Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

konflik dan aspek lingkungan juga mendapat perhatian agar keseimbangan ekosistem dapat terjaga. Tabel 17. Nilai gabungan pembobotan pada level aspek No Aspek level 3 Bobot nilai Prioritas 1 Ekonomi 0,404 1 2 Sosial 0,325 2 3 Ekologi 0,273 3

5.3.1. Alternatif Kebijakan Pemberdayaan Masyarakat Nelayan

Berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara Usaha mewujudkan penerapan kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara harus dilakukan secara terpadu, dimulai dari dukungan berbagai kebijakan dan peraturan perundang- undangan. Memberikan kepastian hukum secara efektif dalam aspek pengelolaan termasuk perencanaan dan pemanfaatan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat Budiharsono, 2001. Menurut Helmi 2002 dasar kebijakan baru dalam pemberdayaan masyarakat nelayan bersifat partisipatif, desentralisasi dan mengacu pada prinsip-prinsip efisiensi ekonomi, keadilan dan keberlanjutan. Hasil analisis AHP diperoleh beberapa alternatif kebijakan Tabel 18. Tabel 18. Nilai prioritas alternatif kebijakan pemberdayaan masyarakat nelayan berwawasan lingkungan di Muara Angke, Jakarta Utara No Alternatif Bobot Prioritas 1 Budidaya ikan hias 0,286 1 2 Nelayan tangkap dimodernisasikan 0,267 2 3 Peningkatan nilai tambah 0,199 3 4 Ekowisata 0,137 4 5 Pemandu wisata 0,111 5 Budidaya ikan hias merupakan alternatif kebijakan yang menempati prioritas pertama dengan nilai pembobotan sebesar 0,286, prioritas kedua adalah nelayan tangkap dimodernisasikan dengan nilai pembobotan 0,267. diikuti prioritas ketiga yaitu peningkatan nilai tambah dengan bobot nilai 0,199, keempat ekowisata dengan bobot nilai 0,137 dan prioritas terakhir pemandu wisata dengan bobot nilai 0,111 Tabel 18. Budidaya ikan hias menjadi prioritas utama karena budidaya ikan hias air tawar menjadi solusi efektif mengingat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan diantaranya, musim barat dan musim timur, buruknya kualitas air dan deforestasi hutan mangrove yang menyebabkan ketersediaan ikan di perairan Muara Angke terus berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo dan Swadi 2008 pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh 1 semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan 2 meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk menmanfaatkan lingkungannya secara bijaksana. Selain itu perubahan populasi ikan karena dipengaruhi oleh berubahnya lingkungan dan ekosistem, interaksi antar spesies dan pengaruh manusia melalui penangkapan, pencemaran degradasi habitat. Selanjutnya menurut Riani et al. 2005 buruknya kualitas air di perairan Teluk Jakarta yang disebabkan oleh pembuangan berbagai hasil kegiatan manusia, baik di darat maupun di lautan sehingga budaya ikan hias merupakan prioritas yang tepat karena teknologinya yang relatif sederhana diantaranya penggunaan air kembali dengan cara sirkulasi tertutup, dibanding budidaya ikan hias air laut, dapat memberdayakan semua keluarga nelayan salah satunya istri-istri nelayan, bisa dikerjakan di rumah, tempat pembudidayaan dapat berupa kolam buatan atau aquarium dan tidak memerlukan lahan yang luas, bibitnya dapat diperoleh dari BBI balai benih ikan DKI Jakarta, hasil produksi tidak dikonsumsi oleh produsen sehingga aman bagi kesehatan, dan pemasarannya pun relatif mudah dengan difasilitatori dinas terkait dan pengusaha. Proiritas kedua adalah nelayan tangkap dimodernisasikan karena nelayan sering kali harus menambatkan kapal-kapal mereka jika memasuki musim barat dan musim timur, hal tersebut terjadi sebab umumnya kondisi kapal para nelayan masih tergolong semi tradisional dimana dalam keadaan demikian nelayan tidak memungkinkan melakukan pelayaran karena resiko yang terlalu besar yang akan dihadapi. Selain itu perairan Teluk Jakarta tercemar sehingga biota pergi ke laut yang lebih jauh dan membuat hasil tangkapan nelayan menurun. Atas kondisi tersebut solusinya nelayan diberi kapal dan alat tangkap modern agar dapat ke laut lebih jauh. Dalam setahun, nelayan hanya menggunakan waktu 6 bulan untuk melaut. Hal ini terjadi karena faktor musim. Pada musim barat atau timur para nelayan tidak bisa melaut karena tidak sanggup melawan angin yang sangat kencang dengan demikian, kesadaran modernisasi nelayan tangkap didorong oleh akan pentingnya pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan lautan yang sangat besar yang selama ini tingkat pemanfaatannya masih di bawah 50 persen Satria, 2000. Nelayan dihadapkan pada situasi ekologis yang sangat sulit dikontrol produknya mengingat perikanan tangkap bersifat open access, sehingga nelayan juga harus berpindah-pindah dan ada elemen resiko yang harus dihadapi lebih besar Pollnack, 1988. Selanjutnya Pollnack 1988 membedakan antara karakteristik antara perikanan tangkap berskala besar dan skala kecil. Ciri perikanan berskala besar adalah sebagai berikut : a diorganisasi dengan cara yang mirip dengan perusahaan agroindustri di negara-negara maju, b secara relatif lebih padat modal, c memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan d menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Sementara itu prikanan berskala kecil lebih beroperasi di wilayah pesisir dengan tumpang tindih dengan kegiatan budidaya. Umumnya mereka bersifat padat karya. Aspek penting dalam modernisasi perikanan tangkap adalah, perbaikan alat tangkap dan maupun motorisasi melalui disemisasi alat tangkap baru serta kapal motor, sehingga dapat meningkatkan produksi perikanan. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Nasution et al 2007 yang menyatakan bahwa kegiatan penangkapan ikan bertujuan untuk memenuhi kehidupan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari subsistensi. Masyarakat terlihat memiliki keinginan berinovasi bertujuan untuk meningkatkan ikan hasil tangkapan. Hal tersebut ditandai banyak ditemukannya bagan perahu yang merupakan pengembangan dari bagan tancap oleh nelayan yang berasal dari Bugis. Namun umumnya keinginan berinovasi tersebut selalu terganjal permodalan. Peningkatan nilai tambah hasil produksi pada prioritas ketiga. Adapun yang dimaksud peningkatan nilai tambah adalah pengolahan dari bahan baku hasil tangkapan sehingga dapat meningkatkan margin keuntungan. Peningkatan nilai tambah hasil produksi akan membuat hasil produksi perikanan para nelayan tidak hanya berakhir pada bentuk bahan baku atau, tanpa perlakuan lanjutan. Peningkatan nilai tambah akan memberikan konstribusi positif bagi nelayan disamping akan menambah ketahanan masa simpan juga akan meningkatkan pendapatan nelayan. Potensi dari peningkatan nilai tambah hasil produksi perikanan Indonesia secara umum sangatlah menjajikan ini dapat diketahui dari banyaknya ikan-ikan segar atau utuh yang diekspor untuk kepentingan industri pengolahan yang ada di luar negeri. Salah satu contohnya yaitu, pada tahun 2004, ekspor tuna segar Indonesia mencapai 106,6 juta dolar AS, padahal Thailand hanya 11,7 juta dolar AS. Sementara itu pada tahun 2005 ekspor produk tuna kaleng Indonesia hanya 121,8 juta dolar AS, padahal Thailand sudah mencapai 909 juta dlar AS. Paradoks yang terjadi adalah angka impor tuna mentah untuk keperluan industri pengalengan mencapai 500 juta dolar AS, dan sebagian besar impor tuna tersebut berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia telah berjasa mendorong Thailand menjadi negara industri perikanan di dunia, pangsa Thailand mencapai 15 persen, Filipina 10 persen, dan Indonesia sebagai salah satu produsen tuna terbesar di dunia hanya mencapai 3 persen Satria, 2009. Hasil analisis menunjukkan ekowisata mendapat prioritas keempat. Hal ini didukung oleh berbagai potensi sumberdaya wisata terdiri atas potensi alam dan potensi masyarakat. Salah satu potensi yang ada di kawasan hutan Muara Angke adalah kekayaan flora dan fauna. Kawasan hutan dari segi kekayaan flora tidak termasuk kedalam kawasan yang dilindungi. Namun demikian, karena dijumpai beberapa tegakan yang sangat potensial untuk dijadikan pohon induk, maka potensi flora merupakan kawasan objek yang bernilai bagi ekowisata pendidikan sekaligus untuk meningkatkan kualitas lingkungan DKI Jakarta. Berdasarkan kekayaan fauna di kawasan hutan mangrove sangat potensial untuk dijadikan sebagai feeding ground, grooming area dan nesting bagi berbagai jenis burung, diantaranya tergolong fauna yang dilindungi. Di beberapa lokasi lain terdapat beberapa spesies lainnya seperti, monyet ekor panjang, ular sanca air, sanca kembang, dan biawak yang bisa dijadika objek wisata pendidikan lingkungan. Kawasan hutan mangrove memiliki potensi pasar yang sangat besar untuk dijadikan sebagai objek wisata harian dan wisata akhir pekan. Event lokal telah dilakukan di beberapa lokasi seperti, pendidikan lingkungan anak-anak sekolah, mahasiswa maupun lembaga-lembaga tertentu. Didukung juga oleh potensi pengunjung berdasarkan jumlah dan asal wisatawan. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Suaka Marga Satwa Muara Angke, hutan lindung Muara Angke dan hutan wisata Muara Angke tidak kurang dari 12.000 orangtahun. Jumlah pengunjung terbanyak adalah pemancingan yang berada di tambak masyarakat, jumlah wisatan yang memasuki Suaka Marga Satwa sekitar 1.500 orang tahun masyarakat, mahasiswa dan pelajar, dan jumlah wisatawan yang memasuki hutan lindung diperkiran 800 orangtahun. Melihat potensi wisata dan jumlah pengunjung yang tergolong besar, sehingga sangat penting untuk didukung oleh jumlah pemandu wisata yang memadai. Pemandu wisata sebaiknya berasal dari lokasi objek wisata yaitu Muara Angke karena disamping menciptakan peluang kerja masyarakat sekitar juga sekaligus meminimalkan terjadinya konflik pengelolaan. Hal tersebut di atas menjadi alasan mengapa pemandu wisata sebagai alternatif kelima. VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan