281 internasional yang ”qualified” dan merupakan salah satu pilihan dalam arbitrase
institusional yang umumnya pihak yang berperkara di sana adalah pihak-pihak yang berbeda negara cross-border parties.
524
Oleh karenanya wajar jika Singapura telah dipilih menjadi tempat penyelesaian sengketa dalam arbitrase ICSID, misalnya dalam
proses penyelesaian sengketa White Industries v. India dan perkara Phillip Morris v. Australia.
Dengan demikian, meskipun Singapura belum pernah mengajukan atau dituntut melalui arbitrase ICSID, namun Singapura tidak mewajibkan kerahasiaan
dalam arbitrase secara tertulis dalam undang-undangnya dan tidak diatur secara limitatif tentang kewajiban kerahasiaan arbitrase.
D. Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase Di Jepang
Masyarakat Jepang saat ini dan secara internasional telah mulai meninggalkan proses litigasi dan beralih kepada prosedur non litigasi. Non litigasi di sini adalah
mencakup kompromi, konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Arbitrase dan ADR digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah sengketa baik itu sengketa
komersial, investasi maupun sengketa keluarga pada tingkat nasional dan internasional. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang biasanya prosesnya
lebih cepat, lebih murah, lebih sederhana dan lebih fleksibel. Meskipun Jepang memiliki tekhnologi dan kehidupan modern, namun
menurut Yosiyuki Noda bahwa bagi seorang Jepang terhormat, hukum adalah sesuatu
524
Frans Hendra Winarta, op.cit., hlm. 164.
Universitas Sumatera Utara
282 yang tidak disukai, malahan dibenci, mengajukan seseorang kepengadilan untuk
menjamin perlindungan kepentingannya, meskipun dalam urusan perdata adalah merupakan sesuatu yang memalukan.
525
Bagi masyarakat Jepang, litigasi telah di nilai salah secara moral, bersifat subversif atau memberontak dan di pandang
membahayakan hubungan sosial yang harmonis atau ”litigation has been condemned
as morally wrong, subversi, and rebellious.”
526
Alasan kebudayaan menyebabkan masyarakat Jepang mengesampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian
sengketa yang timbul di antara para pihak, secara tradisional masyarakat Jepang menganggap pengadilan sebagai tempat orang-orang jahat yang tidak mematuhi
hukum,
527
sehingga arbitrase dan penyelesaian alternatif di luar pengadilan telah dikembangkan sejak lama.
Jepang bukan suatu negara federal, di mana Mahkamah Agung Jepang mengatur prosedur arbitrase Procedures of Arbitration berkaitan dengan sengketa
tertentu yaitu Supreme Court Rules No 27, tanggal 26 November 2003 yang diatur bagi prosedur tertentu berkaitan dengan arbitrase di Jepang dan peraturan
arbitrasenya mengikuti Model Law. Dalam Hukum arbitrase Jepang, Section 786, The Code of Civil Procedure
Law Number 29 of 1890, membatasi bahwa beberapa sengketa berkaitan dengan status pribadi, warisan, merek dagang atau paten,
525
Yosiyuki Noda, Introduction to Japanese Law, Tokyo : University Press, 1976, hlm. 159.
526
Takeyoshi Kawashima, “Penyelesaian Pertikaian di Jepang Kontemporer,” dalam A.A.G. Peters dan Koesrini Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Jakarta : Sinar Harapan,
1988, hlm. 95-123. Lihat juga dalam Hideo Tanaka, The Japanese Legal System, Japan : University of Tokyo Press, 1976, hlm. 278.
527
Victor H. Li, Law Without Lawyers A Comparative View of Law In China and The United States,
Boulder, Colorado : West View Press, 1978, hlm. 14.
Universitas Sumatera Utara
283 kepailitan atau pelanggaran anti-trust tidak dapat di arbitrase. Sedangkan menurut
Arbitration Law Law No. 138 of 2003
528
yang berlaku sejak 1 Maret 2004 dalam Pasal 13 ayat 1 menyatakan bahwa
“unless otherwise provided by law, an arbitration agreement shall be valid only when its subject matter is a civil dispute
that may be resolved by settlement between the parties excluding that of divorce or separation” kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, perjanjian arbitrase berlaku
hanya ketika subjeknya adalah sengketa perdata yang dapat diselesaikan dengan penyelesaian antara pihak-pihak termasuk yang dari perceraian atau perpisahan.
Putusan arbitrase yang dibuat di dalam dan di luar Jepang memiliki efek yang sama seperti putusan final dan konklusif yang pelaksanaannya dijamin oleh UU
Arbitrase Jepang. Jepang memiliki perjanjian bilateral dengan 11 negara dan perjanjian ini menjamin penegakan di negara-negara lain dari perjanjian arbitrase
yang diberikan di Jepang, dan juga menjamin penegakan hukum putusan arbitrase di Jepang yang dibuat di negara-negara lain perjanjian. Sampai saat ini, belum ada
sengketa di mana Pengadilan Jepang tidak menyetujui dan mengakui putusan arbitrase asing.
529
Hal tersebut disebabkan karena umumnya sengketa perdata diselesaikan melalui mediasi dan konsiliasi untuk menjaga harmoni.
530
528
Versi Bahasa
Inggris dapat
diunduh melalui
www.kantei.go.jpforeignpolicysihoulaw032004_e.html.
529
“On June 4, 1996 a bill on the Partial Amendment of the Special Measures Law concerning the Handling of Legal Practice by Foreign Lawyer was passed in the House of
Representatives and was promulgated as Law No. 65 of 1996 on June 12, 1996 and this amendment law came into force on September 1, 1996. By this amendment, a foreign lawyer practicing outside of
Japan may represent a party to the proceedings of an arbitration case in regard to civil affairs where the place of arbitration is located in Japan and all or part of the parties have domicile jusho or
principal place of business in a foreign country. A foreign law solicitors registered in Japan
Universitas Sumatera Utara
284 Jepang memiliki tradisi ADR sebagai kebalikan dari proses litigasi. Selama
berabad-abad prosedur utama yang dibangun di Jepang adalah konsiliasi, negosiasikompromi dan mediasi. Litigasi tidak dikenal sampai negara-negara Eropa
mengenalkan di akhir tahun 1800, hingga kini Jepang selalu dihubungkan sebagai ”The Non-Litigous Society.”
531
Sistem hukum Jepang mempengaruhi litigasi menjadi tidak diinginkan, meskipun budaya Jepang tersebut dihapus tetap saja tingkat litigasi
Jepang masih akan tetap rendah, karena orang-orang Jepang akan bebas memilih untuk menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara non-konfrontatif daripada
melalui proses yang sangat konfrontatif melalui pengadilan.
532
Jepang adalah investor utama di kawasan Asia dan seluruh dunia. Meski demikian, hingga saat ini hanya satu
sengketa investasi yang mempersoalkan tentang perjanjian arbitrase yaitu perusahaan Belanda yang berada di bawah kerjasama Jepang dan mengajukan klaim terhadap
Gaikokuho-jimu-bengoshi may also represent a party in the above-mentioned case. The long pending issue of whether foreign lawyers may represent a party in international arbitral proceedings
conducted in Japan in relation to conflicts with the Japans lawyers law is considered to have been eventually settled
.” Wawancara tanggal 17 Maret 2014 dengan Assoc. Professor Tatsuya Nakamura, General Manajer JCAA.
530
Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta : Chandra Pratama, 2001, hlm. 104, sebagaimana dikutip dari Dan Fenno Henderson, Conciliation and Japanese Law-
Tokugawa and Modern Vol. II, Seattle : University of Washington Press, Tokyo : University of Tokyo
Press, 1965, hlm. 218-220.
531
Katja Funken, “Alternative Dispute Resolution in Japan,” Social Science Research Network,
hlm. 3, diakses dari http:papers.ssrn.comsol3papers.cfm?abstract_id=458001.
532
Tony Cole, “Commercial Arbitration in Japan : Contributions To The Debate On “Japanese Non-
Litigiousness”, International Law and Politics, Vol. 40, 2007, hlm. 29-30. http:papers.ssrn.comsol3papers.cfm?abstract_id=1083371.
Universitas Sumatera Utara
285 Czech Republic sesuai BIT antara Belanda dan Republik Czechna Saluka
Investments BV., v. Czech Republic , IIC 210 2006.
533
Haley dan Ramseyer berpendapat dalam serangkaian artikelnya bahwa untuk rendahnya tingkat litigasi di Jepang, sedikit perhatian telah dibayar kepada rendahnya
paralel arbitrase. Namun tidak hanya Jepang yang memiliki sejarah panjang mekanisme formal untuk penyelesaian sengketa yang terletak di luar sistem
pengadilan, akan tetapi hukum Jepang telah membuat ketentuan eksplisit untuk sengketa arbitrase sejak tahun 1890. Akibatnya, jika Haley benar bahwa pihak Jepang
menghindari litigasi pengadilan karena penyumbatan institusional, maka mungkin diharapkan untuk merangkul sistem arbitrase yang menghindari masalah tersebut.
Namun tidak hanya arbitrase komersial, arbitrase investasi pun, baik internasional maupun domestik, jarang digunakan di Jepang.
534
Jepang pada awalnya menganut tradisi civil law dan sesuai peraturan Jerman selama periode okupasi setelah Perang Dunia II, kemudian terpengaruh dengan sistem
common law, khususnya dalam hukum publik yang selanjutnya kedua tradisi hukum
tersebut berlaku di Jepang.
535
Hukum arbitrase Jepang adalah sesuai Code of Civil Procedure
Undang-Undang Nomor 29 tahun 1890 yang berlaku lebih dari 100 tahun dan meniru Hukum Arbitrase Jerman, sehingga menjadi salah satu alasan tidak
533
Vivienne Bath and Luke Nottage, “Foreign Investment and Dispute Resolution Law and Practice in Asia : An Overview Legal Studies Research Paper No. 1120, March 2011, diakses dari
http:ssrn.comabstract=1789306.
534
Ibid.
535
John Henry Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford, California : Stanford University Press, 1969, hlm. 5-6. Lihat juga Carolyn Hotchkiss, op.cit., hlm. 81-82.
Universitas Sumatera Utara
286 banyaknya sengketa arbitrase berkaitan dengan Jepang.
536
Kemudian undang-undang tersebut di amandemen melalui Arbitration Law Nomor 138 Tahun 2003 dan berlaku
sejak tanggal 1 Agustus 2003 yang berdasarkan pada UNCITRAL Model Law serta berlaku baik bagi arbitrase domestik maupun internasional, tanpa adanya perbedaan
antara arbitrase komersial dan non-komersial. Undang-Undang Arbitrase Jepang yang tersebut mayoritas mengadopsi Model Law UNCITRAL yang menandakan Jepang
telah bergabung dengan komunitas arbitrase internasional, serta di dalam undang- undang tersebut tidak mengandung ketentuan kerahasiaan.
537
Salah satu bukti bahwa arbitrase di Jepang telah berkembang adalah salah satunya karena berdirinya The
Japan Commercial Arbitration Association JCAA.
Terbukanya Jepang kepada dunia luar pada tahun 1854 maka Jepang memulai proses ”westernisasi” yang pada akhirnya menyebabkan di adopsinya Western-
inspired Codes di tahun 1880-an. Meskipun Sistem Perancis dan Sistem Hukum
Jerman sangat berpengaruh dalam pembentukan sistem hukum baru, pada saat KUH Perdata diadopsi pada tahun 1890 pengaruh Sistem Hukum Jerman telah
mendominasi. Hal yang sama, meskipun Undang-Undang Perancis Departemen Hukum Jerman didirikan di Imperial University tahun 1880, Jerman tetap datang
untuk mendominasi akademisi hukum di Jepang.
538
536
JCA News Letter, Number 15, August 2002, The Japan Commercial Arbitration Association JCAA, hlm. 2.
537
Tatsuya Nakamura, “Salient Features of the New Japanese Arbitration Law Based Upon the UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration,
” JCA News Letter, Number 17, April 2004, The Japan Commercial Arbitration Association JCAA, hlm. 1-2.
538
Ibid, hlm. 73-74.
Universitas Sumatera Utara
287 Jepang telah menandatangani dan menjadi anggota dari konvensi internasional
sebagai berikut :
539
a. Protocol on Arbitration Clauses yang lahir di Jenewa pada tanggal 24 September
1923 dan diratifikasi tanggal 4 Juni 1928 melalui Treaty No. 3 Tahun 1928. b.
Konvensi Jenewa tanggal 26 September 1927 diratifikasi tanggal 11 Juli 1952 melalui Treaty No. 11 Tahun 1952.
c. Konvensi New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Awards lahir di New York tanggal 10 Juni 1958 dan diratifikasi oleh
Jepang tanggal 20 Juni 1961 melalui Treaty No. 10 Tahun 1961. d.
Konvensi Washington Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States
atau Konvensi ICSID yang dikembangkan di Washington tanggal 18 Maret 1965 dan diratifikasi tanggal 17
Agustus 1967 melalui Treaty No. 10 Tahun 1967. Selain itu, berkaitan dengan investasi Jepang juga telah menandatangani 24
Bilateral Investment Treaty BIT sebagai berikut :
540
Tabel 5 : Daftar BIT Jepang No.
Negara Tanggal
Tandatangan Tanggal
Berlaku 1.
Bangladesh 10 November 1998
25 Agustus 1999 2.
Cambodia 14 Juni 2007
31 Juli 2008 3.
Colombia 12 September 2011
- 4.
China 27 Agustus 1988
14 Mei 1989
539
Sumber : http:homepage3.nifty.comProf_K_Iwasakilawdbjapandisputedisp3-en.html.
540
Sumber : www.investmentpolicyhub.unctad.orgIIACountryBits105IiaInnerMenu.
Universitas Sumatera Utara
288 5.
Iraq 7 Juni 2012
- 6.
Kazakhstan 23 Oktober 2014
- 7.
Kuwait 23 Maret 2012
24 Januari 2014 8.
Laos 16 Januari 2008
3 Agustus 2008 9.
Mesir 28 Januari 1977
14 Januari 1978 10.
Hong Kong 15 Mei 1997
18 Juni 1997 11
Mozambiq 2 Juni 2013
29 Agustus 2014 12.
Republik Korea 22Maret 2002
01 Januari 2003 13.
Mongolia 15 Februari 2001
27 Februari 2002 14.
Pakistan 10 Maret 1998
10 Mei 2002 15.
Papua New Guinea 26 April 2011
17 Januari 2014 16
Peru 22 Nopember 2008
10 Desember 2009 17.
Federasi Rusia 13 November 1998
27 Mei 2000 18.
Saudi Arabia 30 April 2013
- 19.
Srilanka 01 Maret 1982
07 Agustus 1982 20.
Turki 12 Februari 1992
12 Maret 1993 21.
Ukraina 5 Februari 2015
- 22.
Uruguay 26 Januari 2015
- 23.
Uzbekistan 15 Agustus 2008
24 September 2009 24.
Vietnam 14 November 2003
-
Dari 24 BIT tersebut di atas, Jepang telah memberlakukan BIT dalam bentuk
perjanjian tertulis dengan 24 negara tersebut. Dari BIT tersebut, Jepang terlihat sangat memperhatikan soal keterbukaan sehingga hampir seluruh BIT mencantumkan pasal
mengenai keterbukaan transparency dengan memberikan batasan mengenai kerahasiaan dalam pasal yang sama, kecuali BIT Jepang dengan 7 negara yaitu :
Bangladesh, China, Hongkong, Mesir, Pakistan, Sri Lanka, dan Turki yang tidak mengatur mengenai kerahasiaan dan keterbukaan melainkan menyerahkan pada para
pihak jika timbul sengketa di kemudian hari,
541
dengan menyerahkan pada keputusan arbitrase ICSID atau arbitrase UNCITRAL mendatang yang dipilih para pihak jika
541
Lihat http:www.unctadxi.orgtemplatesDocSearch.aspx?id=779
Universitas Sumatera Utara
289 terjadi sengketa yang bertujuan agar Jepang menjadi pilihan tempat yang menarik
bagi arbitrase internasional, sebagaimana dikatakan oleh Tatsuya Nakamura
542
bahwa: The New Law is also expected to make Japan a more attractive place for
international arbitration. It is important to note, however, that the New Law contains no provisions on important issues such as confidentiality in arbitration
and the immunity of arbiters, so these remaining issues should also be considered as future amendments to the New Law.
Terjemahan : hukum baru ini juga diharapkan untuk membuat Jepang menjadi tempat yang lebih menarik untuk arbitrase internasional. Hal ini penting untuk
dicatat, bagaimanapun bahwa undang-undang baru tidak mengandung ketentuan tentang isu-isu penting seperti kerahasiaan dalam arbitrase dan kekebalan arbiter,
sehingga isu-isu ini yang tersisa juga harus dianggap sebagai perubahan masa depan dengan undang-undang baru.
Pernyataan Tatsuya Nakamura tersebut juga didukung oleh BIT yang telah ditandatangani oleh Jepang di mana berdasarkan penelitian atas BIT antara Jepang
dengan 24 negara tersebut di atas ditemukan bahwa : a.
Pasal 7 BIT antara Jepang dengan Colombia. b.
Pasal 8 BIT antara Jepang dengan Iraq. c.
Pasal 8 BIT antara Jepang dengan Kazakstan. d.
Pasal 7 BIT antara Jepang dengan Korea. e.
Pasal 8 BIT antara Jepang dengan Kuwait. f.
Pasal 9 BIT antara Jepang dengan Laos. g.
Pasal 7 BIT antara Jepang dengan Papua New Guinea.
542
Tatsuya Nakamura, “Salient Features of the New Japanese Arbitration Law Based Upon The UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration,
” Japan Commercial Arbitration News Letter
, Number 17, April 2004, The Japan Commercial Arbitration Association JCAA, hlm. 1-2.
Universitas Sumatera Utara
290 h.
Pasal 9 BIT antara Jepang dengan Peru. i.
Pasal 15 BIT antara Jepang dengan Rusia. j.
Pasal 7 BIT antara Jepang dengan Saudi Arabia. k.
Pasal 11 BIT antara Jepang dengan Uruguay. l.
Pasal 7 BIT antara Jepang dengan Uzbekistan. m.
Pasal 7 BIT antara Jepang dengan Vietnam, Pasal 8 BIT antara Jepang dengan Kamboja.
n. Pasal 14 BIT antara Jepang dengan Mongolia.
o. Pasal 8 BIT antara Jepang dengan Mozambiq, dan
p. Pasal 8 BIT antara Jepang dengan Myanmar.
yang seluruhnya mengatur keterbukaan transparency dan batasan kerahasiaan dalam satu pasal dengan judul “transparency” yang mewajibkan Jepang untuk
mempublikasikan segala aturan yang berlaku dan keputusan pengadilan mengenai investasi antara kedua negara tersebut.
Keterbukaan persidangan dan akses pihak ketiga di persidangan arbitrase menjadi isu yang kontroversial. Dalam aturan arbitrase Jepang sesuai dengan Aturan
38 ayat 1 JCAA
543
amandemen tanggal 1 Februari 2014 diatur mengenai kerahasiaan yang harus dijaga selama proses arbitrase kecuali diatur lain oleh
543
Amandemen 2014 Aturan 38 1 JCAA menyatakan bahwa : “Arbitral proceedings, and
records thereof, shall be closed to the public.” Lihat juga Melanie Ries Bryant Woo, “International Arbitration In Japan China,“ Dispute Resolution Journal, Volume 61, Issue 4, Pages 62-70, 2006,
diakses dari http:search.proquest.comdocview198052160?accountid=50257.
Universitas Sumatera Utara
291 undang-undang. Namun dalam Aturan 52 ayat 1 JCAA
544
mengakomodasi akses pihak ketiga yang bukan termasuk pihak untuk ikut serta menjadi pihak dalam
sengketa, seperti yang diatur dalam Aturan 32 ayat 2 ICSID Arbitration Rules.
545
Kemudian hasil amandemen aturan JCAA tanggal 1 Februari 2014 dalam Aturan 52 memberikan peluang masuknya pihak ketiga untuk ikut dalam sengketa atas
persetujuan para pihak. Dari aturan tersebut, meskipun proses arbitrase harus rahasia, namun dihubungkan dengan Pasal 39 Arbitration Law Nomor 138 Tahun 2003,
546
dapat disimpulkan bahwa aturan arbitrase di Jepang tidak mengatur tentang kerahasiaan atau keterbukaan putusan arbitrase, sehingga dapat diketahui bahwa
secara umum diterima bahwa putusan arbitrase itu terbuka kecuali disepakati lain oleh para pihak yang juga sejalan dengan aturan Konvensi ICSID yang telah
diratifikasi oleh Jepang.
544
Amandemen 2014, Aturan 52 1 JCAA menyatakan bahwa : “A third party may join in the
arbitral proceedings as a claimant or a party may request a third party to join in the arbitral proceedings as a respondent, if : 1 all parties and the third party have agreed in writing about the
joinder;or 2 all claims are made under the same Arbitration Agreement ; provided, however, the third party‟s consent in writing to such joinder is necessary when the third party is requested to join as
respondent after the constitution of the arbitral tribunal.”
545
Luke Nottage Kate Miles, “Back To The Future For The Investor-State Arbitrations : Revising Rules In Australia and Japan To Meet Public Interests,” Research Paper No. 0862, June
2008 , diakses dari http:ssrn.comabstract=1151167.
546
Pasal 39 Japan Arbitration Law menyatakan bahwa : 1
The arbitral award shall be made in writing and shall be signed by the arbitrators who made it. Provided, in arbitral proceedings with more than one arbitrator, the signatures of the majority of
all members of the arbitral tribunal shall suffice, if the reason for any omitted signature is stated. 2
The arbitral award shall state the reasons upon which it is based. Provided, this shall not apply when otherwise agreed by the parties.
3 The arbitral award shall state its date and place of arbitration.
4 The arbitral award shall be deemed to have been made at the place of arbitration.
5 After the arbitral award is made, the arbitral tribunal shall notify each party of the arbitral award
by sending a copy of the arbitral award signed by the arbitrators. 6
The proviso of paragraph 1 shall apply to the copy of the arbitral award described in the preceding paragraph.”
Universitas Sumatera Utara
292 Dari uraian penerapan prinsip keterbukaan putusan arbitrase ICSID di
Malaysia, Singapura dan Jepang, dapat disimpulkan bahwa Singapura dan Jepang menganut sistem hukum common law dan mengatur keterbukaan putusan arbitrase
secara luas. Sedangkan Malaysia sama seperti Indonesia, menganut sistem hukum civil law
dan mengatur keterbukaan putusan arbitrase dengan pembatasan tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangannya. Budaya hukum juga turut
mempengaruhi dianutnya keterbukaan putusan arbitrase ICSID secara luas, budaya hukum Singapura dan Jepang yang lebih modern dan mengedepankan keterbukaan di
segala hal menyebabkan peraturannya perundang-undangannya tidak lagi mengatur secara jelas mengenai kerahasiaan putusan arbitrase.
E. Minat Pebisnis dalam Pemakaian Prinsip Keterbukaan Putusan dengan Menggunakan ICSID Sebagai Wadah Penyelesaian Sengketa Arbitrase.
Dalam arbitrase ICSID host state harus mengetahui bahwa investor asing dalam melakukan investasi harus disertai oleh 4 elemen, yaitu :
”contribution of money or asset, risk, duration and contribution to the development of the host
state.”
547
Keempat elemen tersebut juga disebut juga ”Salini Test.”
548
Ketika mengalami salah satu elemen tidak terpenuhi, maka cenderung akan menimbulkan
547
Emmanuel Gailland, “Identify or Define ? Reflections on The Evolution of The Concept of Investment in ICSID Practice,
” dalam International Investment Law For The 21
st
Century : Essays In Honour of Christoph Schreuer,
Oxford : Oxford University Press, 2009, hlm. 403.
548
Lihat dalam Putusan Phoenix Action Ltd. v. Czech Republic, ICSID Case No. ARB065, paragraf 84, tentang Salini Test.
Universitas Sumatera Utara
293 sengketa di kemudian hari. Banyaknya sengketa yang timbul mengenai investasi,
akan meningkatkan jumlah sengketa yang akan dimintakan penyelesaiannya melalui Lembaga ICSID.
Jumlah sengketa antara investor dan negara yang dimintakan untuk diselesaikan melalui ICSID meningkat drastis dari waktu kewaktu. Hal itu juga
diikuti oleh pertumbuhan jumlah BIT dan FTA Free Trade Agreements secara bilateral, regional dan level inter-regional yang membolehkan investor swasta untuk
memilih arbitrase untuk melindungi keuntungan perdagangannya terhadap tindakan negara berdasarkan kapasitas kedaulatan negara. Secara umum, investor dapat
memilih salah satu aturan untuk penyelesaian sengketanya dengan negara melalui arbitrase, yaitu Konvensi ICSID, jika keduanya, host state dan home state telah
meratifikasi Konvensi tersebut ataupun menyetujui penggunaan ICSID Additional Facility Rules,
yang mana salah satu pihak atau kedua pihak tersebut telah meratifikasi Konvensi ICSID tersebut atau menyepakati untuk memilih arbitrase lain.
Lambat laun terjadi peningkatan keinginan investor untuk menggunakan fasilitas ICSID sebagai media penyelesaian sengketa. Hal tersebut terlihat terutama
setelah krisis finansial di Argentina. Dengan berdirinya ICSID maka Direktur Eksekutif Bank Dunia yakin bahwa institusi yang didesain khusus untuk
memfasilitasi penyelesaian sengketa investasi antara pemerintah suatu negara dan
Universitas Sumatera Utara
294 investor asing dapat membantu mempromosikan laju peningkatan investasi
internasional dalam proyek pembangunan.
549
Salah satu sengketa yang ikut mendukung perkembangan arbitrase investasi melalui ICSID adalah sengketa White Industries Australia Ltd., v. The Republic of
India tanggal 30 November 2011 yang awalnya diselesaikan melalui arbitrase
internasional komersial yaitu ICC kemudian beralih kepada arbitrase ICSID.
550
Setelah itu maka terjadi peningkatan sengketa yang dimintakan penyelesaiannya melalui ICSID yang juga didukung oleh amandemen peraturan yang berkaitan dengan
Konvensi ICSID pada tahun 2006 yang lebih mengedepankan keterbukaan. Meskipun putusan arbitrase dapat terbuka untuk umum, kalangan bisnis akan
tetap menggunakan ICSID sebagai wadah penyelesaian sengketanya karena salah satu keuntungannya adalah akan tercapai keadilan dan kepastian hukum bagi sengketanya
dan lebih mudah dilaksanakan eksekusi putusannya. Hal ini juga sejalan dengan yang telah lama digambarkan oleh Hart
551
dalam pembagian teori penyelesaian sengketa menjadi
”primary rules of obligation” dan ”secondary rules of obligation,” di mana masyarakat dalam jaman modern seperti saat ini dikategorikan ke dalam teori yang
kedua yaitu ”secondary rules of obligation” yang bercirikan kehidupan masyarakat
549
Andrew P. Tuck, “Investor-State Arbitration Revised : A Critical Analysis of The Revisions and Proposed reforms to the ICSID and UNCITRAL Arbitration Rules,
” Law and Business Rwview of The
Americas ,
vol. 13,
issue 4,
2007, hlm.
888, diakses
dari http:search.proquest.comdocview194659652?accountid=50257.
550
Stephan Balthasar, “White Industries v. India : Redefining The Interface Between Commercial and Investment Arbitration
?,” Westlaw Arbitration, 78 4, 2012, hlm. 396.
551
Dalam H.L.A.Hart, The Concept of Law, London : Oxford University Press, 1972, hlm. 78- 96.
Universitas Sumatera Utara
295 yang terbuka, luas dan kompleks yang mendasarkan pada otoritas rues of recognition,
rules of change dan rules of adjudication.
Transparansi putusan arbitrase dimaksudkan untuk menghindarkan timbulnya penafsiran terhadap hal-hal yang telah disepakati serta mencegah terjadinya
perselisihan di kemudian hari, keterbukaan informasi dari kedua belah pihak sangat diperlukan. Keterbukaan ini harus didukung pembuatan putusan secara tertulis yang
berisi informasi yang benar dan mencantumkan pertimbangan yang mudah dimengerti dan tidak menuntut penafsiran baru. Melalui keterbukaan ini, host state
akan mengetahui profil investor, apakah investor tersebut memiliki kredibilitas yang baik sebelum melakukan perjanjian investasi. Kemudian, jika regulasi host state baik
maka investor juga akan baik dan dengan saling menjaga kinerja dan regulasi maka akan menurunkan jumlah sengketa. Keterbukaan putusan tidak menghalangi
meningkatnya jumlah sengketa yang dimintakan penyelesaiannnya melalui ICSID, hal ini terlihat dari jumlah sengketa yang semakin meningkat meskipun sesuai dengan
amandemen konvensi tahun 2006, ICSID lebih terbuka. ICSID mewakili ide terhadap akses kesamaan hak oleh anggota konvensi
ICSID dan untuk mencapai harapannya sekitar 470 sengketa telah didaftarkan kepada ICSID hingga tanggal 31 Desember 2013 meskipun di antaranya sekitar 163 sengketa
dihentikan sementara pending dan 20 sengketa masih dalam tahap pemeriksaan. Dalam transaksi bisnis, terutama pihak asing akan memilih arbitrase dibandingkan
Universitas Sumatera Utara
296 menyelesaikan sengketa melalui pengadilan setempat. Eman Suparman
552
mengatakan bahwa pihak asing harus memahami betul seluk-beluk berperkara di pengadilan, karena proses di pengadilan rangkaiannya panjang serta berjenjang,
rangkaian prosesnya memerlukan waktu yang sangat lama sehingga dapat dipastikan untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan juga memerlukan waktu yang
sangat lama. Apalagi jika pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa terus menerus menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum yang tersedia. Oleh karenanya
dengan kondisi demikian maka investor tentunya akan memilih arbitrase yang terhitung cepat dalam penyelesaian sengketa dan menghasilkan putusan yang final
dan mengikat dan perlindungan bagi investor, meskipun dengan kondisi saat ini yang lebih terbuka bagi publik, terbukti bahwa jumlah sengketa yang ditangani oleh ICSID
mengalami peningkatan yang signifikan sebagaimana dapat digambarkan dalam tabel berikut :
552
Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan,
Jakarta : PT. Tatanusa, 2004, hlm. 159.
Universitas Sumatera Utara
297
Tabel 6 : Jumlah Sengketa yang Didaftarkan Sesuai Konvensi ICSID dan ICSID
Additional Facility Rules Sejak Bulan Januari 1972 Sampai Bulan Desember 2013
1 4
1 2
1 2
2 3
4 1
4 1
2 1
3 3
3 10 11 10 12
14 19
31 27
23 37
21 25 26
38 50
40 27
20 40
60
1972 1974
1976 1978
1980 1982
1984 1986
1988 1990
1992 1994
1996 1998
2000 2002
2004 2006
2008 2010
2012
Sumber :
The ICSID
Caseload-Statistics Issue
2014-1, melalui
https:icsid.worldbank.orgICSIDFrontServlet?requestType=ICSIDDocRHactionVal=CaseLoadStat istics, diakses tanggal 30 Juni 2014.
F. Putusan Arbitrase ICSID yang Telah Dipublikasi dan Rahasia Sejak Tahun 1972 Sampai Tahun 2013.