mendukung perkembangan usahanya. Kebutuhan ini berhubungan erat dengan ketersediaan fasilitas
produksi yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir nelayan untuk mulai atau mengembangkan usahanya, seperti : fasilitas
penghubung, fasilitas pemasaran produksi dan faktor-faktor produksi, fasilitas kredit yang mudah dan murah, fasilitas peralatan penanganan pasca produksi, dan
penyediaan sarana dan prasarana usaha.
2.6. Perairan
2.6.1. Pencemaran Perairan
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.51MENKLHI2004, yang dimaksud dengan polusi atau pencemaran air dan
udara adalah masuk dan dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam airudara dan atau berubahnya tatanan komposisi airudara
oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas airudara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan airudara menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukannya. Masalah pencemaran air menimbulkan kerugian, karena mempengaruhi
sistem kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis pencemaran air yang dikenal adalah: a pencemaran fisik warna, karena zat organik
dan anorganik, turbiditas dan zat tersuspensi, suhu, buih atau busa, b pencemaran fisiologi rasa dan bau, c pencemaran biologi pertumbuhan ganggang dan bakteri
termasuk bakteri patogen, d pencemaran kimia baik zat organik maupun anorganik Soedharma dkk, 2005 .
Sanitasi lingkungan khususnya lingkungan perairan bila tercemar akan menimbulkan atau memudahkan terjadinya penularan penyakit, kesehatan menjadi
tidak higienis dan pola hidup yang menjadi kurang baik. Salah satu penyebab utama terjadinya pencemaran di lingkungan perairan diakibatkan oleh metode perlakuan
pembuangan limbah domestik yang tidak sesuai dengan aturan Izumino, 2009
2.6.2. Kualitas Perairan dan Baku Mutu Air Laut
Kualitas suatu perairan pantai sangat ditentukan oleh aktifitas manusia dan alam dari wilayah di sekitarnya. Bahan-bahan pencemar masuk ke perairan pantai
selalu mengikuti arus pasang surut bolak-balik yang terjadi dua kali sehari. Bahan- bahan ini seolah-olah terperangkap dalam suatu jarak tertentu di perairan pantai dan
terakumulasi, yang dapat mengakibatkan terlampauinya daya pulih diri self purification
perairan pantai. Apabila hal ini terjadi, maka terjadinya penurunan kualitas perairan, karena penggunaan suatu badan air harus sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang diperlukan bagi suatu peruntukan. Persyaratan- persyaratan tersebut antara lain, dimilikinya ukuran-ukuran minimum bagi senyawa-
senyawa yang membahayakan Soedharma et al, 2005 . Kualitas air perlu dijaga dengan mengadakan pemantauan secara intensif.
Untuk dapat mengetahui kualitas air laut yang baik, maka perlu dilakukan Program Kali Bersih PROKASIH secara berkala, sehingga kualitas perairan dapat dimonitor
setiap saat,agar tidak menimbulkan dampak pada sistem ekologi, ekonomi dan sosial. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi
atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut Kepmen RI KLH No. 02 tahun 1998. Tujuan dari
pengembangan baku mutu air laut adalah melindungi laut dari berbagai kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran melalui kajian baku mutu air laut sehingga dapat
diterapkan dalam upaya pemantauan serta penegakan hukum. Arti penting menjaga dan melestarikan laut yang telah banyak menyediakan
jasa dan sumberdaya; seperti makanan, rekreasi, perlindungan tempat perkembangbiakan dan tempat daur ulang limbah. Menjadi nilai tersendiri dari
pesisir pantai yang begitu penting untuk dipertimbangkan dan dilindungi sekaligus bahan bagi para pembuat kebijakan Goteborg dan Sweden, 2009.
2. 7. Mangrove 2.7.1. Definisi Mangrove
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen
, dan hutan payau bahasa Indonesia. Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu
sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk sebutan hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama
lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan
mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari. Menurut Snedaker 1978, hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan
yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa
pantai dengan reaksi tanah anaerob. Kata mangrove sebaiknya digunakan baik untuk individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang
surut. Adapun menurut Aksornkoae dalam Nasihin 2007, hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang
tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Macnae dalam Snedaker 1974 menyarankan agar kata “Mangrove” digunakan untuk satuan pohon dan semak sedangkan kata “mangal” berlaku untuk
komunitas tumbuhan tersebut. Meskipun demikian, FAO 1994 melihat bahwa konteksnya biasanya jelas apa yang dimaksud dengan pohon atau hutan mangrove.
Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut terutama di pantai yang
terlindung, laguna, muara sungai yang tergenang pasang dan bebas dari genangan pada saat surut yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam.
Sedangkan ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
tumbuhan dan hewan yang berinteraksi dengan faktor lingkungannya di dalam suatu habitat mangrove.
2.7.2. Luas Hutan Mangrove di Indonesia
Iklim Indonesia secara ekologi cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan mangrove dan hutan mangrove. Meskipun secara umum lokasi mangrove
diketahui, namun terdapat variasi yang nyata dari luas total hutan mangrove Indonesia, yakni berkisar antara 2,5 juta – 4,25 juta ha Dehut, 2004.
Beranjak dari perkiraan luas hutan mangrove yang berstatus kawasan hutan di Indonesia pada tahun 1993 seluas 3.765.250 ha, total luas areal berhutan mangrove
berkurang sekitar 1,3 dalam kurun waktu 6 tahun 1993 sampai 1999. Angka penurunan luas hutan mangrove dalam kurun waktu antara tahun 1993 – 1999 ini
jauh lebih kecil dibandingkan dalam kurun waktu 1982 – 1993. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Kusmana 1996 diketahui bahwa dalam kurun waktu
antara tahun 1982 – 1993 11 tahun, luas hutan mangrove turun sebesar 11,3 4,25 juta ha pada tahun 1982 menjadi 3,7 juta ha pada tahun 1993 atau 1 per tahun
Dephut, dll, 2004.
2.7.3. Fungsi Mangrove