Kondisi Hutan Mangrove 1. Kualitas Air dan Kerusakan Mangrove di Muara 1. Peraturan Pengelolaan Kualitas Air

tingginya bahan organik yang ditunjukkan dengan tingginya nilai BOD. Kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mgl Effendi, 2000. 5.2.2. Kondisi Hutan Mangrove 5.2.2.1. Kerusakan Mangrove Pesisir di Muara Angke. Hutan mangrove di DKI Jakarta tersebar di kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk di Pantai Utara DKI Jakarta dan di sekitar Kepulauan Seribu. Berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 16UM61977 tanggal 10 Juni 1977, peruntukan kawasan Angke Kapuk ditetapkan sebagai hutan lindung, cagar alam, hutan wisata dan lapangan dengan tujuan istimewa. Pada tahun 1994 berdasarkan hasil tata batas di lapangan dan Berita Acara Tata Batas yang ditandatangani pada Tanggal 25 Juli 1994 yang diangkat dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah DKI Jakarta diketahui bahwa hutan yang dipertahankan adalah seluas 327,70 ha. Selain di Pantai Utara DKI Jakarta, hutan mangrove juga terdapat di sekitar Kepulauan Seribu. Pada saat dilakukan penelitian ini terlihat bahwa ekosistem mangrove di pesisir Muara Angke dalam kondisi rusak. Kondisi ini diduga karena tekanan pertambahan penduduk, terutama di daerah pantai. Selain itu juga karena adanya konversi lahan menjadi kawasan perumahan, budidaya perairan, infrastruktur pelabuhan dan industri. Tingginya konversi lahan ini mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, kondisi ini menyebabkan ekosistem mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak. Terjadinya kerusakan ini diduga bukan hanya disebabkan oleh konversi lahan, namun Kerusakan ini juga disebabkan oleh berbagai pencemar, baik berupa limbah cair maupun limbah padat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian LPP Mangrove yang mendapatkan hasil bahwa kerusakan mangrove di kawasan hutan lindung Muara Angke, disebabkan oleh abrasi dan pemanfaatan oleh masyarakat dengan cara menebang yang tidak disertai penanaman kembali. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat para responden berdasarkan alasan yang sering masuk ke hutan mangrove 35, 31 diantaranya masuk ke dalam hutan mangrove hanya untuk lewat tanpa aktivitas apa-apa disana salah satu jalur transportasi mereka. Responden lainnya 25 menggunakan hutan mangrove untuk keperluan lain seperti untuk tempat istirahat, tempat untuk melihat-lihat pohon dan hewan, mengunjungi kerabat yang tinggal di sekitar hutan mangrove dan sebagainya. Sebagian Responden lainnya masuk ke hutan mangrove mencari kayu bakar untuk digunakan sendiri 1, untuk mencari ikan untuk konsumsi sendiri 23, mencari ikan untuk dijual 2, untuk mencari kayu untuk keperluan perumahan 2 dan untuk bekerja sebagai buruh tanam ataupun buruh lainnya 16. 1 23 2 2 16 31 25 Untuk mencari kayu bakar digunakan sendiri Untuk mencari ikan digunakan sendiri Untuk mencari ikan dijual Untuk mencari kayu utk keperluan perumahan Sebagai pekerja Tdk utk apa-apa hanya lewat saja Lain-lain Gambar 6. Prosentase Alasan Masyarakat Yang Sering Masuk Hutan Mangrove di Lokasi Survey DKI Jakarta Sumber : LPP Mangrove 2008 Tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian LPP Mangrove, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan kerusakan kawasan hutan lindung Muara Angke diakibatkan oleh, perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawawasan dengan cara menebang hutan mangrove untuk keperluaan rumah tangga dan abrasi karena berkurangnya tanaman mangrove itu sendiri. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pendapat Rohmin et al. 2001 permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak- tambak untuk budidaya perairan. Kegiatan pembukaan mangrove untuk tambak tersebut memberikan konstribusi terbesar dalam pengrusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa secara umum, ada beberapa permasalah yang timbul sebagai akibat dari ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat diberikan oleh ekosistem mangrove tersebut.

5.3. Prioritas Alternatif Kebijakan