6.100,-hari dengan RC 1,57. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekartawi 2002 bahwa secara teoritis usahatani dengan rasio RC = 1 artinya tidak untung
dan tidak pula rugi atau dengan kata lain rasio RC 1 adalah setiap 1 satuan input yang dikeluarkan nelayan, nelayan hanya memperoleh 1 satuan output. Namun
karena adanya biaya usahatani yang kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah menurut keyakinan peneliti; misalnya RC yang lebih
dari satu, bila usahatani itu dikatakan menguntungkan.
5.1.2. Kondisi Sosial Budaya
Jenis etnis responden yang tinggal, di sekitar Muara Angke berbeda dengan etnis pada umumnya, yang tinggal di kawasan pinggiran Jakarta. Hal ini
dikarenakan begitu beragamnya etnis yang berdatangan untuk nengadu nasib sebagai nelayan. Etnis yang paling dominan di Muara Angke adalah Sunda, Jawa
dan Betawi. Responden umumnya merupakan penduduk asli Muara Angke, sedangkan responden pendatang, umumnya berasal dari Tangerang dan Banten
yang telah menetap lebih dari 10 tahun. Semua responden beragama Islam, sehingga agama Islam merupakan agama dominan yang dianut oleh sekurangnya
95 persen penduduk di Muara Angke. Kedatangan kaum migran membuat kondisi etnis menjadi lebih beragam. Namun demikian, beragamnya penduduk
yang datang dan menetap di sekitar Muara Angke tidak memicu timbulnya konflik. Tingginya penganut agama Islam juga dicerminkan oleh banyaknya
rumah ibadah agama Islam mulai dari masjid hingga musholla. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan masyarakat Muara Angke dan aparat kelurahan
dan kecamatan yang mengatakan bahwa kaum pendatang dengan penduduk asli belum pernah konflik yang serius, mereka tampak berhasil berasimilasi satu sama
lain membentuk sebuah budaya perkotaan. Perkembangan wilayah menjadikan masyarakat di sekitar Muara Angke
sudah mulai meninggalkan budaya nelayan dan mulai mengarah kepada budaya perkotaan. Proses perubahan budaya dipercepat dengan adanya pendatang dari
daerah lain. Budaya penduduk lokal bercampur dengan budaya pendatang, namun masih tetap terasa budaya lokal. Adat-istiadat yang masih berjalan diantaranya
adalah selamatan orang meninggal, selamatan mendirikan rumah, selamatan hasil laut, khitanan, dan pernikahan.
Hasil penelitian menunjukkan budaya pemeliharaan lingkungan masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan responden yang
mengatakan bahwa mereka tidak melakukan pemeliharaan terhadap lingkungan. Adapun penyebab dari hal tersebut antara lain diakibatkan oleh faktor
ketidaktahuan dan belum adanya pendidikan atau penyuluhan lingkungan dari dinas terkait. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Neolaka 2008
bahwa kesadaran lingkungan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, faktor ketidaktahuan dan faktor kemiskinan. Faktor pengetahuan dimulai dengan rasa
ingin tahu. Oleh karena itu rasa ingin tahu merupakan sarana untuk mengumpulkan pengetahuan sebanyak mungkin, sedangkan faktor kemiskinan
merupakan salah satu masalah yang paling berpengaruh terhadap timbulnya masalah sosial. Masalah sosial adalah suatu keadaan yang muncul akibat dimana
masyarakat merasakan adanya ancaman yang menyangkut banyak orang. Masalah sosial yang bersumber dari kemiskinan atau kesulitan dalam pemenuhan
kebutuhan pokok, sering tidak berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dengan faktor lain. Perubahan sosial bisa meliputi perubahan pola kebudayaan dari suatu
masyarakat yaitu, perubahan dalam interaksi antar manusia, antara organisasikomunitas dan berhubungan dengan masalah yang timbul dalam
beragam masyarakat, baik dengan masalah ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup.
5.1.3. Kesehatan Masyarakat