Sengketa Penanaman Modal Asing Di Indonesia.

320 merupakan kategori informasi yang dikecualikan dalam Pasal 17 tersebut di mana publikasi tersebut telah lebih dulu dilakukan oleh Mahkamah Agung sebelum lahirnya undang-undang ini. Selanjutnya Pasal 18 ayat 2 huruf a juga mengatur bahwa tidak termasuk informasi yang dikecualikan apabila pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis. Oleh karenanya berdasarkan UU KIP, maka putusan arbitrase ICSID juga bukan termasuk suatu bentuk putusan yang wajib dirahasiakan.

B. Sengketa Penanaman Modal Asing Di Indonesia.

Indonesia adalah negara yang sedang berkembang dan berusaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan dalam rangka pembangunan yang merata. Pembangunan yang dilakukan termasuk di dalamnya kegiatan penanaman modal yang menunjang bertambahnya sumber dana yang dibutuhkan oleh pemerintah. Melalui sistem ekonomi yang terbuka, Indonesia memberi peluang bagi investor asing untuk melakukan investasi di negaranya. Mudahnya akses menuju modal internasional dengan melibatkan para pemodal asing dalam pasar domestik adalah merupakan salah satu keuntungan pasar modal yang kuat dan sehat ditinjau dari sudut kepentingan nasional, sehingga mempunyai peran yang penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. 595 Motif utama perusahaan terletak pada masalah kebutuhan modal bagi perusahaan bersangkutan 595 Iman Sjahputra, Pengantar Hukum Pasar Modal, Jakarta : Harvarindo, 2012, hlm. 60. Universitas Sumatera Utara 321 demi memajukan dan mengembangkan usahanya dengan menjual saham pada pemilik modal atau investor baik perorangan maupun lembaga-lembaga usaha, sedangkan bagi pemodal atau investor adalah mengharapkan memperoleh tambahan penghasilan bagi modalnya dalam bentuk deviden atau capital gain. 596 Untuk membantu pembangunan ekonominya negara menerima investasi dari sektor swasta melalui pasar modal yang tentunya harus didukung oleh perbaikan sistem hukum yang memadai untuk itu sebagaimana dikatakan oleh Buscaglia dan Ratliff 597 bahwa “the state is perceived to be in urgent need of improving its institutional capacity to facilitate the participation of the private sector in economic development ” negara dianggap membutuhkan peningkatan kapasitas kelembagaan untuk memfasilitasi partisipasi sektor swasta dalam pembangunan ekonomi. Tentunya untuk mencapai pertumbuhan pasar modal maka diperlukan beberapa upaya untuk itu yang salah satunya adalah menegakkan keterbukaan yang memadai, melalui penyajian informasi ekonomi dan keuangan, baik secara makro maupun mikro. 598 Di bidang penanaman modal, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan berlaku efektif awal tahun 1996 yang mana didalamnya mengatur tentang penyediaan infomasi berkaitan dengan transparansi oleh emiten. Perlindungan dibutuhkan berkaitan dengan perubahan mendasar yang biasanya terjadi misalnya perubahan hukum, perubahan keuangan dan 596 Nindyo Pramono, Sertifikasi Saham PT Go Public Dan Hukum Pasar Modal Di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 133-134. 597 Edgardo Buscaglia William Ratliff, Law and Economics In Developing Countries, USA : Hoover Institution Press Publication, 2000, hlm. 1. 598 Iman Sjahputra , Ibid, hlm. 61. Universitas Sumatera Utara 322 segi bisnis lainnya. Melalui keterbukaan informasi maka investor menerima informasi yang jelas dan tercipta pasar modal yang fair, teratur dan efisien sebagaimana yang didambakan oleh investor sebagai bentuk perlindungan dari praktek bisnis yang tidak sehat dan tidak jujur. Keterbukaan yang dimaksud dalam pasar modal secara umum adalah keterbukaan informasi berkaitan resiko usaha yang akan timbul di kemudian hari dan jika informasi diterima investor dalam waktu dan kualitas yang sama maka tercipta pasar modal yang fair dan teratur. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Bab IV : Acara Yang Berlaku Di Hadapan Majelis Arbitrase, Bagian Pertama, Pasal 27 menyatakan bahwa ”Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. ” Berarti yang diatur secara tegas adalah proses arbitrase yang harus tertutup untuk umum, sedangkan mengenai putusan diserahkan kepada kesepakatan para pihak untuk membuka atau merahasiakan putusan yang melibatkan para pihak. Penjelasan Pasal 27 menguraikan bahwa “pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum, h al ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase.” Berdasarkan uraian pasal tersebut diketahui bahwa arbitrase di Indonesia secara umum mengatur dengan jelas mengenai kerahasiaan proses pemeriksaan sengketa arbitrase, akan tetapi tidak secara tegas mengatur mengenai publikasi putusan sebagaimana Konvensi ICSID, melainkan selanjutnya akan tergantung pada para pihak. Kenyataan yang ada saat ini di Indonesia, telah banyak juga putusan arbitrase Universitas Sumatera Utara 323 komersial yang dipublikasi padahal merupakan sengketa antara privat dengan privat, baik itu akibat permintaan exequatur guna pelaksanaan putusan kepada Mahkamah Agung maupun atas kemauan para pihak sendiri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang hingga saat ini belum ada peraturan pelaksanaannya dan juga tidak menegaskan kembali mengenai keterbukaan putusan arbitrase, mengakibatkan secara umum dapat dikatakan bahwa Indonesia juga tidak mengatur mengenai keterbukaan atau kerahasiaan secara tegas berkaitan dengan sengketa investasi yang tunduk pada Konvensi ICSID, melainkan diserahkan pada kesepakatan para pihak. Keterbukaan putusan dianggap sebagai bentuk keterbukaan informasi sehingga investor dapat mengetahui ”image” suatu negara dalam hubungannya dengan investasi dan sebaliknya. Memang di sisi lain keterbukaan putusan arbitrase mengakibatkan turunnya ”image” suatu negara atau investor, namun keterbukaan putusan juga menyebabkan suatu investor atau negara dapat memprediksi akan melakukan investasi ataupun menerima investasi dan secara praktek bisnis investor dapat menghitung keuntungannya jika menerima atau tidak menerima hubungan investasi dimaksud, inilah bentuk perlindungan bagi investor dalam keterbukaan putusan arbitrase. Berkaitan dengan investasi, hingga saat ini Indonesia telah menandatangani 71 Bilateral Investment Treaty BIT sebagai berikut : 599 599 Sumber : http:investmentpolicyhub.unctad.orgIIACountryBits97iiaInnerMenu, diakses tanggal 2 Februari 2015. Universitas Sumatera Utara 324 Tabel 8 : Daftar BIT Indonesia No. Negara Tanggal Tandatangan Tanggal Berlaku 1. Algeria 21 Maret 2000 - 2. Argentina 07 November 1995 01 Maret 2001 3. Australia 17 November 1992 29 Juli 1993 4. Bangladesh 09 Februari 1998 22 April 1999 5. Belgium-Luxembourg 15 Januari 1970 17 Juni 1972 6. Bulgaria 13 September 2003 23 Januari 2005 7. Cambodia 16 Maret 1999 - 8. Chili 07 April 1999 - 9. China 18 November 1994 01 April 1995 10. Croatia 10 September 2002 - 11. Cuba 19 september 1997 29 September 1999 12. Czech Republic 17 September 1998 21 Juni 1999 13. Denmark 30 Januari 1968 02 Juli 1968 14. Denmark 22 Januari 2007 - 15. Mesir, Republik Arab 19 Januari 1994 29 November 1994 16. Finlandia 13 Maret 1996 30 Mei 1997 17. Finlandia 12 September 2006 02 Agustus 2008 18. Prancis 14 Juni 1973 29 April 1975 19. Jerman 08 Novermber 1968 19 April 1971 20. Jerman 14 Mei 2003 02 Juni 2007 21. Guyana 30 Januari 2008 - 22. Hungaria 20 Mei 1992 13 Februari 1996 23. India 08 Februari 1999 22 Januari 2004 24. Iran 22 Juni 2005 28 Maret 2009 25. Italia 25 April 1991 24 Juni 1995 26. Jamaica 10 Februari 1999 - 27. Jordania 12 November 1996 09 Februari 1999 28. Republik Korea 16 Februari 1991 10 Maret 1994 29. Rep. Demokrasi Korea 21 Februari 2000 - 30. Republik Kirgiztan 18 Juli 1995 20 Maret 1997 31. Rep. Demokrasi Laos 18 Oktober 1994 05 Juli 1995 32. Libya 04 April 2009 - 33. Malaysia 22 Januari 1994 - 34. Mauritus 05 Maret 1997 28 Maret 2000 35. Mongolia 04 Maret 1997 13 April 1999 36. Morocco 14 Maret 1997 21 Maret 2002 Universitas Sumatera Utara 325 37. Mozambique 26 Maret 1999 25 Juli 2000 38. Belanda 07 Juli 1968 17 Juli 1971 39. Belanda 06 April 1994 01 Juli 1995 40. Norwegia 26 November 1969 - 41. Norwegia 26 November 1991 01 Oktober 1994 42. Pakistan 08 Maret 1996 03 Desember 1996 43. Philipina 12 November 2001 - 44. Polandia 06 Oktober 1992 01 Juli 1993 45. Qatar 18 April 2000 - 46. Romania 26 Juni 1997 21 Agustus 1999 47. Federasi Rusia 06 September 2007 15 Oktober 2009 48. Saudi Arabia 15 September 2003 05 Juli 2004 49. Serbia 06 September 2011 - 50. Singapura 28 Agustus 1990 28 Agustus 1990 51. Singapura 16 Februari 2005 21 Juni 2006 52. Republik Slovakia 12 Juli 1994 01 Maret 1995 53. Spanyol 30 Mei 1995 18 Desember 1996 54. Sri Lanka 10 Juni 1996 21 Juli 1997 55. Sudan 10 Februari 1998 - 56. Suriname 28 Oktober 1995 - 57. Swedia 17 September 1992 18 Februari 1993 58. Switzerland 06 Februari 1974 09 April 1976 59. Siria 27 Juni 1997 20 Februari 2000 60. Tajikistan 28 Oktober 2003 - 61. Thailand 19 Juni 1998 05 November 1998 62. Tunisia 13 Mei 1992 12 September 1992 63. Turki 25 Februari 1997 28 September 1998 64. Turkmenistan 02 Juni 1994 - 65 Ukraina 11 April 1996 22 Juni 1997 66. Inggris Raya dan Irlandia Utara 27 April 1976 24 Maret 1977 67. Uzbekistan 27 Agustus 1996 27 April 1997 68. Venezuela 18 Desember 2000 23 Maret 2003 69. Vietnam 25 Oktober 1991 03 April 1994 70 Yaman 20 Februari 1998 - 71 Zimbabwe 10 Februari 1999 - Universitas Sumatera Utara 326 Perkembangan terbaru dari instrumen investasi internasional yang tercantum dalam BIT yang telah dimiliki oleh Indonesia berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari 71 BIT tersebut di atas, Indonesia telah menandatangani 43 perjanjian BIT secara tertulis yaitu BIT dengan negara Mongolia, Algeria, Australia, Banglades, Belgia, Kamboja, Republik Cezhna, China, Cili, Croatia, Cuba, Denmark, Finlandia, Jerman, Inggris, Jamaika, Jordan, Kyrgyz, Korea, Laos, Malaysia, Mauritus, mesir, Mozambiq, Belanda, Norwegia, Pakistan, Romania, Serbia, Singapura, Syria, Slovakia, Spanyol, Sri Lanka, Sudan, Swedia, Thailand, Turki, Ukraina, Uzbekistan, Vietnam, Yaman dan Zimbabwe, di mana dalam BIT dengan negara-negara tersebut tidak ada yang menyinggung mengenai isu prosedural keterbukaan secara umum dan keterbukaan putusan arbitrase secara khusus, namun menyerahkan pada keputusan arbitrase ICSID atau arbitrase UNCITRAL mendatang jika terjadi sengketa, kecuali 2 jenis BIT yang mencantumkan soal keterbukaan dalam perjanjiannya yaitu Pasal 10 BIT antara Indonesia dengan Australia dan Pasal 13 BIT antara Indonesia dengan Serbia yang keduanya mengatur keterbukaan dan sekaligus memberi batasan mengenai informasi yang dirahasiakan oleh kedua belah pihak dalam pasal tersebut. Dari BIT yang telah ada, maka terjadi perjanjian penanaman modal dan beberapa di antaranya telah menimbulkan sengketa yang telah dimintakan penyelesaiannya melalui Lembaga ICSID. Sengketa penanaman modal yang melibatkan investor asing dengan Indonesia yang diselesaikan melalui arbitrase ICSID adalah : Universitas Sumatera Utara 327 1. Sengketa Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB811. Sengketa ini berkisar mengenai pencabutan lisensi penanaman modal yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap investor Hotel Kartika Plaza. Sengketa ini didaftarkan pada tanggal 27 Februari 1981, kemudian ditetapkan Majelis Arbiternya pada tanggal 31 Maret 1982 yaitu Berthold Goldman Paris sebagai Presiden, dan anggotanya adalah Isi Foighel Denmark dan Edward W. Rubin Kanada. Putusan pertama dijatuhkan pada tanggal 20 November 1984. Duduk perkaranya adalah pihak investor mendalilkan bahwa investor telah diberi lisensi selama 30 tahun, tetapi baru 9 tahun beroperasi, lisensi tersebut dicabut oleh Ketua BKPM karena adanya usaha mengambil alih dari partner Indonesia yaitu PT. Wisma Kartika yang juga sekaligus pemilik dari tanah serta hotel bersangkutan. Investor mendalilkan bahwa Republik Indonesia telah melakukan pencabutan hak milik expropriation atau nationalization dari hotel bersangkutan. Melalui Majelis Arbitrase diputuskan bahwa tidak ada pencabutan hak milik melainkan pengambilalihan hak penggugat investor dalam pengelolaan tanah serta bangunan oleh PT. Wisma Kartika tanpa melalui saluran hukum dan dianggap membantu diri sendiri seca ra illegal atau “main hakim sendiri” illegal self help karena data pengambilalihan, di lokasi telah ada polisi dan tentara sehingga pihak Republik Indonesia dipersalahkan karena tidak memberikan perlindungan yang wajar kepada investor asing dan dianggap melakukan suatu “international wrong” dan Indonesia harus membayar ganti rugi Universitas Sumatera Utara 328 kepada investor PT. Amco sebesar US 3.200.000 ditambah bunga sejak gugatan diajukan hingga lunas dibayar. 600 Selanjutnya diajukan gugatan pembatalan oleh pihak Pemerintah Indonesia, didaftar pada tanggal 27 Maret 1985, dengan penetapan komisi Ad hoc tanggal 22 April 1985 yaitu : Ignaz Seidl-Hohenveldern Austria sebagai presiden komisi dan anggotanya adalah Florentino P. Feliciano Filipina dan Andrea Giardina Italia. Dalam gugatan ini Indonesia dimenangkan dalam Putusan tanggal 16 Mei 1986 dan putusan pertama digugurkan sehingga pihak Indonesia tidak harus membayar kerugian sebagaimana putusan pertama. Kemudian atas ketidakpuasannya, investor mengajukan gugatan pembatalan putusan kedua tersebut yang terdaftar pada tanggal 24 Juni 1987, dengan penetapan Majelis Arbitrase pada tanggal 20 Oktober 1987 yaitu : Rosalyn Higgins Inggris sebagai presiden dan anggotanya adalah Marc Lalonde Kanada dan Per Magid Denmark yang menjatuhkan putusan tanggal 5 Juni 1990 dengan amar menerima gugatan pembatalan pihak AMCO tetapi terjadi penurunan jumlah kerugian yang dibayar yaitu menjadi US 2.567.966.20 dengan bunga 6 setahun dan dihitung sejak tanggal putusan ini. Atas putusan ini pihak AMCO dan Indonesia keduanya mengajukan pembatalan lagi pada tanggal 6 Agustus 1990 dan dijatuhkan putusan tanggal 17 Oktober 1990. 600 Putusan ICSID Case ARB811, paragraph 178. Lihat juga Sudargo Gautama, Arbitrase Bank Dunia Tentang Penanaman Modal Asing Di Indonesia dan Yurisprudensi Indonesia Dalam Perkara Hukum Perdata Internasional, Bandung : Alumni, 1994, hlm. 1-3. Lihat juga Sudargo Gautama, Hukum Dagang Arbitrase Internasional, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 17-220. Lihat juga Sudargo Gautama, Aneka Hukum Arbitrase Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia yang Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 29-220. Universitas Sumatera Utara 329 Gugatan pembatalan kedua didaftarkan tanggal 18 Oktober 1990, lalu ditetapkan komisi Ad hoc tanggal 30 January 1991 yaitu : Sompong Sucharitkul Thailand sebagai presiden, dengan anggota yaitu Arghyrios A. Fatouros Yunani dan Dietrich Schindler Swiss. Dengan putusan tanggal 17 Desember 1992 yang menolak gugatan pembatalan kedua dan menguatkan putusan Tim Rosalyn Higgins tanggal 17 Oktober 1990 dengan alasan bahwa jika terus menerus dibatalkan maka seluruh sistem arbitrase ICSID mengenai penanaman modal akan menjadi lapuk. 601 Sengketa ini berkaitan dengan tindakan negara yang telah mencabut izin penanaman modal sehingga menimbulkan kerugian bagi investor. Putusan ini telah dipublikasi melalui website ICSID dan beberapa jurnal internasional serta merupakan perkara yang menghabiskan waktu yang cukup lama yaitu selama 12 tahun. 2. Sengketa Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB1240 dan 1214. Sengketa ini berkisar mengenai proyek pertambangan batubara. Sengketa ini didaftarkan pada tanggal 26 Desember 2012, kemudian ditetapkan Majelis Arbiternya pada tanggal 22 Januari 2013 yaitu Gabrielle Kaufmann- Kohler Swiss sebagai Presiden, dan anggotanya adalah Michael Hwang Singapura dan Albert Jan Van Den Berg Belanda. Sengketa ini di hentikan sementara pending pada tanggal 12 Mei 2014 karena terdapat masalah yurisdiksi di mana permintaan prosedur procedural order dan putusan 601 Sudargo Gautama, Ibid., hlm. 5. Universitas Sumatera Utara 330 kewenangannya decision on jurisdiction dipublikasikan melalui website ICSID. 602 3. Sengketa Government of the Province of East Kalimantan v. PT Kaltim Prima Coal and others ICSID Case No. ARB073. Sengketa ini berkisar mengenai perjanjian pertambangan batubara. Sengketa ini didaftarkan pada tanggal 18 Januari 2007, kemudian ditetapkan Majelis Arbiternya pada tanggal 12 April 2007 yaitu Gabrielle Kaufmann-Kohler Swiss sebagai Presiden, dan anggotanya adalah Albert Jan Van Den Berg Belanda dan Michael Hwang Singapura. Perkara ini dihentikan sementara pending dengan putusan mengenai yurisdiksi pada tanggal 28 Desember 2009 dan telah dipublikasi melalui website ICSID. 603 4. Sengketa Churchill Mining and Planet Mining Pty Ltd, formerly v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB1214 and 1240. Sengketa ini berkisar mengenai proyek pertambangan batubara. Sengketa ini didaftarkan pada tanggal 22 Juni 2012, kemudian ditetapkan Majelis Arbiternya pada tanggal 03 Oktober 2012 yaitu Gabrielle Kaufmann-Kohler Swiss sebagai Presiden, dan anggotanya adalah Albert Jan Van Den Berg Belanda dan Michael Hwang Singapura. Sengketa ini dihentikan sementara pending case pada tanggal 12 Mei 2014 karena terdapat masalah yurisdiksi 602 https:icsid.worldbank.orgICSIDFrontServlet?requestType=GenCaseDtlsRHactionVal=Li stPending 603 Ibid. Universitas Sumatera Utara 331 decision on jurisdiction yang putus tanggal 24 Februari 2014 serta telah dipublikasikan melalui website ICSID. 604 5. Sengketa Cemex Asia Holdings Ltd v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB043. Sengketa ini berkisar mengenai perusahaan produksi semen. Sengketa ini didaftarkan pada tanggal 24 Januari 2004, kemudian ditetapkan Majelis Arbiternya pada tanggal 10 Mei 2004 yaitu L. Yves Fortier Canadian sebagai Presiden, dan anggotanya adalah Robert von Mehren U.S. dan Brigitte Stern French. Putusan dijatuhkan pada tanggal 23 Februari 2007. Putusan dijatuhkan pada tanggal 23 Februari 2007, sesuai dengan Aturan 43 2 ICSID Arbitration Rules dan tidak dipublikasikan. 6. Sengketa Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB1113. Sengketa ini berkisar mengenai perusahaan perbankan. Sengketa ini didaftarkan pada tanggal May 19, 2011, kemudian ditetapkan Majelis Arbitrasenya pada tanggal September 21, 2011 yaitu Gavan Griffith Australian sebagai Presiden, dan anggotanya adalah Joan Donoghue U.S dan Muthucumaraswamy Sornarajah Australian. Putusan dijatuhkan pada tanggal 16 Juli 2013 mengenai yurisdiksi dengan perbedaan pendapat dari arbiter Muthucumaraswamy Sornarajah Australia, di mana putusan dan pendapat tersebut dipublikasikan melalui website ICSID. 604 Ibid. Universitas Sumatera Utara 332 Kemudian diajukan tuntutan pembatalan pada tanggal 15 November 2013 oleh M. Rafat Ali Risvi dan penetapan Komisi Ad hoc tanggal 05 Desember 2013 yaitu Andrés Rigo Sureda Spanyol sebagai Presiden, dengan anggotanya yaitu : Teresa Cheng China dan Christoph H. Schreuer Austria yang dihentikan sementara pending sesuai Procedural Order No. 1 berkaitan Procedural tanggal 20 Februari 2014 berdasarkan Pasal 52 3 Konvensi ICSID.

C. Prinsip Keterbukaan Putusan Pengadilan Di Indonesia.

Dokumen yang terkait

Penerapan prinsip arbitrase di indonesia dalam studi sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV): analisis putusan MA No. 862 K/Pdt/2013

11 60 165

PERANAN AMDAL DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA ASIA TENGGARA.

5 146 1

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA ASING MELALUI ARBITRASE INTERNATIONAL CENTRE FOR SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES (ICSID ).

0 1 6

PENCABUTAN PENASEHAT HUKUM DALAM ARBITRASE DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAJELIS ARBITRASE ICSID ATAS DASAR MEMBAHAYAKAN PERSIDANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN ARBITRASE DI INDONESIA.

0 0 2

Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia

0 1 17

BANDING ATAS PUTUSAN ARBITRASE DI INDONESIA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 224

Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 2 35

BAB II PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID ANTARA INVESTOR ASING DENGAN HOST STATE H. Prinsip Keterbukaan - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

1 1 199

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 0 56

PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA DISERTASI

0 1 19