Suku Bangsa Etnis dan Tingkat Pendidikan Kesimpulan

4.5. Kependudukan

Penduduk adalah sejumlah orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah dan waktu tertentu serta merupakan hasil proses demografi yaitu mortalitas, fertilitas dan migrasi. Karakteristik antara ketiga komponen tersebut dalam mempengaruhi keadaan biologis, ekonomi dan sosial masyarakat tersebut Rusli, 1982. Berdasarkan hasil survey tahun 2007, penduduk Kecamatan Penjaringan sebanyak 184.603 jiwa dengan jumlah KK adalah 54.829. luas wilayah 35,49 km 2 dan dengan penduduk 5.202 jiwakm 2 , dengan perincian laki-laki 95.256 jiwa atau 51,60 persen dan penduduk perempuan 89.347 atau 48,40 persen. Dari 5 kelurahan yang ada di Kecamatan Penjaringan, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kelurahan Penjagalan yaitu sebesar 17.630 jiwakm 2 . sedangkan tingkat kepadatan penduduk terendah terdapat di Kelurahan Kamal Muara yaitu sebesar 609 jiwakm 2 . Jumlah penduduk Kecamatan Penjaringan pada tahun 2007, jika dirinci menurut kewarganegaraannya, terdapat sebanyak 184.443 jiwa warga negara Indonesia dan 160 jiwa warga negara asing.

4.6. Suku Bangsa Etnis dan Tingkat Pendidikan

Penduduk yang berdomisili di Wilayah Muara Angke merupakan masyarakat yang heterogen karena berasal dari berbagai daerah, yaitu daerah Sulawesi Selatan Indramayu, Cirebon, Cilacap dan Banten. Para pendatang ini biasanya hidup berkelompok-kelompok sesuai dengan daerah asalnya dan membentuk suatu karakter dan perilaku sosial budaya yang khas, antara lain : a. Kental dalam budaya kehidupan secara berkelompok dan saling membantu di dalam kelompoknya masing-masing. b. Patuh dan taat pada peraturan-peraturan kelompok kedaerahannya serta patuh terhadap kaum tetua yang dianggap sebagai tokoh masyarakat c. Kurang peduli terhdap kelompok penduduk lain yang berasal dari daerah yang berbeda. Akibat adanya sikap dan prilaku sosial budaya yang khas diatas secara tidak langsung telah mempengaruhi terhadap sikap dan prilaku sosial masyarakat terhadap pola kehidupan masyarakat sehari-hari. Tingkat pendidikan penduduk di Kampung Nelayan Muara Angke masih tergolong rendah. Mayoritas pendidikannya adalah tamatan SD sebesar 50, tamatan SLTP sebesar 28 dan tamatan SLTA sebesar 14. Selain itu masih ada sebagaian penduduk yang tidak tamat SD sebesar 8 Pemda DKI, 2000.

4.7. Agama

Sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, terdapat 5 agama yang diakui keberadaannyan oleh pemerintah yaitu Islam, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Agama yang dianut sebagian besar penduduk di Kecamatan Penjaringan adalah Islam sebanyak 151.193 jiwa, Katolik sebanyak 9.386 jiwa, Kristen sebanyak 7.455, Hindu sebanyak 427 jiwa, dan Budha sebanyak 12.380 jiwa. V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 6 5 10 15 20 25 30 tidak tamat SD tamat SD tidak tamat SMP Tingkat Pendidikan J um la h R e s ponde n jumlah responden Kondisi Eksisting Sosial, Ekonomi, Budaya dan Nelayan di Muara Angke Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden Muara Angke memeperlihatkan bahwa tingkat pendidikan responden menunjukkan 80 tidak lulus SDsederajat dan sebanyak 20 lulusan SD. Menurut Ancok 2008 Rendahnya tingkat pendidikan respon berpengaruh terhadap rendahnya kesadaran masyarakat untuk memelihara lingkungan. Hal tersebut didukung oleh kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat masih merambah hutan mangrove. Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program kegiatan, karena pendidikan mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap pemeliharaan lingkungan. Pendidikan pada dasarnya adalah pemberian informasi pengetahuan tentang baik dan buruknya sesuatu hal yang dilakukan oleh manusia seperti sisi positif dan negatif mangrove. Tingkatan pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5 Gambar 5. Tingkat pendidikan responden di Muara Angke Olahan Hasil Survei Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan responden rendah, sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program kegiatan karena pendidikan akan mempengaruhi kesadaran masyarakat terhadap pemeliharaan lingkungan. Pendidikan berperan membawa mekanisme yang dapat mengubah bentuk watak dan pribadi seseorang. Setiap manusia, sesuai dengan kodratnya, masing-masing memiliki karakteristik perilaku pengetahuan, sikap dan keterampilan serta daya nalar dan kreativitas yang tidak selalu sama dengan orang lainnya. Karakteristik tersebut akan sangat menentukan kinerja dan produktivitas. Sumberdaya manusia berbeda dengan sumberdaya lainnya, sumberdaya manusia dengan kualifikasi tertentu seringkali memerlukan pendidikan dan membutuhkan pengalaman kerja selama bertahun-tahun. Dari hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa di sekitar suaka marga satwa dan hutan lindung Muara Angke. Pendidikan paling tinggi adalah tamat SD. Oleh karenanya dalam teori manajemen dinyatakan sumberdaya manusia merupakan sumberdaya yang memegang posisi strategis dalam setiap pengelolaan kegiatan, sebab manusia merupakan salah satu unsur pengelolah dan sekaligus merupakan pengelola sumberdaya yang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soerjani et al. 2008 yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan sangat menentukan sebagai alat penyampaian informasi kepada manusia tentang perlunya perubahan untuk merangsang penerimaan gagasan baru. Yustina dan Sudrajat 2008 juga mengemukakan melalui proses pendidikan, potensi manusia dapat dikembangkan dan berkembang sedemikian rupa, sehingga orang akan selalu modern. Tujuan akhir pendidikan adalah terjadinya perkembangan optimum dan peningkatan sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia di Muara Angke pada umumnya mempunyai aktivitas sebagai nelayan. Aktivitas melaut nelayan dilakukan setiap hari, namun pada musim barat para nelayan sama sekali tidak melaut karena khawatir akan badai dan ombak yang sangat besar. Kondisi yang sama juga terjadi pada musim timur, dalam hal ini nelayan tidak melaut seperti hari-hari biasanya sebab di waktu musim timur badai dan ombak sangat besar juga sering terjadi terutama pada siang hari, sedangakan pada malam hari badai dan ombak relatif mereda, sehingga di malam hari nelayan memanfaatkannya dengan melaut.

5.1.1. Kondisi Ekonomi

Hasil tangkapan yang didapat dari kegiatan penangkapan pada umumnya langsung dijual kepada pembeli. Hasil tangkap nelayan responden pada umumnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tersedia di subsektor perikanan sehingga terjadi kegiatan jual beli ikan. Mengingat kegiatan tersebut dilakukan secara kontinyu maka pasar ikan di lingkungan nelayan terus menerus dapat berlanjut. Volume hasil tangkapan yang dikhususkan untuk konsumsi rumah tangga pribadi. Berdasarkan hasil wawancara di lapangan mereka cenderung sangat kecil, walaupun mereka hampir setiap hari mendapatkan ikan, tetapi ikan-ikan tersebut diutamakan untuk dijual ke pasar. Adapun alat tangkap yang umum digunakan responden di Muara Angke adalah jala dan pukat. Pada penelitian ini usahatani dari 30 nelayan responden di Muara Angke dalam 1 kali melaut dari nilai rata-rata dianalisis dengan menggunakan analisis parsial analisis Tabel dan RC. Analisis parsial usahatani nelayan responden di Muara Angke dapat dilihat pada Tabel 10. Analisis Tabel Tabel 10. Penerimaan, pengeluaran dan pendapatan dari usahatani nelayan dalam 1 kali melaut Rincian Nilai Rp Banyaknya KgLtr Hasil tangkapan Jumlah pengeluaran Biaya variabel 1. Solar 2. Logistik - Makanan - Rokok 3. Es batu Biaya tetap 1. Pemeliharaan alat 2. Retribusi Pendapatan 120.000 76.300 50.000 5.000 6.000 10.000 3.300 2.000 43.700 10 - 11 - - - - - - Analisi RC RC adalah singkatan dari return cost ratio, atau dikenal sebagai perbandingan nisbah antara penerimaan dan biaya. Secara matematik, hal ini dapat dituliskan sebagai berikut : a = RC R = 120.000 C = 76.300 a = { 120.000 76.300 } = 1,57 Dari pendapatan usahatani yang diperoleh nelayan setiap kali melaut sebesar Rp. 43.700,- menjadi sumber kebutuhan sehari-hari rumah tangga nelayan. Adapun jumlah pengeluaran rumah tangga nelayan setiap harinya setelah dirata-rata dari 30 responden adalah : Tabel 11. Pengeluaran sehari-hari rumah tangga nelayan. No. Uraian Jumlah satuan HargaRp satuan Nilai Rp 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Beras Telur Minyak goreng Gula Kopi dan teh Sayuran Tempe dan tahu Bumbu-bumbu Biaya sekolah jajan Sabun cuci Sabun mandi Listrik Air 2 ltr 2 butir 250 ml 250 ml Per 1 bungkus campuran Per 1 bungkus Campuran Per 1 anak 1 saset 1 buah Konversi 30 hr Konversi 30 hr 5.000,- 1.000,- 2.500,- 2.200,- 1.000,- 3.000,- 2.000,- 4.000,- 2.000,- 5.00,- 1.000,- 1.400,- 1.000,- 10.000,- 2.000,- 2.500,- 2.200,- 2.000,- 3.000,- 4.000,- 4.000,- 4.000,- 5.00,- 1.000,- 1.400,- 1.000,- Total 37.600,- Berdasarkan analisis tabel usahatani nelayan Muara Angke pada tabel 10 yang menunjukkan pendapatan nelayan sebesar Rp 43.700,- kemudian dikurangi dengan pengeluaran rumah tangga nelayan pada tabel 11 sebesar Rp 37.600,- maka, diketahui bahwa nelayan memperoleh keuntungan kecil yakni sebesar Rp 6.100,-hari dengan RC 1,57. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekartawi 2002 bahwa secara teoritis usahatani dengan rasio RC = 1 artinya tidak untung dan tidak pula rugi atau dengan kata lain rasio RC 1 adalah setiap 1 satuan input yang dikeluarkan nelayan, nelayan hanya memperoleh 1 satuan output. Namun karena adanya biaya usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah menurut keyakinan peneliti; misalnya RC yang lebih dari satu, bila usahatani itu dikatakan menguntungkan.

5.1.2. Kondisi Sosial Budaya

Jenis etnis responden yang tinggal, di sekitar Muara Angke berbeda dengan etnis pada umumnya, yang tinggal di kawasan pinggiran Jakarta. Hal ini dikarenakan begitu beragamnya etnis yang berdatangan untuk nengadu nasib sebagai nelayan. Etnis yang paling dominan di Muara Angke adalah Sunda, Jawa dan Betawi. Responden umumnya merupakan penduduk asli Muara Angke, sedangkan responden pendatang, umumnya berasal dari Tangerang dan Banten yang telah menetap lebih dari 10 tahun. Semua responden beragama Islam, sehingga agama Islam merupakan agama dominan yang dianut oleh sekurangnya 95 persen penduduk di Muara Angke. Kedatangan kaum migran membuat kondisi etnis menjadi lebih beragam. Namun demikian, beragamnya penduduk yang datang dan menetap di sekitar Muara Angke tidak memicu timbulnya konflik. Tingginya penganut agama Islam juga dicerminkan oleh banyaknya rumah ibadah agama Islam mulai dari masjid hingga musholla. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan masyarakat Muara Angke dan aparat kelurahan dan kecamatan yang mengatakan bahwa kaum pendatang dengan penduduk asli belum pernah konflik yang serius, mereka tampak berhasil berasimilasi satu sama lain membentuk sebuah budaya perkotaan. Perkembangan wilayah menjadikan masyarakat di sekitar Muara Angke sudah mulai meninggalkan budaya nelayan dan mulai mengarah kepada budaya perkotaan. Proses perubahan budaya dipercepat dengan adanya pendatang dari daerah lain. Budaya penduduk lokal bercampur dengan budaya pendatang, namun masih tetap terasa budaya lokal. Adat-istiadat yang masih berjalan diantaranya adalah selamatan orang meninggal, selamatan mendirikan rumah, selamatan hasil laut, khitanan, dan pernikahan. Hasil penelitian menunjukkan budaya pemeliharaan lingkungan masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan responden yang mengatakan bahwa mereka tidak melakukan pemeliharaan terhadap lingkungan. Adapun penyebab dari hal tersebut antara lain diakibatkan oleh faktor ketidaktahuan dan belum adanya pendidikan atau penyuluhan lingkungan dari dinas terkait. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Neolaka 2008 bahwa kesadaran lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor ketidaktahuan dan faktor kemiskinan. Faktor pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu. Oleh karena itu rasa ingin tahu merupakan sarana untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin, sedangkan faktor kemiskinan merupakan salah satu masalah yang paling berpengaruh terhadap timbulnya masalah sosial. Masalah sosial adalah suatu keadaan yang muncul akibat dimana masyarakat merasakan adanya ancaman yang menyangkut banyak orang. Masalah sosial yang bersumber dari kemiskinan atau kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sering tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dengan faktor lain. Perubahan sosial bisa meliputi perubahan pola kebudayaan dari suatu masyarakat yaitu, perubahan dalam interaksi antar manusia, antara organisasikomunitas dan berhubungan dengan masalah yang timbul dalam beragam masyarakat, baik dengan masalah ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.

5.1.3. Kesehatan Masyarakat

Dari wawancara dengan 30 responden menunjukkan penyakit yang sering diderita responden di Muara Angke yaitu diare, demam, infeksi kulit, sakit kepala, hipertensi, tipus, gatal-gatal dan kembung. Responden di sekitar Muara Angke jika sakit sebagian besar akan pergi ke puskesmas, ke dokter, membeli obat di warung, namun ada juga yang tidak berobat. Pada dasarnya pencemaran air laut yang terjadi di sekitaran Muara Angke berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, selain menimbulkan penyakit, juga dapat menimbulkan efek terhadap kualitas lingkungan sosial, terutama terhadap penurunan estetika yang ditujukan oleh adanya kesan tidak bersih dan bau. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Kordi dan Tancung 2007 yang mengemukakan bahwa ekosistim pesisir dan estuarin sangat sensitif terhadap gejala perubahan dan faktor yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem tersebut. Hal ini karena daerah tersebut merupakan terminal dari daerah aliran sungai DAS sebagai sumber pasokan bermacam-macam limbah yang di bawa dari hulu ke daerah hilir melalui aliran sungai. Pesatnya pembangunan yang melibatkan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di daratan, dan semakin meningkatnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu, maka limbah yang dihasilkan akan bertahan dan tertimbun di daerah pesisir karena desakan atau tekanan air laut ke arah darat waktu pasang tinggi. Limbah tersebut bakal mengakibatkan perubahan mutu kualitas air di daerah pesisir dan estuarin serta menurunkan kapasitas daya dukung perairan tersebut. Besarnya perubahan mutu kualitas air yang terjadi merupakan indikator besarnya perubahan daya dukung lingkungan. Adanya perubahan mutu air akan mempengaruhi kesehatan ikan, sehingga masyarakat yang memakan hasil tangkapan tersebut juga lambat laun akan mempengaruhi kesehatan masyarakat yang memakannya. 5.2. Kualitas Air dan Kerusakan Mangrove di Muara 5.2.1. Peraturan Pengelolaan Kualitas Air Peraturan adalah suatu keputusan yang mengikat dan harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Apabila tidak dilaksanakan, maka yang melanggar keputusan akan memperoleh sanksi sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Selain itu keputusan yang tidak dilaksanakan juga dapat menimbulkan konflik antar pihak yang berkepentingan. Saat ini sudah ada kebijakan pengelolaan kualitas perairan, diantaranya PP No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut. Baku mutu lingkungan environmental quality standard BML, berfungsi sebagai suatu tolak ukur untuk mengetahui apakah telah terjadi pencemaran terhadap lingkungan Siahaan, 2004.

5.2.1.2. Kualitas Air Dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.

Perairan Teluk Jakarta yang dikategorikan sebagai perairan pantai coastal water tentu mempunyai peran yang sangat besar karena berbagai sektor memanfaatkan wilayah ini, baik wilayah laut maupun pantai, antara lain sektor industri, pertambangan, perhubungan, perdagangan, pertanian, dan pariwisata. Kegiatan berbagai sektor yang sedemikian banyak dan tidak terkendali tentunya akan menurunkan tingkat kualitas perairan. Disamping itu Teluk Jakarta juga merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai yang melewati kota Jakarta. Ada 9 muara sungai yang membawa limbah baik dari pembuangan sampah, industri maupun rumah tangga serta kegiatan lainnya. Hal ini menyebabkan perairan Teluk Jakarta mempunyai karakteristik yang khusus dan perairan ini menerima beban pencemar yang cukup berat. Di lain pihak Teluk Jakarta juga merupakan tempat bagi nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Propinsi DKI Jakarta BPLHD DKI Jakarta, 2008. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu diambil kebijakan oleh pemerintah daerah Propinsi DKI Jakarta yang menyangkut peningkatan kualitas perairan teluk. Salah satu dengan mengetahui sejauhmana tingkat ketercemaran perairan teluk oleh berbagai ragam jenis pencemar yaitu dengan membandingkan hasil pemantauan tahunan perairan dan muara oleh BPLHD DKI Jakarta dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 terdiri atas kualitas fisik, kualitas kimia dan kualitas biologi pada stasiun C2 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Pada Stasiun C2. Lokasi Pemantauan Titik C2 Parameter Satuan Baku Mutu I II I FISIK Zat padat terlarut TDS MgL – 39,100.00 - Kekeruhan NTU ‹5 2.00 2.00 Zat padat tersuspensi TSS MgL 20 3.00 5.00 Suhu o C Suhu alami 28.40 30.00 Daya hantar listrik DHL µmhoscm – 52,300.00 5,170.00 II KIMIAWI pH ‰ 7-8,5 8.8 8.9 Salinitas MgL Alami 34.60 34.10 Oksigen terlarut MgL ›5,5 5.82 6.11 Ammonia NH 3 MgL ‹0,3 0.08 0.25 Phosphat PO 4 MgL 0,015 0.02 0.03 Nitrat NO 3 MgL 0,008 0.09 0.12 Nitrit NO 2 MgL – 0.01 Sulfida H 2 S MgL – Fenol MgL 0,002 0.01 0.01 Minyak dan lemak MgL 1 Senyawa aktif biru metilen MgL 1 0.04 0.09 Organik KmnO 4 MgL - 65.87 76.63 COD dichromat MgL - 82.86 95.24 BOD 20 o C, 5 hari MgL 20 34.35 37.95 III MIKROBIOLOGI Bakteri koli Jumlah100 ml 1000 6,1 350.10 Bakteri koli tinja Jumlah100 ml – 2 340.10 Sumber : BPLHD propinsi DKI Jakarta 2008 = tidak terdeteksi, - = tidak dianalisiskendala teknis, – = baku mutu tidak ditetapkan, I = pemantauan blan Agustus 2008, II = pemantauan bulan November 2008, Baku mutu = Kepmen LH nomor 51 tahun 2005. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 terdiri atas kualitas fisik, kualitas kimia dan kualitas biologi pada stasiun M1 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Pada Stasiun M1. Lokasi Pemantauan Muara 1 Pasang No Parameter Satuan Baku Mutu I II I FISIK Zat padat terlarut TDS mgL – 39,100.00 - Kekeruhan NTU ‹5 147.00 7.00 Zat padat tersuspensi TSS mgL 20 200.00 15.00 Suhu o C Suhu alami 29.20 32.30 Daya hantar listrik DHL µmhoscm – 35,050.00 52,450.00 II KIMIAWI pH ‰ 7-8,5 7.7 9.1 Salinitas mgL Alami 24.90 35.90 Oksigen terlarut mgL ›5,5 0.01 5.55 Ammonia NH 3 mgL ‹0,3 7.63 0.63 Phosphat PO 4 mgL 0,015 1.57 0.10 Nitrat NO 3 mgL 0,008 0.38 3.50 Nitrit NO 2 mgL – 0.02 Sulfida H 2 S mgL – 1.09 Fenol mgL 0,002 0.02 Minyak dan lemak mgL 1 0.33 0.11 Senyawa aktif biru metilen mgL 1 0.13 0.05 Organik KmnO 4 mgL - 114.91 75.47 COD dichromat mgL - 173.83 86.11 BOD 20 o C, 5 hari mgL 20 27.15 32.60 III MIKROBIOLOGI Bakteri koli Jumlah100 ml 1000 240.106 79.102 Bakteri koli tinja Jumlah100 ml – 49.105 79.102 Sumber : BPLHD propinsi DKI Jakarta 2008 = tidak terdeteksi, - = tidak dianalisiskendala teknis, – = baku mutu tidak ditetapkan, I = pemantauan blan Agustus 2008, II = pemantauan bulan November 2008, Baku mutu = Kepmen LH nomor 51 tahun 2005. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 terdiri atas kualitas fisik, kualitas kimia dan kualitas biologi pada stasiun M3 dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil pemantaun perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI dibandingkan dengan Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Pada Stasiun M3. Lokasi Pemantauan Muara 3 Pasang No Parameter Satuan Baku Mutu I II I FISIK Zat padat terlarut TDS mgL – 3,900.00 - Kekeruhan NTU ‹5 9.00 85.50 Zat padat tersuspensi TSS mgL 20 59.00 116.00 Suhu o C Suhu alami 28.60 27.40 Daya hantar listrik DHL µmhoscm – 10,100.00 5,550.00 II KIMIAWI pH ‰ 7-8,5 7.4 7.5 Salinitas mgL Alami 6.05 3.90 Oksigen terlarut mgL ›5,5 0.08 6.62 Ammonia NH 3 mgL ‹0,3 12.53 4.64 Phosphat PO 4 mgL 0,015 1.04 0.44 Nitrat NO 3 mgL 0,008 0.14 3.57 Nitrit NO 2 mgL – 0.02 0.01 Sulfida H 2 S mgL – 1.65 Fenol mgL 0,002 0.03 0.02 Minyak dan lemak mgL 1 0.13 0.07 Senyawa aktif biru metilen mgL 1 0.15 0.33 Organik KmnO 4 mgL - 125.93 31.60 COD dichromat mgL - 133.21 45.28 BOD 20 o C, 5 hari mgL 20 124.80 19.90 III MIKROBIOLOGI Bakteri koli Jumlah100 ml 1000 920.104 79.102 Bakteri koli tinja Jumlah100 ml – 350.104 280.104 Sumber : BPLHD propinsi DKI Jakarta 2008 = tidak terdeteksi, - = tidak dianalisiskendala teknis, – = baku mutu tidak ditetapkan, I = pemantauan blan Agustus 2008, II = pemantauan bulan November 2008, Baku mutu = Kepmen LH nomor 51 tahun 2005.

5.2.1.3. Kualitas Fisik

Hasil pemantauan kondisi fisik perairan pada tiga lokasi pengamatan menunjukkan parameter kekeruhan, zat padat tersuspensi TSS, dan daya hantar listrik DHL sudah di atas NAB yang diizinkan. Tingginya kekeruhan dalam perairan dapat disebabkan oleh berbagai variasi ukuran materi tersubstansi yang bervariasi dari bentuk koloid ke dispersi kasar tergantung pada tingkat turbulensinya. Tingkat kekeruhan juga dipengaruhi oleh padatan tersuspensi dan koloid yang terkandung di dalam perairan. Produksi perairan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kekeruhan. Nilai kekeruhan yang tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan, sehingga proses fotosintesis akan berlangsung pada lapisan air yang lebih tipis, dengan demikian produki perairan akan semakin menurun. Kekeruhan juga dapat mempengaruhi kehidupan organisme air, derajat kekeruhan yang tinggi akan mengganggu organ- organ pernapasan atau alat penyaring makanan dari orgaisme air, sehingga dapat mengakibatkan kematian. Pada penelitian ini dapat dinilai kekeruhan di stasiun titik C2 waktu pengambilan I dan II, sebesar 2.00 NTU, di stasiun Muara 1 pasang waktu pengambilan I sebesar 147.00 NTU dan waktu pengambilan II sebesar 7.00 NTU, di stasiun Muara 3 pasang waktu pengambilan I sebesar 9.00 NTU dan waktu pengambilan II sebesar 85.50 NTU. Semua nilai kekeruhan di tiga stasiun telah melewati nilai ambang batas yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh zat padat yang tersuspensi, baik yang bersifat anorganik maupun organik. Zat anorganik, biasanya berasal dari lapukan batuan dan logam, sedangkan yang organik dapat berasal dari lapukan tanaman atau hewan. Zat organik dapat menjadi makanan bakteri, sehingga mendukung pertumbuhan bakteri tersebut. Bakteri juga merupakan zat organik tersuspensi, sehingga pertambahannya akan menambah pula kekeruhan air. Demikian pula dengan algae yang berkembang biak karena adanya zat hara N,P,K akan menambah kekeruhan air Slamet 2007. Kekeruhan merupakan suatu ukuran banyaknya bahan-bahan tersuspensi yang terdapat di dalam air, seperti senyawa organik. Air yang keruh akan memberi perlindungan pada kuman. Pada air yang mengandung zat organik dan anorganik, mikroorganisme dapat berkembang dan hidup baik. Oleh karena itu bakteri terdapat pada semua sistem air baik yang sifatnya dapat merugikan atau tidak tergantung pada kondisi optimum yang menunjang pertumbuhannya. Penyimpangan terhadap standar kualitas yang telah ditetapkan yaitu 25 NTU nephelometric turbidity unit akan menyebabkan gangguan estetika dan mengurangi efektivitas desinfeksi air Effendi, 2000. Pada penelitian ini dapat dinilai zat padat tersuspensi TSS di stasiun titik C2 waktu pengambilan I sebesar 3.00 MgL dan waktu pengambilan II 5.00 MgL, di stasiun Muara 1 pasang waktu pengambilan I sebesar 200.00 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 15.00 MgL, di stasiun Muara 3 pasang waktu pengambilan I sebesar 59.00 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 116.00 MgL. Semua nilai TSS di tiga stasiun telah melewati nilai ambang batas yang telah ditentukan. Effendi 2000 mengemukakan zat padat tersuspensi TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jaad renik. Tinggi nilai TSS di perairan disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa kebadan air. Nilai TSS yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan. Daya hantar listrik DHL adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. oleh karena itu semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terisolasi semakin tinggi pula nilai DHL Mackereth et al., 1989. Nilai DHL di perairan alami sekitar 20-1500 µmhoscm Boyd, 1988. Perairan laut memiliki nilai DHL yang sangat tinggi karena banyaknya garam- garam terlarut di dalamnya. Nilai DHL limbah industri dapat mencapai 10.000 µmhoscm APHA, 1976. Pada penelitian ini dapat dinilai daya hantar listrik DHL di stasiun titik C2 waktu pengambilan I sebesar 52,300.00 µmhoscm dan waktu pengambilan II sebesar 5,170.000 µmhoscm, di stasiun Muara 1 pasang waktu pengambilan I sebesar 35,050.00 µmhoscm dan waktu pengambilan II sebesar 52,450.00 µmhoscm, di stasiun Muara 3 pasang waktu pengambilan I sebesar 10,100.00 µmhoscm dan waktu pengambilan II sebesar 5,550.00 µmhoscm. Semua nilai TSS di tiga stasiun telah melewati nilai ambang batas perairan alami sekitar 20- 1500 µmhoscm menurut Boyd 1988.

5.2.1.4. Kualitas Kimia

Hasil pemantauan perairan dan muara Teluk Jakarta periode tahun 2008 oleh BPLHD DKI Jakarta dibandingkan dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2008 Tentang Baku Mutu Air Laut pada kualitas kimia dapat dilihat, parameter pH Tabel 12 melebihi NAB sebesar 8.8 ‰ pengambilan I dan sebesar 8.9 ‰ pengambilan II, di Tabel 13 pH pada pengambilan II juga melebihi NAB sebesar 9.1 ‰. Hal tersebut diduga karena ada pengaruh buangan limbah cair yang bersifat basah yang diduga berasal dari kegiatan industri. Kemasaman pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara kandungan asam dan basa dalam air serta merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Kemasaman dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan, serta mempengaruhi tersedianya unsur hara serta beracun dari unsur renik. Derajat kemasaman pH berperan penting dalam menentukan nilai guna perairan untuk kehidupan organisme, keperluan rumah tangga. Berubahnya nilai pH menimbulkan perubahan terhadap keseimbangan kandungan karbondioksida, bikarbonat dan karbonat di dalam air. pH juga akan mempengaruhi rasa, korosivitas air dan efisiensi chlorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa lebih beracun dalam bentuk molekular, disosiasi senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh pH. Logam-logam berat di dalam suasana asam lebih bersifat racun Suriawiria, 2003. Berdasarkan hal tersebut maka pH air pada stasiun Muara 1 dan 3 pada saat pasang kurang mendukung kehidupan yang ada di dalamnya. Parameter Oksigen terlarut di Tabel 13 waktu pengambilan I sebesar 0,01 MgL dan di Tabel 14 pada pengambilan I sebesar 0,08 MgL di bawah NAB atau berbahaya. Hal ini diduga sebagai akibat semua limbah khususnya limbah domestik seperti sisa makanan yang pemecahannya melampaui, padahal limbah- limbah tersebut harus dioksidasi sehingga menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut. Dilain pihak dalam perairan oksigen harus terlarut pada perairan karena hanya oksigen yang dalam keadaan terlarut di perairan yang dapat dimanfaatkan oleh mahluk hidup untuk kebutuhan respirasi, oksigen tersebut sangat penting bagi kelangsungan mahluk hidup pada ekosistem perairan. Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggianaltitude, dan berkurangnya tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian dan musim bergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air. Kadar oksigen yang terlarut tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis bagi manusia. Oksigen terlarut dengan jumlah cukup diperlukan oleh ikan dan organisme akuatik lainnya. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan bervariasi antar organisme Effendi, 2000. Menurut Tebbut 1992 keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan juga akan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kadar oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih sakit. Pada penelitian ini terlihat bahwa parameter Ammonia pada Tabel 13 waktu pengambilan I sebesar 7.63 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 0.63 ML, di Tabel 14 waktu pengambilan I sebesar 12.53 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 4.64 MgL di atas NAB akibat dari, pemecahan nitrogen organik protein dan urea dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam air. Selain itu juga diduga berasal dari dekomposisi bahan organik tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah ammoniofikasi. Sumber lain ammonia di perairan adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik. Selain hal tersebut ammonia juga dapat berasal dari batuan mineral. Dalam hal ini ammonia yang terdapat pada mineral masuk ke badan air melalui erosi tanah. Ammonia bersifat toksit bagi organisme akuatik. Namun avertebrata air lebih toleran daripada ikan terhadap toksisitas ammonia. Ikan tidak dapat menolerir ammonia bebas dengan kadar yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah dan pada akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi Effendi, 2000. Parameter phosphat yang dapat dilihat pada Tabel 12 waktu pengambilan I sebesar 0.02 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 0.03 MgL, pada Tabel 13 waktu pengambilan I 1.57 MgL sebesar dan waktu pengambilan II sebesar 0.10 MgL, dan Tabel 14 waktu pengambilan I sebesar 1.04 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 0.44 MgL di atas NAB. Besarnya nilai posphat tersebut diduga berasal dari limbah industri dan domestik yang salah satunya bersumber dari deterjen. Keberadaan phosphat yang berlebihan dibarengi dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir peledakan pertumbuhan algae di perairan. Algae yang berlimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan Effendi, 2000. Parameter nitrat yang dapat dilihat pada Tabel 12 waktu pengambilan I sebesar 0.09 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 0.12 MgL, pada Tabel 13 waktu pengambilan I sebesar 0.38 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 3.50 MgL, dan Tabel 14 waktu pengambilan I sebesar 0.14 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 3.57 MgL di atas NAB. Effendi 2000 mengemukakan nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat salah satu senyawa nitrogen yang paling stabil dibandingkan dengan nitrit dan ammoia. Nitrat dapat menjadi pupuk pada tanaman air. Bila terjadi hujan lebat air akan membawa nitrat dari tanah masuk ke dalam aliran air sungai, danau dan waduk, kemudian menuju lautan dalam kadar yang cukup tinggi. Hal ini akan merangsang tumbuhnya algae dan tanaman air. Kelimpahan unsur nutrisi nitrat dalam air disebut euthrophication. Pengaruh negatif eutropikasi adalah terjadinya perubahan keseimbangan kehidupan antara tanaman air dengan hewan air, sehingga beberapa spesies ikan akan musnah dan tanaman air akan dapat menghambat laju arus air Darmono, 2001. Kondisi eotrifikasi diduga akan sering terjadi di lokasi penelitian mengingat pada ketiga stasiun tersebut nitratnya jauh melebihi NAB. Parameter Fenol pada Tabel 12 waktu pengambilan I dan II sebesar 0.01 MgL, pada Tabel 13 waktu pengambilan I sebesar 0.02 MgL dan Tabel 14 waktu pengambilan I sebesar 0.03 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 0.02 MgL di atas NAB tingginya fenol diduga berasal dari proses pemurnian minyak, industri kimia, tekstil dan plastik. Kadar alami senyawa fenol diperairan sangat kecil, hanya beberapa MgL. Keberadaan fenol di perairan mengakibatkan berubahnya sifat organoleptik air sehingga kadar yang diperkenankan pada air minimum adalah 0,002 MgL. Fenol bersifat toksit terhadap ikan pada kadar melebihi 0,01 MgL UNESCOWHOUNEP, 1992. Berdasarkan hal tersebut, maka fenol baik di stasiun C2, Muara 1 dan Muara 3 sudah sangat membahayakan. Kebutuhan oksigen biologi BOD adalah pengukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme selama penghancuran bahan organik dalam waktu tertentu pada suhu 20 C. Peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air mengandung oksigen yang cukup. Apabila kandungan oksigen dalam air menurun maka kemampuan bakteri aerobik untuk memecahkan bahan buangan organik akan menurun, bahkan mungkin apabila oksigen yang terlarut tidak tersedia lagi maka bakteri aerobik akan mati, dalam keadaan seperti ini bakteri anaerobik akan mengambil alih tugas untuk memecahkan bahan buangan yang ada di dalam air. Parameter BOD pada Tabel 12 waktu pengambilan I sebesar 34.35 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 37.95 MgL, pada Tabel 13 waktu pengambilan I sebesar 27.15 MgL dan waktu pengambilan II sebesar 32.60 MgL, dan Tabel 14 waktu pengambilan I sebesar 124.80 MgL di atas NAB. Tingginya nilai BOD diduga berasal dari limbah bahan organik yang masih tinggi, sehingga menyebabkan kadar BOD dalam air masih tinggi sewaktu dibuang ke badan air penerima BAP. Hal ini sesuai dengan pendapat Wardhana 2004 Proses pemecahan bahan buangan oleh mikroorganisme ada yang memerlukan oksigen kondisi aerobik dan tanpa oksigen kondisi anaerobik. Hasil pemecahan pada kondisi anaerobik pada umumnya berbau tidak enak, seperti amis dan anyir. BOD menunjukkan bahan organik yang dapat didekomposisikan secara biologis biodegradable. Bahan organik tersebut bisa berupa lemak, protein, kanji starch, glukosa, aldehida, dan ester. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Bahan organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan dari limbah domestik dan industri. Kadar oksigen terlarut pada perairan tawar berkisar antara 15 mgl pada suhu 0 C dan 8 mgl pada suhu 25 C. Pada perairan laut berkisar antara 11 mgl pada suhu 0 C dan pada 7 mgl pada suhu 25 C, karena itu maka DO pada ketiga stasiun sudah jauh dari kondisi alami. Rendanya DO ini disebabkan oleh tingginya bahan organik yang ditunjukkan dengan tingginya nilai BOD. Kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mgl Effendi, 2000. 5.2.2. Kondisi Hutan Mangrove 5.2.2.1. Kerusakan Mangrove Pesisir di Muara Angke. Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 16UM61977 tanggal 10 Juni 1977, peruntukan kawasan Angke Kapuk ditetapkan sebagai hutan lindung, cagar alam, hutan wisata dan lapangan dengan tujuan istimewa. Pada tahun 1994 berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada Tanggal 25 Juli 1994 yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Selain di Pantai Utara DKI Jakarta, hutan mangrove juga terdapat di sekitar Kepulauan Seribu. Pada saat dilakukan penelitian ini terlihat bahwa ekosistem mangrove di pesisir Muara Angke dalam kondisi rusak. Kondisi ini diduga karena tekanan pertambahan penduduk, terutama di daerah pantai. Selain itu juga karena adanya konversi lahan menjadi kawasan perumahan, budidaya perairan, infrastruktur pelabuhan dan industri. Tingginya konversi lahan ini mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak. Terjadinya kerusakan ini diduga bukan hanya disebabkan oleh konversi lahan, namun Kerusakan ini juga disebabkan oleh berbagai pencemar, baik berupa limbah cair maupun limbah padat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian LPP Mangrove yang mendapatkan hasil bahwa kerusakan mangrove di kawasan hutan lindung Muara Angke, disebabkan oleh abrasi dan pemanfaatan oleh masyarakat dengan cara menebang yang tidak disertai penanaman kembali. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat para responden berdasarkan alasan yang sering masuk ke hutan mangrove 35, 31 diantaranya masuk ke dalam hutan mangrove hanya untuk lewat tanpa aktivitas apa-apa disana salah satu jalur transportasi mereka. Responden lainnya 25 menggunakan hutan mangrove untuk keperluan lain seperti untuk tempat istirahat, tempat untuk melihat-lihat pohon dan hewan, mengunjungi kerabat yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan sebagainya. Sebagian Responden lainnya masuk ke hutan mangrove mencari kayu bakar untuk digunakan sendiri 1, untuk mencari ikan untuk konsumsi sendiri 23, mencari ikan untuk dijual 2, untuk mencari kayu untuk keperluan perumahan 2 dan untuk bekerja sebagai buruh tanam ataupun buruh lainnya 16. 1 23 2 2 16 31 25 Untuk mencari kayu bakar digunakan sendiri Untuk mencari ikan digunakan sendiri Untuk mencari ikan dijual Untuk mencari kayu utk keperluan perumahan Sebagai pekerja Tdk utk apa-apa hanya lewat saja Lain-lain Gambar 6. Prosentase Alasan Masyarakat Yang Sering Masuk Hutan Mangrove di Lokasi Survey DKI Jakarta Sumber : LPP Mangrove 2008 Tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian LPP Mangrove, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan kerusakan kawasan hutan lindung Muara Angke diakibatkan oleh, perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawawasan dengan cara menebang hutan mangrove untuk keperluaan rumah tangga dan abrasi karena berkurangnya tanaman mangrove itu sendiri. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pendapat Rohmin et al. 2001 permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak- tambak untuk budidaya perairan. Kegiatan pembukaan mangrove untuk tambak tersebut memberikan konstribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa secara umum, ada beberapa permasalah yang timbul sebagai akibat dari ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat diberikan oleh ekosistem mangrove tersebut.

5.3. Prioritas Alternatif Kebijakan

Penentuan priotitas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara dengan menggunakan metode AHP melalui wawancara dengan para pakar. Pada metode AHP dilakukan pembobotan nilai yang berpengaruh terhadap pemilihan kriteria, berdasarkan peran stakeholder yang meliputi stakeholder ekonomi, sosial dan ekonomi. Pembobotan setiap level didasarkan pada hasil wawancara dengan stakeholder yang terlibat dalam penentuan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Stakeholder yang terkait adalah DPP, LSM, perguruan tinggi, swasta dan nelayan. Hasil analisis data penilaian tingkat kepentingan masing-masing kelompok stakeholder level 2 terhadap aspek level 3 data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai prioritas kelompok stakeholder No Stakeholder Bobot kepentingan Prioritas 1 Dinas Perikanan Peternakan DPP 0,416 1 2 Lembaga Swadaya Masyarakat LSM 0,188 2 3 Perguruan Tinggi 0,165 3 4 Swasta 0,140 4 5 Nelayan 0,091 5 Hasil analisis pendapat para pakar dengan menggunakan metode AHP pada Tabel 15, terlihat stakeholder yang paling berpengaruh terhadap penentuan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara adalah pemda dengan bobot nilai 0,416, stakeholder yang menjadi prioritas kedua adalah LSM dengan bobot nilai 0,188, stakeholder ketiga adalah perguruan tinggi dengan bobot nilai 0,109, berikutnya adalah swasta dengan bobot nilai 0,140 dan stakeholder yang mempunyai peran rendah adalah nelayan dengan bobot nilai 0,091. Dari hasil pembobotan dapat disimpulkan bahwa DPP adalah stakeholder yang mempunyai tingkat kepentingan paling tinggi terhadap penentuan alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Hal ini disebabkan karena DPP adalah instansi negara yang mempunyai landasan konstitusional diantaranya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil, Pasal 63, ayat 1, yang berbunyi: pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya serta ayat 2, yang berbunyi pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdaya guna dan berhasil guna, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih besar untuk melakukan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. LSM merupakan salah satu stakeholder yang mempunyai peran terhadap pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Peran LSM tersebut adalah dalam hal melakukan pemantauan dan pengawasan di lapangan tentang efektifitas penerapan ketentuan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, upaya penyadaran terhadap kualitas dan pemeliharaan lingkungan pada masyarakat, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar Muara Angke dan yang sama pentingnya adalah hak class actions serta legal standing yang dapat ditempuh oleh LSM dalam menyelesaikan sengkata-sengketa lingkungan. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Santosa 2001 mengemukakan bahwa keberadaan LSM lingkungan dilandasi suatu kepedulian tentang suatu masalah lingkungan tertentu, hak hukum dari LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dijamin secara tegas berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 pasal 19 Tahun 1982 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Demikian halnya pada stakeholder perguruan tinggi yang memiliki kewajiban dalam menerapkan tanggungjawab Tri Darma perguruan tinggi yaitu, pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan swasta mempunyai peran terhadap pemberdayaan masyarakat berwawasan lingkungan, seperti pernyataan Direktorat Jendral Pemberdayaan Sosial 2005 mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan yang dirasakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta atau dunia usaha berdasarkan prinsip kemitraan dan kerjasama. Tanggung jawab sosial swasta diantaranya dapat memberikan implikasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, meringankan beban pembiayaan pembangunan, memperkuat investasi dunia usaha, sehingga dapat meningkatkan dan menguatkan jaringan kemitraan serta kerjasama antara masyarakat, pemerintah dengan swasta. Hasil penelitian ini didukung juga oleh pernyataan Santoso 2001 yang mengemukakan bahwa kebijakan dunia usaha di bidang lingkungan hidup dapat diidentifikasikan dalam berbagai fase, yaitu fase reaktif, menerima, konstruktif dan fase proaktif, untuk mendorong dunia usaha memiliki proaktivisme terhadap lingkungan dengan pendekatan pemberian tekanan, sangat dipengaruhi oleh berbagai stakeholder eksternal dalam mewujudkan tekanan. Tanpa adanya tekanan dunia usaha tidak akan terpacu untuk melakukan proaktivisme lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan nelayan merupakan produsen yang memanfaatkan langsung sumberdaya alam yang terdapat di sekitar pesisir dan laut karenanya nelayan merupakan stakeholder yang mempunyai peran penting dalam pengelolaannya. Nelayan sangat penting diberdayakan agar mampu melakukan berbagai upaya penanganan yang bermanfaat tentang pengelolaan sumberdaya alam laut dan pesisir sekitar Muara Angke. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyaatan Siahaan 2004 masyarakat merupakan sumberdaya yang penting bagi tujuan pengelolaan lingkungan. Bukan saja diharapkan sebagai sumberdaya yang bisa didayagunakan untuk pembinaan lingkungan, tetapi lebih dari pada itu. Komponen masyarakat juga bisa memberikan alternatif penting bagi lingkungan hidup seutuhnya. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPL menyatakan bahwa partisipasi masyarakat cukup layak dalam proporsi pengelolaan lingkungan. Masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang berkenaan dengan peran serta masyarakat tersebut seperti yang terdapat pada pasal 5 hingga pasal 7 UUPL. Koordinasi dan kerjasama yang harmonis dengan semua stakeholder sangat diperlukan agar tidak terjadi konflik di Muara Angke. Adanya koordinasi dan kerjasama ini akan menghasilkan suatu kebijakan yang menguntungkan semua stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke. Hasil analisis gabungan pendapat seluruh stakeholder terhadap level aspek Tabel 16 menggunakan program AHP menunjukkan tingkat kepentingan ekonomi merupakan prioritas pertama yang dipilih oleh lebih banyak stakeholder dalam pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara. Tiga dari Stakeholder yang memprioritaskan kepentingan ekonomi yaitu, DPP dengan bobot nilai 0,400; swasata mempunyai bobot nilai 0,443; dan nelayan dengan bobot nilai 0,500; sedangkan stakeholder yang mementingkan ekologi adalah LSM dengan bobot nilai 0,443; dan perguruan tinggi dengan bobot nilai 0,413. Tabel 16. Nilai pembobotan pada aspek level 3 masing-masing kelompok stakeholder No Stakeholder Level 2 Aspek level 3 Bobot nilai 1 DPP Ekologi 0,200 Sosial 0,400 Ekonomi 0,400 2 LSM Ekologi 0,443 Sosial 0,169 Ekonomi 0,387 3 Perguruan Tinggi Ekologi 0,413 Sosial 0,260 Ekonomi 0,327 4 Swasta Ekologi 0,169 Sosial 0,387 Ekonomi 0,443 5 Nelayan Ekologi 0,250 Sosial 0,250 Ekonomi 0,500 Pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara dan berbagai alternatif kebijakan menunjukkan bahwa aspek ekonomi menempati urutan pertama dengan bobot nilai 0,404, urutan kedua aspek sosial dengan bobot nilai 0,325 dan aspek yang terakhir adalah ekologi dengan bobot nilai 0,273. Hasil analisis tersebut menunjukkan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara cenderung mementingkan aspek ekonomi untuk kepentingan pengelolaan laut dan pesisir di wilayah Muara Angke dan tetap mementingkan aspek sosial agar keharmonisan masyarakat disekitar Muara Angke dapat terjaga, sehingga tidak menimbulkan konflik dan aspek lingkungan juga mendapat perhatian agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga. Tabel 17. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek No Aspek level 3 Bobot nilai Prioritas 1 Ekonomi 0,404 1 2 Sosial 0,325 2 3 Ekologi 0,273 3

5.3.1. Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

Berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara Usaha mewujudkan penerapan kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara harus dilakukan secara terpadu, dimulai dari dukungan berbagai kebijakan dan peraturan perundang- undangan. Memberikan kepastian hukum secara efektif dalam aspek pengelolaan termasuk perencanaan dan pemanfaatan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat Budiharsono, 2001. Menurut Helmi 2002 dasar kebijakan baru dalam pemberdayaan masyarakat nelayan bersifat partisipatif, desentralisasi dan mengacu pada prinsip-prinsip efisiensi ekonomi, keadilan dan keberlanjutan. Hasil analisis AHP diperoleh beberapa alternatif kebijakan Tabel 18. Tabel 18. Nilai prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara No Alternatif Bobot Prioritas 1 Budidaya ikan hias 0,286 1 2 Nelayan tangkap dimodernisasikan 0,267 2 3 Peningkatan nilai tambah 0,199 3 4 Ekowisata 0,137 4 5 Pemandu wisata 0,111 5 Budidaya ikan hias merupakan alternatif kebijakan yang menempati prioritas pertama dengan nilai pembobotan sebesar 0,286, prioritas kedua adalah nelayan tangkap dimodernisasikan dengan nilai pembobotan 0,267. diikuti prioritas ketiga yaitu peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, keempat ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan prioritas terakhir pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111 Tabel 18. Budidaya ikan hias menjadi prioritas utama karena budidaya ikan hias air tawar menjadi solusi efektif mengingat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan diantaranya, musim barat dan musim timur, buruknya kualitas air dan deforestasi hutan mangrove yang menyebabkan ketersediaan ikan di perairan Muara Angke terus berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo dan Swadi 2008 pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh 1 semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan 2 meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk menmanfaatkan lingkungannya secara bijaksana. Selain itu perubahan populasi ikan karena dipengaruhi oleh berubahnya lingkungan dan ekosistem, interaksi antar spesies dan pengaruh manusia melalui penangkapan, pencemaran degradasi habitat. Selanjutnya menurut Riani et al. 2005 buruknya kualitas air di perairan Teluk Jakarta yang disebabkan oleh pembuangan berbagai hasil kegiatan manusia, baik di darat maupun di lautan sehingga budaya ikan hias merupakan prioritas yang tepat karena teknologinya yang relatif sederhana diantaranya penggunaan air kembali dengan cara sirkulasi tertutup, dibanding budidaya ikan hias air laut, dapat memberdayakan semua keluarga nelayan salah satunya istri-istri nelayan, bisa dikerjakan di rumah, tempat pembudidayaan dapat berupa kolam buatan atau aquarium dan tidak memerlukan lahan yang luas, bibitnya dapat diperoleh dari BBI balai benih ikan DKI Jakarta, hasil produksi tidak dikonsumsi oleh produsen sehingga aman bagi kesehatan, dan pemasarannya pun relatif mudah dengan difasilitatori dinas terkait dan pengusaha. Proiritas kedua adalah nelayan tangkap dimodernisasikan karena nelayan sering kali harus menambatkan kapal-kapal mereka jika memasuki musim barat dan musim timur, hal tersebut terjadi sebab umumnya kondisi kapal para nelayan masih tergolong semi tradisional dimana dalam keadaan demikian nelayan tidak memungkinkan melakukan pelayaran karena resiko yang terlalu besar yang akan dihadapi. Selain itu perairan Teluk Jakarta tercemar sehingga biota pergi ke laut yang lebih jauh dan membuat hasil tangkapan nelayan menurun. Atas kondisi tersebut solusinya nelayan diberi kapal dan alat tangkap modern agar dapat ke laut lebih jauh. Dalam setahun, nelayan hanya menggunakan waktu 6 bulan untuk melaut. Hal ini terjadi karena faktor musim. Pada musim barat atau timur para nelayan tidak bisa melaut karena tidak sanggup melawan angin yang sangat kencang dengan demikian, kesadaran modernisasi nelayan tangkap didorong oleh akan pentingnya pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan lautan yang sangat besar yang selama ini tingkat pemanfaatannya masih di bawah 50 persen Satria, 2000. Nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sangat sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap bersifat open access, sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen resiko yang harus dihadapi lebih besar Pollnack, 1988. Selanjutnya Pollnack 1988 membedakan antara karakteristik antara perikanan tangkap berskala besar dan skala kecil. Ciri perikanan berskala besar adalah sebagai berikut : a diorganisasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju, b secara relatif lebih padat modal, c memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan d menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Sementara itu prikanan berskala kecil lebih beroperasi di wilayah pesisir dengan tumpang tindih dengan kegiatan budidaya. Umumnya mereka bersifat padat karya. Aspek penting dalam modernisasi perikanan tangkap adalah, perbaikan alat tangkap dan maupun motorisasi melalui disemisasi alat tangkap baru serta kapal motor, sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Nasution et al 2007 yang menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan bertujuan untuk memenuhi kehidupan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari subsistensi. Masyarakat terlihat memiliki keinginan berinovasi bertujuan untuk meningkatkan ikan hasil tangkapan. Hal tersebut ditandai banyak ditemukannya bagan perahu yang merupakan pengembangan dari bagan tancap oleh nelayan yang berasal dari Bugis. Namun umumnya keinginan berinovasi tersebut selalu terganjal permodalan. Peningkatan nilai tambah hasil produksi pada prioritas ketiga. Adapun yang dimaksud peningkatan nilai tambah adalah pengolahan dari bahan baku hasil tangkapan sehingga dapat meningkatkan margin keuntungan. Peningkatan nilai tambah hasil produksi akan membuat hasil produksi perikanan para nelayan tidak hanya berakhir pada bentuk bahan baku atau, tanpa perlakuan lanjutan. Peningkatan nilai tambah akan memberikan konstribusi positif bagi nelayan disamping akan menambah ketahanan masa simpan juga akan meningkatkan pendapatan nelayan. Potensi dari peningkatan nilai tambah hasil produksi perikanan Indonesia secara umum sangatlah menjajikan ini dapat diketahui dari banyaknya ikan-ikan segar atau utuh yang diekspor untuk kepentingan industri pengolahan yang ada di luar negeri. Salah satu contohnya yaitu, pada tahun 2004, ekspor tuna segar Indonesia mencapai 106,6 juta dolar AS, padahal Thailand hanya 11,7 juta dolar AS. Sementara itu pada tahun 2005 ekspor produk tuna kaleng Indonesia hanya 121,8 juta dolar AS, padahal Thailand sudah mencapai 909 juta dlar AS. Paradoks yang terjadi adalah angka impor tuna mentah untuk keperluan industri pengalengan mencapai 500 juta dolar AS, dan sebagian besar impor tuna tersebut berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia telah berjasa mendorong Thailand menjadi negara industri perikanan di dunia, pangsa Thailand mencapai 15 persen, Filipina 10 persen, dan Indonesia sebagai salah satu produsen tuna terbesar di dunia hanya mencapai 3 persen Satria, 2009. Hasil analisis menunjukkan ekowisata mendapat prioritas keempat. Hal ini didukung oleh berbagai potensi sumberdaya wisata terdiri atas potensi alam dan potensi masyarakat. Salah satu potensi yang ada di kawasan hutan Muara Angke adalah kekayaan flora dan fauna. Kawasan hutan dari segi kekayaan flora tidak termasuk kedalam kawasan yang dilindungi. Namun demikian, karena dijumpai beberapa tegakan yang sangat potensial untuk dijadikan pohon induk, maka potensi flora merupakan kawasan objek yang bernilai bagi ekowisata pendidikan sekaligus untuk meningkatkan kualitas lingkungan DKI Jakarta. Berdasarkan kekayaan fauna di kawasan hutan mangrove sangat potensial untuk dijadikan sebagai feeding ground, grooming area dan nesting bagi berbagai jenis burung, diantaranya tergolong fauna yang dilindungi. Di beberapa lokasi lain terdapat beberapa spesies lainnya seperti, monyet ekor panjang, ular sanca air, sanca kembang, dan biawak yang bisa dijadika objek wisata pendidikan lingkungan. Kawasan hutan mangrove memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk dijadikan sebagai objek wisata harian dan wisata akhir pekan. Event lokal telah dilakukan di beberapa lokasi seperti, pendidikan lingkungan anak-anak sekolah, mahasiswa maupun lembaga-lembaga tertentu. Didukung juga oleh potensi pengunjung berdasarkan jumlah dan asal wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Suaka Marga Satwa Muara Angke, hutan lindung Muara Angke dan hutan wisata Muara Angke tidak kurang dari 12.000 orangtahun. Jumlah pengunjung terbanyak adalah pemancingan yang berada di tambak masyarakat, jumlah wisatan yang memasuki Suaka Marga Satwa sekitar 1.500 orang tahun masyarakat, mahasiswa dan pelajar, dan jumlah wisatawan yang memasuki hutan lindung diperkiran 800 orangtahun. Melihat potensi wisata dan jumlah pengunjung yang tergolong besar, sehingga sangat penting untuk didukung oleh jumlah pemandu wisata yang memadai. Pemandu wisata sebaiknya berasal dari lokasi objek wisata yaitu Muara Angke karena disamping menciptakan peluang kerja masyarakat sekitar juga sekaligus meminimalkan terjadinya konflik pengelolaan. Hal tersebut di atas menjadi alasan mengapa pemandu wisata sebagai alternatif kelima. VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Kondisi sosial budaya nelayan di Muara Angke tergolong dinamis, beragamannya etnis dan kaum pendatang, tidak pernah ada konflik horisontal antar masyarakat, budaya lokal masih ada namun budaya pemeliharaan lingkungan relatif rendah sedangkan kondisi ekonomi masyarakat masih tergolong rendah. 2. Kualitas air laut di Muara Angke khusus parameter kekeruhan, zat padat tersuspensi TSS, dan daya hantar listrik DHL, serta kualitas kimia pada parameter pH, oksigen, ammonia, phosphat, nitrat, fenol dan BOD sudah di atas nilai ambang batas yang diizinkan sedangkan, parameter mikrobilogi masih masuk dalam kategori baik dan ekosistem mangrove sudah masuk pada kategori rusak. 3. Prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke ialah a budidaya ikan hias dengan bobot nilai 0,286, b nelayan tangkap dimoderenisasikan bobot nilai 0,267 c peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, d ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111.

6.2. Saran