Kedaulatan Negara dalam Menentukan Terbukanya Putusan Arbitrase

256 256

BAB III PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN

PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA

A. Kedaulatan Negara dalam Menentukan Terbukanya Putusan Arbitrase

Sumber kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah berasal dari sumber yang berbeda di mana terdapat 4 teori kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan rakyat demokrasi, kedaulatan hukum dan kedaulatan negara. Kedaulatan yang digunakan dalam grand teory disertasi ini adalah kedaulatan negara yaitu teori kedaulatan yang memandang bahwa negara berdaulat karena ada negara. Jadi sumber kedaulatan adalah negara itu sendiri, karena ada negara maka ada kekuasaan yang diperoleh oleh pemerintah dari negara itu. Otto Mayer, seorang Jerman, mengatakan bahwa negara mempunyai kekuasaan menurut kehendak alam karena adanya negara itu. Kedaulatan ini tidak diperoleh dari siapapun melainkan diperoleh secara alamiah karena ada negara. Pemerintah berkuasa sebagai alat negara. 484 Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan independence juga paham persamaan derajat equality, artinya bahwa negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya. 485 484 Moh. Mahfud MD, Dasar Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2001, hlm. 67. 485 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit., hlm. 19 Universitas Sumatera Utara 257 Jean Bodin 486 berpendapat bahwa kedaulatan adalah kekuasaan absolut yang tak terbatas dari negara untuk membuat undang-undang atau peraturan, baik yang berlaku untuk umum maupun urusan tertentu tanpa minta persetujuan orang lain, badan yang lebih tinggi atau sederajat. Hal tersebut menggambarkan bahwa kedaulatan mempunyai pengertian yang masih luhur. Austin 487 mendefinisikan kedaulatan sebagai ”if determine human superior, not in a habit of obedience to a like superior, receive habitual obedience from the bulk of a given society, that determinate superior is sovereign in that society, and the society including the superior is a society political and independent” keunggulan manusia yang bukan merupakan kebiasaan ketaatan yang superior, ketaatan dari sebagian besar masyarakat tertentu kepada yang berdaulat lebih dalam masyarakat itu yang merupakan masyarakat politik dan independen. Jika Mac Iver membagi arti kedaulatan dalam tiga fase yaitu fase komparatif, absolut dan fase relatif 488 maka yang kita bicarakan dalam konteks keterbukaan putusan arbitrase ini adalah fase relatif yaitu fase zaman modern yang ternyata kedaulatan satu negara adalah relatif apabila dihadapkan dengan kedaulatan negara lain dalam lapangan internasional. I Wayan Parthiana 489 mengatakan bahwa sebagai akibat dari semakin transparannya kedaulatan negara, maka tumbuh dan berkembang pula bidang-bidang hukum yang 486 Moh. Mahfud MD, op.cit., hlm. 68 487 W. Friedmann, Legal Theory, op.cit. hlm. 213. 488 Moh. Mahfud MD, op.cit. 489 I Wayan Parthiana, “Suatu Pemikiran tentang Politik Hukum Indonesia Terhadap Hukum Internasional dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional Indonesia,” dalam Liber Amicorum untuk Prof.Dr. CSG. Sunaryati Hartono, SH., editor : Elly Erawaty, Bayu Seto Hardjowahono dan Ida Susanti, Beberapa pemikiran Tentang Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2011, hlm. 163. Universitas Sumatera Utara 258 transparan, yakni bidang-bidang hukum yang didalamnya mengandung dimensi internasional dan juga nasional. Pendekatan terhadapnya pun tidak bisa semata-mata dari sudut hukum internasional ataupun sebaliknya dari sudut hukum nasional, tetapi harus dilakukan secara serentak, baik internasional maupun nasional, atau dengan kata lain, dengan menggunakan pendekatan transnasional. Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional, menurut aliran ini pada dasarnya negara yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini menyandarkan teorinya pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman, salah satunya yang terkemuka ialah George Jellineck yang terkenal dengan Selbs-limitation-theorie-nya. Seorang pemuka lain dari aliran ini ialah Zorn 490 yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidak lain daripada tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara auszeres Staatsrecht. Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar kemauan negara. Penjelasan inilah yang menjadi dasar kedaulatan negara dalam hal memperjanjikan terbuka atau tertutupnya putusan arbitrase bagi publik yang dituangkan dalam BIT dan disesuaikan dengan peraturan nasional negara yang bersangkutan. Teori ini berkaitan dengan teori kehendak negara yang menyandarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kemauan bersama dan memandang 490 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, op.cit., hlm. 49. Universitas Sumatera Utara 259 hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara. Di sinilah titik temu dari teori kehendak dengan teori hukum alam tentang perjanjian yaitu hukum itu mengikat sekedar orang-orang individu mau terikat olehnya 491 sebagaimana penjelasan asas kebebasan berkontrak dan party otonomi dalam sub-bab pembahasan sebelumnya. Kegiatan penanaman modal asing di suatu negara di batasi oleh peraturan- peraturan dari negara asal investor asing tersebut governance by the home nationhome state , negara tuan rumah di mana investor asing menanamkan modalnya governance by the host nationhost state dan juga hukum internasional yang terkait governance by multi nation organizations and international law. 492 Pengaturannya termasuk pembatasan-pembatasan di bidang penanaman modal asing oleh host state yang pada dasarnya merupakan kewenangan negara tersebut yang berasal dari kedaulatannya sovereignty. 493 Permohonan kekebalan kedaulatan biasanya diminta oleh negara-negara yang digugat dalam proses arbitrase. Kekebalan ditegaskan dari aturan lama bahwa kedaulatan berarti tidak dapat diadili oleh kedaulatan negara lain. Prinsip tersebut telah diterima seutuhnya dalam abad terdahulu berkaitan antara kedaulatan. 494 Meski demikian, tidak ada negara yang dapat mengklaim suatu hak eksklusif untuk membenarkan penolakan atas pengakuan atau penegakan putusan arbitrase. Konsekuensi praktisnya adalah bahwa para pihak menikmati suatu otonomi 491 Ibid., hlm. 51 492 Ralph H. Folsom, Michael W. Gordon John A. Spanogle, Jr., Principles of International Business Transactions, Trade Economic Relations, Thomson West, 2005, hlm. 557-563. 493 M. Sonarajah, The International Law on Foreign Investment, 2 nd Ed., Cambridge : Cambridge University Press, 2004, hlm. 97. 494 Mauro Rubino, op.cit., hlm. 172. Universitas Sumatera Utara 260 yang tidak terbatas dalam membentuk setiap aspek arbitrase. Secara khusus, para pihak bebas untuk memilih sendiri hukum yang akan diterapkan serta subtansi prosedurnya. 495 Banifatemi bahkan mempertanyakan apakah perjanjian investasi arbitrase adalah suatu sistem hukum. Jika itu suatu sistem hukum yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan prinsip-prinsip di mana hak dan kewajiban ditetapkan dan keadilan diberikan, maka perjanjian arbitrase investasi tentu saja merupakan sistem hukum. Namun, apakah perjanjian investasi arbitrase adalah sistem hukum itu sendiri ? Suatu sistem yang otonom dan berbeda dari jenis lain dari arbitrase internasional. Tentu saja terdapat fitur spesifik dalam perjanjian arbitrase investasi : karena didasarkan pada perjanjian internasional dan menimbulkan permintaan yang dapat diselesaikan melalui penerapan hukum perjanjian atau peraturan yang mengatur tanggung jawab internasional negara, hukum internasional akan berlaku untuk sejumlah masalah besar dan tentunya tidak membuat proses itu sendiri berbeda dari proses arbitrase pada umumnya. Perjanjian arbitrase dalam investasi dapat didefinisikan sebagai sub-sistem dari arbitrase internasional, yang juga mencakup arbitrase komersial internasional dan kontrak arbitrase investasi. 496 Konsep positivisme hukum klasik, mengidentifikasi hukum dengan perintah yang berdaulat dan dengan demikian mengabaikan semua manifestasi legalitas yang 495 Arbitration Chapter I, II, III, Teaching Materials of Harvard Law School, hmabridge, Massachussets, USA, Spring 1996, hlm. 187-188 496 Lucy Reed, Yas Banifatemi, Toby Landau, James Crawford, Gabriela Alvarez, “Mapping The Future of Investment Treaty Arbitration As a System of Law, ” American Society of International Law , Proceedings of the Annual Meeting, 2009, diakses dari Proquest Journal , http:search.proquest.comdocview848717467?accountid=50257, tanggal 13 Desember 2013. Universitas Sumatera Utara 261 tidak berhubungan dengan gagasan pemerintah, sebagaimana dikatakan Hobbes 497 bahwa “governments without the sword are but words, and of no strength to secure a man at all, all real law is thus civil law, the law commanded and enforced by the sovereign ” pemerintahan tanpa pedang hanyalah kata-kata, dan tidak ada kekuatan untuk mengamankan seorang pun sama sekali, semua hukum yang nyata dengan demikian hukum perdata, hukum memerintah dan ditegakkan oleh penguasa. Hal tersebut menjadi gagasan bahwa tidak ada hukum di luar hukum negara dan tidak ada keadilan selain keadilan yang akan ditemukan dalam hukum positif negara. 498 Oleh karena itu disimpulkan bahwa tidak ada hukum di luar hukum negara. 499 Kedaulatan negara atas kekayaan alamnya pun dewasa ini menjadi sangat penting sehingga lahir Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Desember 1952 tentang prinsip “penentuan nasib sendiri ekonomi setiap negara” economic self- determination yaitu hak setiap negara untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. Tujuan utama dari resolusi ini sebenarnya adalah untuk mendorong negara- negara terbelakang untuk benar-benar memanfaatkan sumber kekayaan alam negerinya dan mencegah negara lain memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri. 500 Kemudian penegasan lebih dalam dituangkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 497 Dalam W. Friedmann, op.cit. hlm. 72. 498 Thomas Schultz, The Concept of Law in Transnational Arbitral Legal Orders and some of its Consequences , diunduh dari website http:icsid.worldbank. go.id. 499 B de Sousa Santos, Toward a New Legal Common Sense: Law, Globalization, and Emancipation, 2 nd edn London : Butterworths, 2002, hlm. 90, yang menyatakan bahwa “the reduction of law to state law was, more than anything else, the result of a political fiat”. 500 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Jakarta : Penerbit CV. Rajawali, 1991, hlm. 51 sebagaimana dikutip dari J.G. Starke, Introduction to International Law, Edisi ke-9, London : Butterworths, 1984, hlm. 121. Universitas Sumatera Utara 262 tanggal 14 Desember 1962 dan tanggal 25 November 1966 serta tanggal 17 Desember 1973 yang memperluas lingkup prinsip kedaulatan permanen permanent sovereignty terhadap kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya dan di perairan laut yang masih berada dalam yurisdiksi nasional suatu negara. 501 Selanjutnya, Pasal 1 Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 16 Desember 1966 dan Pasal 1 Covenant on Civil and Political Rights 16 Desember 1966 menegaskan pula hak suatu Negara peoples untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan alamnya. 502 Resolusi Majelis Umum PBB tentang Permanent Sovereignty Over Natural Resources Tahun 1974 dan Deklarasi tentang Pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Piagam Hak-Hak Ekonomi serta Kewajiban Negara Charter of Economic Rights and Duties of States Tahun 1974 yang menegaskan kembali kedaulatan negara untuk mengawasi kekayaan alamnya, terutama bagi negara berkembang, guna peningkatan pertumbuhan ekonominya, dan secara implisit dinyatakan pula bahwa adalah tanggungjawab masyarakat internasional untuk menolong pemanfaatan kekayaan alam negara-negara sedang berkembang, di mana piagam tersebut antara lain menyatakan bahwa 503 “every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities” setiap negara memiliki dan 501 Huala Adolf , Aspek- Aspek Negara …, ibid. 502 Ibid., hlm. 51. 503 Parry and Grant, ed, Encyclopaedic Dictionary of International law, New York : Oceana Publications inc., 1986, hlm. 290, sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf , Aspek- Aspek Negara …, ibid., hlm. 52. Universitas Sumatera Utara 263 bebas melaksanakan kedaulatan secara penuh, termasuk kepemilikan, penggunaan dan penolakan, atas segala kekayaan, sumber daya alam dan kegiatan ekonomi. Dengan perkembangan hukum internasional maka membawa dampak bagi negara sedang berkembang yang akan semakin kehilangan esensi kedaulatannya terutama dalam menghadapi negara maju, 504 namun dengan penyelesaian sengketa melalui ICSID, di mana serta merta menghilangkan perlindungan politik terhadap investor dari negara asalnya yang umumnya negara maju, maka arbitrase ICSID dapat dipilih sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang melindungi kedaulatan negara. Kedaulatan negara sebagai kekuatan dalam pembentukan hukum suatu negara dan termasuk juga menentukan dianutnya prinsip terbukanya putusan arbitrase sehingga dapat di akses oleh publik terutama putusan yang berkaitan dengan negara tersebut. Bernard L. Tanya 505 menjelaskan keutamaan negara lewat lembaga dan pranata hukum tertulis telah menghadirkan pranata kontrol sosial yang bersifat publik, lembaga dan pranata hukum tertulis, berisi penataan infrastruktur dan suprastruktur dengan kriterium-kriterium yang netral dan berlaku umum. Semangat keterbukaan yang lebih luas diinspirasi oleh arbitrase antara investor dengan negara melalui ICSID. Meskipun sistem arbitrase ICSID berbeda dengan institusi arbitrase internasional lainnya misalnya arbitrase komersial, namun berasal dari benih yang sejenis, bahkan preseden dan prosedur dari konteks arbitrase juga dipindahkan ke 504 Martin Khor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, terjemahan Wandi S. Brata , Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 5-7. 505 Bernard L. Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, Surabaya : Srikandi, 2006, hlm. 25-26. Universitas Sumatera Utara 264 dalam arbitrase komersial dan saat ini juga banyak dari putusan arbitrase komersial telah dipublikasikan, sebagaimana diungkapkan Lon L. Fuller 506 bahwa “transparency is an inherent feature of the Rule of Law.” Jadi “rule of law“ mensyaratkan aturan yang dapat di akses secara publik yang diketahui di masa yang akan datang. Jika pengguna arbitrase investasi menginginkan manfaat atas suatu sistem yang didasarkan oleh hukum, maka dianjurkan menerima keterbukaan atas putusan arbitrase. Berkaitan dengan hal tersebut, Indonesia dan anggota ICSID contracting state lainnya melakukan perjanjian berupa BIT Bilateral Investment Treaty yang mana perjanjian tersebut dilakukan antara dua negara atau lebih mengenai investasi. BIT juga menjadi syarat apabila suatu investasi akan dilakukan oleh investor dengan suatu negara di mana telah ada perjanjian kerjasama dalam hal ini BIT antara home state dengan host state. Suatu negara dalam mengadakan kontrak dengan investor asing juga memungkinkan timbulnya pelanggaran dari salah satu pihak, baik itu dari organ atau pejabat negara yang mengeluarkan regulasi-regulasi yang bertentangan dengan perjanjian awal, sehingga meskipun pejabat dalam melakukan tindakan atau tugasnya melebihi kapasitas yang diberikan oleh negara, tanggung jawab karena perbuatannya itu tetap dibebankan kepada negara. 507 Hal ini terjadi misalnya dalam sengketa AMCO Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia ICSID Case No. ARB811 di mana dalam sengketa ini Indonesia diwakili oleh BKPM Badan 506 Lon L. Fuller, The Morality of Law, ed.rev., 1964, hlm. 42-44. 507 HualaAdolf , Aspek- Aspek Negara …, op.cit., hlm. 182-183 Universitas Sumatera Utara 265 Koordinasi Penanaman Modal dan sebelumnya BKPM telah memperjanjikan memberi hak pengelolaan hotel Kartika Plaza kepada AMCO selama jangka waktu 30 tahun, namun BKPM mencabut izin investasi tersebut ketika memasuki tahun ke-9 dan atas tindakan BKPM yang melanggar perjanjian tersebut maka Indonesia wajib membayar kerugian yang timbul akibat pencabutan izin investasi sebesar US 3.200.000., tanggung jawab mana diselesaikan melalui lembaga ICSID sebagaimana telah ditentukan. Kedaulatan negara juga berkaitan dengan kewenangan negara untuk melakukan publikasi putusan. Publikasi putusan tersebut akan diperjanjikan dalam perjanjian arbitrase. Oleh karena penyelesaian sengketa melalui ICSID melibatkan negara maka baik jika dilakukan publikasi putusan sebagai bentuk tanggungjawab negara kepada rakyatnya dan cerminan asas-asas pemerintahan yang baik yaitu transparansi. Selain itu arbitrase ICSID tidak mengatur mengenai kewajiban kerahasiaan secara mutlak sebagaimana Pasal 48 ayat 5 Konvensi ICSID dan Aturan 48 ayat 4 ICSID Arbitration Rules bahwa publikasi putusan diperbolehkan atas kesepakatan para pihak.

B. Penerapan Prinsip Keterbukaan Arbitrase Di Malaysia.

Dokumen yang terkait

Penerapan prinsip arbitrase di indonesia dalam studi sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV): analisis putusan MA No. 862 K/Pdt/2013

11 60 165

PERANAN AMDAL DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA ASIA TENGGARA.

5 146 1

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA ASING MELALUI ARBITRASE INTERNATIONAL CENTRE FOR SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES (ICSID ).

0 1 6

PENCABUTAN PENASEHAT HUKUM DALAM ARBITRASE DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAJELIS ARBITRASE ICSID ATAS DASAR MEMBAHAYAKAN PERSIDANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN ARBITRASE DI INDONESIA.

0 0 2

Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia

0 1 17

BANDING ATAS PUTUSAN ARBITRASE DI INDONESIA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 224

Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 2 35

BAB II PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID ANTARA INVESTOR ASING DENGAN HOST STATE H. Prinsip Keterbukaan - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

1 1 199

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 0 56

PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA DISERTASI

0 1 19