Keterbukaan Putusan Arbitrase, Putusan Pengadilan dan Informasi Publik.

304 304

BAB IV PRINSIP KETERBUKAAN DI INDONESIA

A. Keterbukaan Putusan Arbitrase, Putusan Pengadilan dan Informasi Publik.

Sejak manusia hidup dalam kelompok atau masyarakat, ada suatu kebutuhan terhadap hukum, di mana hukum dimanifestasikan sebagai bentuk dari budaya, etika, agama atau peraturan, oleh karenanya hukum ada disetiap masyarakat, 557 dan kumpulan kelompok atau masyarakat itulah yang membentuk suatu negara. Sistem hukum 558 suatu negara mencakup konsep-konsep atau teori nasional tentang hukum, sistem pendidikan hukum, sistem penerapan hukum, pelayanan dan penegakan hukum, aneka ragam sumber dan kaidah hukum. Berbagai komponen tersebut tersusun dalam sebuah kesatuan sistematis yang dapat dikendalikan sebagai sebuah sistem suatu negara. 559 Oleh karenanya pembangunan sistem hukum Indonesia adalah merupakan hal yang sangat penting. Negara berdasarkan hukum memberlakukan the rule of law 560 dalam menjamin pelaksanaan hak-hak asasi manusia yang meliputi : 561 557 Benny S. Tabalujan, Singapore…, op.cit., hlm. 1. 558 “A legal system as that term is here used, is an operating set of legal institutions, procedures and rules,” dalam John Henry Merryman, op.cit., hlm. 1 559 B agir Manan, “Kembali Ke Politik Pembangunan Hukum Nasional,” Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXVII No. 326 Januari 2013, hlm. 5. 560 Tiga hal penting dalam Rule of Law menurut Jellinek yaitu : “1. They are norms for the external conduct of men toward one another, 2. They are norms which proceed from a known external authority, 3. They are norms whose binding force is guaranteed by external power .” Lihat dalam M. Friedmann, Legal Theory, op.cit.,hlm. 213. 561 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 60. Universitas Sumatera Utara 305 1. Perlindungan konstitusional yang menjamin hak-hak individu harus menentukan cara prosedural untuk menentukan perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Lembaga kehakiman bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat; 5. Kebebasan untuk berserikatberorganisasi dan beroposisi; dan 6. Pendidikan kewarganegaraan civil education. Masalah pokok mengenai negara hukum adalah pengakuan tentang demokrasi dan kekuasaan hukum. Benjamin Jowett 562 menyatakan bahwa bentuk negara yang paling baik menurut Aristoteles adalah demokrasi berdasarkan hukum, dengan demokrasi dan hukum dimaksudkan bahwa yang berdaulat dalam suatu negara adalah rakyat berdasarkan suatu sistem konstitusional bukan absolutisme atau kekuasaan belaka. Akses pada kepentingan umum algemene belangpublic interest adalah konsekuensi dari peran serta anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Tidak adanya akses tersebut merupakan masalah pengetahuan mengenai hak dan tanggung jawab yang seharusnya dimiliki masyarakat melalui pemberdayaan people empowerment agar masyarakat tidak mudah diperdaya oleh seorang manipulator. 563 Tiga dasawarsa belakangan ini ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ini akhirnya rontok berdiri atas dasar yang labil. Labilnya dasar pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh sistem politik dan hukum yang alpa 562 Benjamin Jowett, Politics, dalam The Pocket of Aristotle, New York : Washington Square Press, 1958, hlm. 276-338. 563 Alexander Seran, Moral Politik Hukum, Jakarta : Penerbit OBOR, 1999, hlm.2 Universitas Sumatera Utara 306 terhadap nilai-nilai sejarah, 564 karena itu prediksi mengenai bangkitnya ekonomi kita bergantung pada pemulihan sistem politik dan hukum yang merefleksikan nilai kerakyatan, keadilan dan keberadaban sebagai nilai sejarah yang harus dipertahankan berupa keterbukaan politik dan hukum yang responsif. Perubahan yang cepat di bidang perdagangan dan ekonomi, sekaligus menuntut perubahan dan pengembangan hukum yang cepat, dinamis dan aktual responsive law. 565 Transparansi yang bernafaskan roh reformasi berarti bahwa pemerintah tidak menghalang-halangi keikutsertaan masyarakat dalam penyidikan terhadap dugaan penyimpangan yang mengakibatkan raibnya harta negara ke kantong perorangan atau keluarga pejabat. Keterbukaan itu menjadi syarat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dalam penanganan krisis ekonomi. 566 Negara juga bertugas menciptakan kesejahteraan masyarakat, menjamin dan menciptakan peraturan perundang-undangan guna memberikan jaminan dan rasa nyaman bagi anggota masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh William Ebenstein 567 bahwa : The duty of the state to protect every member of society against the injustice or oppression of every other member of it, there can be no true welfare in a 564 Alexander Seran, ibid, hlm.22. 565 Nonet dan Selznick, menjelaskan bahwa hukum yang responsive responsive law adalah hukum yang tanggap, di mana antara politik dan hukum menyatu. Kondisi ini pada umumnya terwujud di negara maju post industrial countries yang ditandai dengan ditegakkan demokrasi dengan sendi utamanya : kebebasan, persamaan dan keadilan. Dalam Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Cetakan V, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, dari buku aslinya berjudul “Law and S ociety in Transition : Toward Responsive Law”, 1978 Bandung : Nusamedia, 2010. Bandingkan dengan B. Arief Sidharta, refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung : Mandar Maju, 1999, hlm. 50-52. 566 Alexander, op.cit., hlm.31. 567 William Ebestein, The Great Political Thinkers Plato to the Present, New York : Holt Rinehart and Winston, 1960, hlm. 610. Universitas Sumatera Utara 307 community that is deprived of law and justice based on fairness and equity and it is a duty of the state to provide legal security and impartialty. Terjemahan : Tugas negara untuk melindungi setiap anggota masyarakat terhadap ketidakadilan atau penindasan dari setiap anggota lainnya, tidak ada kesejahteraan sejati dalam masyarakat yang dirampas hukum dan keadilan berdasarkan keadilan serta kesetaraan, dan itu adalah tugas negara untuk memberikan keamanan hukum dan tidak memihak. Hukum yang dibentuk oleh negara merupakan sesuatu yang penting yang dibutuhkan oleh manusia dalam mencegah dan mengatasi kekacauan yang timbul dari hidup bersama. Adagium di mana ada masyarakat di situ ada hukum ”ubi societas ibi ius” juga sejalan dengan keadaan tersebut. Dalam Categorical Imperative-nya Kant 568 mendefiniskan hukum adalah ”law is the aggregate of the conditions under which the arbitrary will of one individual may be combined with that of another under a general inclusive law of freedom” keseluruhan kondisi di mana kehendak sewenang-wenang dari satu individu dapat dikombinasikan dengan yang lain sesuai termasuk kebebasan hukum umum. Austin 569 mendefinisikan hukum sebagai ”a rule laid down for the guidance of an intelligent being by an intelligent being having power over him” aturan yang ditetapkan untuk membimbing makhluk yang cerdas oleh makhluk cerdas yang memiliki kekuasaan atas dirinya. Wirjono Prodjodikoro 570 menyatakan bahwa ”hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat. ” Bagaimanapun primitifnya dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum sehingga 568 W. Friedmann, op.cit., hlm. 108. 569 Ibid., hlm. 211. 570 Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta : PT. Ikhtiar Baru, 1974, hlm. 11. Universitas Sumatera Utara 308 keberadaannya bersifat universal serta tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat melainkan memiliki hubungan timbal-balik. 571 Secara universal hukum mengemban misi untuk menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut : 572 1. Dispute resolution, a function of court and law firms penyelesaian sengketa, fungsi pengadilan dan bantuan hukum. 2. Reinforcement, or reinstitutionalization of existing practices within the community by framing rules that equate to those practices and by providing the means for their ”facilitation”- a function of courts and legislatures penguatan, atau pelembagaan kembali praktek yang ada dalam masyarakat dengan membingkai aturan yang sama dengan praktek-praktek tersebut dan dengan menyediakan sarana untuk memfasilitasi masyarakat - sebuah fungsi pengadilan dan legislatif. 3. Change in existing practices, by legislatures and sometimes, courts perubahan dalam praktek yang ada, oleh legislatif dan kadang-kadang, pengadilan. 4. Guidance or education - again, by the legislature and courts bimbingan atau pendidikan, oleh legislatif dan pengadilan. 5. Regulation, the administrative control of various private institutions, by the bureaucracy peraturan, kontrol administratif berbagai lembaga swasta, oleh birokrasi. 6. Participation by the state in social and economic affairs, by the bureaucracy partisipasi oleh negara dalam urusan sosial dan ekonomi, oleh birokrasi 7. Punishment, retribution or vengeance against perceived wrongdoers, reinforcement of existing social values, by courts and penal institutions hukuman, retribusi atau balas dendam terhadap pelaku kejahatan yang dirasakan, penguatan nilai-nilai sosial yang ada, oleh pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. 8. Maintaining social peace, or, more loosely, social order or social control, by police and penal institutions to the extent that they isolate some and deter some other potentially violent individuals menjaga perdamaian masyarakat, atau, lebih luas, tatanan sosial atau kontrol sosial, oleh polisi dan lembaga 571 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Tanpa Tempat : Pustaka Kartini , 1991, hlm. 27-28. 572 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 23-24, dikutip dari Charles Sampford, The Disorder of Law ; A Critique of Legal Theory, New York, USA : Basil Blackwell, 1989, hlm. 110-111. Universitas Sumatera Utara 309 pemasyarakatan sampai terisolasi dan mencegah beberapa individu yang berpotensi kekerasan lainnya. 9. Legitimation, of existing social institution - supposedly achieved by courts legitimasi, lembaga sosial yang ada – yang seharusnya dicapai oleh pengadilan. Pendapat lain bahwa hukum secara keseluruhan berfungsi sosial di antaranya: 573 1. Peacekeeping penjaga Perdamaian. 2. Checking government power and promoting personal freedom pemeriksa kekuasaan pemerintah dan mempromosikan kebebasan pribadi. 3. Facilitating planning and the realization of reasonable memfasilitasi perencanaan dan realisasi yang wajar. 4. Promoting economic growth through free competition meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui persaingan bebas. 5. Protecting the environment melindungi lingkungan hidup. Persoalan yang merupakan ”conditio sine qua non” dalam hukum adalah masalah keadilan. Mengenai masalah itu perlu diingat pandangan Gustav Radbruch 574 yang secara tepat menyatakan bahwa cita hukum tidak lain daripada keadilan. Selanjutnya Radbruch menyatakan ”Est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus .” 575 Justinian 576 mengatakan bahwa : Justice is the constant and perpetual desire to give to each one that to which he is entitled...jurisprudence is the knowledge of matter divine and human, and the comprehension of what is just and what is unjust... the following are the precepts of the law: to live honestly, not to injure another, and to give to each one whta belongs to him... 573 MallorBarnesBowersLangvardt, op.cit., hlm. 11 574 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet ke-5, Kencana, Jakarta 2009, h.23 sebagaimana dikutip dari Kurt Wilk, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin, Cambridge : Harvard University Press, 1950, hlm. 73. 575 Ibid, terjemahannya : akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya ; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum. 576 Benny S. Tabalujan, Singapore…, op.cit., hlm. 2. Universitas Sumatera Utara 310 Terjemahan : keadilan adalah keinginan tetap dan terus-menerus untuk diberikan kepada setiap orang yang berhak ... ilmu hukum adalah pengetahuan atas materi ilahi dan manusia, dan pemahaman lengkap tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil ... berikut ini adalah ajaran hukum : untuk hidup jujur, tidak melukai yang lain, dan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya ... . Persoalan keadilan ini bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat. Pandangan Hans Kelsen yang memisahkan keadilan dari hukum tidak dapat diterima karena hal itu menentang kodrat hukum itu sendiri. Manusia adalah anggota masyarakat dan sekaligus makhluk yang memiliki kepribadian. Sebagai anggota masyarakat perilakunya harus diatur, apabila masyarakat yang meletakkan aturan-aturan itu yang ditekankan adalah ketertiban, maka ini akan menghambat pengembangan pribadi anggota-anggotanya. Sebaliknya, setiap orang cenderung meneguhkan kepentingannya sambil kalau perlu melanggar hak orang lain, dalam hal inilah negara dipanggil untuk menetapkan aturan-aturan yang dipandang dapat menengahi kedua kepentingan tersebut 577 yang disebutkan oleh Kelsen 578 bahwa ”the requirements of the law are directed not at individuals but at the officials who operate the system.” Hal tersebut juga dikatakan oleh Mahfud MD 579 bahwa terdapat hubungan antara konfigurasi politik dan karakter 577 Peter Mahmud, op.cit., hlm. 23-24. 578 Ian Mc. Leod, Legal Theory, Second Edition, New York : Palgrave Macmillan, 2003, hlm. 81. 579 M. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1998, hlm. 381. Universitas Sumatera Utara 311 produk hukum bahwa setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya, artinya setiap muatan produk hukum akan sangat ditentukan oleh visi politik kelompok dominan penguasa. Oleh karena itu, setiap upaya melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsifpopulistik harus di mulai dari upaya demokratisasi dalam kehidupan politik. Arbitrase dapat mendukung akses menuju keadilan dan memainkan peran yang penting mencapai keadilan seperti digambarkan oleh Lord Chancelor 580 bahwa akses menuju keadilan adalah : Where people need help there are effective solutions that are proportionate to the issues at stake. In some circumstance, this will involve going to court, but in others, that will not be necessary. For most people most of the time, litigation in the civil courts. And often in tribunals too, should be the method of dispute resolution of last resort Terjemahan : Di mana orang membutuhkan bantuan maka ada solusi yang efektif yang proporsional dengan isu-isu yang dipertaruhkan. Dalam beberapa keadaan, ini akan melibatkan pengadilan, tetapi di sisi lain, tidak akan diperlukan. Bagi kebanyakan orang sebagian besar waktu, litigasi di pengadilan sipil dan seringkali di pengadilan juga harus menjadi metode penyelesaian sengketa pada tingkat akhir. Negara mengatur media penyelesaian sengketa kepentingan tersebut untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pihak melalui arbitrase yang merupakan suatu institusi yang berasal dari beragam masyarakat dan budaya. Bukan hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa arbitrase bersifat universal sebagaimana institusi manusia dan suatu fenomena budaya, namun meski bersifat universal, hukum 580 David Kelly, Ann Holmes, Ruth Hayward, loc.cit. Universitas Sumatera Utara 312 arbitrase tidak berarti identik sama pengaturannya disetiap negara. Selengkapnya sebagaimana dikatakan Schultz 581 bahwa : The universality of arbitration does not mean that it is identically regulated in all countries. The functioning of thiss institution in international trade requires a degree of harmonisation and legal centainty which enables an effective use of arbitration in the practice of this trade Terjemahan : universalitas arbitrase tidak berarti bahwa hal itu diatur serupa di semua negara. Fungsi lembaga ini dalam perdagangan internasional membutuhkan tingkat harmonisasi dan kepastian hukum yang memungkinkan penggunaan yang efektif dari arbitrase dalam praktek perdagangan ini. Proses harmonisasi arbitrase dimulai tahun 1923 melalui Genewa Protocol tentang klausula arbitrase, selanjutnya diikuti oleh New York Convention tahun 1958 tentang pengakuan dan penegakan putusan arbitrase, European Convention tahun 1961 tentang arbitrase komersial internasional, Washington Convention tahun 1965 tentang penyelesaian sengketa investasi antara negara dan warganegara dari negara lain, lalu Moscow Convention tahun 1972 tentang penyelesaian sengketa arbitrase untuk sengketa hukum perdata dalam hubungan ekonomi, keahlian dan kerjasama tekhnik, dan yang terakhir tercapai aturan umum yaitu UNCITRAL Arbitration Rules tahun 1976 dan UNCITRAL Conciliation Rules di tahun 1980. Adanya undang- undang arbitrase domestik dan internasional tersebut, maka kepentingan para pihak dalam melaksanakan kontrak bisnis nasional dan internasional yang mencantumkan klausula arbitrase diharapkan dapat diakomodir dengan baik. 581 Jan C. Schultsz and Albert Jan Van Den Berg, The Art of Arbitration, Essays on International Arbitration Liber Amicorum Pieter Sanders 12 September 1912-1982, USA : Kluwer Law and Taxation, 1982, hlm. 177. Universitas Sumatera Utara 313 Dunia globalisasi dan privatisasi telah menghasilkan jumlah pihak-pihak transaksi internasional yang besar serta diikuti oleh fenomena-fenomena sengketa dan litigasi terhadapnya. 582 Era globalisasi perdagangan bebas yang saat ini sedang digalakkan oleh negara-negara di dunia telah mendapat dukungan dari pesatnya pertumbuhan teknologi dan informasi, dikatakan demikian karena para pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya khususnya dalam suatu transaksi internasional tidak lagi membutuhkan pertemuan antara para pihak secara langsung karena melalui teknologi komputerisasi maka perjanjian internasional dapat tercapai. 583 Kenyataan ini jelas menguntungkan para pihak khususnya dari segi waktu, namun di samping keuntungan tersebut perjanjian internasional dalam prakteknya sangat rentan dengan masalah. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan yang mendasar dari kedua belah pihak, baik mengenai kepentingan masing-masing pihak, 584 582 Robert Briner, Kepala International Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce ICC, mengatakan bahwa, “Globalization and privatization have produced an evergrowing number of parties to international transactions, with all the disputes and litigious phenomena this entails ,” sebagaimana tertulis dalam Robert Briner, “Philosophy and objectives of the Convention ”, dalam “Enforcing Arbitration Awards under the New York Convention”, New York : United Nations Publications, 1999, hlm.13. 583 Suatu perjanjian dikatakan suatu perjanjian internasional karena di dalam perjanjian tersebut terdapat unsur asing foreign element. Adapun unsur asing yang dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama , para pihak yang membuat klausula atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu mempunyai tempat usaha place of business di negara-negara yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam perjanjian arbitrase ini letaknya di luar negara tempat para pihak mempunyai usaha. Ketiga, jika suatu tempat di mana bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus dilaksanakan atau tempat di mana obyek sengketa paling erat hubungannya most closely connected letaknya di luar negara tempat usaha para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui bahwa obyek perjanjian arbitrase tersebut berhubungan dengan lebih dari satu negara. Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Cet. Ke-2, Bandung : Alumni Bandung, 1993, hlm. 4 584 Menurut Hikmahanto Juwana perjanjian-perjanjian joint venture agreement yang berskala internasional biasanya lebih banyak mengakomodasi prinsip-prinsip yang dianut oleh negara maju. Hal Universitas Sumatera Utara 314 kewarganegaraan, disiplin hukum atau peraturan perundang-undangan yang dianut, budaya hukum dan juga kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masing-masing pihak. Disadarinya keadaan ini serta pengalaman dalam praktek, mengharuskan para pihak untuk mencari alternatif penyelesaian sengketa disputes di luar pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari terkait dengan pelaksanaan perjanjian pokok para pihak dan salah satu mekanisme yang paling diminati adalah arbitrase sebagai salah satu sistem hukum. Menurut Ludwig von Berthalanffy, bahwa sistem itu ada di mana-mana tersebar diberbagai bidang, 585 yang merupakan pengorganisasian dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu dengan yang lain, saling menguntungkan dan membentuk kesatuan sebagai ”whole coumpounded of several part” menurut Shrode dan Voich 586 dan ”an organized functioning relatinship among units or components” menurut Awad. 587 Menurut Fritjof Capra 588 sistem sebagai suatu relasi dan integrasi, interaksi dan interelasi, holistik, terpadu, dari berbagai komponen majemuk. Sistem hukum Indonesia dibangun berdasarkan sejarah hukum yang cukup panjang dan termasuk dalam kelompok sistem hukum Eropa Kontinental yang sangat ini dikarenakan lebih dominannya posisi tawar bargaining position negara maju di banding negara berkembang dalam pembuatan suatu perjanjian atau transaksi bisnis internasional. Hikmahanto Juwana, “Hukum Internasional Dalam konflik Kepentingan Negara Berkembang dan Negara Maju,” Gagasan dan Pemikiran Tentang Pembaharuan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pengukuhan Sebagai Guru Besar Hukum Ekonomi Internasional Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 10 Nopember 2001, hlm. 29. Pengukuhan Juli 2002, h. 29. 585 Ludwig von Berthalanffy, General System Theory : Fondation Development, Application, New York : George Braziller, 1972, hlm. 3. Dikutip dalam Katji Nisjar dan Winardi, Teori Sistem dan Pendekatan Sistem Dalam Bidang Manajemen, Bandung : Mandar Maju, 1997, hlm. 2-4. 586 Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta : Rajawali Pers, 1996, hlm. 1. 587 Ibid. 588 Fritjof Capra, op.cit., hlm. 266-267. Universitas Sumatera Utara 315 berbeda dengan kelompok sistem Anglo Saxon. Perbedaan ini sangat memberi pengaruh kepada ma kna negara hukum yang menganut sistem ”rechtsstaat” dengan negara hukum yang menganut sistem ”rule of law” baik pada tatanan pembentukan hukum maupun tatanan penegakan hukum beserta metode hukum yang dipergunakan. Meskipun Negara Indonesia termasuk dalam kelompok sistem hukum Eropa Kontinental namun masing-masing negara yang termasuk dalam kelompok sistem hukum tersebut memiliki ciri khas dalam membangun sistem hukumnya. Sistem Hukum Indonesia dibangun dengan pilihan paradigma yang disebut dengan ”The Personality Law ” yaitu membangun sistem hukum berdasarkan kepribadian Bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai, asas-asas dan norma-norma yang berasal dari kultur masyarakat Indonesia dengan tetap menyesuaikan diri dengan dinamika dunia luar. 589 Pembangunan hukum mengandung makna ganda. Pertama, bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk memperbaharui hukum positif sendiri sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat pada tingkat perkembangannya yang mutakhir, suatu pengertian yang biasanya disebut sebagai modernisasi hukum. Kedua , bisa diartikan juga sebagai suatu usaha untuk mempersoalkan hukum dalam 589 Tan Kamello, “Memperkenalkan Model Sistem Pembangunan Hukum Di Indonesia,” dalam Pemikiran Guru Besar USU Dalam Pembangunan nasional, Dewan Guru Besar USU, Medan : USU Press, 2012, hlm. 95-96. Universitas Sumatera Utara 316 masa pembangunan, yaitu dengan cara turut mengadakan perubahan-perubahan sosial sebagaimana dibutuhkan oleh suatu masyarakat yang sedang membangun. 590 Pembaharuan hukum investasi ditujukan untuk mencapai jaminan dan kepastian hukum bagi kegiatan investasi secara global, dengan memperhatikan hal- hal yang perlu dikembangkan agar tidak menghambat ekonomi, sehingga hukum investasi yang dibangun harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 591 Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi predictability yaitu apakah hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemapuan prosedural prosedural capability dalam penyelesaian sengketa, misalnya dalam peradilan tribunal court or administrative tribunal, penyelesaian sengketa di luar pengadilan alternative dispute resolution, dan penunjukan arbiter konsiliasi conciliation dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian sengketa. Ketiga, pembuatan pengkodifikasian hukum codification of goals oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus dibuat pendidikannya education dan selanjutnya di sosialisasikan. Kelima, hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan balance, karena hal 590 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman-Pengalaman Di Indonesia, cet.ke-3, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009, hlm. 203. 591 Erman Raja gukguk, 2001, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Teknologi : Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Indonesia,” pidato pada Dies Natalis Universitas Sumatera Utara ke- 44, sebagaimana dikutip oleh Bismar Nasution, 2003, “Pengaruh Globalisasi Ekonomi Pada Hukum Indonesia,” Majalah Hukum Universitas Sumatera Utara, Vol. 8 No. 1, Pebruari 2003, hlm. 12. Universitas Sumatera Utara 317 itu berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan dalam menentukan definisi dan status yang jelas definition and clarify of status, dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat mengakomodasi accomodation keseimbangan, definisi dan status yang jelas bagi kepentingan individu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kedelapan, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas stability, unsur-unsur hukum dalam pembangunan ekonomi tersebut tepat untuk diterapkan dalam pembaharuan hukum investasi. Penanaman modal diperlukan untuk mengolah potensi ekonomi di mana pemodal berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Penanaman modal akan membantu pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi yang dicita-citakan dan menghindarkan negara kita dari keterpurukan dan ketertinggalan pembangunan. Tentunya untuk mencapai cita-cita tersebut diperlukan iklim penanaman modal yang kondusif, memberikan kepastian hukum, adil dan efisien tanpa mengurangi terpenuhinya kepentingan ekonomi nasional sebagaimana latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal UU PMA. Pasal 3 UU PMA diatur bahwa asas keterbukaan adalah salah satu asas dalam penyelenggaraan penanaman modal selain kepastian hukum, akuntabilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, Universitas Sumatera Utara 318 kemandirian dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, sedangkan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat 1 huruf b menjelakan bahwa asas keterbukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal. Selain itu, dalam pasar modal indonesia diatur juga mengenai prinsip keterbukaan atau transparansi yang merupakan syarat mutlak yang bersifat universal dalam bisnis pasar modal demi terciptanya suatu pasar modal yang wajar, teratur dan efisien. Para pelaku pasar modal dituntut untuk menerapkan prinsip keterbukaan, sehingga para pemodal dapat diberikan perlindungan optimal terhadap praktek yang merugikan. Atas keterbukaan ini mengacu pada prinsip-prinsip universal yang berlaku pada praktik pasar modal internasional. 592 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal UUPM dalam Pasal 1 butir 25 mengatur bahwa ”prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan emitenperusahaan publik dan pihak lain yang tunduk pada undang-undang ini, untuk menginformasikan seluruh informasi material kepada masyarakat dalam waktu yang tepat mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal atau harga efek tersebut. Iman Sjahputra 593 menjelaskan bahwa dalam praktik keterbukaan informasi oleh emiten menjelang penawaran umum, terutama dilakukan melalui dokumen pernyataan pendaftaran berikut lampirannya kepada BAPEPAM, di 592 Iman Sjahputra, Pengantar Hukum Pasar Modal, Jakarta : Harvarindo, 2012, hlm. 83. 593 Ibid., hlm. 83-84. Universitas Sumatera Utara 319 samping itu pelbagai laporan berkala dan laporan peristiwa penting lainnya wajib disampaikan sesuai peraturan yang berlaku. Suatu pasar modal dapat dikatakan fair dan efisien bila semua pemodal memperoleh informasi dalam waktu yang bersamaan dengan kualitas informasi yang sama equal treatment dalam akses informasi, termasuk pengungkapan resiko investasi. Prinsip keterbukaan dalam UUPM pada dasarnya tidak mengenal adanya kerahasiaan perusahaan. 594 Bentuk keterbukaan secara umum yang berkaitan dengan publikasi putusan pengadilan adalah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik UU KIP yang mengatur bahwa setiap badan publik wajib membuka akses untuk mendapatkan informasi publik, kecuali informasi publik yang menghambat proses penegakan hukum, menggangu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan persaingan usaha, membahayakan pertahanan dan keamanan negara, dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia, merugikan ekonomi nasional, merugikan kepentingan hubungan luar negeri, dapat mengungkapkan akta otentik pribadi dan wasiat seseorang, dapat mengungkap rahasia pribadi. Selanjutnya pada Pasal 17 huruf k juga mengecualikan bahwa putusan pengadilan bukan merupakan hal yang dirahasiakan. Demikian juga Pasal 18 ayat 1 huruf a UU KIP mengatur bahwa putusan badan peradilan dan pertimbangan lembaga penegak hukum bukan 594 Iman Sjahputra, ibid. Bandingkan dengan Keputusan Ketua BAPEPAM No. 86PM1996 yang mengatur tentang keterbukaan informasi yang wajib segera diumumkan kepada publik. Universitas Sumatera Utara 320 merupakan kategori informasi yang dikecualikan dalam Pasal 17 tersebut di mana publikasi tersebut telah lebih dulu dilakukan oleh Mahkamah Agung sebelum lahirnya undang-undang ini. Selanjutnya Pasal 18 ayat 2 huruf a juga mengatur bahwa tidak termasuk informasi yang dikecualikan apabila pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis. Oleh karenanya berdasarkan UU KIP, maka putusan arbitrase ICSID juga bukan termasuk suatu bentuk putusan yang wajib dirahasiakan.

B. Sengketa Penanaman Modal Asing Di Indonesia.

Dokumen yang terkait

Penerapan prinsip arbitrase di indonesia dalam studi sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (MNC TV): analisis putusan MA No. 862 K/Pdt/2013

11 60 165

PERANAN AMDAL DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA ASIA TENGGARA.

5 146 1

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING ANTARA NEGARA DENGAN WARGA NEGARA ASING MELALUI ARBITRASE INTERNATIONAL CENTRE FOR SETTLEMENT OF INVESTMENT DISPUTES (ICSID ).

0 1 6

PENCABUTAN PENASEHAT HUKUM DALAM ARBITRASE DIKAITKAN DENGAN PUTUSAN MAJELIS ARBITRASE ICSID ATAS DASAR MEMBAHAYAKAN PERSIDANGAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN ARBITRASE DI INDONESIA.

0 0 2

Pembatalan Putusan Arbitrase Internacional di Pengadilan Indonesia

0 1 17

BANDING ATAS PUTUSAN ARBITRASE DI INDONESIA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 224

Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 2 35

BAB II PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID ANTARA INVESTOR ASING DENGAN HOST STATE H. Prinsip Keterbukaan - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

1 1 199

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

0 0 56

PENERAPAN PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN BEBERAPA NEGARA DISERTASI

0 1 19