Latar Belakang Alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara:

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dikenal dengan sebutan bangsa bahari, karena secara geogarfis 73 persen dari wilayahnya berupa perairan laut dan hanya 27 persen sisanya berupa daratan dan berdasarkan fakta memperlihatkan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia gemar mengarungi lautan. Dari berbagai profesi yang digeluti masyarakatnya, mata pencaharian sebagai nelayanlah yang sangat dekat atau berinteraksi langsung dengan kebaharian. Sejatinya keberadaan nelayan memberikan arti penting bagi kelangsungan hidup manusia di hampir semua wilayah baik di Bangsa Indonesia maupun untuk negara lain ekspor. Hal ini semestinya berkontribusi signifikan pada kelayakan hidup nelayan, tetapi hal tersebut masih sangat jauh dari kenyataannya, karena masyarakat yang memilih profesi nelayan secara umum begitu identik dengan kemiskinan masyarakat terpinggirkan yang masih terus bergulat dengan berbagai persoalan kehidupan, baik ekonomi, sosial, maupun budaya Winengan, 2007. Di wilayah Muara Angke, kehidupan sosial masyarakat nelayan tidak berbeda jauh dengan kehidupan sosial masyarakat nelayan lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat misalnya rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas yang sangat tergantung pada musim, terbatasnya modal usaha, kurangnya sarana penunjang, buruknya mekanisme pasar dan lambannya transfer teknologi serta komunikasi yang mengakibatkan pendapatan masyarakat nelayan menjadi tidak menentu. Kondisi kehidupan nelayan paling parah, dialami pada waktu musim barat daya dan musim timur. Biasanya pada musim barat daya, angin bertiup dari arah barat daya ke arah timur laut melewati pulau-pulau dengan kecepatan yang sangat kencang badai. Musim ini biasanya terjadi sekitar awal tahun baru, yaitu bulan November- Januari. Sedang musim timur biasanya terjadi pada bulan Juni-Agustus. Pada musim timur, angin bertiup kencang mulai pagi hingga malam hari dengan iringan badai dan gelombang laut yang besar. Pada musim ini, ketinggian gelombang bisa mencapai 1-2 meter Furqon, 2008. Gelombang tinggi membuat, beberapa nelayan menjalankan aktifitasnya pada malam hari. Di ke dua musim ini musim barat daya dan musim timur, nelayan di Muara Angke hampir menjadi tidak produktif Winengan, 2007. Selain itu buruknya kualitas lingkungan akibat pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta telah menimbulkan kerugian yang serius pada kehidupan ekologis, ekonomi, kesehatan, maupun estetika. Secara ekologis pencemaran bahan organik telah menyebabkan blooming fitoplankton dari berbagai fitoplankton yang dapat menghasilkan zat kimia beracun toxic algae berupa ammonia. Peristiwa blooming plankton yang mencapai jutaan individuliter, dengan pertumbuhan yang sangat cepat eksponensial dalam waktu yang sangat singkat disebut sebagai fenomena red tide. Peristiwa ini dapat mengakibatkan kandungan oksigen di perairan turun secara drastis dan mengakibatkan kematian massal pada ikan. Selain itu pertumbuhan algae secara berlebihan dapat mengganggu ekosistem lain yang ada di wilayah pesisir terutama di perairan teluk Jakarta. Dampak perubahan musim barat dan timur serta pencemaran kualitas air mengakibatkan nelayan memanfaatkan sumberdaya alam lainnya yang ada di sekitarnya yaitu, menebang pohon mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke untuk dijadikan bahan baku arang sebagai profesi baru atau tambahan penghasilan. Rutinitas perambahan hutan mangrove yang dilakukan oleh para nelayan di Suaka Margasatwa tentunya adalah, tindakan yang melanggar hukum sebab Suaka Margasatwa dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 50, ayat 3, sehingga pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan yang melibatkan seluruh stakeholder sangat dibutuhkan agar meraka tidak lagi melakukan perambahanpengerusakan hutan mangrove di kawasan Suaka Margasatwa di Muara Angke. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan peran pemerintah dalam menanggulangi keterpurukan yang dialami oleh nelayan di Muara Angke dengan membuat kebijakan berupa berbagai program pemberdayaan yang tepat untuk menyelesaikannya. Tanggungjawab itu tertuang dalam konstitusi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 63, ayat 1, yang berbunyi: pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberdayakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya serta ayat 2, yang berbunyi pemerintah wajib mendorong kegiatan usaha masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang Pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdaya guna dan berhasil guna. Usaha pemberdayaan, menurut Haque, et al. dalam Nikijuluw 2000 adalah pembangunan. Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan adalah collective action yang berdampak pada individual welfare. Dengan kata lain maka membangun adalah memberdayakan individu dan masyarakat. Memberdayakan berarti bahwa keseluruhan personalitas seseorang ditingkatkan. Jadi pemberdayaan masyarakat berarti membangun collective personality of a society. Memberdayakan masyarakat nelayan Muara Angke perlu mengadopsi keinginan semua stakeholders yang terkait didalamnya seperti, nelayan itu sendiri, pemerintah, tokoh masyarakat, dan industri yang berada di wilayah itu karena berbagai program yang telah dicanangkan hingga kini belum memperlihatkan hasil yang optimal, hal ini terlihat dari kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan yang belum membaik. Terkait dengan kondisi tersebut di atas maka, perlu dicari informasi apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat nelayan sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya, sehingga dapat dibuat alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke.

1.2. Kerangka Pemikiran