Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis

II.4.2 Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis

Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif struktural dan pendekatan subjektif fenomenologis. Jika pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan cirri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dimana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasikan demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti Mulyana Jalaluddin, 2005: 152. Jadi penelitian ini menggunakan pendekatan kedua yaitu pendekatan subjektif yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas bersifat dinamis. Pendekatan subjektif fenomenologis terhadap identitas etnis dapat dilacak hingga ke defenisi Cooley dan Mead tentang diri. Pendekatan ini mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajasri. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka, pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif Mulyana Jalaluddin, 2005: 155. Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat cirri sosio-kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnis antara yang satu dengan yang lainnya. Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar, Universitas Sumatera Utara memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor menggunakan identitas-identitas etnis untuk mengkategorisasikan diri mereka dan orang- orang lain untuk tujuan interaksi Mulyana Jalaluddin, 2005: 156. Perspektif Barth akhirnya mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang disebut Paden dan Cohen etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnis digunakan individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kajian-kajian ini menganggap identitas etnis sebagai dinamik, cair dan situasional Mulyana Jalaluddin, 2005: 156. Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpreti dalam menilai identitas. Perspektif interpretative menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas etnis muncul ketika pesan saling dipertukarkan di antara orang-orang. Ini artinya bahwa menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal pengakuan dan askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik Martin Thomas, 2007: 158. Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses dimana orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Intinya, perspektif interpretative beranggapan bahwa identitas dan khususnya Universitas Sumatera Utara identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols, label, dan norma. Core symbols nilai budaya memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi defenisi identitas tertentu, yang dibagikan di antar anggota kelompok budaya Martin Thomas, 2007: 159.

II.5 Kompetensi Komunikasi