Tribunal ; d That there has been a serious departure from a fundamental rule of procedure, or e That the award has failed to state the reasons on which it is based. Terjemahan : salah satu pihak dapat memohonkan pembatalasan putusan dengan permohonan secara tertulis yang di tujukan kepada Sekretaris Jenderal atas satu dasar atau lebih sebagai berikut : a majelis dibentuk tidak secara tepat; b majelis telah jelas-jelas melampaui kewenangannya; c ada korupsi dari salah satu anggota majelis; d telah ada suatu penyimpangan yang serius dari suatu aturan prosedur yang fundamental ; atau e putusan tidak menyatakan alasan- alasan apa yang mendasarinya. Pasal 52 ayat 1 di atas mengatur bahwa Komite ad hoc dapat membatalkan putusan arbitrase atas permohonan salah satu pihak berdasarkan salah satu alasan yaitu : majelis melampaui kewenangannya, terdapat korupsi dalam salah satu anggota Majelis, terjadi penyimpangan aturan prosedur yang fundamental dan atau, putusan tidak menyatakan dasar-dasar pertimbangannya. Komite Ad Hoc juga dapat menunda pelaksanaan putusan jika keadaan mengharuskan atau atas permohonan salah satu pihak. Ketentuan tersebut memainkan peran atas hubungan putusan yang ada untuk digunakan sebagai preseden. Sebaliknya, kita harus mengamati bahwa majelis arbitrase tersebut dibangun dalam kerangka ICSID yang mendasari setiap sengketa Universitas Sumatera Utara 194 dan diterapkan oleh sekitar 3200 BITs Bilateral Investment Treaties dalam berbagai bentuk dan isi. Selain itu Komite Ad Hoc hanya membatasi dalam artian terbatas pada kontrol terhadap putusan yang dibuat, sedangkan aturan mengenai penegakan dan pelaksanaan putusan ICSID sebagaimana Pasal 53-55 Konvensi ICSID menjelaskan dan menguatkan sifat final dan mengikatnya putusan ICSID, dikatakan bahwa : Pasal 53 : 1 The award shall be binding on the parties and shall not be subject to any appeal or to any other remedy except those provided for in this Convention. Each party shall abide by and comply with the terms of the award except to the extent that enforcement shall have been stayed pursuant to the relevant provisions of this Convention. Putusan harus mengikat bagi para pihak dan tidak tunduk pada setiap upaya banding atau setiap perbaikan yang lain kecuali yang ditentukan dalam konvensi ini. Masing-masing pihak terikat untuk menaati ketentuan-ketentuan dalam putusan kecuali sejauh bahwa pelaksanaan harus ditunda sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang relevan dalam konvensi ini. 2 For the purposes of this Section, award shall include any decision interpreting, revising or annulling such award pursuant to Articles 50, 51 or 52 Untuk keperluan bagian ini, putusan harus mencakup setiap keputusan mengenai penafsiran, perbaikan atau pembatalan putusan sesuai dengan Pasal 50, 51 atau 52. Pasal 54 : 1 Each Contracting State shall recognize an award rendered pursuant to this Convention as binding and enforce the pecuniary obligations imposed by that award within its territories as if it were a final judgment of a court in that State. A Contracting State with a federal constitution may enforce such an award in or through its federal courts and may provide that such courts shall treat the award as if it were a final judgment of the courts of a constituent state. Setiap negara peserta harus mengakui suatu putusan yang dijatuhkan sesuai dengan Konvensi ini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban keuangan yang dikenakan oleh putusan itu dalam wilayah-wilayah sebagaimana jika itu adalah putusan akhir dari suatu pengadilan di negara itu. Suatu negara peserta dengan konstitusi federal dapat melaksanakan putusan sedemikian rupa atau melalui pengadilan-pengadilan federalnya dan dapat menentukan bahwa pengadilan-pengadilan yang demikian harus memperlakukan putusan sebagaimana jika itu adalah sebuah putusan akhir dari pengadilan-pengadilan dari suatu negara bagian. 2. A party seeking recognition or enforcement in the territories of a Contracting State shall furnish to a competent court or other authority which such State shall have designated for this purpose a copy of the award certified by Universitas Sumatera Utara 195 the Secretary-General. Each Contracting State shall notify the Secretary-General of the designation of the competent court or other authority for this purpose and of any subsequent change in such designation. Suatu pihak yang mengupayakan pengakuan atau pelaksanaan dalam wilayah-wilayah negara peserta yang yakin harus menyampaikan kepada pengadilan yang berwenang atau otoritas lain yang mana negara harus menunjuk keperluan salinan putusan ini yang disahkan oleh Sekretaris-Jenderal. Setiap negara peserta harus memberitahukan kepada Sekretaris-Jenderal mengenai penunjukan pengadilan yang berwenang atau otoritas lain untuk keperluan dan atas setiap perubahan di kemudian hari dalam penujukan itu. 3 Execution of the award shall be governed by the laws concerning the execution of judgments in force in the State in whose territories such execution is sought. Pelaksanaan putusan harus diatur oleh undang-undang mengenai pelaksanaan keputusan yang berlaku di negara di wilayah yang eksekusi tersebut. Pasal 55 : Nothing in Article 54 shall be construed as derogating from the law in force in any Contracting State relating to immunity of that State or of any foreign State from execution. Tidak ada dalam Pasal 54 harus ditafsirkan sebagai melenceng dari hukum yang berlaku di negara peserta yang berkaitan dengan kekebalan negara tersebut atau dari negara asing atas eksekusi. Selanjutnya jika melihat Pasal 53 ayat 1 Konvensi ICSID yang menyatakan bahwa “The award shall be binding on the parties …,” yang menjelaskan bahwa putusan mengikat bagi para pihak dan menyebabkan aturan “stare decisis” tidak banyak digunakan dalam ICSID dibandingkan dengan instansi pengadilan internasional. 362 Namun dengan perkembangan waktu maka terjadi sebaliknya, saat ini majelis arbitrase cenderung lebih banyak menggunakan preseden dibandingkan di masa yang lalu. Preseden tetap diandalkan bagi majelis dengan tujuan sebagai bahan evaluasi terhadap putusan yang telah dihasilkan. 363 Selain itu saat ini diakui bahwa 362 Lihat Sengketa El Paso Energy International vs Argentine Republic ICSID Case No. ARB0315 tanggal 27 April 2006, pertimbangan pada kompetensimya pada Bagian 39. 363 Dinyatakan bahwa “This is generally done without specifying the grounds. At the most, we can note that, in Saipem v People‟s Republic of Bangladesh ICSID Case No. ARB057,Mahkamah Universitas Sumatera Utara 196 negara dapat menyetujui arbitrase karena dibentuk dari keberadaan BIT maupun dari hukum nasional, tanpa perlu adanya kesepakatan yang harus ditandatangani. 364 Hal tersebut menegaskan bahwa investor mungkin tidak diperlakukan secara adil. 365 Di sini pula letak perlunya preseden sebagai alat pengukur atas perlakuan yang adil bagi investor sebagai bentuk perlindungan terhadap investor. Pengakuan dan pelaksanaan putusan diatur oleh aturan khusus dan bahkan disetiap aturan ”contracting state,” sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat 1 Konvensi. Konsekuensi atas ketentuan tersebut adalah hal yang paling penting dalam konvensi. Menurut Mauro Rubino, 366 efek mengikatnya putusan arbitrase sebelumnya yang dikenal dengan aturan stare decisis secara umum tidak ditemukan dalam arbitrase. Jika pada akhirnya terdapat preseden pada putusan arbitrase maka hal tersebut berarti ”to be psychologically binding in nature,” secara psikologi mengikat karena sifatnya. Berkaitan dengan hal tersebut Komite Ad Hoc ICSID mempertimbangkan dalam putusan Indonesia v. Amco Asia Corp., 367 bahwa tidak Arbitrase juga menyatakan bahwa “it believes that, subject to compelling grounds, it has the duty to adopt solutions establi shed in a series of consistent cases.” Lihat Putusan Saipem, penyataan 67. 364 Untuk jurisdiksi berdasarkan hukum domestik, lihat sengketa Southern Pacific Properties Middle East Limited v. Arab Republic of Egypt ICSID Case No. ARB843, Putusan tentang Jurisdiksi, 3 ICSID Rep 1423, tanggal 14 April 1988 dan untuk jurisdiksi berdasarkan perjanjian, lihat sengketa AAPL v Sri Lanka, ICSID Case No. ARB873, tanggal 27 Juni 1990., sumber http:www.icsid.go.id., diakses tanggal 20 Nopember 2013. 365 Lihat sengketa Mondev International Ltd. v United States of America, ICSID Case No ARB992, tanggal 11 Oktober 2002. Lihat juga sengketa Tecmed v United Mexican States, ICSID Case No. ARBAF002, tanggal 29 Mei 2003, diakses dari http:www.icsid.go.id., tanggal 20 Juli 2013. 366 Mauro Rubino-Sammartano, World Litigation Law and Practice, New York : Matthew Bender, 1986, hlm. 16. 367 Sengketa Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB811, ICSID ad hoc Committee, tanggal 16 Mei 1986, dalam Yearbook Commercial Arbitration, Vol. XII, tahun 1987, hlm. 138. Universitas Sumatera Utara 197 adanya efek mengikat, bukan merupakan masalah melainkan hanya memperhatikan putusan yang ada sebelumnya: Neither the decision of the International Court of Justice in the case of the Award of the King of Spain, nor the decision of the Klockner ad hoc Committee are binding on this ad hoc Committee. The absence, however of a rule of stare decisis in the ICSID arbitration does not prevent this ad hoc committee from sharing the interpretation given to Art. 52 1e by the Klockner ad hoc Committee. Terjemahan : baik keputusan Mahkamah Internasional dalam putusan sengketa Raja Spanyol, maupun keputusan komite ad hoc sengketa Klockner adalah mengikat Komite ad hoc ini. Keberadaannya, aturan stare decisis meski demikian dalam arbitrase ICSID tidak mencegah komite ad hoc ini dari berbagi penafsiran yang diberikan kepada Pasal 52 ayat 1 huruf e oleh Komite ad hoc Klockner . Selanjutnya, adanya hukum nasional dan hukum internasional secara bersamaan akan menimbulkan masalah ketika kedua hukum tersebut harus diterapkan secara serempak atau secara alternatif. Jika hal ini terjadi maka majelis harus menerapkan hukum atas keadaan yang dipermasalahkan dan di tinjau ulang untuk melihat keabsahannya baik secara hukum nasional maupun hukum internasional, yang hasilnya menerapkan hukum nasional yang tidak bertentangan dengan hukum internasional. Pasal 42 ayat 1 Konvensi ICSID tidak menetapkan permintaan apapun atas hak preseden bagi hukum nasional dan prinsip hukum internasional yang lebih tinggi. Hal itu diusulkan bahwa pendapat arbiter akan diikuti guna menerapkan kedua sistem yang dapat diterapkan pada umumnya, dalam sistem hukum nasional, aturan preseden di mulai dari alasan pertimbangan hakim, di mana seringkali hakim memegang teguh secara tertutup untuk preseden bagi tujuan hukum tertentu dan sebagai ketakutan Universitas Sumatera Utara 198 bahwa putusan yang dihasilkan mungkin akan diubah oleh instansi yang lebih tinggi. Oleh karena itu maka preseden hukum tidak harus diikuti tetapi juga tidak dikesampingkan, sebagaimana dikatakan oleh Gilbert Guillaume bahwa 368 “legal precedent in international dispute settlement is neither to be worshipped nor ignored ” preseden hukum dalam penyelesaian sengketa internasional adalah tidak diikuti tapi juga tidak di tolak, sebab terjadi koherensi tertentu dalam hukum antar negara karena pemanfaatan preseden. Melalui preseden, hakim tidak akan mengabaikan hukum positif dan sekaligus akan mempromosikan hukum alam yang diciptakan oleh hati nurani hakim yang menjamin kepastian dan kesetaraan dalam perkara yang serupa sehingga preseden adalah suatu kebutuhan meskipun di sisi lain akan menyebabkan pembekuan hukum. Untuk mencegah pembekuan hukum maka preseden tidak perlu dijadikan patokan yang harus diikuti, namun hanyalah sebagai tambahan pertimbangan dalam menentukan hukum apa yang akan diterapkan dalam suatu putusan untuk mencegah disparitas putusan dalam sengketa yang sama. Putusan arbitrase yang memuat sengketa posisi posita dan dilengkapi dengan pertimbangan hukum berikut amar putusan petitum serta dipublikasi akan sangat membantu bagi perkembangan hukum arbitrase secara global. Dengan publikasi putusan tersebut maka para pihak yang memilih arbitrase dapat memprediksi putusan terhadap sengketanya dengan cara membandingkan sengketa 368 Gilbert Guillaume , “The Use of Precedent by International Judges and Arbitrators,” diakses dari http:jids.oxfordjournals.orgcontent215.full, tanggal 20 Juli 2013. Universitas Sumatera Utara 199 yang dihadapinya dengan sengketa serupa yang telah memperoleh putusan. Melalui publikasi pula, maka kelemahan yang dimiliki oleh arbitrase akan dapat dihilangkan. Meskipun salah satu manfaat dari arbitrase adalah kerahasiaan, namun kerahasiaan putusan tidak akan menghasilkan preseden yang mengikat yang mungkin berguna di kemudian hari. 369 Sengketa Malaysian Historical Salvors, SDN, BHD v. Malaysia ICSID Case No. ARB0510 tanggal 17 Mei 2007 adalah putusan ICSID yang mempertimbangkan pentingnya preseden yang ada mengenai investasi. Putusan yang dapat diakses oleh publik akan mempengaruhi arbiter sebagai pengambil keputusan untuk tetap konsisten dengan putusan yang telah diambilnya. Konsistensi tersebut dapat terlihat dalam putusan arbitrase yang serupa dan dengan arbiter yang sama, dan kesemuanya akan bermuara pada tercapainya kepastian hukum dalam dunia arbitrase internasional khususnya arbitrase melalui ICSID. Kepastian hukum merupakan salah satu masalah hukum yang paling mendesak. Amirizal mengatakan bahwa bagi investor masalah kepastian hukum ini sangat peka, karena di dalam suatu sistem perekonomiannya yang baik, unsur ini merupakan asas yang memberikan jaminan yang kuat bagi bisnis para pihak, kepastian hukum merupakan suatu keharusan dalam semua transaksi bisnis yang 369 Sebastian M. Rainone Alan L . Frank, “Arbitration: How to draft the agreement and use the forum”, American Law Institute, Volume 46, Issue 3, p. 45-52, Philadelpia, 2000, diakses dari http:search.proquest.comdocview274280111?accountid=50257. Universitas Sumatera Utara 200 dilakukan dalam sistem perekonomian yang telah modern dan maju, dan karena demikian menyebabkan besarnya nilai-nilai transaksi bisnis tersebut. 370 Pendapat umum mengatakan kredibilitas hukum saat ini masih begitu rendah sehingga upaya yang paling utama dalam politik hukum hendaknya didasarkan pada usaha menciptakan sistem hukum nasional yang baik, termasuk usaha penegakan hukum. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat akan hukum dapat dipulihkan. 371 Konsekuensi praktis dari gagasan mengenai politik hukum nasional adalah : pertama, harus ditingkatkan keterbukaan politik yang mengakomodasi lebih banyak aspirasi rakyat yang mengharapkan sistem hukum yang baik, baik dalam hal pembetukan norma hukum atau penyempurnaan terhadap norma hukum yang tidak relevan lagi; kedua, reformasi ekonomi melalui legislasi nasional yang memberikan kesempatan sama kepada semua orang untuk meningkatkan taraf hidupnya; ketiga, politik hukum sendiri harus difokuskan pada pembentukan dan reformasi sistem hukum nasional agar sesuai kondisi masyarakat yang pluralistik dengan meninggalkan karakter hukum kolonial yang masih mendominasi sistem perundang- undangan Indonesia. 372 Kepastian hukum serta keadilan hukum merupakan konsep yang perlu terus menerus dikembangkan. Kepastian hukum yang konsisten mengandung unsur prediktabilitas yang dipergunakan para pelaku ekonomi untuk memperhitungkan serta 370 Amirizal, Hukum Bisnis : Deregulasi Dan Joint Venture Di Indonesia Teori dan Praktek, Jakarta : Djambatan, 1996, hlm. 68. 371 Alexander, op.cit. hlm.67. 372 Alexander, ibid, hlm. 69-70. Universitas Sumatera Utara 201 mengantisipasi kemungkinan yang dihadapi di masa mendatang dan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Kepastian hukum bermuara pada rasa kepercayaan hukum yang memberi jaminan bagi kelangsungan transaksi ekonomi. Konsistensi penerapan hukum juga mencerminkan adanya rasa keadilan, di mana peranan lembaga penerapan hukum legal-executio diuji konsistensinya. Penerapan hukum yang adil tidak hanya dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa akan tetapi juga dapat diterima oleh masyarakat luas. Penerapan hukum ekonomi yang mempertimbangkan aspek keadilan akan membawa pengaruh pada terjadinya efisiensi dan produktivitas ekonomi yang pada gilirannya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan. 373 Putusan arbitrase memuat pertimbangan arbiter dalam menjatuhkan putusan yang didasari oleh penerapan hukum yang berlaku hukum positif sebagai ius constitutum . Pertimbangan mana dibuat seadil dan seimbang mungkin sehingga melalui publikasi putusan yang dapat di akses oleh publik tentunya akan menghasilkan putusan yang fair dan adil sehingga tercipta kemanfaatan dan kepastian hukum sebagaimana tujuan hukum yang selalu dicita-citakan. Keadilan, keseimbangan dan kepastian hukum sangat didambakan oleh masyarakat dalam hal ini investor, oleh karenanya investor dan negara menyusun suatu perikatan atau perjanjian investasi yang berlandaskan keinginan bersama sebagai bentuk asas kebebasan berkontrak guna mencapai ketiga tujuan hukum 373 Normin S. Pakpahan, Perangkat Hukum Dalam Rangka Menghadapi Era Perdagangan Bebas, dalam Majalah Hukum Nasional No.2, Jakarta : BPHN Depkeh dan HAM, 2002, hlm. 35-36. Universitas Sumatera Utara 202 tersebut. Arbitrase di nilai dapat menjadi media terpenuhinya ketiga hal itu. Arbitrase ada karena diperjanjikan untuk itu oleh kedua pihak yang mengikatkan diri. Norma- norma yang mengatur perikatan disebut oleh Hart 374 sebagai “aturan-aturan hukum primer,” yaitu norma yang mengatur kewajiban-kewajiban timbal balik hubungan kemasyarakatan, hal mana menjawab apa yang dianggap Radbruch sebagai salah satu komponen dan sekaligus antinomy ide hukum yaitu keadilan. Sedangkan norma- norma yang menetapkan akibat yang terkait pada tindakan tertentu atau tindakan apa yang perlu dilakukan untuk memperoleh akibat tertentu dan aturan main yang mengatur hubungan antara masyarakat dan penguasa disebut Har t sebagai “aturan- aturan sekunder” yaitu norma yang memungkinkan anggotanya mengubah keadaan semula terhadap aturan-aturan primer, misalnya menciptakan perikatan melalui kontrak. Keterbukaan putusan arbitrase akan meningkatkan kebenaran, kepastian dan prediktibilitas dari hukum investasi. Tujuannya meningkatkan partisipasi dan kepercayaan terhadap sistem yang secara umum kurang diketahui oleh investor dan host state, memfasilitasi para pihak menghindari sengketa dalam hukum investasi, dan meningkatkan tekanan pada pihak untuk melaksanakan putusan. 375 374 John Gilissen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, cetakan ke-4, Bandung : PT. Refika Aditama, 2009, hlm.33-34. 375 Delaney Magraw, “Procedural Transparency,” The Oxford Handbook of International Investment Law , 2008, hlm. 762-763. Universitas Sumatera Utara 203 2. Keterbukaan putusan menciptakan perlindungan hukum bagi para pihak dan pelaksanaan putusan, meminimalisir resiko mendatang sehingga meningkatkan kepercayaan kepada arbitrase. Arbitrase internasional ditujukan untuk menghilangkan kekhawatiran tidak adanya kepastian hukum, keadilan dan diskriminasi. Adanya asas otonomi para pihak juga menimbulkan ketakutan apakah jika arbitrase yang dipilih adalah arbitrase domestik maka akan terdapat unsur kebangsaan yang tentunya akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Arbitrase investasi adalah semata-mata bertujuan untuk melindungi hak investor. Beberapa sarjana dalam hubungan itu menyebutnya quasi judicial, 376 Thomas Walde dan Tood Weiler 377 menyatakan bahwa arbitrase investasi ditujukan sebagai “international quasi-judicial review of national regulatory action.” Genevieve Burdeau 378 juga mengatakan bahwa “a medium design to control the respect of the law by host states in the economic domain Perancis : l‟arbitrage d‟investissement est une sorte d‟instrument de controle du respect par les Etats de la legalite‟ dans le domaine „economique” aturan arbitase investasi mengatur bagaimana pengaruh hukum negara dalam ekonomi. Arbitrase ICSID memiliki beberapa manfaat bagi investor sebagaimana dikatakan Reinisch 379 yaitu : 376 Verdross, Quasi International Agreements and International Economic Transaction, The Yearbook of World Affairs, 1964, hlm. 230. 377 Dalam Gustavo Laborde, “The Case ForHost State Claims In Investment Arbitration,” Oxford Journals Law Social Sciences, Jnl of Int. Dispute Settlement , Volume 1, Issue 1, Pp. 97-122, diakses dari http:jids.oxfordjournals.orgcontent1197.full., sebagaimana dikutip dari Hege Elisabeth Veenstra-Kjos, Counter-Claims by Host States in Investment Dispute Arbitration Without Privity” dalam P. Kahn and T. Walde eds, Les Aspects Nouveaux du Droit Des Investissements Internationaux, LeidenBoston : Martinus Nijhoff Publishers, 2007, hlm. 597-600. 378 Gustavo Laborde, ibid. 379 Reinisch and Malintoppi, Methods of Dispute Resolution, The Oxford Handbook of International Investment Law, Tanpa Tahun, hlm. 701. Universitas Sumatera Utara 204 1. It provides investors with direct access to a form of settlement of a dispute they may have with a host state memberikan investor akses langsung kepada bentuk penyelesaian sengketa di mana mungkin berhadapan dengan host state . 2. It extends the possibility of dispute settlement beyond the realm of national courts in the host state memperluas kemungkinan penyelesaian sengketa di luar ranah pengadilan nasional dalam host state. 3. Investor do not depend upon the willingness of their home state to exercise diplomatic protection on their behalf Investor tidak tergantung pada kemauan negara asalnya untuk melakukan perlindungan diplomatik atas namanya. 4. The enforcement provisions of the ICSID Convention make it highly probable that final ICSID awards will be effectively enforceable Ketentuan-ketentuan penegakan Konvensi ICSID membuatnya sangat mungkin bahwa putusan akhir ICSID akan diberlakukan secara efektif . Manfaat-manfaat tersebut tentunya membuat ICSID berbeda dengan institusi arbitrase internasional lainnya sehingga menjadi pilihan investor dalam menyelesaikan sengketanya terhadap host state, karena sistem penyelesaian sengketanya dilakukan secara langsung dengan host State yang mengakibatkan hilangnya kewenangan pengadilan nasional untuk mengadili, tanpa membutuhkan perlindungan diplomatik dari negara asal investor home state dan memungkinkan pelaksaanaan putusan ICSID yang efektif tanpa memenuhi persyaratan sebagaimana pelaksanaan putusan menurut Konvensi New York. Pemilihan penyelesaian sengketa ICSID sebelumnya telah disepakati dalam BIT antara investor dan negara tujuan investasi yang mengatur hak substantif investor untuk melindungi investasi. Enam standar perlindungan yang utama adalah : 380 380 Vivekanda N, Jagdish John Menezes, “Singapore As A Seat For Investor-State Dispute,” Singapore International Arbitration Centre, diakses dari www.siac.org.sg. Universitas Sumatera Utara 205 1. National treatment, which requires that domestic and foreign investors in similar circumstances be treated alike pemulihan nasional, yang mengharuskan investor dalam dan luar negeri dalam kondisi yang sama akan diperlakukan sama. 2. Most-favoured nation treatment, which requires that foreign investors of different states, in similar circumstances, be treated alike pemulihan MFN, yang mengharuskan investor asing dari negara yang berbeda, dalam kondisi yang sama, diperlakukan sama. 3. Fair and equitable treatment, which is a broad protection against arbitrary measures adil dan perlakuan yang adil, yang merupakan perlindungan yang luas terhadap tindakan sewenang-wenang. 4. Full protection and security to the investments perlindungan penuh dan keamanan untuk investasi. 5. Umbrella clauses, which offer treaty protection against breach of any legal obligation even a contractual one by the State towards the investor and klausula Umbrella, yang menawarkan perlindungan terhadap pelanggaran kewajiban perjanjian hukum bahkan suatu kontrak oleh negara terhadap investor dan. 6. Protection from expropriation or nationalization without compensation perlindungan dari pengambilalihan atau nasionalisasi tanpa kompensasi. Sekitar 3200 BIT telah ada dalam perjanjian internasional, beberapa anjuran dan undang-undang domestik yang dibuat berkaitan dengan investasi bertujuan untuk merangsang pembangunan ekonomi dengan cara menarik dan melindungi invetasi asing ke dalam wilayah kedaulatan negara masing-masing host state, hal mana secara substantif telah memberi perlindungan bagi investor dan penempatan mekanisme penegakan putusan secara nasional atau internasional. Kemajuan tekhnologi informasi telah membuat sebagian besar dari perjanjian ini dapat di akses oleh siapa saja melalui koneksi internet. 381 Negara tertentu bahkan telah mempraktekkan keterbukaan dan menjamin tersedianya undang-undang yang mempromosikan 381 Diakses dari http:www.unctadxi.orgtemplatesDocSearch_779.aspx dan http:italaw.cominvestmenttreaties.htm., tanggal 15 April 2014. Universitas Sumatera Utara 206 investasi, misalnya di Venezuela melalui Article 22 Law No. 356 tanggal 3 Oktober 1999 tentang promosi dan perlindungan investasi asing yang telah menerima keterbukaan secara luas dalam konteks beberapa arbitrase antara investor dan host state , sebagaimana telah diterapkan dalam sengketa Mobil v. Bolivarian Republic of Venezulea ICSID Case No. ARB0727 putusan tanggal 10 Juni 2010 tentang putusan yurisdiksi. Penyelesaian sengketa melalui ICSID akan menghilangkan kewarganegaraan investor dari intervensi tertentu dalam proses arbitrase, 382 sehingga tidak akan ada tuntutan dari home state terhadap host state. Tidak adanya campur tangan politik dari home state yang akan menguntungkan investor dan host state sebagaimana dijelaskan oleh Schreuer, bahwa : 383 The arbitration procedure provided by ICSID offers considerable advantages to both side. The foreign investor no longer depends on the uncertainties of diplomatic protection but obtain direct access to an international remedy. The dispute settlement process is depoliticized and subjected to objective legal criteria… In turn, the host state by consenting to ICSID arbitration obtains the assurance that it will not be exposed to an international claim by the investor‟s home state … Terjemahan : Prosedur arbitrase yang disediakan oleh ICSID menawarkan keuntungan yang cukup besar untuk kedua belah pihak. Investor asing tidak lagi tergantung pada ketidakpastian perlindungan diplomatik tetapi mendapatkan akses langsung pada pemulihan internasional. Proses penyelesaian sengketa yang terdepolitisasi dan sasaran kriteria obyek hukum... Pada gilirannya, dengan menyetujui arbitrase ICSID host state memperoleh jaminan bahwa hal itu tidak akan terkena klaim internasional oleh negara asal investor. 382 Lihat Pasal 27 ayat 1 Konvensi ICSID bahwa “No Contracting State shall give diplomatic protection or bring an international claim in respect of a dispute wich one of its nationals and another contracting state shall have consented to submit or shall have submitted to arbitration under this Convention, …” 383 Christoph H. Schreuer, The ICSID Convention, A Commentary, United Kingdom : Cambridge University Press, 2001, hlm. 398. Universitas Sumatera Utara 207 Meski demikian, jika putusan telah diberikan dalam menyelesaikan sengketa maka home state dapat menggunakan perlindungan diplomatiknya jika terjadi pelanggaran dari host state berupa tidak melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan, kecuali putusan telah sesuai dengan penyelesaian sengketa. 384 Namun, berdasarkan asas otonomi para pihak dihubungkan dengan arbitrase yang merupakan pilihan penyelesaian sengketa, maka terdapat juga investor yang memilih penyelesaian sengketa di luar ICSID, misalnya dalam Bilateral Investment Treaties BITs antara Amerika Serikat dengan Argentina, padahal keduanya adalah anggota ICSID, hal tersebut terlihat dalam sengketa National Grid P.L.C. v. The Argentina Republic yang memilih aturan UNCITRAL. Demikian juga sengketa AWG Group Ltd. v. The Argentina Republic di mana dalam BITs antara Inggris dengan Argentina yang keduanya adalah anggota ICSID tidak setuju untuk menyelesaikan sengketanya tersebut melalui ICSID tetapi melalui UNCITRAL. Agar arbitrase dapat berjalan dengan efektif dan lancar maka diperlukan arbiter yang baik dan berpandangan luas. Arbitrase modern juga dapat tercapai atas dukungan majelis arbitrase yang membantu para pihak mencapai penyelesaian sengketa secara damai, karena saat ini arbitrase internasional masih di pandang sebagai metode standar untuk penyelesaian sengketa kontrak komersial dan investasi lintas batas yang mahal dan menghabiskan waktu yang lama. 385 384 Lihat Pasal 27 ayat 1 Konvensi ICSID, bahwa “ … unless such other contracting state shall have failed to abide by and comply with the award rendered in such dispute.” 385 Dani Mc. Fadden, ”Settlement in International Arbitration and what this might for ADR,” Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia , vol. IIJan-Mar 2008, www.bani-arb.org. Universitas Sumatera Utara 208 Klausula arbitrase sangat membantu dalam perlindungan investasi, karena merupakan salah satu cara efektif dalam penyelesaian sengketa investasi. Terkadang, tidak ada dasar penolakan persetujuan arbitrase dan para pihak belum memasukkan klausula arbitrase dalam perjanjian serta di dalam kontraknya telah dinyatakan untuk menunda persetujuan arbitrase hingga sengketa tertentu terjadi. Hal tersebut akan membahayakan investor, sebagaimana di katakan oleh Cattan, 386 bahwa ”this failure to include an arbitration clause in reliance on the voluntary subsequent submission to arbitration once a dispute has arisen is very dangerous for the investor” tidak adanya disertakan klausula arbitrase dalam kaitannya pada pengajuan secara sukarela untuk arbitrase setelah sengketa timbul akan sangat berbahaya bagi investor. Dalam melakukan investasi, suatu perusahaan akan mengalami banyak kendala terutama jika investasi dilakukan di luar wilayah negaranya, investor harus mewaspadai perubahan peraturan, penurunan keuntungan karena dipengaruhi oleh stabilitas politik host state dan terkadang negara ataupun investor mengabaikan janji yang diberikan. Saat itulah maka kemungkinan timbulnya sengketa menjadi sangat tinggi, beberapa perjanjian investasi mungkin sudah melindungi perjanjiannya dengan asuransi resiko 387 atau lainnya namun hal tersebut tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan dan diperlukan arbitrase internasional yaitu ICSID untuk menyelesaikannya. 386 H. Cattan, The Law of Oil Concessions in the Middle East and North Africa, New York : Oceana, Dobbs Ferry, 1967, hlm. 157. 387 Dalam sengketa Methanex Corp. v. United States NAFTA Chapter 11 Arbitration Tribunal tanggal 9 Maret 2004, paragraph 3, menyatakan bahwa “political-risk insurance only shield the investor from some risk. Note that investor-state arbitration is not intended as an insurance vehicle for all negative impacts of state actions or business events on a foreign investor. ” Universitas Sumatera Utara 209 Penyelesaian sengketa investasi melalui Arbitrase ICSID adalah semacam pemulihan keadaan, karena ketika masalah dibawa ke pengadilan maka akan menyebabkan resiko yang lebih tinggi dan bisa saja tidak mungkin untuk menyelesaikan sengketa dengan asuransi sehingga arbitrase ICSID menjadi jawaban penyelesaian sengketa antara investor dan negara. Meskipun klausula arbitrase terkadang sulit diterapkan, namun akan lebih baik jika penundukan dilakukan secara sukarela kepada arbitrase, sehingga sebelum klausula arbitrase disajikan maka terdapat jaminan bahwa sengketa dapat dibawa kepada arbitrase meskipun salah satu pihak yang terikat kontrak tidak lagi bersedia untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase karena persetujuan arbitrase yang telah diberikan tidak dapat ditarik kembali oleh salah satu pihak. 388 Melalui penanaman modal tentunya diperlukan suatu perlindungan terhadap investor. Keberadaan perlindungan investor ini harus dijamin sehingga investor mau melakukan investasi di suatu negara. Bentuk perlindungan terhadap investor adalah adanya kepastian hukum yang berlaku dan keterbukaan informasi yang dibutuhkan oleh investor. Perlindungan diperlukan terhadap perubahan peraturan yang ada di negara tempat investor melakukan investasi. Jika para pihak memilih suatu hukum nasional, seringkali pihak peserta kontrak, melindungi dirinya melawan kemungkinan negara secara sepihak mengubah peraturannya, dengan cara memasukkan suatu klausula yang disebut klausula stabilisatorpenetral stabilization clauses. Dalam 388 Dalam Pasal 25 1 Konvensi ICSID dinyatakan bahwa “… when the parties have given their consent, no party may withdraw its consent unilaterally .” Universitas Sumatera Utara 210 membuat perjanjian investasi antara investor dan host state maka dalam perjanjian dicantumkan klausula stabilisator sebagai upaya perlindungan bagi investor terhadap perubahan undang-undang yang dilakukan oleh host state. Klausula stabilisator dapat berupa : 389 a. Ketentuan-ketentuan legislatif dalam hukum host state yang memberikan perlakuan khusus atau pengecualian untuk beberapa jenis investasi. Undang- undang tersebut dapat diubah sesuai keinginan oleh host state. b. Klausula kontrak yang secara tegas menjamin bahwa ketentuan-ketentuan kontrak akan diakui, tetapi hanya atas hukum yang telah berlaku sebelum penandatanganan kontrak. Klausula stabilisasi efektif dalam melindungi kontrak dan investor dari penerapan undang-undang atau tindakan administratif host state yang terjadi setelah penandatanganan kontrak. Beberapa penulis membedakan klausula stabilizator dari klausula ”d‟intangible.” Jika klausula stabilisator bertujuan melindungi investor terhadap perubahan undang-undang dalam host state, maka klausula ”d‟intangible” adalah untuk mencegah perubahan kontrak secara sepihak oleh negara dengan menggunakan hak istimewa publik atau hukum administratif. 390 Sebagai suatu klausula berarti bahwa, ketika majelis arbitrase jajak pendapat suatu sengketa, hukum negara yang di pilih secara sepihak telah diubah dan perubahan mengubah atau menghentikan hak 389 H. Cattan, op.cit., hlm. 47. 390 E. Paasivirta, “Internationalization and Stabilization of Contracts Versus State Sovereignty,” 60 British Yearbook of International Law , 1989, hlm. 315. Universitas Sumatera Utara 211 kontraktual dari investor asing, majelis arbitrase harus membuat keputusan berdasarkan ketentuan kontrak yang asli tanpa mempertimbangkan perkembangan itu. Lebih jelas dalam putusan Agip v. Congo 391 yang dalam putusannya menyatakan bahwa dengan adanya klausula stabilisasi dalam perjanjian dengan Republik Congo Brazzaville maka ICSID dalam putusannya menyatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh Congo adalah tidak sah karena melanggar klausula stabilisasi dan prinsip hukum internasional. Dengan demikian, bila tidak ada persetujuan di antara para pihak maka majelis akan menerapkan hukum dari negara anggota konvensi contracting state termasuk aturannya dalam konflik hukum dan hukum internasional yang mungkin bisa diterapkan sesuai Pasal 42 ayat 1 Konvensi ICSID tersebut. Majelis Arbitrase ICSID juga dapat memutuskan secara “ex aequo et bono” putusan yang adil menurut hakim jika para pihak telah menyetujui. Persetujuan mana diberikan dalam dua cara. Pertama, host state haruslah merupakan anggota konvensi ICSID contracting state. Ratifikasi konvensi itu sendiri secara otomatis sebagai persetujuan dari ”contracting state” untuk tunduk pada penyelelesaian sengketa ICSID. Kedua, persetujuan harus secara tertulis dalam perjanjian investasi atau dalam suatu hukum investasi nasional atau suatu traktat perlindungan investasi yang diterapkan pada hubungan kontraktual dengan investor swasta. Kesepakatan harus diberikan kepada investor dan tidak dapat dibatalkan serta tidak berlaku surut. 391 Lihat putusan Agip v. Congo, ICSID Case No. ARB771, yang terdaftar tanggal 04 November 1977 dan putus tanggal 30 November 1979, dalam 67 International Law Reports I.L.R 318, 1984 dan http:icsid.worldbank.orgICSIDgt, diakses tanggal 21 September 2013. Universitas Sumatera Utara 212 Persetujuan harus benar, tidak melanggar ketentuan hukum atau konstitusi arbitrase yang dilarang dan persetujuan harus telah diberikan oleh seseorang atau suatu wakil yang sah untuk mewakili negara. Mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 25 ayat 3 Konvensi ICSID sebagai berikut “consent by a constituent subdivision or agency of a contracting state shall require the approval of that state unless that state notifies the Centre that no such approval is required. ” Oleh karena itu, seorang investor harus memeriksa terlebih dahulu bahwa negara yang dituju memiliki kewenangan. 392 Investor juga harus meneliti tingkat sengketa kontrak terkait di mana ”contracting state” tidak menerima untuk tunduk pada arbitrase ICSID. Sebagai pengecualian dari yurisdiksi telah diatur dalam Pasal 25 ayat 4 Konvensi ICSID, namun, seperti yang telah disebutkan di atas, hal itu tidak mempengaruhi validitas klausula arbitrase. Terdapat sejumlah kritik terhadap klausula stabilisasi. Bagi Asante 393 yang merupakan advokad yang menganjurkan fleksibilitas dan re-negosiasi kontrak dalam kaitan tersebut bahwa : The dynamic economic changes at the global and national level... the doctrines of pacta sunt servanda and sanetity of contract reinforced by such devices as stability clauses fly in the face of global developments as well as the highly fluid situation in developing countries. Terjemahan : Perubahan ekonomi yang dinamis di tingkat global dan nasional ... doktrin-doktrin pacta sunt servanda dan keamanan kontrak diperkuat oleh perangkat seperti klausul stabilitas yang menghadapi perkembangan global serta situasi yang sangat cair di negara berkembang. 392 Wolfgang Peter, op.cit., hlm. 309-310. 393 S. Asante, “Stability of Contractual Relations in the Transnaional Investment Process,28 International and Comparative Law Quarterly , 1979, hlm. 409. Universitas Sumatera Utara 213 Kemudian, serupa dengan hal tersebut Geiger 394 percaya bahwa ”the duration of these advantages seems so excessive that it is difficult to believe that successive governments would not to modify such agreements depriving them of an important part of their fiscal power” keunggulan ini tampak begitu berlebihan sehingga sulit untuk dipercaya bahwa pemerintah berturut-turut tidak akan mengubah perjanjian yang merampas bagian penting dari kekuatan fiskalnya. Namun, terdapat masalah yang melekat pada klausula stabilisasi yang telah dianalisis secara kritis oleh Faber dan Brown 395 bahwa : Once agreement has been reached on royalties, taxes, customs duties and related matters, much skill goes into drafting clauses to ensure that, in terms of the contract, no scrap of residual power is left to the government to increase its share of any available surplus by new fiscal measures not contemplated by the agreement... it has to be recognized that such contracts cannot be negotiated with any of the industrialized countries of the West. A mining or oil company would get short shrift if it sought from the British Government contractual guarantees binding Parliament for the future in terms of a specific fiscal package. Terjemahan : setelah kesepakatan telah tercapai pada royalti, pajak, bea cukai, dan hal-hal terkait, banyak cara masuk kepada klausula drafting untuk memastikan bahwa dalam hal kontrak tidak ada memo dari kekuatan yang ada kepada pemerintah untuk meningkatkan pangsa pasar yang tersedia oleh kebijakan fiskal baru yang tidak diatur oleh perjanjian ... itu harus diakui bahwa kontrak tersebut tidak dapat dinegosiasikan dengan salah satu negara industri Barat. Sebuah perusahaan pertambangan atau minyak akan mendapatkan sedikit perhatian jika dicari dari jaminan kontrak Pemerintah Inggris yang mengikat DPR untuk masa depan dalam hal paket fiskal tertentu. 394 R. Geiger, “The Unilateral Change of Economic Developtment Agreements,” 23, International and Comparative Law Quarterly , 1974, hlm. 77 395 Wolfgang Peter, Arbitration and Renegotiation of International Investment Agreements, Second Revised and Enlarged Edition, The HagueBostonLondon : Kluwer Law International, 1995, hlm. 112-113. Universitas Sumatera Utara 214 Faber dan Brown 396 juga mengemukakan bahwa ketentuan stabilisasi tidak atas kedaulatan negara yang permanen, ”the acceptance of the principle creates a constitutional limitation on the state in international law to deal with its natural resources ” penerimaan prinsip menciptakan batasan konstitusional pada negara dalam hukum internasional untuk menangani sumber daya alamnya. Dengan demikian salah satu sarana perlindungan investor adalah kontrak itu sendiri yang di dalamnya mengandung klausula stabilisasi. Sarana lain juga dapat berupa aturan undang-undang yang dibuat oleh host state dan hukum internasional. 397 Hal mana dapat dipastikan bahwa perlindungan bagi investor oleh peraturan host state adalah sangat terbatas karena hukum investasi bersifat sebagai aturan unilateral yang masih dapat dilakukan perubahan terhadapmya sebagaimana yang diinginkan, terutama dalam masa perubahan politik atau ketidakstabilan kondisi suatu negara. Memang secara tegas hukum internasional tidak mengatur mengenai perlindungan terhadap hak kontraktual, berbagai upaya telah dilakukan untuk tujuan tersebut antara lain dengan adanya kodifikasi internasional dalam hukum perjanjian multilateral atas investasi. Perjanjian pertama yang dibuat adalah Havana Carter 398 396 M. Sornarajah, “The Myth of International Contract Law,” 15, Journal of World Trade Law, 1981, hlm. 210. 397 Wolfgang Peter menyebutkan bahwa “… source for investment protection in the first place is investment contract itself, contracted between a foreign investor and a host country, another direct source of investment protection is expressed in a host s tate‟s constitutional or statutory enactments regarding foreign private intvestment and international law.” Dalam Wolfgang Peter, op.cit., hlm. 328. 398 Pasal 12 Havana Carter menyatakan bahwa : 1. The Members recognize that: a international investment, both public and private, can be of great value in promoting economic development and reconstruction, and consequent social progress; Universitas Sumatera Utara 215 tahun 1948 lalu diikuti oleh proposal ICC tahun 1949 untuk International Code of Fair Treatment for Foreign Investment, lalu di susul oleh proposal dari International Association for the Promotion and Protection of Private Foreign Investment pada tahun 1958, lalu proposal dari International convention for the Mutual Protection of Private Property Rights in Foreign Countries pada tahun 1959 dan draft OECD berupa Draft Convention on the Protection of Foreign Property ditahun 1967. 399 Meskipun telah banyak bentuk proyek perlindungan sebagaimana diuraikan di atas, namun tidak memberikan hasil yang maksimal dan cenderung memiliki lingkup perlindungan yang terbatas. Demikian juga dengan ICSID sebagai suatu perjanjian multilateral, tetap memberi perlindungan akan tetapi terbatas pada menghilangkan kewenangan nasional suatu negara dan tekanan politiknya dalam penyelesaian sengketa. Terhadap kondisi tersebut, lahir Multinational Investment Guarantee Agency MIGA Convention pada tahun 1985 yang didalamnya memiliki suatu b the international flow of capital will be stimulated to the extend that Members afford nationals of other countries opportunities for investment and security for existing and future investments; c without prejudice to existing international agreements to which Members are parties, a Member has the right: i to take any appropriate safeguards necessary to ensure that foreign investment is not used as a basis for interference in its internal affairs or foreign policies; ii to determine whether and, to what extent and upon what terms it will allow future foreign investment; iii to prescribe and give effect on just terms to requirements as to the ownership of existing and future investments; iv to prescribe and give effect to other reasonable requirements with respect to existing and future investments .” 2. Adequate security for existing and future investments” and “to give due regard to the desirability of avoiding discrimination as between foreign investments. 399 Vaughan Lowe, “Changing Dimensions of International Investment Law,” University of Oxford Faculty of Law Legal Studies Research Paper Series , Working Paper No 42007 March 2007, diakses dari http:papers.ssrn.comAbstract=970727, tanggal 14 September 2013. Universitas Sumatera Utara 216 konteks baru yaitu meningkatkan pemulihan dan perlindungan investasi asing sebagaimana dijaminkan dalam perjanjian investasi. 400 Permasalahan keterbukaan juga dibicarakan dalam sengketa Maffezini 401 di mana arbiter menemukan bahwa keterbukaan akan memastikan bahwa investor memperoleh perlakuan yang adil sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 huruf i BIT antara Maffezini, investor asal Argentina dengan Spanyol yang dalam pertimbangan Majelis Arbitrase ICSID disebutkan bahwa “the lack of transparency with which this loan transaction was conducted is in compatible with Spain‟s commitment to ensure the investor a fair and equitable treatment in accordance with Article 4 i of the BIT.” Transparansi atau keterbukaan akan menghasilkan suatu elemen penyelesaian sengketa yang adil dan seimbang. Bahkan senyatanya terdapat negara yang menerobos kewajiban yang telah ditentukan oleh hukum internasional tetapi hal itu tidak dianggap bahwa negara tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang tidak adil, sebagaimana pertimbangan sengketa Metalclad Corporation v. United Mexican States dan sengketa CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic 402 bahwa “A State might breach an international legal obligation but not be held to have acted in a manner that was unfair or inequitable, ” hal tersebut berkaitan dengan tingkat campur tangan terhadap hak investor untuk dilindungi. Keterbukaan putusan arbitrase 400 Wolfgang Peter, op.cit., hlm. 371. 401 Sengketa Emilio Agustin Maffezini Argentina v. Kingdom of Spain, ICSID Case No. ARB977 tanggal 9 November 2000, diakses dari http:www.worldbank.orgicsidcasesemilio_AwardoftheTribunal.pdf., Paragraph 83. 402 Metalclad Corporation v. United Mexican States, ICSID Case No. ARB AF971 putusan tanggal 30 Agustus 2000 ; dan CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic, ICSID Case No. ARB018 tanggal 17 Juli 2003. Universitas Sumatera Utara 217 memberikan perlindungan hukum bagi investor, namun tidak serta merta melindungan investor yang beritikad buruk, dengan keterbukaan secara otomatis juga akan memberikan perlindungan kepada host state. Cornel Marian 403 dari Asosiasi Stockholm Arbitration Litigation Center SALC Sweden menyampaikan pada Konferensi di Oslo bahwa salah satu dari 3 tiga alasan penting mengapa keterbukaan diinginkan adalah karena adanya perlindungan terhadap pelaksanaan putusan. Pelaksanaan putusan akhir adalah tujuan utama bagi investor yang dirugikan oleh host state maupun sebaliknya, di mana ICSID menyediakan sistem yang paling menguntungkan untuk melaksanakan putusan terhadap negara dan mengikat tanpa bantuan pengadilan nasional, 404 sehingga publikasi putusan dan pertimbangannya akan melindungi pelaksanaan putusan, 405 juga turut menjamin tidak adanya perubahan amar putusan oleh pihak yang beritikad buruk. Kemudian, meminimalkan resiko masa mendatang melalui dasar kebenaran proses arbitrase 406 juga merupakan pembenaran berkaitan dengan manfaat jangka menengah dan jangka panjang, termasuk pengoperasian dalam kewenangan asing dan penegakan putusan. Publikasi putusan juga dapat membantu para pihak dalam menghindari sengketa di masa yang akan datang karena para pihak dapat mempelajari 403 Cornel Marian, “Suistainable Investment Through Effective Resolution of Investment Dispute- Is Transparency the Answer?,” hlm. 9, diakses dari http:papers.ssrn.comsol3papers.cfm?abstract_id=2070676 , tanggal 25 Januari 2013. 404 Pasal 51 ayat 1 Konvensi ICSID 405 Aturan 48 ayat 4 ICSID Arbitration Rules. 406 Cornel Marian, “Suistainable Investment Through Effective Resolution of Investment Dispute-Is Transparency the Answer?, ” SRRN Journal, hlm. 9, diakses dari http:papers.ssrn.comsol3papers.cfm?abstract_id=2070676 , tanggal 25 Januari 2013. Universitas Sumatera Utara 218 kesalahan masing-masing pihak satu sama lain. 407 Keterbukaan putusan arbitrase menyebabkan para pihak telah dapat menilai arbiter mana yang baik dan negara juga dimungkinkan dapat mengubah aturan substanstif dan prosedural yang ada pada kesempatan berikutnya di masa mendatang, 408 sehingga dapat mencegah sengketa di masa mendatang. Selain itu dengan keterbukaan putusan, maka baik investor maupun host state akan menciptakan suasana investasi yang kondusif satu sama lain, investor melakukan investasi dengan baik dan host state akan memastikan bahwa regulasi yang ditetapkan tidak akan merugikan investor sehingga tidak terjadi sengketa yang akan menurunkan “image” investor dan minat investasi terhadap host state. Dengan demikian maka keterbukaan putusan juga akan menumbuhkan kepercayaan terhadap arbitrase, 409 khususnya proses arbitrase sebagai langkah pengambilan putusan sehingga menjadi sangat beralasan, sebab suatu putusan arbitrase, apakah putusan itu menguntungkan atau tidak bagi pemohon penyelesaian sengketa, maka akan menerima dan percaya ketika putusan itu dipublikasikan dan cukup beralasan untuk terbukanya komentar dari khalayak publik. Tentunya host state sebaliknya akan diuntungkan karena akan menyebabkan investor lebih berhati- hati dalam melakukan investasi karena dengan publikasi putusan maka akan mengundang komentar masyarakat internasional yang dapat terpengaruh untuk melawan putusan tersebut dalam suatu wacana publik. Putusan yang beralasan 407 Cindy B. Guys., op.cit., hlm. 136-137. 408 Delaney Magraw, Procedural Transparency, The Oxford Handbook of International Investment Law, 2008, hlm. 762. 409 Cornel Marian, “Suistainable …, op.cit. Universitas Sumatera Utara 219 hukum 410 dan kemudian dipublikasi, akan menimbulkan kepercayaan publik terhadap majelis arbitrase yang netral dan tidak memihak. Sengketa Kardassapolous and Fuchs v. Georgia 411 menggambarkan pentingnya mengandalkan kepercayaan. Jika negara dikalahkan maka publikasi putusan memastikan bahwa masyarakat setidaknya sadar akan isu-isu yang mewajibkan pembayaran ganti rugi oleh negara. Bayangkan risiko untuk seorang investor dalam hal negara membayar putusan secara rahasia dan kemudian informasi ini diketahui publik maka akan berakibat turunnya kepercayaan publik. Jika masyarakat memiliki kepercayaan bahwa proses yang dilakukan adalah wajar, maka pelaksanaan atas putusan akan lebih disukai dan keterbukaan putusan mungkin juga dapat berperan penting dalam melakukan penekanan untuk melaksanakan putusan. 412 3. Keterbukaan putusan mewujudkan keadilan, prediktabilitas putusan, meningkatkan kualitas putusan dan rasionalitas sengketa. Era globalisasi ekonomi sekarang ini telah menghadirkan berbagai kejadian baru dalam perkembangan ekonomi dunia seperti terjadinya era pasar bebas dunia, interdependensi sistem baik dalam bidang politik maupun bidang ekonomi, lahirnya berbagai lembaga ekonomi internasional, pengelompokan negara dalam kawasan ekonomi regional dan sebagainya. Hal ini tentu tidak dapat dilaksanakan dalam 410 Fungsi dari putusan yang beralasan, adalah untuk memungkinkan hakim lebih kreatif mencari kesenjangan hukum, kewenangan yang disengketakan atau kewenangan yang lebih luas dari undang-undang bagi hakim untuk lebih kreatif . lihat dalam W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London : Stevens Sons Limited, 1960, hlm. 86. 411 Sengketa Kardassapolous and Fuchs v. Georgia, Putusan akhir, ICSID Case No. ARB0518 dan ICSID Case No. ARB0715, tanggal 3 Maret 2010, paragraph. 12 412 Cindy B. Guys., op.cit., hlm. 136-137. Universitas Sumatera Utara 220 kefakuman hukum dan kaidah-kaidah hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur mekanisme hubungan tersebut agar tidak terjadi konflik internasional dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Seandainya konflik itu tetap terjadi, maka pranata hukumlah yang mampu dan sangat diharapkan untuk menyelesaikannya. Hukum disamping untuk memberikan kepastian dalam berbisnis, juga untuk mencapai rasa keadilan bagi para pelaku tindak ekonomi di manapun berada. 413 Michael Sandel 414 bahkan mengatakan bahwa “in some cases, justice is not a virtue but a vice, justice is a remedial virtue whose moral advantage consist in the repair it works on fallen conditions ” dalam beberapa sengketa, keadilan bukanlah suatu kebajikan, tetapi mewakili, keadilan adalah kebajikan perbaikan yang memiliki keunggulan moral yang terdiri dari perbaikan kerja pada kondisi lemah, akan tetapi meskipun pendapat tersebut dianggap salah namun pendapat Sandel 415 membawa poin penting bahwa “although social justice is not predicated on individuals being selfish, it is a virtue designed to respond to the possibility of conflict and disagreement” meskipun keadilan sosial bukan merupakan bentuk keegoisan, namun dianggap sebagai kebaikan guna merespon kemungkinan konflik yang akan timbul. Keadilan berkaitan secara timbal balik dengan kegiatan bisnis. 416 Unger 417 mengatakan bahwa lawan bagi justifikasi oleh peraturan adalah keadilan, pengertian 413 H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cetakan ke-3, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006, hlm. 124. 414 Michael J. Sandel, Liberalism and the Limit of Justice, 2 nd edn., New York : Cambridge University Press, 1998, hlm.34. 415 Jon Mandle, Global Justice, USA : Polity Press, 2006, hlm. 18. 416 A. Sonny Keraf, Etika Bisnis : Tuntutan dan Relevansinya, Edisi Baru, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1998, hlm. 137. Universitas Sumatera Utara 221 keadilan intuitif dalam sengketa tertentu. Seorang formalis memandang keadilan itu tidak ada bentuknya, sebab keadilan tidak dapat dikodifikasikan sebagai sistem peraturan, dan tidak dapat dikatakan bersifat tirani karena semua pertimbangan moral bersifat subjektif, meskipun pertimbangan-pertimbangan itu dimiliki bersama secara luas. Sedangkan atas pengaruh Aristoteles 418 secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga macam yaitu : 1. Keadilan legal atau keadilan umum Ius Legalis, Iustitia Generalis, menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara sama oleh negara di hadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Keadilan dalam konteks ini bersifat vertikal dalam hubungan antara negara dan warga negara. 2. Keadilan komunitatif Iustitia Comutatifa, mengatur hubungan yang adil atau fair antara orang yang satu dan yang lain atau antar warga negara yang satu dan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dan warga yang lain. 3. Keadilan distributif atau keadilan ekonomi, adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warganegara. Keadilan distributif tidak membenarkan prinsip sama rasa sama rata keadilan komutatif dalam pembagian kekayaan ekonomi. Pembagian keadilan menurut pengarang modern, antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh John Boatright dan Manuel Velasquez 419 yaitu : 1. Keadilan distributif distributive justice, mempunyai pengertian yang sama pada pola tradisional, di mana benefits and burdens harus dibagi secara adil. 2. Keadilan retributif retributive justice, berkaitan dengan terjadinya kesalahan, di mana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil. 417 Roberto M. Unger,, Teori Hukum Kritis : Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, diterjemahkan oleh Dariyatno dan Derta Sri Widowatie dari judul aslinya : “Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory,” Cetakan V, Bandung : Nusa Media, 2011, hlm. 270. 418 A. Sonny Keraf, op.cit., hlm. 138-158. Bandingkan dengan E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hlm. 125 419 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta : Kanisius, 2000, hlm. 90-91. Universitas Sumatera Utara 222 3. Keadilan kompensatoris compensatory justice, menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain, di mana orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak lain yang dirugikan. Kajian mengenai teori keadilan yang berkembang pesat dewasa ini, tentunya tidak terlepas dari pendapat John Rawls, Guru Besar pada Harvard University yang terkenal dengan kritiknya terhadap teori-teori keadilan sebelumnya yang menurutnya dianggap gagal memberikan konsep keadilan yang tepat . Dalam karya besarnya “A History of Justice” Rawls menyatakan bahwa 420 kegagalan teori-teori terdahulu disebabkan oleh substansinya yang sangat dipengaruhi oleh utilitarianisme dan intuisionisme. Menurut Rawls meskipun utilitarianisme Ronald Dworkin menyebut utilitarianisme dengan goal-based theory telah mendominasi pandangan moral filsafat moral modern, namun utilitarianisme telah gagal menjamin keadilan sosial karena lebih mendahulukan azas manfaat daripada azas hak. Oleh karenanya utilitarianisme tidak tepat bila dijadikan basis untuk membangun suatu konsep keadilan. 421 Sementara itu terhadap intuisionisme yang dalam proses keputusan moral lebih mengandalkan kemampuan intuisi manusia, Rawls memberikan kritik karena intuisionisme tidak memberi tempat bagi rasionalitas. Dengan demikian, pertimbangan-pertimbangan serta keputusan-keputusan moral akan menjadi subyektif dan pada akhirnya kehilangan objektifitasnya. Dalam perspektif itu juga, perbagai 420 Andre Ata Ujan, keadilan dan Demokrasi Telaah Filsafat Politik John Rawls, Yogyakarta : Kanisius, 1999, hlm. 21. 421 Ibid. Universitas Sumatera Utara 223 generalisasi etis dapat disebut benar meskipun tidak didukung oleh argumen yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan. 422 Belajar dari kegagalan teori-teori terdahulu, Rawls mengajukan teori keadilan yang mampu menegakkan keadilan sosial sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara objektif. Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, di mana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Dalam konteks ini Rawls menyebut keadilan sebagai “fairness” yang ditandai adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. 423 Rawls merumuskan dua prinsip keadilan sebagai berikut : pertama, the great equal principle, di mana setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang ; kedua, the different principle, di mana ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga a diharapkan memberikan keuntungan bagi setiap orang dan b semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. 424 Keadilan distributif selanjutnya berkaitan dengan pembahasan asas kebebasan berkontrak dan otonomi para pihak dalam menentukan keterbukaan putusan arbitrase dalam Bab III. 422 Ibid. 423 Ibid., hlm. 71. 424 Ibid., hlm. 129. Lihat juga A. Sonny Keraf, op.cit., hlm. 152-155. Lihat juga K. Bertens, op.cit., hlm. 103. Sebagaimana dikutip dari John Rawls , A Theory of Justice 1971, Oxford : Oxford University Press, 1992, hlm. 302. Universitas Sumatera Utara 224 Keterbukaan putusan merupakan bagian dari penyelesaian sengketa yang adil dan seimbang, sebagaimana dalam putusan sengketa Mondev dikatakan bahwa 425 “to the modern eye, what is unfair or inequitable need not equate with the outrageous or the egregious. In particular, a State may treat foreign investment unfairly and inequitably without necessarily acting in bad faith ” umumnya, suatu negara dapat memperbaiki investasi asing yang dilakukan di negaranya dengan memilih bertindak adil atau tidak adil tanpa harus melakukan tindakan dengan itikad buruk. Pertimbangan putusan Mondev tersebut menunjukkan bahwa keadilan, keseimbangan, perlindungan dan keamanan adalah merupakan elemen standar penyelesaian sengketa dalam hukum internasional. Pandangan yang sama juga terdapat dalam sengketa Waste Management v. Mexico, ditahun 2004 yang pertimbangan putusannya menyatakan bahwa : 426 The minimum standard of treatment of fair and equitable treatment is infringed by conduct attributable to the State and harmful to the claimant if the conduct is arbitrary, grossly unfair, unjust or idiosyncratic, is discriminatory and exposes the claimant to sectional or racial prejudice, or involves a lack of due process leading to an outcome which offends judicial propriety as might be the case with a manifest failure of natural justice in judicial proceedings or a complete lack of transparency and candour in an administrative process. In applying this standard it is relevant that the treatment is in breach of representations made by the host State which were reasonably relied on by the claimant. Terjemahan : Standar minimum pemulihan perlakuan yang adil dan merata yang telah dilanggar oleh tindakan negara dan berbahaya bagi penggugat jika tindakan tersebut adalah sewenang-wenang, tidak adil, tidak benar atau khusus, bersifat 425 Sengketa Mondev International Ltd. v. United States, ICSID Case No. ARBAF992, putusan tanggal 11 Oktober 2002, paragraph 116, diakses dari http:www.investmentclaims.comdecisionsMondev-US-Award-11Oct2002.pdf dan http:www.state.govdocumentsorganization14442.pdf. 426 Sengketa Waste Management v. Mexico ICSID Case No. ARBAF982, Putusan tanggal 30 April 2004, paragraph 98, diakses dari http:www.investmentclaims.comdecisionsWasteMgmt- Mexico-2-FinalAward-30Apr2004.pdf Universitas Sumatera Utara 225 diskriminatif dan menunjukkan penggugat berprasangka secara rasial, atau kurang melibatkan proses yang mengarah kepada hasil yang menyinggung kepatutan peradilan yang mungkin terjadi dengan kegagalan nyata atas sifat keadilan dalam proses hukum atau kurangnya transparansi dan kejujuran dalam proses administrasi. Dalam menerapkan standar ini relevan bahwa pemulihan tersebut melanggar pernyataan yang dibuat oleh negara tuan rumah yang cukup beralasan bagi penuntut. Di sisi lain beberapa sengketa ICSID seperti MTD Equity v. Chile pada tahun 2004 mempertimbangkan bahwa : 427 In terms of the BIT, fair and equitable treatment should be understood to be treatment in an even-handed and just manner, conducive to fostering the promotion of foreign investment. Its terms are phrased as a pro-active statement –“to promote”, “to create”, “to stimulate” rather than prescriptions for a passive behaviour of the State or avoidance of prejudicial conduct to the investors. Terjemahan : Dalam BIT, perlakuan yang adil dan merata harus dipahami sebagai pemulihan secara adil dan hal benar, kondusif untuk mendorong promosi investasi asing. Bentuknya diungkapkan sebagai pernyataan pro-aktif - untuk mempromosikan, untuk membuat, untuk merangsang daripada alasan untuk perilaku pasif negara atau menghindari perilaku merugikan bagi investor. Kemudian pendapat yang serupa terdapat dalam Putusan CMS v. Argentina yang mengatakan bahwa “fair and equitable treatment is inseparable from stability and predictability. ” 428 Demikian juga dalam sengketa Occidental v. Ecuador 427 Sengketa MTD Equity Sdn. Bhd. and MTD Chile S.A. v. Republic of Chile ICSID Case No. ARB017, Putusan tanggal 25 Mei 2004, paragraph 113, diakses dari http:www.investmentclaims.comdecisionsMTDChile-Award-25May2004.pdf dan http:www.asil.orgilibMTDvChile.pdf. 428 Sengketa CMS Gas Transmission Company v. Argentine Republic ICSID Case No. arb018, Putusan tanggal 12 Mei 2005, paragraph 276 dan 278, diakses dari http:www.investmentclaims.comdecisionsCMS-Argentina-FinalAward-12May2005.pdf dan https:icsid.worldbank.orgICSIDFrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRHactionVal=ListConclu ded . Universitas Sumatera Utara 226 mengemukakan pendapat yang sama. 429 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut bahwa keterbukaan yang dilakukan dalam arbitrase, yang bahkan sebagian telah diperjanjikan melalui BIT adalah ditujukan bagi perlindungan terhadap investor dari tindakan sewenang-wenang negara dan juga melindungi negara dari itikad buruk investor dalam melakukan investasi di negara tersebut, dengan kata lain keterbukaan putusan arbitrase ICSID akan memberikan perlindungan timbal balik antara negara dan investor. Selain keterbukaan putusan, ICSID mewakili ide terhadap akses kesamaan anggota Konvensi untuk mencapai harapannya, ini terbukti bahwa dari 470 sengketa yang ditangani oleh ICSID pending cases dan concluded cases juga terdapat 4 empat sengketa yang diajukan oleh host state atau badan negara melawan investor yaitu : 1. Tahun 1976, sengketa Gabon v. Societe Serete S.A.ICSID Case No.ARB761. 2. Tahun 1998, sengketa Tanzania v. Independent Power Tanzania Limited ICSID Case No.ARB988. 3. Tahun 2007, sengketa Government of The Province of East Kalimantan v. PT. Kaltim Prima Coal and Others ICSID Case No.ARB073. 4. Tahun 2012, sengketa Republic of Equatorial Guinea v. CMS Energy corporation and other ICSID Case No. CON AF1212. 429 Sengketa Occidental Exploration and Production Company v. Ecuador, ICSID Case No. ARB0611, putusan tanggal 1 Juli 2004, paragraphs 185-191, http:www.investmentclaims.comdecisionsOccidental-Ecuador-FinalAward-1Jul2004.pdf Universitas Sumatera Utara 227 Dari beberapa sengketa di atas terlihat bahwa keterbukaan putusan yang didukung oleh akses kesamaan hak maka akan meningkatkan perlindungan bagi investor dan host state karena tidak saja memberikan hak kepada investor untuk menuntut host state, tetapi juga terdapat hak host state untuk menuntut negara. Keadilan sebagai fairness ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas. Dengan keterbukaan maka akan tercapai pula putusan yang adil dan seimbang berkaitan dengan stabilitas dan dapat diprediksi, oleh karenanya keterbukaan putusan arbitrase bagi investor dan host state adalah sangat penting karena dengan terbuka maka dapat terlihat apakah putusan yang dijatuhkan oleh majelis arbitrase itu adalah putusan yang adil dan seimbang. Jelas bahwa pertimbangan transparansi, stabilitas dan prediktabilitas 430 adalah merupakan hal yang diperhitungkan oleh majelis arbitrase. Unsur prediktabilitas ini jelas sudah dapat dianggap sebagai unsur yang sudah dipenuhi oleh hukum perdagangan transnasional. Selo Sumardjan 431 menjelaskan bahwa keadilan merupakan suatu keadaan serasi yang membawa ketentraman di dalam hati orang, yang apabila diganggu akan menimbulkan keguncangan. Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa keadilan senantiasa mengandung unsur penghargaan. Rasa akan keadilan telah dibawa oleh manusia sedari kecilnya, pengalaman sehari-hari lama kelamaan menimbulkan keinsyafan atas diri manusia 430 Emmanuel Gaillard berpendapat bahwa unsur prediktabilitas dalam sebuah sistem hukum akan “enable the parties to assess the likely outcome of any diverging views that may arise” dalam Emmanuel Gaillard, “Transnational Law : A Legal System or a Method of Decision Making,” dalam “The Practice of Transnational Law,” K.P. Berger ed, England : Kluwer Law International, 2001, hlm. 63-64. 431 Selo Sumardjan, Peranan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan, Jakarta : UI, 1972, hlm. 22. Universitas Sumatera Utara 228 dengan patokan bahwa barangsiapa yang berjasa harus menerima anugerah dan siapa yang berbuat salah harus menerima hukuman yang setimpal dengan kesalahannya, maka keadilan akan ada apabila setiap golongan merasa dirinya mendapat penghargaan yang sewajarnya dari golongan-golongan lain sedangkan setiap golongan itu tidak merasa dirugikan karena perbuatan kegiatan golongan lain. Melalui keterbukaan, investor memiliki kepentingan dalam mengetahui perlindungan apa yang diperoleh dalam wilayah negara asing dan rakyat memiliki hak untuk mengetahui lingkup atau nilai kewenangan peraturan pemerintah yang mungkin berdampak kepada rakyat akibat adanya perjanjian. Dengan demikian, perlindungan terhadap investor dapat dilakukan melalui keterbukaan informasi dalam hal ini keterbukaan putusan arbitrase yang melibatkan negara dan investor. Dengan begitu maka akan ditemukan suatu penyelesaian sengketa yang dapat diprediksi dan dapat menjamin keseimbangan dan keadilan putusan bagi para pihak sebab keadilan tidak hanya suatu prinsip tapi juga keinginan tiap individu, sebagaimana dikatakan W. Friedman 432 bahwa “the postulates of justice are not only principles of order existing independently of man, but also the will of the individual, a measure of his moral justification and destination” keadilan bukan hanya suatu prinsip tatanan yang ada secara independen dari manusia, tetapi juga merupakan kehendak individu, ukuran pembenaran moral dan tujuan yang ingin dicapai oleh semua pihak. 432 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London : Stevens Sons Limited, 1960, hlm. 103-104. Universitas Sumatera Utara 229 Kaitan dengan kepastian hukum adalah keterbukaan dalam perdagangan internasional dan hukum investasi akan menghasilkan prediktibilitas dan membantu perkembangan perdagangan dan investasi. 433 Soerjono Soekanto dalam bukunya menjelaskan bahwa kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan- peraturan umum atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku umum. Supaya tercipta suasana yang aman dan tenteram di dalam masyarakat, maka kaidah-kaidah termaksud harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan tegas. Untuk kepentingan itu, maka kaidah-kaidah hukum tersebut harus diketahui sebelumnya dengan pasti. Hal ini berarti kepastian hukum harus terwujud dalam peraturan-peraturan atau regel belaka, akan tetapi mungkin juga terwujud di dalam keputusan-keputusan pejabat yang berwenang. Singkatnya, kepastian hukum adalah kepastian oleh karena hukum dan kepastian hukum itu sendiri. 434 Keterbukaan tidak hanya berfungsi melindungi investor atau pihak yang terkait lainnya, tetapi juga meningkatkan tingkat kepastian hukum pada negara yang membuat kebijakan tertentu secara objektif. 435 Selanjutnya, keterbukaan putusan arbitrase membangun konsistensi hukum investasi karena dengan mempublikasikan seluruh putusan maka kualitas putusan akan meningkat dan sengketa hukumnya menjadi lebih rasional serta para pihak akan menggantungkan pengalaman dan harapan atas putusan yang telah ada. Melalui keterbukaan putusan maka para pihak tidak akan mengajukan tuntutan dan tanggapan 433 Carl-Sebastian Zoellner, op.cit., hlm.627. 434 Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Bagi Kalangan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 48-51. 435 Carl-Sebastian Zoellner, op.cit., hlm. 628. Universitas Sumatera Utara 230 tanpa disertai oleh bukti-bukti yang sah dan akurat yang akan mempengaruhi arbiter dalam menjatuhkan putusan, demikian juga arbiter tidak akan memberi pertimbangan putusan dengan memberi pendapat yang tidak berdasarkan hukum sehingga merugikan salah satu pihak, dengan kata lain bahwa segala sesuatu dilakukan dengan dasar hukum dan sifat kehati-hatian yang diharapkan putusan yang dihasilkan akan menciptakan keadilan, bermanfaat bagi para pihak, negara dan masyarakat serta menciptakan kepastian hukum.

4. Keterbukaan putusan sebagai bentuk perwujudan asas pemerintahan yang baik

Dokumen yang terkait

Penerapan prinsip arbitrase di indonesia dalam studi sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV): analisis putusan MA No. 862 K/Pdt/2013

11 60 165

PERANAN AMDAL DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA ASIA TENGGARA.

5 146 1

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA ASING MELALUI ARBITRASE INTERNATIONAL CENTRE FOR SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES (ICSID ).

0 1 6

PENCABUTAN PENASEHAT HUKUM DALAM ARBITRASE DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAJELIS ARBITRASE ICSID ATAS DASAR MEMBAHAYAKAN PERSIDANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN ARBITRASE DI INDONESIA.

0 0 2

Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia

0 1 17

BANDING ATAS PUTUSAN ARBITRASE DI INDONESIA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 224

Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 2 35

BAB II PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID ANTARA INVESTOR ASING DENGAN HOST STATE H. Prinsip Keterbukaan - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

1 1 199

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 0 56

PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA DISERTASI

0 1 19