Alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara:

(1)

ALTERNATIF KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI MUARA ANGKE,

JAKARTA UTARA

Oleh :

Omar Abdallah Arifuddin

PS. PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ”Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke Jakarta Utara” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam bentuk teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2009

Omar Abdallah Arifuddin Nrp. P051060091


(3)

ABSTRACT

OMAR ABDALLAH ARIFUDDIN. Environmental Vision of Fisherman Society Empowerment Policy Alternative at Angke Estuary, North Jakarta. Under supervision by ETTY RIANI and WONNY AHMAD RIDWAN

The aim of this research is for knowing the condition of social existing, economy, and fisherman’s culture at Angke Estuary; analyzing water quality and the beach mangrove broken at Angke Estuary; analyzing alternative policy which is related by environmental vision of fisherman empowerment efforts at Angke Estuary. This research will be done at June until July, 2009. This research metode which is finding social existing condition, economy, culture, and biophisyc is by deskriptive, analitycal hierarchy proccess (AHP) to determine an alternative policy of fisherman society empowerment. Fisherman society social life at Angke Estuary, is different with another fisherman society life in Indonesia, the low education, the dependent productivity of season, the limited capital employed, the low supporting tool, low market mechanism and technologi transfer, and communication which cause fisherman become unstabilizing. The impact of west and east season changing, and also water quality pollution cause fisherman use another natural resourches. There, by falling mangrove trees down at Angke Estuary Wild Life Sanctuary to make charcoal basic commudity as new profession or additional income. The continueing of taking mangrove trees by the fisherman in Wild Life Sanctuary, is the activity which break the low, because the Wild Life Sanctuary is protected by a bill number 41, 1999 about forestry, paragraph 50, artide 3. related by that condition, so, it is important to look for actual information, what the fisherman want is, as the their own competence, so it can be made an alternatif statement about fisherman sociaty empowerment which has a environmental vision at Angke Estuary.


(4)

Dibimbing oleh ETTY RIANI dan WONNY AHMAD RIDWAN

Di wilayah Muara Angke, kehidupan sosial masyarakat nelayan tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Indonesia. Kondisi kehidupan nelayan paling parah, dialami pada waktu musim barat daya dan musim timur. Biasanya pada musim barat daya, angin bertiup dari arah barat daya ke arah timur laut melewati pulau-pulau dengan kecepatan yang sangat kencang (badai), sedangkan pada musim timur, angin bertiup kencang mulai pagi hingga malam hari dengan iringan badai dan gelombang laut yang besar, sehingga menyulitkan nelayan untuk melakukan kegiatan di laut. Selain itu buruknya kualitas lingkungan akibat pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta telah menimbulkan kerugian yang serius pada kehidupan ekologis, ekonomi, kesehatan, maupun estetika.

Dampak perubahan musim barat dan timur serta pencemaran kualitas air mengakibatkan nelayan memanfaatkan sumberdaya alam lainnya yang ada di sekitarnya yaitu, menebang pohon mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke untuk dijadikan bahan baku arang sebagai profesi baru atau tambahan penghasilan. Oleh karena itu perlu dilaksanakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan. Agar pemberdayaan tepat maka penting untuk dilakukan kajian alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan.

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui alternatif kebikajan pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke dan tujuan khusus penelitian ini adalah menganalisis kondisi eksisting sosial, ekonomi dan budaya nelayan di Muara Angke, mendeskripsikan kualiatas air laut dan kerusakan mangrove pesisir di Muara Angke dan merumuskan alternatif kebijakan, terkait dengan upaya pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan sekunder, kemudian selanjutnya dianalisis kondisi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi secara deskriptif. Pada penelitian ini juga digunakan analisis AHP untuk menentukan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya nelayan di Muara Angke tergolong dinamis yang dapat diketahui dari, beragamannya etnis diantaranya Jawa, Sunda dan Betawi. Sedangkan kaum pendatang pada umumnya berasal dari Tagerang dan Banten. Namun hingga kini tidak pernah ada konflik horisontal antar masyarakat. Seperti umumnya masyarakat nelayan budaya lokal masih ada tetapi budaya pemeliharaan lingkungan oleh nelayan di Muara Angke relatif rendah begitu pun kondisi ekonomi masyarakat masih tergolong rendah.

Kualitas air laut di Muara Angke khusus parameter kekeruhan, zat padat tersuspensi (TSS), dan daya hantar listrik (DHL), serta kualitas kimia pada


(5)

parameter pH, oksigen, ammonia, phosphat, nitrat, fenol dan BOD sudah di atas nilai ambang batas yang diizinkan, diduga hal tersebut diakibatkan oleh banyaknya limbah yang masuk ke perairan Muara Angke sedangkan, parameter mikrobilogi masih masuk dalam kategori baik dan ekosistem mangrove sudah masuk pada kategori rusak akibat perambahan, konversi lahan serta abrasi.

Prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke ialah (a) budidaya ikan hias dengan bobot nilai 0,286, (b) nelayan tangkap dimoderenisasikan bobot nilai 0,267 (c) peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, (d) ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111.


(6)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm dan sebagainya


(7)

ALTERNATIF KEBIJAKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN BERWAWASAN LINGKUNGAN DI MUARA ANGKE,

JAKARTA UTARA

OMAR ABDALLAH ARIFUDDIN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PS. PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(8)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Etty Riani, MS Dr. Wonny Ahmad Ridwan, SE, MM

K e t u a Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS

Tanggal Ujian : 07 Oktober 2009

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

PRAKATA

Puji syukur yang tak terhingga penulis sampaikan Kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul Alternatif Kebijakan Pemberdayaa Masyarakat Nelayan Berwawasan Lingkungan di Muara Angke Jakarta Utara. Usulan ini dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian usulan penelitian ini, diantaranya yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS sebagai dekan sekolah pascasarjana IPB, yang telah memberikan perhatian dan dukungan dalam menempuh pendidikan strata 2 di IPB hingga selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan sekolah pascasarjana IPB, yang telah banyak memberikan arahan dan bantuan mulai dari selama proses perkuliahan sampai pada tahap menyelesaikan studi.

3. Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS. sebagai ketua komisi pembimbing dan bapak Dr. Wonny Ahmad Ridwan, SE, MM sebagai anggota komisi pembimbing yang keduanya tidak hanya memberikan bimbingan saja tetapi juga pendidikan yang sangat berarti. Kepada Prof. Dr. Ir. Sumardjo yang telah berkenan menjadi penguji luar, dan juga berkenan memberikan kritik dan saran-sarannya.

4. Kepada semua pihak di PSL yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

5. Kepada segenap anggota keluarga, khususnya ibunda dan ayahanda yang sangat saya sayangi, Aisyah dan M. Arifuddin Djabbar, B.A yang telah mengasuh dan membesarkanku dengan seluruh cinta kasih, pengorbanan dan


(10)

Muhammad Mabrur dan Mutammimah atas segala dorongan dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan tak ternilai harganya.

6. Bapak Walikota Makassar Ir. Ilham Arief Sirajuddin, MM, yang telah begitu banyak memberikan perhatian, dukungan dan bantuan pada kehidupan saya, begitupun ibu Menteri Kesehatan RI periode 2004-2009 Dr. dr. Siti Fadilah Supari dan Bupati Polewali Mandar Ir. Ali Baal Masdar, M.Si serta semua kakanda/senior berkat peran besar dalam proses pendidikan yang saya jalani. 7. Kepada rekan-rekan mahasiswa Program studi PSL Angkatan 2006 yang telah

banyak memberikan dukungan dan perhatian yang sangat berarti dan teman-teman lainnya yang tidak bisa di sebutkan satu persatu.

8. Terimakasih juga kepada kak Dhona Arianti, S.Si, M.Si yang telah banyak memberikan dukungan, bantuan dan semangat serta sahabatku (Risani Gazi, S.Pt, M.Si, Amir Rahman, Andi Chairil Ichsan, M. Rum, Iing Nasihing, Candra, Yoyok Sudarso, Nurhantabau, dan Syamsu Alam) atas semua dukungan dan kebersamaan selama ini. kepada teman-teman seperjuangan Asrama Mahasiswa Sulawesi Selatan Latimojong II, Forum Wacana IPB (Sadikin Amir, Hatta Jamil, dan Irfan Ido juga semua pengurus periode 2007-2008 dan periode 2007-2008-2009) dan HMI PASCA IPB.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu namun tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis berharap, semoga penelitian ini dapat berguna bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya kepada penulis pribadi kiranya dapat menjadi bekal setelah menyelesaikan studi nantinya.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Mei 1981 dari pasangan M. Arifuddin Djabbar dan Aisyah di Ugi Baru, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Penulis masuk Sekolah Dasar (SD) tahun 1988 pada SD Negeri 066 Pekkabata, Polewali Mandar dan tamat tahun 1994. Kemudian melanjutkan studi tahun 1994 pada Pondok Pesantren Sanawiah IMMIM Makassar hingga tahun 1996 lalu pindah ke Madrasah Sanawiah Swasta Al Ihsan DDI Kanang (setingkat SMP) Polewali Mandar dan tamat tahun 1997.

Setelah menamatkan sanawiah, penulis melanjutkan studi pada Madrasah Aliah Swasta Al Ihsan DDI Kanang (setingkat SMU) Polewali Mandar dan tamat tahun 2000. Kemudian melanjutkan studi tahun 2000 pada Perguruan Tinggi Universitas Muslim Indonesia Makassar pada Fakultas Pertanian Jurusan Sosek, dan menamatkan studi pada tahun 2005, dengan gelar Sarjana Pertanian (SP).

Penulis melanjutkan studi Program Magister (S2) tahun 2006 pada Institut Pertanian Bogor (IPB), Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dengan sponsor sendiri.


(12)

Daftar Tabel ... iv

Daftar Gambar ... v

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 3

1.3. Perumusan Masalah ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pemberdayaan ... 8

2.2. Partisipasi dan Pemberdayaan ... 10

2.3. Konsep Komunitas ... 11

2.4. Komunitas Nelayan ... 12

2.5. Pemberdayaan Komunitas Nelayan ... 14

2.6. Perairan ... 16

2.6.1. Pencemaran Perairan ... 16

2.6.2. Kualitas Perairan dan Baku Mutu Air Laut ... 17

2.7. Mangrove ... 18

2.7.1. Definisi Mangrove ... 18

2.7.2. Luas Hutan Mangrove di Indonesia ... 19

2.7.3. Fungsi Mangrove ... 19

2.8. Pembangunan Berwawasan Lingkungan ... 20

2.9. Analisis Kebijakan ... 21

2.10. Analisis AHP ... 26

III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi ... 29

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 29

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 30

3.4. Tahapan Penelitian ... 30

3.4.1. Tahap Pengumpulan Data ... 30

3.5. Analisis Data ... 30

3.5.1. Analisis Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, dan Budaya ... 31

3.5.2. Analisis Kualitas Air ... 31

3.5.3. Analisis Kerusakan Mangrove ... 32

3.5.4. Analisis Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Berwawasan Lingkungan ... 32


(13)

IV. KEADAAN UMUM MUARA ANGKE

4.1. Sejarah perkembangan perikanan ... 35

4.2. Karakteristik ... 35

4.2.1. Letak Geografis dan Administratif ... 35

4.2.2. Geologi dan Topografi ... 36

4.2.3. Hidrologi ... 36

4.2.4. Hidrooceonografi ... 36

4.2.5. Klimatologi ... 36

4.3. Kondisi Mangrove ... 37

4.3.1. Hutan Lindung Angke Kapuk ... 37

4.3.2. Suaka Margasatwa Muara Angke ... 38

4.4. Fasilitas dan Kegiatan di Muara Angke ... 38

4.4.1. Bangunan Tempat Tinggal... 38

4.4.2. Kawasan Perikanan... 39

4.4.3. Fasilitas Tempat Pendaratan Ikan (TPI) ... 40

4.4.4. Fasilitas Perbaikan Kapal / Docking ... 40

4.4.5. Fasilitas Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional ... 41

4.4.6. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ... 42

4.4.7. Cold Storage... 43

4.4.8. Tempat Pengecer Ikan ... 44

4.4.9. Unit Pengepakan Ikan... 44

4.4.10. Pujaseri Masmurni ... 44

4.4.11. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Dwi Fungsi... 45

4.4.12. Tambak Ujicoba Air Payau... 45

4.4. Fasilitas Perekonomian... 45

4.5. Kependudukan... 46

4.6. Suku Bangsa (Etnis) dan Tingkat Pendidikan ... 46

4.7. Agama ... 47

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, Budaya dan Nelayan di Muara Angke ... 48

5.1.1. Kondisi Ekonomi ... 49

5.1.2. Kondisi Sosial Budaya ... 52

5.1.3. Kesehatan Masyarakat... 53

5.2. Kualitas Air dan Kerusakan Mangrove di Muara... 54

5.2.1. Peraturan Pengelolaan Kualitas Air ... 54

5.2.1.2. Kualitas Air Dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut... 55

5.2.1.3. Kualitas Fisik ... 58

5.2.1.4. Kualitas Kimia... 60

5.2.2. Kondisi Hutan Mangrove... 65


(14)

6.1. Kesimpulan... 77 6.2. Saran... 77


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Nomor 1. Perbedaan karakteristik pekerjaan petani dan nelayan ... 13

Nomor 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP ... 28

Nomor 3. Pengambilan jumlah responden ... 29

Nomor 4. Fasilitas di Pelabuhan Muara Angke ... 39

Nomor 5. Fasilitas yang ada di TPI Muara Angke... 40

Nomor 6. Fasilitas docking kapal di Muara Angke... 41

Nomor 7. Jenis olahan ikan... 42

Nomor 8. Daerah penangkapan ikan... 43

Nomor 9. Fasilitas perekonomian di kelurahan penjaringan ... 45

... Nomor 10. Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan dari usahatani nelayan dalam 1 kali melaut... 50

Nomor 11. Pengeluaran sehari-hari rumah tangga nelayan... 51

Nomor 12. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 2004 Pada Stasiun C2 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun... 56

Nomor 13. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 2004 Pada Stasiun M1 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun... 57

Nomor 14. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 2004 Pada Stasiun M3 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun... 58


(16)

Nomor 18. Nilai prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara... 72


(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka pemikiran strategi kebijakan pemberdayaan

nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke ... 5

Gambar 2. Tiga elemen sistem kebijakan ... 23

Gambar 3. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi ... 25

Gambar 4. Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan ... 34

Gambar 5. Tingkat pendidikan responden di Muara Angke (Olahan Hasil Survei) di Lokasi Survey DKI Jakarta (Sumber : LPP Mangrove 2008)... 48


(18)

Indonesia dikenal dengan sebutan bangsa bahari, karena secara geogarfis 73 persen dari wilayahnya berupa perairan (laut) dan hanya 27 persen sisanya berupa daratan dan berdasarkan fakta memperlihatkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia gemar mengarungi lautan. Dari berbagai profesi yang digeluti masyarakatnya, mata pencaharian sebagai nelayanlah yang sangat dekat atau berinteraksi langsung dengan kebaharian.

Sejatinya keberadaan nelayan memberikan arti penting bagi kelangsungan hidup manusia di hampir semua wilayah baik di Bangsa Indonesia maupun untuk negara lain (ekspor). Hal ini semestinya berkontribusi signifikan pada kelayakan hidup nelayan, tetapi hal tersebut masih sangat jauh dari kenyataannya, karena masyarakat yang memilih profesi nelayan secara umum begitu identik dengan kemiskinan (masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun budaya) (Winengan, 2007).

Di wilayah Muara Angke, kehidupan sosial masyarakat nelayan tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat misalnya rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lambannya transfer teknologi serta komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat nelayan menjadi tidak menentu.

Kondisi kehidupan nelayan paling parah, dialami pada waktu musim barat daya dan musim timur. Biasanya pada musim barat daya, angin bertiup dari arah barat daya ke arah timur laut melewati pulau-pulau dengan kecepatan yang sangat kencang (badai). Musim ini biasanya terjadi sekitar awal tahun baru, yaitu bulan November-Januari. Sedang musim timur biasanya terjadi pada bulan Juni-Agustus. Pada musim timur, angin bertiup kencang mulai pagi hingga malam hari dengan iringan badai dan gelombang laut yang besar. Pada musim ini, ketinggian gelombang bisa mencapai 1-2


(19)

2

meter (Furqon, 2008). Gelombang tinggi membuat, beberapa nelayan menjalankan aktifitasnya pada malam hari. Di ke dua musim ini (musim barat daya dan musim timur), nelayan di Muara Angke hampir menjadi tidak produktif (Winengan, 2007).

Selain itu buruknya kualitas lingkungan akibat pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta telah menimbulkan kerugian yang serius pada kehidupan ekologis, ekonomi, kesehatan, maupun estetika. Secara ekologis pencemaran bahan organik telah menyebabkan blooming fitoplankton dari berbagai fitoplankton yang dapat menghasilkan zat kimia beracun (toxic algae) berupa ammonia. Peristiwa blooming plankton yang mencapai jutaan individu/liter, dengan pertumbuhan yang sangat cepat (eksponensial) dalam waktu yang sangat singkat disebut sebagai fenomena red tide. Peristiwa ini dapat mengakibatkan kandungan oksigen di perairan turun secara drastis dan mengakibatkan kematian massal pada ikan. Selain itu pertumbuhan algae secara berlebihan dapat mengganggu ekosistem lain yang ada di wilayah pesisir terutama di perairan teluk Jakarta.

Dampak perubahan musim barat dan timur serta pencemaran kualitas air mengakibatkan nelayan memanfaatkan sumberdaya alam lainnya yang ada di sekitarnya yaitu, menebang pohon mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke untuk dijadikan bahan baku arang sebagai profesi baru atau tambahan penghasilan. Rutinitas perambahan hutan mangrove yang dilakukan oleh para nelayan di Suaka Margasatwa tentunya adalah, tindakan yang melanggar hukum sebab Suaka Margasatwa dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 50, ayat 3, sehingga pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan yang melibatkan seluruh stakeholder sangat dibutuhkan agar meraka tidak lagi melakukan perambahan/pengerusakan hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa di Muara Angke.

Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan peran pemerintah dalam menanggulangi keterpurukan yang dialami oleh nelayan di Muara Angke dengan membuat kebijakan berupa berbagai program pemberdayaan yang tepat untuk menyelesaikannya. Tanggungjawab itu tertuang dalam konstitusi Undang-Undang


(20)

Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 63, ayat 1, yang berbunyi: pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya serta ayat 2, yang berbunyi pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdaya guna dan berhasil guna.

Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et al. dalam Nikijuluw (2000) adalah pembangunan. Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi pemberdayaan masyarakat berarti membangun collective personality of a society.

Memberdayakan masyarakat nelayan Muara Angke perlu mengadopsi keinginan semua stakeholders yang terkait didalamnya seperti, nelayan itu sendiri, pemerintah, tokoh masyarakat, dan industri yang berada di wilayah itu karena berbagai program yang telah dicanangkan hingga kini belum memperlihatkan hasil yang optimal, hal ini terlihat dari kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan yang belum membaik.

Terkait dengan kondisi tersebut di atas maka, perlu dicari informasi apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat nelayan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya, sehingga dapat dibuat alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran ini didasarkan pada kegiatan yang dilakukan oleh nelayan untuk memanfaatkan sumberdaya alam laut di sekitar kawasan Muara Angke akan tetapi pada kenyataannya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Muara Angke masih di bawah standar sejahtera. Rendahnya tingkat kesejahteraan di Muara Angke tersebut dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri


(21)

4

atas sosial (pendidikan, keterampilan, dan kesehatan), ekonomi (pendapatan, modal, sarana dan prasarana) dan budaya (etnis), sedang faktor eksternal terdiri atas ekologi (pencemaran air) dan musim. Kondisi perekonomian yang rendah membuat para nelayan memanfaatkan sumberdaya hutan mangrove yang menyebabkan degradasi lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan analisis terhadap faktor internal dan faktor eksternal serta melihat kerusakan mangrove. Agar tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di Muara Angke menjadi lebih baik, maka dibutuhkan alternative kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

Kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan yang selama ini telah ada diantaranya organisasi dalam masyarakat nelayan baik formal maupun informal seperti perangkat pemerintah dan organisasi keagamaan, sampai saat ini belum dapat memecahkan masalah-masalah sosial yang ada diantaranya pemerataan pembangunan yang berdampak pada perubahan kualitas hidup, peningkatan kegiatan usaha, perbaikan kesejahteraan, kondisi kesehatan lingkungan yang memadai, merupakan fenomena dalam kehidupan masyarakat nelayan. Selain itu beberapa program pemerintah baik pusat maupun daerah yang telah dilaksanakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan tidak berhasil, yang ditengarai akibat pendekatan yang tidak tepat dengan karakter masyarakat pesisir serta tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya dari masyarakat nelayan sendiri (Yayasan LP2SP/PMP, 2002).

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan di Muara Angke, diantaranya mengenai Analisis Kelayakan Kebijakan Pengawasan Kapal Ikan (Studi Kasus Pengawasan Kapal Ikan di PPN Pekalongan dan PPI Muara Angke, Jakarta Utara) oleh Mikron (2002), Kajian Beberapa Aspek Program Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Pengolahan Muara Angke DKI Jakarta Utara oleh Faiza (2002) dan Strategi Kebijakan Pengelolaan Kualitas Air Di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara oleh Dhona (2007). Namun penelitian tentang Alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara belum pernah dilakukan, sehingga perlu dilakukan penelitian ini. Untuk lebih jelasnya kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.


(22)

Gambar 1. Kerangka pemikiran strategi kebijakan pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke Alternatif kebijakan pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan

di Muara Angke SDA laut

Tingkat kesejahteraan nelayan rendah

Ekologi : - kualitas air

Sosial : - Pendidikan - Keterampilan - Kesehatan

Faktor eksternal Faktor internal

Musim Ekonomi :

- Pendapatan - Modal

Budaya ; - Etnis - Sarana &

prasarana Hutan

mangrove

Angke

Degradasi lingkungan


(23)

6

1.3. Perumusan Masalah

Usaha di bidang perikanan secara umum merupakan kegiatan dalam rangka memanfaatkan semua potensi baik lewat penangkapan, budidaya maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Masyarakat pesisir (nelayan) merupakan salah satu pelaku usaha, yang sampai sekarang ini dikategorikan sebagai kaum miskin dan memiliki banyak persoalan sehingga sangat jauh dari gambaran umum mengenai masyarakat sejahtera. Kemiskinan masyarakat pesisir turut memperberat tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tidak terkendali akibat belum adanya konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subjek dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir (Soepardjo, 2004)

Degradasi lingkungan dan musim berpengaruh begitu besar terhadap rendahnya pendapatan masyarakat nelayan di Muara Angke sehingga, masyarakat merambah hutan mangrove di wilayah Suaka Margasatwa Muara Angke. Melihat kondisi masyarakat nelaya di Muara Angke yang masih di bawah tingkat kesejahteraan menjadi dasar yang begitu penting agar dibuat berbagai alternatif kebijakan pemberdayaan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan taraf hidup nelayan di Muara Angke dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya. Oleh karena itu maka pertanyaan penelitian yang harus dijawab :

1. Bagaimana kondisi eksisting sosial, ekonomi, dan budaya nelayan di Muara Angke.

2. Sejauhmana kualitas air laut dan kerusakan mangrove di pesisir di Muara Angke. 3. Bagaimana alternatif kebijakan tepat, terkait dengan upaya pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui alternatif kebikajan pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke. Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Menganalisis kondisi eksisting sosial, ekonomi dan budaya nelayan di Muara Angke.


(24)

3. Merumuskan alternatif kebijakan, terkait dengan upaya pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan arahan alternatif kebijakan pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke. Selain itu diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan bagi pengelolah yang berada di wilayah Muara Angke dan utamanya instansi pemerintah.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan didefenisikan sebagai usaha memberi sebagian daya atau kekuasaan (power-sharing) kepada kelompok yang dianggap kurang berdaya. Pemberiaan daya tersebut diharapkan akan memberi lebih banyak kesempatan kepada suatu kelompok tertentu untuk berkembang dengan memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya maupun peluang yang tumbuh di luar kelompok (Adimihardja dan Hikmat, 2004). Payne dalam Adi (2001) mengemukakan bahwa pada intinya suatu proses pemberdayaan (empowerment) ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dia lakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan, yang dilakukan dengan peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Sedangkan Shardlow dalam Adi (2001) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok maupun komunitas berusaha mengotrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dari beberapa konsep pemberdayaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada intinya proses pemberdayaan meliputi aspek-aspek :

(a) Pemberian daya kepada individu, kelompok atau komunitas yang dianggap kurang Berdaya;

(b) Dengan pemberian daya tersebut, individu, kelompok atau komunitas sehingga (c) Pada akhirnya mereka dapat menentukan apa yang terbaik bagi diri

mereka sendiri tanpa campur tangan pihak luar.

Pemberdayaan masyarakat dan partisipasi merupakan strategi dalam paradigma pembangunan yang bertumpu pada rakyat (people centered development). Strategi ini menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal, melalui kesanggupan untuk melakukan control internal atas


(26)

sumberdaya material dan non-material yang penting melalui retribusi kekuasaan (modal maupun kepemilikan) (Korten dalam Adimihardja dan Hikmat, 2004). Selanjutnya ESCAP dalam Adimihardja dan Hikmat (2004), mengemukakan bahwa permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat bukan hanya akibat dari adanya penyimpangan perilaku atau masalah keperibadian, tetapi juga karena masalah structural, kebijakan yang keliru, implimentasi kebijakan yang tidak konsisten dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan (Bappenas, 2003). Pertama, kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangu aset material guna mendukung kemandirian mereka melalui pembangunan organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Agusta dalam Laporan Bappenas (2003), merumuskan bahwa program pemberdayaan mencakup lima hal, yaitu :

a. Asumsi bahwa suatu tindakan individu dilakukan untuk memberdayakan dirinya sendiri, dengan cara mengubah struktur atau mencari peluang pemberdayaan dari struktur yang ada.

b. Partisipasi merupakan tindakan sukarela. Tindakan pemberdayaan atau

pembebasan diri baru berarti ketika digerakkan oleh olahan persepsi, pemikiran dan sikap individu sendiri.

c. Karena merupakan tindakan sukarela, maka partisipasi mengarah kepada suatu tindakan rasional. Tindakan rasional disini diartikan sebagai pilihan atas sarana dalam hubungan dengan tujuan.

d. Asumsi bahwa program atau proyek adalah sumberdaya yang langka, padahal proses pemberdayaan masyarakat memiliki dimensi yang luas dan saling


(27)

10

berkaitan dalam waktu yang relatif lama. Oleh karenanya suatu program secara sendirian sulit membangun argument mengenai kemampuan membangun masyarakat.

e. Asumsi bahwa kelompok dilihat sebagai tindakan individu yang membentuk konsensus.

2.2. Partisipasi dan Pemberdayaan

Partisipasi masyarakat merupakan suatu hal yang menjadi penting dalam konteks pemberdayaan. Sumardjo dan Saharuddin (2004) mengemukakan 3 (tiga) alasan mengapa partisipasi masyarakat menjadi penting, karena :

(a) Melalui partisipasi masyarakat dapat diperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya kehadiran suatu program akan gagal.

(b) Bahwa masyarakat lebih mempercayai program pembangunan jika dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaan, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk program tersebut dan akan menimbulkan rasa memiliki terhadap kegiatan dalam program tersebut; dan

(c) Adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat mereka sendiri.

Berdasarkan alasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan (empowerment) sebenarnya jalan untuk mewujudkan partisipasi, karena pemberdayaan sangat menjunjung tinggi prinsip partisipasi itu sendiri.

Partisipasi merupakan bentuk prilaku dasar, karenanya unsur utama partisipasi adalah adanya kesadaran dan kesukarelaan dalam berprilaku sesuai dengan kebutuhan dan keinginan partisipan (Sumardjo dan Saharuddin, 2004). Selanjutnya menurut Widyatmadja dalam Sugiyanto (2002) mengemukakan pandangan partisipasi dari prespektif rakyat sebagai praktek dari keadilan. Oleh karenanya pemahaman partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat (empowering people) terdiri dari praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin dapat


(28)

menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Implementasi partisipatif dalam pembangunan adalah penerapan prinsip pembangunan yang berpusat pada rakyat, yang secara tegas menempatkan masyarakat menjadi pelaku utama dalam pembangunan (Sumardjo dan Saharuddin, 2004).

Seorang akan berpartisipasi menurut Sumardjo dan Saharuddin (2004) apabila terpenuhi prasyarat untuk berpartisipasi yang meliputi 3 (tiga) hal yaitu : (1) adanya kesempatan, yaitu suasana atau kondisi lingkungan yang didasari oleh orang tersebut bahwa ia berpeluang untuk berartisipasi, (2) kemauan, yaitu sesuatu yang mendorong/menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, dan (3) kemampuan, yaitu kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa ia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, yang dapat berupa pikiran, tenaga/waktu atau sarana dan material lainnya. Hal ini diperkuat oleh pandangan Agusta dalam Laporan Bappenas (2003) yang menyatakan tindakan partisipasi yang tumbuh dari dalam diri seseorang minimal menandakan kemandirian dan kemampuan dalam mengambil keputusan serta bersedia menanggung resiko.

Meskipun demikian terdapat pandangan mengenai kesulitan menumbuhkan pola partisipasi yang hakiki secara terencana atau bentuk rekayasa sosial. Disamping itu ada kesulitan lain untuk melepaskan partisipasi dari mobilisasi. Fenomena program pemberdayaan akhir-akhir ini menunjukkan batas antara mobilisasi dan partisipasi yang semakin kabur, yang bersumber dari kehalusan pesan yang melekat pada program itu sendiri, yang tidak mudah disadari oleh pembawa dan pemanfaat program pemberdayaan (Bappenas, 2003).

2.3. Konsep Komunitas

Komunitas diartikan sebagai kumpulan warga yang tinggal dalam suatu wilayah yang terbatas luasnya dan mempunyai kepentingan yang sama berkenaan dengan wilayah tempat tinggalnya itu (Sumarti dan Tonny, 2002; Adi dalam Gunardi, dkk, 2004). Selanjutnya Park dalam Tonny dan Kolopaking (2004), memberikan pengertian yang dianggap sangat relevan mengenai komintas sebagai “bukan hanya


(29)

12

kumpulan dari orang, tetapi kumpulan dari institusi (“A community is not only a collection of people, but is a collection of institutions. Not people, but institutions, are final and decisive in distinguishing the community from other social constellations”. Ife dalam Tonny dan Kolopaking (2004), berpandangan bahwa komunitas (community) dalam prespektif Sosiologi adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama atau tingkat interaksi yang tinggi, dimana anggota komunitas yang mempunyai kebutuhan yang sama (common needs) dan jika tidak ada kebutuhan bersama tersebut maka itu bukan suatu komunitas. Tonny dan Kolopaking (2004), mengemukakan tentang unsur-unsur perasaan komunitas (community sentiment) yang terdiri dari seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan. Ketika unsur tersebut merupakan suatu dasar dari adanya komunitas sesuai konsep komunitas yang ada.

Adi (2001), mengemukakan bahwa dalam intervensi komunitas, maka pengertian komunitas dapat pula mengacu pada komunitas fungsional, yaitu komunitas yang disatukan oleh bidang pekerjaan mereka bukan sekedar pada lokalitasnya saja.

2.4. Komunitas Nelayan

Berangkat dari defenisi komunitas di atas, maka secara umum komunitas nelayan diartikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (terutama pesisir), yang bermata pencaharian sebagai penangkap ikan atau pekerjaan yang berhubungan dengan perikanan lainnya (Ditjen P3K, DKP, 2003) Komunitas nelayan sangat berbeda dengan komunitas lain, karena adanya sistem kekerabatan, system pengelolaan ekonomi lokal, tipe lapisan sosial yang relaitf berbeda dengan komunitas yang ada di sekitarnya (Kusnadi, 2000). Kondisi ini diperkuat oleh Pollnack dalam Satria (2001) yang mengemukakan bahwa komunitas nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap bersifat open access sehingga nelayan harus berpindah-pindah dan memikul elemen resiko yang lebih besar dibandingkan komunitas lain, misalnya


(30)

petani. Selain itu nelayan harus juga berhadapan dengan kehidupan laut yang keras, sehingga mereka umumnya bersikap tegas, keras dan terbuka untuk membedakannya dengan petani. Tindjabate (2002), mengemukakan secara singkat perbedaan karakteristik pekerjaan nelayan dan petani Tabel 1.

Table 1. Perbedaan karakteristik pekerjaan petani dan nelayan

NELAYAN PETANI 1. Lebih tergantung pada alam

2. Luas lahan dan hak garapan tidak jelas 3. Perencanaan dan periode produksi lebih singkat

4. Produksi per periode tidak menentu dan sulit diatur

5. Semakin maju cenderung untuk berpindah-pindah (mempunyai home base lebih dari satu)

6. Istri nelayan tidak ikut ke laut (tidak turut bekerja)

1. Beberapa alam telah dapat ditanggulangi sendiri atau secara bersama-sama oleh petani

2. Luas dan hak garapan lebih jelas 3. Perencanaan dan periode produksi relative lebih lama

4. Produksi per periode relative dapat diukur

5. Semakin maju, cenderung untuk menetap

6. Istri petani ikut ke lahan (turut bekerja)

Komunitas nelayan memiliki beberapa karakteristik yang berbeda dengan komunitas lainnya. Komunitas secara sosiologis memiliki arti yang berbeda dengan masyarakat, karena komunitas yang bersifat homogen dengan diferensiasi sosial yang rendah, serta memiliki ikatan kesadaran kolektif yang masih besar yang biasanya berbentuk itakatan tradisi, agama, suku, ras, dan sebagainya. Nelayan sebagai komunitas berarti membicarakan kesadaran kolektif apa yang mengikat para nelayan dalam komunitas tersebut. Komunitas nelayan terbentuk karena ikatan kesadaran kolektif dalam bentuk kesamaan sejarah dan orientasi nilai budaya, serta status sosial selaku nelayan. Sebagai elayan mereka berciri sama yaitu mandiri (independent), percaya diri (self-reliance), bebas dari aturan yang kaku (freedom for regimentation), mobil (baik secara geografis dan kadang-kadang secara ekonomi) dan kuat secara fisik. Itu semua adalah konsekwensi dari pekerjaan nelayan yang memang sangat menantang dan beresiko tinggi (Satria, 2001)


(31)

14

Menurut Satria (2001), mengemukakan pandangan bahwa dalam mengkaji nelayan dan permasalahannya, penting sekali untuk membedakan sejelas mungkin antara (1) nelayan sebagai status pekerjaan (occupational status) dan (2) nelayan sebagai komunitas. Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka diambil suatu kesimpulan, bahwa yang dimaksudkan dengan komunitas nelayan adalah sebagai berikut :

a. Tinggal secara mengelompok di pinggiran pantai/wilayah pesisir.

b. Memiliki sistem kekerabatan, sistem pengelolaan ekonomi lokal dan tipe pelapisan sosial yang berbeda dari kebanyakan komunitas yang ada.

c. Pada umumnya bersifat lebih terbuka disbanding dengan komunitas lainnya. d. Beban resiko atas pekerjaannya relatif lebih besar dibandingkan dengan jenis pekerjaan lainnya.

e. Memiliki aturan bersama mengenai pengelolaan dan pemanfaatan wilayah penangkapan yang biasanya tidak tertulis tetapi disepakati bersama.

2.5. Pemberdayaan Komunitas Nelayan

Sesuai dengan pandangan Giddens (2002), yang berpendapat bahwa program-program pengentasan kemiskinan konvensional perlu diganti dengan pendekatan yang berfokus pada komunitas, yang memberi lebih banyak kesempatan partisipasi, demokratis sekaligus lebih efektif. Pembangunan komunitas menerangkan jaringan-jaringan pendukung, upaya menolong diri sendiri dan pengolahan modal sosial sebagai sarana untuk membangkitkan pembaharuan ekonomi dalam lingkungan yang berpenghasilan rendah. Program melawan kemiskinan membutuhkan suntikan sumber-sumber daya ekonomis, yang diterapkan dalam rangka mendukung prakarsa lokal.

Kusnadi (2002) merefleksikan pandangannya atas masalah-masalah nelayan dalam strategi pengolahan sumberdaya perikanan berbasis komunitas dalam kaitannya dengan kebutuhan pembangunan untuk mempertimbangkan hal-hal sebagi berikut :


(32)

(a) Mencegah munculnya kebijakan-kebijakan pembangunan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan dan pesisir yang tidak bersandar pada kepentingan publik dan kelestarian lingkungan;

(b) Membentuk forum kerjasama atau forum komunikasi antar pemerintah daerah untuk menyepakati penetapan norma-norma kolektif tentang pemanfaat sumberdaya perikanan lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah dan disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan agar mereka memiliki cara pandang yang sama ;

(c) Melakukan identifikasi seluruh pranata yang dimiliki oleh masyarakat nelayan/pesisir untuk selanjutnya memilih pranata-pranata yang bisa didayagunakan untuk pemberdayaan masyarakat nelayan ;

(d) Mengembangkan penguatan kedudukan dan fungsi pranata lokal serta

mengembangkan pranata-pranata baru sesuai dengan kebutuhan aktual sebagai sarana dalam pengelolaan sumberdaya lokal ; dan

(e) Penguatan organisasi masyarakat nelayan dan jaringan kerjasamanya, yang diperlukan terutama untuk menghubungkan masyarakat lokal dengan masyarakat luar.

Selanjutnya Fattah (2002) mengemukakan dua hal dalam kaitan meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan rumah tangga masyrakat pesisir (nelayan) yaitu : (1) Pemenuhan kebutuhan informasi, yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan

peningkatan usahanya. Kebutuhan ini sebenarnya berhubungan erat dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia masyarakat pesisir (nelayan), yaitu

dengan meningkatkan pengetahuan mereka terhadap hal-hal yang berhubungan dengan usahanya, misalnya kondisi laut dan pesisir pantai, kondisi iklim, jenis alat tangkap yang cocok, cara penggunaan alat tangkap secara benar, jenis hasil laut yang diminati konsumen, cara penanganan pasca panen, kondisi harga, cara memperoleh kredit usaha atau bantuan yang disediakan pemerintah atau lembaga kredit lainnya ; dan


(33)

16

mendukung perkembangan usahanya. Kebutuhan ini berhubungan erat dengan ketersediaan fasilitas produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir (nelayan) untuk mulai atau mengembangkan usahanya, seperti : fasilitas penghubung, fasilitas pemasaran produksi dan faktor-faktor produksi, fasilitas kredit yang mudah dan murah, fasilitas peralatan penanganan pasca produksi, dan penyediaan sarana dan prasarana usaha.

2.6. Perairan

2.6.1. Pencemaran Perairan

Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.51/MENKLH/I/2004, yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air/udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas air/udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air/udara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.

Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a) pencemaran fisik (warna, karena zat organik dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa), b) pencemaran fisiologi (rasa dan bau), c) pencemaran biologi (pertumbuhan ganggang dan bakteri termasuk bakteri patogen), d) pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik (Soedharma dkk, 2005 ).

Sanitasi lingkungan khususnya lingkungan perairan bila tercemar akan menimbulkan atau memudahkan terjadinya penularan penyakit, kesehatan menjadi tidak higienis dan pola hidup yang menjadi kurang baik. Salah satu penyebab utama terjadinya pencemaran di lingkungan perairan diakibatkan oleh metode perlakuan pembuangan limbah domestik yang tidak sesuai dengan aturan (Izumino, 2009)


(34)

2.6.2. Kualitas Perairan dan Baku Mutu Air Laut

Kualitas suatu perairan pantai sangat ditentukan oleh aktifitas manusia dan alam dari wilayah di sekitarnya. Bahan-bahan pencemar masuk ke perairan pantai selalu mengikuti arus pasang surut bolak-balik yang terjadi dua kali sehari. Bahan-bahan ini seolah-olah terperangkap dalam suatu jarak tertentu di perairan pantai dan terakumulasi, yang dapat mengakibatkan terlampauinya daya pulih diri (self purification) perairan pantai. Apabila hal ini terjadi, maka terjadinya penurunan kualitas perairan, karena penggunaan suatu badan air harus sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi suatu peruntukan. Persyaratan-persyaratan tersebut antara lain, dimilikinya ukuran-ukuran minimum bagi senyawa-senyawa yang membahayakan (Soedharma et al, 2005 ).

Kualitas air perlu dijaga dengan mengadakan pemantauan secara intensif. Untuk dapat mengetahui kualitas air laut yang baik, maka perlu dilakukan Program Kali Bersih (PROKASIH) secara berkala, sehingga kualitas perairan dapat dimonitor setiap saat,agar tidak menimbulkan dampak pada sistem ekologi, ekonomi dan sosial.

Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut (Kepmen RI KLH No. 02 tahun 1998). Tujuan dari pengembangan baku mutu air laut adalah melindungi laut dari berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran melalui kajian baku mutu air laut sehingga dapat diterapkan dalam upaya pemantauan serta penegakan hukum.

Arti penting menjaga dan melestarikan laut yang telah banyak menyediakan jasa dan sumberdaya; seperti makanan, rekreasi, perlindungan tempat perkembangbiakan dan tempat daur ulang limbah. Menjadi nilai tersendiri dari pesisir pantai yang begitu penting untuk dipertimbangkan dan dilindungi sekaligus bahan bagi para pembuat kebijakan (Goteborg dan Sweden, 2009).


(35)

18

2. 7. Mangrove

2.7.1. Definisi Mangrove

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob. Kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Adapun menurut Aksornkoae dalam Nasihin (2007), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Macnae dalam Snedaker (1974) menyarankan agar kata “Mangrove” digunakan untuk satuan pohon dan semak sedangkan kata “mangal” berlaku untuk komunitas tumbuhan tersebut. Meskipun demikian, FAO (1994) melihat bahwa konteksnya biasanya jelas apa yang dimaksud dengan pohon atau hutan mangrove.

Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme


(36)

(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.

2.7.2. Luas Hutan Mangrove di Indonesia

Iklim Indonesia secara ekologi cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan mangrove dan hutan mangrove. Meskipun secara umum lokasi mangrove diketahui, namun terdapat variasi yang nyata dari luas total hutan mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha (Dehut, 2004).

Beranjak dari perkiraan luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 seluas 3.765.250 ha, total luas areal berhutan mangrove berkurang sekitar 1,3 % dalam kurun waktu 6 tahun (1993 sampai 1999). Angka penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu antara tahun 1993 – 1999 ini jauh lebih kecil dibandingkan dalam kurun waktu 1982 – 1993. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana (1996) diketahui bahwa dalam kurun waktu antara tahun 1982 – 1993 (11 tahun), luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 % (4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993) atau 1 % per tahun (Dephut, dll, 2004).

2.7.3. Fungsi Mangrove

Hutan mangrove juga berfungsi untuk menopang kehidupan manusia, baik dari sudut ekologi, fisik, maupun sosial ekonomi-misalnya untuk menahan ombak, menahan intrusi air laut ke darat, dan sebagai habitat bagi biota laut tertentu untuk bertelur dan pemijahannya. Hutan mangrove dapat pula dikembangkan sebagai wilayah baru dan untuk menambah penghasilan petani tambak dan nelayan, khususnya di bidang perikanan dan garam (Subing, 1995).

Menurut Sudarmadji (2001), hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Pada daerah ini akan terdapat ekosistem-ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuary yang saling


(37)

20

berpengaruh antara ekosistem yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, terjadinya kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem yang lain. Sebaliknya seperti diuraikan di atas keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya.

2.8. Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi keijaksanaan penataan, pemanfaatan pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup adalah agar manusia hidup lebih nyaman, sehat, tenteram dan bebas beraktivitas. Hal serupa juga dikemukakan oleh Sudarmadji (2002), bahwa dengan melakukan konservasi akan dapat mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mutu kehidupan manusia.

Sumberdaya alam sering dieksploitasi secara berlebihan, sehingga muncul ketidak seimbangan lingkungan. Salim dalam Handono (2009) mengatakan bahwa hal yang dapat menggangu keseimbangan lingkungan hidup adalah: (1) perkembangan teknologi yang berhasil diwujudkan oleh akal dan otak manusia, dan (2) adanya pertambahan jumlah penduduk. Selama pertambahan penduduk berada dalam batas kewajaran maka pertambahan relatif tidak mengganggu keseimbangan lingkungan.

Soemarwoto dalam Handono (2009) mengemukakan bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan pada hakekatnya merupakan permasalahan ekologi antara pembangunan dan lingkungan. UU No. 23 tahun 1997 menyatakan bahwa salah satu sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah terjaminnya kepentingan antara generasi masa kini dan generasi masa depan. Wawasan lingkungan yang


(38)

berkelanjutan merupakan suatu pandangan, dalam arti pandangan terhadap lingkungan yang merupakan suatu usaha tentang pendayagunaan lingkungan dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan, serta kelestarian fungsi dan kemampuannya sehingga dapat menunjang prinsip keadilan antar generasi sekarang dan generasi masa datang. Selain itu Soemarwoto dalam Handono (2009) juga mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial masyarakat bergantung kepadanya. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahnya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Menurut Susilo dalam Handono (2009) mengemukakan laju pembangunan harus dikendalikan sebab jika tidak, pembangunan tidak lagi sebagai cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun justru memproduksi kerusakan-kerusakan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

2.9. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Quade dalam Dunn, 2003). Menurut Anderson, kebijakan adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu perubahan (Winarno dalam Tangkilisan, 2005)

Membuat atau merumuskan suatu kebijakan, yaitu kebijakan pemerintah tidaklah mudah, banyak faktor berpengaruh terhadap proses pembuatannya. Proses pembentukan kebijakan pemerintah yang rumit dan sulit harus diantisipasikan sehingga akan mudah dan berhasil saat diimplementasikan (Tangkilisan, 2004).

Dalam hal ini para pembuat kebijakan harus menentukan identitas permasalahan kebijakan. Dengan cara mengidentifikasi problem yang timbul kemudian


(39)

22

merumuskannya. Dalam perumusan kebijakan pemerintah, yaitu kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah.

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan prospektif. Selanjutnya analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan (Dunn, 2003). Davis et al. (1993) mengatakan bahwa kebijakan bukanlah berdiri sendiri (singel decision) dalam proses kebijakan dalam sistem politik, tetapi bagian dari proses antar hubungan, sehingga kebijakan dapat dikatakan sebagai suatu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran.

Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak faktor lainnya didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur, yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Gambar 1).

Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Gambar hubungan tiga elemen penting di dalam suatu sistem kebijakan ( Dyen dalam Dunn, 2003) dapat dilihat pada Gambar 2.


(40)

PELAKU KEBIJAKAN

LINGKUNGAN KEBIJAKAN

KEBIJAKAN PUBLIK

Gambar 2. Tiga elemen sistem kebijakan (Dyen dalam Dunn, 2003)

Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, yang diformulasikan didalam berbagai bidang, termasuk lingkungan hidup.

Definisi dari masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.

Selanjutnya lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian disekelilingi isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Kebijakan operasional dari suatu lembaga adalah didasarkan pada suatu pijakan landasan kerja. Landasan kerja inilah yang merupakan dasar dari kebijakan yang ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan kegiatan atau pengambilan keputusan. Menurut Wahab dalam Tangkilisan (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah (a) Organisasi atau kelembagaan; (b) Kemampuan politik dari penguasa; (c) Pembagian tugas, tanggung jawab dan wewenang; (d) Kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental; (e) Proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik; (f) Aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta profesional; (g) Biaya untuk melakukan evaluasi; (h) Tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai kebijakan.


(41)

24

Dalam pelaksanaan suatu kebijakan formal sangat tergantung pada bagaimana kebijakan itu diimplementasikan dan diberlakukan keputusan tersebut kepada masyarakat. Pengimplementasian penyususnan suatu kebijakan sangat di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah (1) seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, (2) karakteristik dan badan eksekutif, (3) metode yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan peraturan yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut, dengan adanya faktor-faktor tersebut sehingga membuat kebijakan menjadi dinamis. Prinsip –prinsip pembuatan kebijakan yang ideal mempunyai tahapan-tahapan tersendiri seperti pada Gambar 3. Rees (1990) mengatakan bahwa suatu kebijakan terlihat irasional, karena kebijakan yang diterima oleh suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat lainnya. Sehingga kebijakan itu harus diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyedia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.


(42)

Sistem informasi

Formulasi kebijakan

(Perundang-undangan dan peraturan Penetapan tujuan-tujuan secara detai

Menetapkan metode yang tepat

Membentuk oerganisasi/institusi yang tepat

Operasional rutin Pelaksanaan rencana

Analisis hasil

(Uji berdasarkan sasaran yang dicapai)

Gambar 3. Penetapan kebijakan yang ideal dan proses implementasi (Ress, 1990)

Pemilihan dalam pengambilan kebijakan yang baik dan tepat dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa kriteria kebijakan, menurut Abidin (2000) ada beberapa kriteria kebijakan yang bisa digunakan diantaranya adalah :

1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah suatu pemilihan sasaran yang dicapai dengan satu alternatif kebijakan dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Jadi satu strategi kebijakan dipilih dan lihat dari kapasitasnya untuk memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan permasalahan masyarakat. 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos


(43)

26

3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada.

4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat. 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab

permasalahan tertentu dalam masyarakat.

6. Tepat (apropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya.

2.10. Analisis AHP

Untuk mendapatkan skenario optimal dalam pemberdayaan masyarakat nelayan di Muara Angke maka digunakan pendekatan AHP. Analisis hirarki proses (AHP) merupakan metoda yang memodelkan permasalahan yang tidak terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial. Pada dasarnya, AHP ini didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melaui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Saaty dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) menyatakan bahwa Proses Hirarki Analitik adalah model luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefenisikan persoalan dengan cara membuat asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan.

Menurut Saaty dalam Eriyatno dan Sofyar (2007), metode AHP memasukkan faktor kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia. Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Proses ini dengan jelas menunjukkan bahwa demi pengambilan keputusan yang sehat dalam situasi yang komplek diperlukan penetapan prioritas dan melakukan perimbangan. AHP adalah mengidentifikasi, memahami, dan menilai interaksi-interaksi suatu sistem sebagai suatu keseluruhan.


(44)

Data yang dianalisis meliputi data struktur hirarki keputusan berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner dengan pendekatan AHP yang menggunakan analisis komparasi berpasangan. Untuk menggambarkan Perbandingan berpasangan berpengaruh relatif atau berpengaruh pada setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya dilakukan perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan, dengan melakukan penilaian terhadap tingkat kepentingan antara satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala prioritas AHP. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan “sama penting”, ini berarti atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang “penting absolut” dibandingkan dengan yang lainnya. Jika hasil perhitungan menunjukkan nilai consisten ratio (CR) < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Untuk menganalisis data ini digunakan computer dengan bantuan program expert choice 2000. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :


(45)

28

Tabel 2. Skala banding secara berpasangan dalam AHP

Tingkat Kepentingan Keterangan Penjelasan 1 3 5 7 9 2,4,6,8 kebalikan

ƒ Kedua elemen sama pentingnya

ƒ Elemen yang satu sedikit lebih penting dari pada elemen yang lain

ƒ Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain

ƒ Elemen yang satu jelas lebih penting

ƒ Penting dari pada elemen yang lain

ƒ Elemen yang satu mutlak lebih penting dari pada elemen yang lain

ƒ Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang

berdekatan

ƒ Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktifitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

ƒ Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama terhadap tujuan

ƒ Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya

ƒ Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya

ƒ Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya

ƒ Satu elem dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek

ƒ Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

ƒ Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi diantara dua pilihan


(46)

Penelitian ini telah dilakukan di Muara Angke, Jakarta Utara. Pemilihan lokasi ini ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Waktu penelitian dari bulan Mei sampai Juli 2009.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif. Pengambilan contoh dilakukan dengan metode survey, yaitu metode yang bertujuan untuk meminta tanggapan responden. Beberapa pendekatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah diskusi dan wawancara dengan panduan kuisioner serta pengamatan langsung terhadap kegiatan nelayan di Muara Angke. Penentuan responden dipilih secara sengaja (purposive sampling), pengumpulan data berdasarkan pertimbangan sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian (Soehartono, 1999). Responden terdiri dari stakeholder yang mengetahui permasalahan dan kondisi nelayan Muara Angke dari berbagai lembaga/instansi terkait, swasta, LSM dan masyarakat sekitar yang berfropesi sebagai nelayan. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989) bahwa pengambilan responden masyarakat harus yang mempunyai mata pencaharian dan beraktifitas di sekitar wilayah yang dimaksud selama minimal 1 tahun. Rincian pengambilan jumlah responden tersebut dapat dilihat pada Tabel.

Tabel 3. Pengambilan jumlah responden

No Sample Jumlah (orang)

1 2 3 4 5

Dinas Perikanan Dan Peternakan Jakarta Utara Pengusaha/Swasta

Perguruan Tinggi

Organisasi Non Pemerintah (LSM) Masyarakat di Muara Angke

2 2 2 2 30


(47)

30

3.3. Jenis dan Sumber Data

Pada penelitian ini digunakan dua jenis data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer kondisi eksisting dengan melihat langsung keadaan di lapangan. Data primer kebijakan di peroleh dari kuisioner terhadap para stakeholder yang terlibat langsung terhadap pemanfaatan kawasan Muara Angke.

Pengumpulan data sekunder melalui penelusuran berbagai pustaka yang ada di berbagai instansi pemerintah dan swasta, seperti kantor BPLHD DKI Jakarta Utara, Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta Utara, UPT. Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan (UPT. PKPP& PPI) dan lain-lain, data dari hasil penelitian sebelumnya, hasil studi pustaka, berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan, laporan serta dokumen dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4. Tahapan Penelitian

3.4.1. Tahap Pengumpulan Data

• Mengumpulkan data sekunder melalui isntansi pemerintah terkait dengan, pendidikan, mata pencaharian, pendapatan, modal, sarana dan prasarana, kesehatan, industri, keterampilan yang pernah diberikan, etnis dan kualitas air serta tingkat kerusakan mangrove.

• Melakukan wawancara, diskusi dengan menggunakan panduan kuisioner terhadap pelaku utama yang dapat mewakili pihak yang berkepentingan (stakeholder), sehingga diperoleh data primer.

3.5. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan meliputi beberapa tahap yaitu : analisis kondisi eksisting sosial, ekonomi, budaya, analisis deskriptif terhadap pencemaran kualitas air dan kerusakan hutan mangrove di sekitar Muara Angke, analytical hierarchy


(48)

process (AHP) untuk menentukan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan.

3.5.1. Analisis Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, dan Budaya

Analisis sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat didasarkan atas kuisioner, data dikumpulkan dan disederhanakan pencatatannya dengan tabulasi selanjutnya data tersebut dianalisis. Data kuantitatif akan dianalisis dengan analisis parsial (analisis tabel dan analisis R/C) (Soekartawi, 2002). Pada dasarnya analisis kuantitatif lebih banyak bersifat menjelaskan fenomena yang muncul pada analisa kualitatif atau mungkin sebaliknya.

Analisi R/C

R/C adalah singkatan dari return cost ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut :

a = R/C R = Py.Y

C = FC+VC

a = { (Py.Y)/(FC+VC) }

ket:

R = penerimaan C = biaya

Py = harga output Y = output

FC = biaya tetap (fixed cost)

VC = biaya variabel (variable cost)s

3.5.2. Analisis Kualitas Air

Analisis kondisi kualitas air dilakukan secara deskriptif, dari data sekunder dan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam pengelolaan lingkungan hidup Muara Angke.


(49)

32

3.5.3. Analisis Kerusakan Mangrove

Analisis kerusakan mangrove dilakukan secara deskriptif, menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari dinas/instansi terkait.

3.5.4. Analisis Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Berwawasan Lingkungan

Dilakukan perumusan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan Muara Angke Jakarta Utara dengan menggunakan metode AHP. Dalam AHP pengukuran dapat dilakukan dengan membangun skala pengukuran dalam bentuk indeks, skoring atau nilai numerik tertentu.

Ha-hal yang harus diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Adapun tahapan pada pendekatan AHP meliputi :

a) Identifikasi sistem, bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan.

b) Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.

c) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan judgment dari pengambilan keputusan, dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen di bandingkan dengan elemen lainnya.

d) Menghitung matriks pendapat individu e) Menghitung pendapat gabungan f) Pengolahan vertikal

g) Revisi pendapat

Struktur hirarki ini diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada level paling bawah. Untuk lebih


(50)

jelasnya struktur hirarki dalam perumusan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan di Muara Angke Jakarta Utara dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.


(51)

34

Pemberdayaan nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke

Tingkat 1:

Fokus

Tingkat 2:

Perguruan Tinggi

DKP LSM Swasta Nelayan

Stakeholders E k o E k m E k o S o s E k m E k m E k o E k m E k m S o s S o s E k o E k o S o s S o s Tingkat 3: Aspek - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka - Prm - Pam - Pel - M - Ka - P - Pb - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka - Prm - Pam - Pel - P - Pb - M - Ka

Tingkat 4: Ekowisat

a Nelayan

tangkap dimoderenisa

sikan

Alternatif Budidaya ikan hias Peningkatan nilai tambah Pemandu wisata

Gambar 4. . Struktur hirarki perumusan strategi kebijakan

Ket :

- Eko = Ekologi, - Sos = Sosial, - Ekm = Ekonomi

- M = Musim, - Ka = Kualitas air, - P = Pendapatan, - Pb = Peluang bekerja,


(52)

Keberadaan Muara Angke sebagai tempat pelelangan ikan sudah ada sejak dulu dimulai dari TPI Marunda, TPI Cilincing, TPI Kalibaru Timur, TPI Kalibaru Barat, TPI Bintang Mas, TPI Sunda Kelapa, TPI Muara Karang, TPI Kamal Muara. Pada tahun 1977 dirubah menjadi Muara Angke dengan skala tradisional dan Muara Baru dengan skala industri. Pada tahun 1998 ditambah lagi TPI Cilincing, TPI Kalibaru, TPI Kamal Muara.

4.2. Karakteristik

4.2.1. Letak Geografis dan Administratif

Kawasan Muara Angke terletak di bagian utara sebelah barat Propinsi DKI Jakarta dan berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Kawasan Muara Angke termasuk dalam wilayah administrasi Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan Kota Jakarta Utara. Daerah perikanan Muara Angke memiliki luas wilayah 771.9 ha.

Batas-batas Kawasan Muara Angke adalah : - Sebelah barat berbatasan dengan Kali Angke - Sebelah timur berbatasan dengan Jalan Pluit Barat - Sebelah selatan berbatasan dengan Kali Angke - Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa

Kawasan Muara Angke secara geografis terletak pada 60.06’.50” LS sampai 60.06’56” LS dan 1060.45’.56” BT sampai 1060.46’.28” BT, dengan tinggi rata-rata 0-1 m di atas permukaan air laut. Kawasan Delta Muara Angke diapit oleh 2 anak sungai, yaitu Kali Angke di sebelah timur dan Kali Adem di sebelah barat. Lahan seluas 65 ha dimanfaatkan untuk perumahan nelayan (21,26 ha); tambak uji coba budidaya air payau (9,12 ha); bangunan PPI beserta fasilitas penunjangnya (5 ha); hutan bakau (8 ha); tempat pengolahan ikan tradisional (5 ha); docking kapal (1,35 ha); lahan kosong (6,7 ha); pasar, bank dan bioskop (1 ha) ) serta terminal (2,57 ha).


(53)

36

4.2.2. Geologi dan Topografi

Kawasan Muara Angke mempunyai geomorfologi sebagaimana umumnya daerah-daerah pantai sepanjang pantai DKI Jakarta yakni sangat dipengaruhi oleh hasil endapan sungai-sungai yang mengalir di wilayah tersebut, endapan-endapan tersebut umumnya membentuk endapan alluvial pantai dengan permukaan tanah datar dan subur karena dipengaruhi endapan sungai yang mengandung sedimen dan didalamnya mengandung bahan-bahan organik namun tekstur tanah lunak/tidak solid, sehingga daya dukung tanah rendah dan proses intrusi air laut tinggi. Kawasan Muara Angke memiliki kontur permukaan tanah datar, ketinggian dari permukaan laut antara 0 sampai 1 meter, kondisi air permukaan terdiri dari payau, kolam tambak, rawa-rawa, Kali Angke dan laut.

4.2.3. Hidrologi

Kawasan Muara Angke merupakan delta yang diapit oleh 2 anak sungai yaitu Kali Angke dan Kali Adem, kondisi airnya tidak baik karena banyak polutan yang mencemari sungai tersebut sebagaimana kebanyakan sungai-sungai yang berada di wilayah DKI Jakarta, namun demikian Kali Adem dan Kali Angke masih banyak digunakan oleh sebagaian masyarakat Muara Angke untuk aktivitas sehari-hari. 4.2.4. Hidrooceonografi

Pasang surut yang terjadi di pangkalan pendaratan ikan Muara Angke mengikuti pola pasang surut Perairan Teluk Jakarta yakni mempunyai sifat harian tunggal yaitu terjadi satu kali pasang dan satu kali surut setiap hari. Kisaran terbesar antara surut tertinggi dan surut terendah adalah 1,2 m ( Dinas Hidro Oseanografi TNI AL, 1998).

4.2.5. Klimatologi

Sesuai dengan letak geografinya, keadaan iklim Kota Jakarta secara umum termasuk kawasan Muara Angke beriklim tropis dengan data curah hujan sepanjang


(54)

tahun 2000 mencapai 1.913,8 mm, suhu udara di Muara Angke cukup tinggi suhu maksimum udara berkisar 31,40C pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 25,40C pada malam hari, dengan kelembaban rata-rata 7 knots per jam, sedangkan arah angin selalu berubah-ubah sesuai musim pada setiap tahunnya.

4.3. Kondisi Mangrove

Hutan mangrove Muara Angke adalah bagian dari kawasan hutan mangrove (bakau) Tegal Alur - Angke Kapuk di pantai utara Jakarta. Pada mulanya kelompok hutan ini seluas 1.114 ha, namun karena kegiatan pembangunan luasnya menurun menjadi 327,7 ha. Pembangunan Kawasan Kapuk-Angke digagas oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, sesuai arahan RUTR DKI 1965-1985 bertujuan untuk mengembangkan areal tambak dan “eks-hutan” Angke-Kapuk yang terbengkalai, untuk perumahan dan fungsi perkotaan lainnya. Keinginan ini mendapat tanggapan dari kelompok usaha PT. Metropolitan Kencana, sebagaimana tertuang dalam surat perusahaan tersebut kepada Direktur Jenderal Kehutanan, selaku pihak yang memiliki kewenangan legal-formal atas kawasan itu Nomor. 652/MK/V/81 tertanggal 22 Mei 1981.

4.3.1. Hutan Lindung Angke Kapuk

Jenis pohon yang mendominasi Hutan Lindung Angke Kapuk adalah api-api (Avicennia marina) yang tumbuh secara alami, selain itu terdapat Rhizophora mucronata yang segaja ditanam oleh manusia. Jenis lain yang tumbuh di hutan lindung tersebut dalam jumlah kecil dan tersebar adalah Excoecaria agallocha (buta-buta), Thespesia populnea (waru laut), Acacia auriculiformis (akasia) dan Leucaena glauca (lamtorogung) jenis akasia dan lamtorogung merupakan pohon tanaman (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Fahutan IPB, 1996).

Mengenai jenis api-api merupakan jenis dominan yang tumbuh merata diseluruh areal hutan lindung, maka dapat dikatakan bahwa secara floristik tipe hutan yang terdapat di hutan lindung tersebut termasuk hutan api-api (Dinas Kehutanan DKI Jakarta dan Fahutan IPB, 1996).


(1)

yaitu peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, keempat ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan prioritas terakhir pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111 (Tabel 18).

Budidaya ikan hias menjadi prioritas utama karena budidaya ikan hias air tawar menjadi solusi efektif mengingat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan diantaranya, musim barat dan musim timur, buruknya kualitas air dan deforestasi hutan mangrove yang menyebabkan ketersediaan ikan di perairan Muara Angke terus berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo dan Swadi (2008) pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh (1) semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan (2) meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk menmanfaatkan lingkungannya secara bijaksana. Selain itu perubahan populasi ikan karena dipengaruhi oleh berubahnya lingkungan dan ekosistem, interaksi antar spesies dan pengaruh manusia melalui penangkapan, pencemaran degradasi habitat. Selanjutnya menurut Riani et al. (2005) buruknya kualitas air di perairan Teluk Jakarta yang disebabkan oleh pembuangan berbagai hasil kegiatan manusia, baik di darat maupun di lautan sehingga budaya ikan hias merupakan prioritas yang tepat karena teknologinya yang relatif sederhana diantaranya penggunaan air kembali dengan cara sirkulasi tertutup, dibanding budidaya ikan hias air laut, dapat memberdayakan semua keluarga nelayan salah satunya istri-istri nelayan, bisa dikerjakan di rumah, tempat pembudidayaan dapat berupa kolam buatan atau aquarium dan tidak memerlukan lahan yang luas, bibitnya dapat diperoleh dari BBI (balai benih ikan) DKI Jakarta, hasil produksi tidak dikonsumsi oleh produsen sehingga aman bagi kesehatan, dan pemasarannya pun relatif mudah dengan difasilitatori dinas terkait dan pengusaha.

Proiritas kedua adalah nelayan tangkap dimodernisasikan karena nelayan sering kali harus menambatkan kapal-kapal mereka jika memasuki musim barat dan musim timur, hal tersebut terjadi sebab umumnya kondisi kapal para nelayan masih tergolong semi tradisional dimana dalam keadaan demikian nelayan tidak memungkinkan melakukan pelayaran karena resiko yang terlalu besar yang akan dihadapi. Selain itu perairan Teluk Jakarta tercemar sehingga biota pergi ke laut


(2)

74

yang lebih jauh dan membuat hasil tangkapan nelayan menurun. Atas kondisi tersebut solusinya nelayan diberi kapal dan alat tangkap modern agar dapat ke laut lebih jauh.

Dalam setahun, nelayan hanya menggunakan waktu 6 bulan untuk melaut. Hal ini terjadi karena faktor musim. Pada musim barat atau timur para nelayan tidak bisa melaut karena tidak sanggup melawan angin yang sangat kencang dengan demikian, kesadaran modernisasi nelayan tangkap didorong oleh akan pentingnya pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan lautan yang sangat besar yang selama ini tingkat pemanfaatannya masih di bawah 50 persen (Satria, 2000).

Nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sangat sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap bersifat open access, sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen resiko yang harus dihadapi lebih besar (Pollnack, 1988). Selanjutnya Pollnack (1988) membedakan antara karakteristik antara perikanan tangkap berskala besar dan skala kecil. Ciri perikanan berskala besar adalah sebagai berikut : (a) diorganisasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju, (b) secara relatif lebih padat modal, (c) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan (d) menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Sementara itu prikanan berskala kecil lebih beroperasi di wilayah pesisir dengan tumpang tindih dengan kegiatan budidaya. Umumnya mereka bersifat padat karya.

Aspek penting dalam modernisasi perikanan tangkap adalah, perbaikan alat tangkap dan maupun motorisasi melalui disemisasi alat tangkap baru serta kapal motor, sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Nasution et al (2007) yang menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan bertujuan untuk memenuhi kehidupan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari (subsistensi). Masyarakat terlihat memiliki keinginan berinovasi bertujuan untuk meningkatkan ikan hasil tangkapan. Hal tersebut ditandai banyak ditemukannya bagan perahu yang merupakan pengembangan dari bagan tancap


(3)

oleh nelayan yang berasal dari Bugis. Namun umumnya keinginan berinovasi tersebut selalu terganjal permodalan.

Peningkatan nilai tambah hasil produksi pada prioritas ketiga. Adapun yang dimaksud peningkatan nilai tambah adalah pengolahan dari bahan baku hasil tangkapan sehingga dapat meningkatkan margin keuntungan. Peningkatan nilai tambah hasil produksi akan membuat hasil produksi perikanan para nelayan tidak hanya berakhir pada bentuk bahan baku atau, tanpa perlakuan lanjutan. Peningkatan nilai tambah akan memberikan konstribusi positif bagi nelayan disamping akan menambah ketahanan masa simpan juga akan meningkatkan pendapatan nelayan.

Potensi dari peningkatan nilai tambah hasil produksi perikanan Indonesia secara umum sangatlah menjajikan ini dapat diketahui dari banyaknya ikan-ikan segar atau utuh yang diekspor untuk kepentingan industri pengolahan yang ada di luar negeri. Salah satu contohnya yaitu, pada tahun 2004, ekspor tuna segar Indonesia mencapai 106,6 juta dolar AS, padahal Thailand hanya 11,7 juta dolar AS. Sementara itu pada tahun 2005 ekspor produk tuna kaleng Indonesia hanya 121,8 juta dolar AS, padahal Thailand sudah mencapai 909 juta dlar AS.

Paradoks yang terjadi adalah angka impor tuna mentah untuk keperluan industri pengalengan mencapai 500 juta dolar AS, dan sebagian besar impor tuna tersebut berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia telah berjasa mendorong Thailand menjadi negara industri perikanan di dunia, pangsa Thailand mencapai 15 persen, Filipina 10 persen, dan Indonesia sebagai salah satu produsen tuna terbesar di dunia hanya mencapai 3 persen (Satria, 2009).

Hasil analisis menunjukkan ekowisata mendapat prioritas keempat. Hal ini didukung oleh berbagai potensi sumberdaya wisata terdiri atas potensi alam dan potensi masyarakat. Salah satu potensi yang ada di kawasan hutan Muara Angke adalah kekayaan flora dan fauna. Kawasan hutan dari segi kekayaan flora tidak termasuk kedalam kawasan yang dilindungi. Namun demikian, karena dijumpai beberapa tegakan yang sangat potensial untuk dijadikan pohon induk, maka potensi flora merupakan kawasan objek yang bernilai bagi ekowisata pendidikan sekaligus untuk meningkatkan kualitas lingkungan DKI Jakarta. Berdasarkan


(4)

76

kekayaan fauna di kawasan hutan mangrove sangat potensial untuk dijadikan sebagai feeding ground, grooming area dan nesting bagi berbagai jenis burung, diantaranya tergolong fauna yang dilindungi. Di beberapa lokasi lain terdapat beberapa spesies lainnya seperti, monyet ekor panjang, ular sanca air, sanca kembang, dan biawak yang bisa dijadika objek wisata pendidikan lingkungan.

Kawasan hutan mangrove memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk dijadikan sebagai objek wisata harian dan wisata akhir pekan. Event lokal telah dilakukan di beberapa lokasi seperti, pendidikan lingkungan anak-anak sekolah, mahasiswa maupun lembaga-lembaga tertentu. Didukung juga oleh potensi pengunjung berdasarkan jumlah dan asal wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Suaka Marga Satwa Muara Angke, hutan lindung Muara Angke dan hutan wisata Muara Angke tidak kurang dari 12.000 orang/tahun. Jumlah pengunjung terbanyak adalah pemancingan yang berada di tambak masyarakat, jumlah wisatan yang memasuki Suaka Marga Satwa sekitar 1.500 orang /tahun (masyarakat, mahasiswa dan pelajar), dan jumlah wisatawan yang memasuki hutan lindung diperkiran 800 orang/tahun. Melihat potensi wisata dan jumlah pengunjung yang tergolong besar, sehingga sangat penting untuk didukung oleh jumlah pemandu wisata yang memadai. Pemandu wisata sebaiknya berasal dari lokasi objek wisata yaitu Muara Angke karena disamping menciptakan peluang kerja masyarakat sekitar juga sekaligus meminimalkan terjadinya konflik pengelolaan. Hal tersebut di atas menjadi alasan mengapa pemandu wisata sebagai alternatif kelima.


(5)

Oleh :

Omar Abdallah Arifuddin

PS. PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(6)

77

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Kondisi sosial budaya nelayan di Muara Angke tergolong dinamis, beragamannya etnis dan kaum pendatang, tidak pernah ada konflik horisontal antar masyarakat, budaya lokal masih ada namun budaya pemeliharaan lingkungan relatif rendah sedangkan kondisi ekonomi masyarakat masih tergolong rendah.

2. Kualitas air laut di Muara Angke khusus parameter kekeruhan, zat padat tersuspensi (TSS), dan daya hantar listrik (DHL), serta kualitas kimia pada parameter pH, oksigen, ammonia, phosphat, nitrat, fenol dan BOD sudah di atas nilai ambang batas yang diizinkan sedangkan, parameter mikrobilogi masih masuk dalam kategori baik dan ekosistem mangrove sudah masuk pada kategori rusak.

3. Prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke ialah (a) budidaya ikan hias dengan bobot nilai 0,286, (b) nelayan tangkap dimoderenisasikan bobot nilai 0,267 (c) peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, (d) ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111.

6.2. Saran

a. Pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan nelayan Muara Angke dalam waktu dekat bisa dilakukan dengan melakukan budidaya ikan hias dan modernisasi alat tangkap.

b. Dalam meningkatkan hasil tangkapan hendaknya dilakukan penanganan terhadap kualitas air laut di Muara Angke oleh instansi pemerintah yang berwenang.