Conscious Competence Kesimpulan Kompetensi Komunikasi Informan Penelitian

Krisna mengakui bahwasanya ia cukup sering bertukar informasi akan budaya dengan teman pribuminya. Hasil dari pertukaran informasi tersebut membuatnya sedikit menemukan perbedaan. Menyadari perbedaan kadang mampu memfasilitasi kompetensi komunikasi. Namun, Krisna tidak memanfaatkan keadaan ini, ia lebih memilih untuk menjauhi daripada mendekatinya, sehingga hal-hal seperti ini dapat menghambat kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. Jadi dapat disimpulkan bahwa Krisna berada pada tataran conscious incompetence yaitu seseorang mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu untuk memperbaikinya. Krisna menyadari bahwasanya ia dapat berkomunikasi dengan baik dengan mahasiswa pribumi, dibuktikan dengan ketertarikannya dalam bercerita tentang budaya yang berbeda dengan mahasiswa pribumi. Tetapi karena ketidakcocokan dengan beberapa tipe dari mahasiswa pribumi, menjadikan ia tidak mau melakukan suatu perbaikan guna terciptanya kompetensi komunikasi yang efektif.

IV.3.2.3 Conscious Competence

Conscious competence, yaitu seseorang berpikir tentang kecakapan komunikasinya dan secara terus-menerus berusaha mengubah apa yang ia lakukan supaya menjadi lebih efektif. Untuk tingkatan ini, peneliti menyimpulkan hanya ada 1 orang informan yaitu Putra Jaya. Kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi selalu ditunjukkan Putra dengan baik. Ia tidak pernah membuat pandangan negatif terhadap mahasiswa pribumi. Penilaian awal terhadap mahasiswa pribumi memang ada sebelum ia mengenal mahasiswa pribumi tersebut lebih dekat lagi. Putra menambahkan, misalnya sebelum Universitas Sumatera Utara mengenal teman-teman pribumi yang cowok, ia melihat tampang mereka yang seram sebagai sosok menakutkan seperti preman, tetapi setelah mengenal lebih dekat lagi Putra baru mengenal bagaimana pribadi mereka yang sebenarnya. Kompetensi komunikasinya dibuktikan dengan ia mempunyai teman-teman dekat dari mahasiswa pribumi. Kegiatan untuk bertukar fikiran ketika belajar di kampus, ia jadikan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, dalam hal bergaul di dalam maupun di luar kampus juga dijadikannya untuk memacu kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. Perbedaan dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi juga dirasakannya. Perbedaan dalam hal logat bahasa menjadi masalah dalam komunikasi mereka. Memang keduanya mengatakan bahwa ini bukanlah masalah yang berat dalam komunikasi mereka dengan mahasiswa pribumi. Putra mengatakan bahwa ia menginginkan teman pribumi yang terbuka dan tidak rasis dan tentunya dengan pribadi yang dapat menghargai orang lain. Karena dengan kriteria tersebut ia tentunya akan nyaman dalam berkomunikasi. Tetapi Putra juga tidak menjadikan hal tersebut sebagai masalah dan menjadikan dirinya etnosentris. Putra mempunyai motivasi untuk berkomunikasi, dan hal tersebut menunjukkan kebutuhannya untuk mengurangi sikap etnosentrisme akan etnis. Ia juga mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara mengumpulkan informasi tentang mahasiswa pribumi, serta ia juga tahu perbedaan kelompok dan kesamaannya. Pengetahuan terhadap adaptasi antarbudaya dan pengembangan relasi menunjukkan kemampuannya dalam berkompetensi komunikasi dengan baik serta mampu mengebangkan relasi antar etnis dan mampu bertoleransi terhadap sifat ambiguitas dan menghilangkan kecemasan karena perbedaan warna kulit. Universitas Sumatera Utara Umumnya, Putra menggunakan identitas etnisnya sebagai motivasi untuk membuka jaringan komunikasi. Artinya identitas etnis dipahami sebagai alat yang berguna untuk membantunya mengenal siapa diri mereka dan mendorongnya untuk mau berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Hal inilah yang terjadi pada dirinya, meskipun ia akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya sebagai etnis Tionghoa sebagai pendorong bukan penghambat dalam komunikasi. Dalam hal ini, Putra berada dalam tataran, conscious competence yaitu mampu mengembangkan kecakapan komunikasinya dengan mahasiswa pribumi, meskipun ia tidak mampu mengenali identitas etnisnya sendiri, tetapi ia juga mampu berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, dan berteman baik dengan banyak mahasiswa pribumi, meskipun menurutnya intensitas pertemanannya memang lebih banyak dengan teman se-etnis.

IV.3.2.4 Unconscious Competence