Deskripsi Identitas Etnis Informan Penelitian

mereka. Kedua orang informan tersebut ayahnya bekerja sebagai pedagang elektronik, tetapi ibu mereka membuka usaha pakaian butik dan salon kecantikan. Untuk 2 orang ibu yang hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, mereka tidak sepenuhnya tidak mempunyai kegiatan yang bermanfaat untuk dapat membantu keuangan rumah tangga. Mereka juga mempunyai usaha kecil-kecilan seperti membuat kue jika ada pesanan, dan menerima jahitan jika ada yang ingin menempah pakaian. Namun, itu hanya usaha sampingan saja, karena prioritas utama mereka adalah mengurus rumah tangga atau yang di sebut dengan ibu rumah tangga.

IV.2 Identitas Etnis

Dalam tahapan ini, peneliti terlebih dahulu mendeskripsikan identitas etnis yang dimiliki oleh masing-masing informan penelitian secara satu-persatu. Setelah melakukan pendeskripsian identitas etnis yang dimiliki oleh informan-informan tersebut, kemudian peneliti mengelompokkan 11 informan ke dalam 3 tiga kategori, yaitu mampu mengenali, kurang mampu mengenali, dan tidak mampu mengenali. Berikut adalah deskripsi identitas etnis yang dimiliki oleh kesebelas informan penelitian:

IV.2.1 Deskripsi Identitas Etnis Informan Penelitian

Universitas Sumatera Utara INFORMAN 1 JASINDA XIN ER Sebagai warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, Jasinda tentu mempunyai nama Tionghoa yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Untuk nama Tionghoa yang di milikinya, Jasinda mampu memberikan pemaknaan terhadap nama Tionghoanya tersebut. “Nama Tionghoa aku itu tuh, Xin Er. Kalo artinya hati matahari atau cahaya matahari. Orangtua aku pengen aku kayak matahari selalu terang. Hehee” 2 Jasinda mampu mengenali identitas etnisnya, dari mana ia berasal dan dimana seharusnya ia berada berdasarkan wujud fisik yang dimilikinya. “Kalo dilihat dari fisik saya, orang tahu kalo saya orang China, dan saya juga menganggap seharusnya saya itu memang jadi bagian dari orang-orang di Negara China sana, tetapi karena saya lahir dan besar di Medan, ya saya jadi bagian negara inilah bang, bukan negara China itu”. 3 Menjadi etnis Tionghoa beragama Buddha, merupakan identitas utama yang ia miliki, karena etnis Tionghoa itu umumnya dikenal dengan masyarakat kulit putih bermata sipit yang beragama Buddha. Identitas etnis Tionghoa yang selanjutnya ada pada Jasinda adalah pekerjaan orangtuanya. Ibunya merupakan seorang wiraswasta, sama halnya dengan pekerjaan warga Tionghoa pada umumnya, dan ini menunjukkan salah satu identitas etnis yang di tonjolkannya dalam kategori pekerjaan orangtua. 2 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 13 Juni 2011. 3 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara Mengenai nilai-nilai yang dimiliki sebagai seorang etnis Tionghoa, Jasi menjelaskan bahwa sebagai seorang etnis Tionghoa, nilai-nilai yang ia pegang adalah nilai-nilai tradisi seperti cara berpakaian dan cara berbicara, yang mana keduanya harus sopan dan santun. Menurut Jasi, etnis Tionghoa itu akan terlihat menonjol dari cara berpakaiannya yang sopan dan cara berbicaranya yang santun, bukan dari warna kulitnya yang putih ataupun bola matanya yang kecil alias sipit. Sebagai etnis Tionghoa yang ber-studi di kampus yang mayoritas mahasiswa nya pribumi, penting bagi Jasi untuk menunjukkan identitas etnis dirinya sebagai seorang etnis Tionghoa. Bagi Jasi cara yang paling sering ia lakukan adalah dengan berperilaku yang baik kepada semua orang supaya hal itu juga dapat berpengaruh terhadap pandangan orang akan etnis nya. “Untuk perilaku, saya harus menunjukkan sikap yang baik kesemua orang yang saya temui, karena kalo saya bersikap baik kan pasti image saya di mata orang itu akan baik, dan itu akan berpengaruh pula pada pandangan orang terhadap etnis saya.” 4 Ketika peneliti menanyakan apakah jika di beri kesempatan untuk jadi etnis lain, apakah Jasi ingin berpindah menjadi etnis lain atau akan tetap menjadi seorang Tionghoa, Jasi menjawab bahwa ia mempunyai keinginan untuk menjadi etnis lain, menjadi bagian dari orang-orang Barat. Ia menganggap bahwa orang-orang Barat itu segala sesuatu nya lebih bebas dan lebih maju, di bandingkan orang-orang Asia. Tetapi itu hanya keinginan, khalayan yang belum tentu bisa terjadi. Jasi mengatakan seperti itu karena di dalam ajaran agama nya ada ajaran yang mengatakan bahwa mereka bisa terlahir kembali. Nah, karena itu lah Jasi ingin menjadi bagian dari kehidupan yang lain. Tetapi menjadi etnis 4 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011. Universitas Sumatera Utara Tionghoa tetap menjadi hal yang harus Jasi syukuri sekarang dan harus di cintai dan di jaga. “Saya ingin menjadi orang barat, karena lebih bebas dan lebih maju hahahaa. Saya hanya ingin menjadi sesuatu yang beda aja dari sekarang. Karena di agama kami kan, terlahir kembali itu ada, dan saya ingin jadi diri saya yang lain.” 5 Untuk menambah kecintaanya terhadap etnis Tionghoa, Jasi juga ikut bergabung dengan suatu kegiatan organisasi kampus yaitu Keluarga Mahasiswa Buddhist KMB. Organisasi yang beranggotakan mahasiswa-mahasiswi Tionghoa beragama Buddha dari seluruh Fakultas di Universitas Sumatera Utara. Organisasi ini tidak hanya beranggotan etnis Tionghoa dari 1 golongan status sosial saja, melainkan dari berbagai golongan status sosial. Tetapi karena memang mayoritas status sosial sebagian besar mahasiswa Tionghoa adalah keluarga wiraswasta atau pedagang, jadi terlihat seolah-olah yang menjadi anggota dari organisasi itu adalah mereka yang dari keluarga pedagang saja. Perihal harapan mengenai masa depan etnis Tionghoa, Jasi menanggapi nya dengan bijaksana. Jasi menginginkan masa depan yang cerah bagi semua etnis Tionghoa, serta kedepannya etnis Tionghoa juga mempunyai visi dan misi yang lebih baik lagi. Menurutnya, nilai-nilai Tionghoa sekarang ini sudah mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Sama hal nya juga seperti nilai-nilai yang di miliki oleh etnis-etnis lainnya yang ada di Indonesia. Untuk makna dari identitas etnis sendiri bagi Jasi, Jasi memaknai nya sebagai pegangan atau nilai, dan identitas tersebut tentu nya akan sangat penting, khususnya untuk dapat membedakan dirinya dengan yang lain. Jasi menambahi, identitas etnis bermakna sebagai ciri khas bagi setiap etnis Tionghoa, khususnya bagi dirinya, memiliki kebudayaan, tradisi, dan adat-istiadat yang beraneka-ragam. 5 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011. Universitas Sumatera Utara “Yaa menjadi ciri khas bagi setiap etnis Tionghoa, memiliki kebudayaan, tradisi, dan adat-istiadat yang beraneka-ragam. Jadi saya harus banggalah dengan etnis saya.” 6 Kesimpulan Kasus: Secara umum, dapat dikatakan bahwa Jasi memiliki identitas etnis yang cukup tinggi. Ia mampu memaknai nama Tionghoa yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Ia mampu mengenali daerah daratan China sebagai tempat etnisnya berasal. Ia menganggap agama Buddha sebagai pengenal identitas etnisnya. Pekerjaan orangtua sebagai wiraswasta dan pegawai swasta juga menjadi salah satu penambah identitas etnis yang ia miliki. Ia menganggap sebagai etnis Tionghoa, ia harus menjaga serta mensyukuri apa yang telah diberikan kepadanya, meskipun pada kenyataannya Jasi mempunyai keinginan untuk dilahirkan kembali menjadi bagian dari etnis lain, tetapi itu hanyalah sebatas keinginan kedua yang memang ada di dalam ajaran agama nya. Tetapi pada dasarnya, Jasi tetap bangga menjadi bagian dari etnis Tionghoa. Perihal identitas etnisnya, Jasi yakin dapat mengenali in-group nya, dan tentunya itu dapat membuktikan bahwa Jasi mampu mengenali etnisnya sendiri dan mampu mengenali perbedaan yang ada di antara kelompok etnis Tionghoa dengan kelompok mahasiswa pribumi. Untuk sikap sense of belonging dan komitmen Jasi terbilang cukup tinggi, tetapi Jasi belum mempunyai pemahaman perihal kecintaannya tersebut. Jasi hanya sekedar mengatakan bahwa ia bangga menjadi seorang etnis Tionghoa, tetapi ia tidak mengatakan dengan jelas alasan perihal kecintaannya tersebut. 6 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011. Universitas Sumatera Utara INFORMAN 2 Mimi R.G Li Zia Mimi Regina Gunawan, atau yang di kenal dengan Mimi, mempunyai nama Tionghoa, Li Zia. Ia tidak mampu memberikan pemaknaan terhadap makna nama Tionghoa yang ada pada dirinya. Menurutnya, nama Tionghoa yang ia sandang memang tidak mempunyai arti. Ia menganggap bahwa nama Tionghoa itu juga sama seperti nama- nama Indonesia yang juga tidak mempunyai arti, meskipun terdengar bagus. Menurut Mimi, nilai-nilai yang dimilikinya sebagai seorang etnis Tionghoa itu terlihat jelas melekat pada perilakunya yang merupakan cerminan dari tradisi dan kebudayaan Tionghoa, seperti bersopan-santun kepada semua orang, menghormati kedua orangtua, dosen-dosen, teman-teman yang berbeda tradisi dan kebudayaan, dan lain-lain. “Nilai yang melekat pada saya memang dapat dilihat dari perilaku saya, dan perilaku saya merupakan cerminan dari tradisi dan kebudayaan saya sebagai seorang etnis Tionghoa. Kebudayaan yang saya punya itu ya cara saya bersopan-santun kepada semua orang, menghormati kedua orangtua, dosen-dosen, teman-teman yang berbeda tradisi dan kebudayaan, dan lain-lain nya lah.” 7 Mimi mengatakan bahwa tradisi Tionghoa itu berasal dari tradisi Buddha. Meskipun Mimi beragama Protestan, tetapi nilai-nilai Buddha itu tetap ada di dalam tradisi. Salah satunya yaitu menghidupkan dupa di depan halaman rumah dan ruko tempat kerja. Mimi lebih lanjut menambahkan perihal identitas etnis Tionghoa, “Etnis Tionghoa cenderung bersikap resolusi terhadap etnis, dan itu membuat etnis Tionghoa mengerti bagaimana perasaan terhadap etnis dan menyukai kehidupan serta budaya etnis Tionghoa, karena 100 dari mahasiswa etnis Tionghoa pasti menyatakan kadang-kadang dan tidak pernah pada pernyataan ”Saya tidak mengerti 7 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011. Universitas Sumatera Utara bagaimana perasaan saya terhadap etnis Tionghoa”, atau “Saya tidak suka hidup saya dipengaruhi oleh budaya etnis Tionghoa”. 8 Jadi, dalam hal ini wujud konkret yang dilakukan Mimi untuk menunjukkan identitas etnis Tionghoa mereka, yaitu dengan menunjukkan citra baik kepada siapa saja dan bersembahyang sebagai kaum yang bersopan santun dan menjalankan nilai-nilai Buddha. Mimi juga menambahkan, sebagai seorang etnis Tionghoa yang berstudi di kampus pribumi, Mimi harus mampu menjadi diri sendiri, tetapi tetap memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang harus dan akan terjadi di dalamnya. Mimi mengatakan bahwa menjadi seorang Tionghoa itu adalah sebuah keunikan tersendiri baginya, dan jika dilahirkan kembali, Mimi tetap akan memilih terlahir sebagai etnis Tionghoa, karena Mimi mengatakan bahwa dirinya sudah nyaman dengan etnis ini. Bayangan Mimi perihal masa depan etnis Tionghoa ke depannya akan kekal sepanjang masa. Mimi berharap etnis Tionghoa untuk lebih menjadi kelompok yang berbudaya, dengan itu etnis Tionghoa beserta budaya nya akan terlihat lebih besar lagi oleh budaya lainnya. Mengenai sikap sense of belonging yang identik ada pada setiap etnis, Mimi mengatakan bahwa dirinya adalah salah satu penganut asumsi seperti itu. Meskipun hidup dan bergaul dengan berbagai etnis, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dirinya akan tetap mencari dan menomor satukan etnis nya dimanapun ia berada. Mimi mengatakan bahwa identitas etnis Tionghoa itu merupakan jati dirinya sebagai manusia. Ia yang kebetulan terlahir sebagai seorang keturunan Tionghoa, yang mempunyai kebudayaan, tradisi, serta adat-istiadat yang beraneka ragam, dan Mimi tentunya bangga dengan semua itu. 8 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara “Identitas etnis Tionghoa bermakna, jati diri saya sebagai manusia yang kebetulan dilahirkan sebagai seorang Tionghoa yang berkebudayaan, tradisi, dan adat-istiadat yang beranekaragam, dan saya harus bangga dan mensyukurinya.” 9 Kesimpulan Kasus: Mimi memiliki nilai-nilai identitas etnis yang cukup tinggi. Mimi mampu mengenali in group maupun out group nya. Komitmen dan rasa sense of belonging nya terhadap kelompok etnis nya juga sangat tinggi, dan hal tersebut mampu mendorongnya sering terlibat dalam aktivitas kelompok. Mimi juga memahami akan rasa kecintaannya tersebut pada kelompok dan budayanya sebagai suatu hal yang mendorongnya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Tionghoa yang dimilikinya dan Mimi juga mampu memberikan harapan-harapan positif untuk masa depan etnis Tionghoa ke depannya. Identitas etnis yang cukup tinggi tidak menjadikan Mimi sebagai seorang etnis yang etnosentris. Tidak ada masalah mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya nya dengan mahasiswa pribumi. Mimi tidak merasakan adanya kecemasan karena perbedaan budaya khususnya perbedaan nilai-nilai. INFORMAN 3 KRISNAWATI GOH LIE YUNG Identitas etnis utama yang di miliki oleh Krisna adalah nama Tionghoa. Mempunyai nama Tionghoa, Goh Lie Yung menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi dirinya. Meskipun tidak mengetahui makna dari nama Tionghoa, tetapi nama tersebut mampu memberikan pemaknaan terhadap identitas etnisnya sebagai etnis Tionghoa. 9 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011. Universitas Sumatera Utara Krisna sebagai informan kedua menjelaskan bahwa nilai-nilai yang ia miliki sebagai etnis Tionghoa itu, nilai kesopanan dan nilai-nilai agama. Salah satu nya yaitu bersembahyang, sebagai seorang Buddist yang taat. Bersembahyang akan dapat menunjukkan identitas nya sebagai etnis Tionghoa yang taat kepada agama dan tradisi, begitu penuturannya. “Ohh, nilai kesopanan dan agama. Misalnya bersembahyang. Sembahyang menunjukkan identitas saya sebagai seorang Tionghoa yang taat kepada agama dan tradisi.” 10 Krisna menuturkan bahwa memang etnis Tionghoa itu identik dengan agama Buddha, jadi orang Tionghoa biasanya membawa nilai-nilai Buddha. Jika dilahirkan kembali, Krisna memilih untuk terlahir kembali menjadi etnis lain, menjadi orang dari bagian barat. Pernyataan Krisna ini tentunya diiringi oleh alasannya. Jasi mengatakan bahwa tujuannya ia ingin lebih mengenal kebudayaan dari etnis lain. Krisna membayangkan perihal maha depan etnis Tionghoa untuk lebih maju dari sekarang, dan etnis Tionghoa semakin banyak komunitasnya di seluruh dunia. Jasi mampu mengenali perbedaan identitas etnis Tionghoa asli dengan identitas etnis Tionghoa peranakan. Perbedaan identitas etnis tersebut berhubungan dengan ciri fisik kedua kelompok tersebut. Tubuh merupakan unsur pokok yang paling jelas terlihat dalam identifikasi. Tubuh adalah unsur biologis yang tidak dapat dibantah, diperoleh sebagai warisan yang paling penting. “Pada mahasiswa etnis Tionghoa asli ciri fisik masih sangat terlihat karena berasal dari orang tua yang memiliki ciri fisik etnis Tionghoa yang jelas misal mata sipit, kulit putih dan rambut lurus, sedangkan pada mahasiswa etnis Tionghoa peranakan biasanya hanya mewariskan campuran dari ciri fisik etnis Tionghoa dan ciri fisik masyarakat Indonesia misal memiliki mata sipit dengan kulit coklat dengan rambut 10 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 9 April 2011. Universitas Sumatera Utara lurus atau sebaliknya sehingga mahasiwa etnis Tionghoa peranakan lebih menyerupai masyarakat Indonesia asli” 11 . Berdasarkan kriteria yang dilakukannya tersebut, Krisna merasa bahwa ia masih termasuk etnis Tionghoa asli, karena sesuai dengan kriteria-kriteria yang ia ucapkan tadi. Dalam keluarga juga tidak ada pernikahan campuran yang dilakukan dengan masyarakat pribumi. Bagi Krisna, etnis Tionghoa itu adalah etnis yang ulet, pekerja keras dan bisa diandalkan. Etnis Tionghoa terkenal karena keuletannya. Oleh sebab itu pula etnis Tionghoa penuh dengan kesuksesan. Sebagai anak dari seorang pedagang, Krisna juga berniat untuk menerusi usaha keluarganya suatu saat nanti. Menurutnya menjadi seorang pedagang mempunyai kepuasan tersendiri akan hasil usaha yang di dapat. Sebagai anak dari seorang wiraswasta, Krisna tidak pernah membeda-bedakan teman dalam pergaulan sesama etnis. Tidak ada alasan buatnya untuk membeda-bedakan teman. Kesimpulan Kasus: Identitas etnis yang tinggi juga dimiliki oleh Krisna. Krisna mengakui bahwa dirinya tidak terlalu kaku dalam mengenali in-group nya. Rasa sense of belonging serta komitmen pada kelompok etnisnya juga sangat tinggi, dan tentu hal tersebut mendorong minatnya di dalam kelompok, dan oleh sebab itu ia sering terlibat dalam aktivitas kelompok seperti organisasi-organisasi ke-etnis-an yang ada di lingkungan kampus. Krisna juga memahami akan rasa kecintaannya pada kelompok budaya etnisnya sendiri dan menjadikannya untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Tionghoa yang dimilikinya. 11 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara Krisna mampu memberikan pemaknaan terhadap perbedaan identitas etnis Tionghoa asli dengan etnis Tioghoa peranaka, dan ia menganggap bahwa ia termasuk pada golongan etnis Tionghoa asli, berdasarkan kriteria yang telah diutarakannya. Dalam hal ini, Krisna juga memberikan harapan positif tentang masa depan etnis Tionghoa ke depannya. Krisna menginginkan masa depan yang lebih maju lagi bagi semua komunitas etnis Tionghoa di seluruh dunia. Krisna juga mampu memberikan evaluasi positif terhadap etnisnya, yaitu perihal ibadah dan cara melakukannya yang berbeda antara agama Islam dengan tradisi Buddha. Kecintaanya terhadap etnis Tionghoa ditambahinya dengan berspekulasi bahwa etnis Tionghoa itu adalah etnis yang pekerja keras, ulet. Oleh sebab itulah etnis Tionghoa di seluruh dunia itu maju. INFORMAN 4 JOHN THEDY YONG AN John, begitu ia di panggil, ketika ditanya mengenai nilai-nilai budaya Tionghoa yang dimilikinya, John hanya menjawab singkat. “Nilai-nilai Tionghoa terkenal dengan nilai-nilai kemanusiaannya, keagamaan, sopan-santun, dan tata tertib”. 12 Sama seperti nilai-nilai yang di anut oleh oleh timur pada umumnya. Menurutnya, nilai- nilai seperti itu kemungkinan juga dimiliki oleh etnis Tionghoa, dan kebungkinan tidak. Perbedaan fisik dengan masyarakat pribumi juga menjadi salah satu identitas etnis yang ada pada dirinya, sehingga menyebabkan ia merasa berbeda dengan mahasiswa etnis asli Indonesia dan timbul sikap afirmasi terhadap etnis dengan cara mencari orang yang sama dengan mereka, berkelompok dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan etnis mereka. 12 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 12 April 2011. Universitas Sumatera Utara Misalnya sama-sama menjalankan upacara adat istiadat, melakukan ritual-ritual dan kegiatan-kegiatan yang erat hubungannya dengan etnis mereka. Hal ini ditunjukkan dengan menyatakan tidak pernah pada pernyataan, ”Saya merasa terpaksa menjalankan adat istiadat, kebiasaan dan norma etnis Tionghoa dalam keluarga dan kehidupan saya”. 13 Mempunyai nama Tionghoa, meskipun tidak dapat menyebutkan makna dari nama Tionghoanya tersebut dikarenakan tidak mempunyai arti sama sekali, tetapi ia merasa mempunyai kebanggan tersendiri perihal namanya tersebut, karena menjadi suatu identitas penting dalam dirinya sebagai etnis Tionghoa. “Arti nama Tionghoa aku tuh nggak ada lah bang, memang nggak ada artinya lah. Hehehe. Hhhmm.. gimana ya? Memang nggak ada artinya. Tapi aku tetap bangga lah punya nama Tionghoa, selain keren kayak nama-nama orang Korea, aku jadi punya kebanggaan sama nama Tionghoaku itu, biarpun nggak ada artinya. Hahaa” 14 Menjadi etnis Tionghoa beragama Buddha dan kedua orangtua berprofesi sebagai pedagang, juga menjadi kebanggaan bagi dirinya sendiri. Sesuai dengan stereotype warganegara Tionghoa pada umumnya, dan hal tersebut juga menjadi satu identitas etnisnya sebagai etnis Tionghoa. “Aku bersyukur dan bangga juga lah lahir jadi orang China, agama Buddha, kerjaan ortuku juga pedagang sekarang ini. Jadi, sesuai lah sama orang-orang China yang lain. Jadi, itukan juga jadi identitas etnis aku kan bang”. 15 Mempunyai nilai-nilai seperti itu tentunya menimbulkan kebanggaan buat John. Itu merupakan suatu warisan yang harus dijaga dan dibanggakan. John mengunggapkan, nilai-nilai lainnya yang umunya dimiliki oleh etnis Tionghoa adalah nilai kasih sayang sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya. 13 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 13 Juni 2011. 14 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 13 Juni 2011. 15 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara “Kasih sayang antar sesama, manusia, maupun makhluk hidup harus tetap dijaga, karena itu adalah nilai budaya yang sudah dilakukan semenjak dahulu kala.” 16 John juga tergabung di dalam suatu organisasi kampus yang beranggotakan dari mahasiswa-mahasiswa Buddha yang ada di lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara. Organisasi yang sebenarnya hanya diikuti oleh etnis Tionghoa ber agama Buddha, tetapi ada juga mahasiswa Buddha Non-Tionghoa yang pernah ikut dalam organisasi tersebut. “Sebenarnya organisasi yang saya ikuti itu yaitu KMB Keluarga Mahasiswa Buddhis yaitu organisasi mahasiswa Buddhis, namun pernah ada juga yang ikut bergabung dalam organisasi ini meski ia bukan Tionghoa ataupun minoritas.” 17 Menurut John, wujud konkret yang sering ia lakukan untuk menunjukkan identitasnya sebagai etnis Tionghoa adalah dengan menunjukkan sikap rendah hati. Menunjukkan sikap rendah hati tentunya dengan tujuan supaya orang-orang tahu bahwa etnis Tionghoa itu baik. John juga membayangkan perihal masa depan etnis Tionghoa kedepannya akan seperti apa. John berharap, untuk kedepannya etnis Tionghoa dalam mengerjakan segala sesuatunya, tidak harus memandang dari sisi etnisnya terlebih dahulu. Hal ini bertujuan supaya etnis lain tahu bahwa etnis Tionghoa itu tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Makna dari identitas etnis itu sendiri bagi John sangat berharga. Apa yang sudah ada pada diri kita harus kita hargai. Tidak hanya sebagai etnis Tionghoa, tetapi jika John terlahir sebagi etnis lain pun, John akan berusaha untuk menghargainya. “Identitas etnis Tionghoa itu sama halnya dengan identitas etnis yang lain, ini tergantung kitanya, tergantung dari diri kita masing-masing bagaimana memaknai identitas etnis tersebut. Nah, kalo bagi aku sih, 16 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 12 April 2011. 17 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 12 April 2011. Universitas Sumatera Utara etnis Tionghoa bermakna segalanya bagi aku. Aku terlahir sebagai seorang Tionghoa dan aku harus menghargainya. Mungkin kalo aku terlahir sebagai orang batak, aku juga akan tetap menghargainya. Karena pada dasarnya kita hanyalah manusia.” 18 Kesimpulan Kasus: John memiliki identitas etnis yang tinggi. Ini dapat disimpulkan secara sederhana dari kemampuannya dalam mengenali dentitas etnis yang ada pada dirinya, mulai dari arti nama Tionghoa bagi hidupnya, agama Buddha yang di anutnya, pekerjaan orangtuanya berdasarkan stereotype etnis Tionghoa, sampai pada nilai-nilai budaya dan tradisi etnis Tionghoa pada umumnya. Rasa sense of belonging yang dimiliki juga menjadikan John pada kriteria mampu mengenali identitas etnisnya, karena ia akan membutuhkan orang- orang dari etnisnya terlebih dahulu dalam mencari kecocokan. John yakin bahwa dirinya mempunyai pengetahuan terhadap etnisnya, baik mengenai bahasa serta nilai Tionghoa lainnya, jadi ia tidak takut akan kehilangan nilai- nilai tersebut selama ia masih menjaganya. INFORMAN 5 RUDI KIRANA ZHENG HAO Menurut Rudi, nilai-nilai yang dimilikinya sebagai seorang yang beretnis Tionghoa adalah menjunjung tinggi kebersamaan dan saling menghormati perbedaan satu sama lainnya. Nilai-nilai lainnya yaitu menghormati leluhur dan tradisi imlek. Baginya nilai-nilai Tionghoa adalah nilai-nilai yang baik, yang patut untuk di jaga dan di pertahankan. 18 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 12 April 2011. Universitas Sumatera Utara Untuk menunjukkan identitas etnisnya sebagai seorang Tionghoa, selain warna kulit yang putih dan mata yang sipit, hanya ada satu cara yang memungkinnya dapat melakukan hal tersebut yaitu dapat berbicara dengan bahasa dan logat mandarin. Oleh sebab itu, saat ini dirinya sedang giat-giatnya belajar bahasa mandarin supaya tidak memalukan dirinya sebagai etnis Tionghoa yang tidak dapat berbahasa mandarin. “Kalau saya sekarang ini lagi giat-giatnya belajar bahasa mandarin, karena saya jujur tidak bisa bahasa mandarin sepenuhnya. Malu kan orang Tionghoa tapi nggak bisa bahasa mandarin? Akan tetapi secara penampilan fisik pun orang-orang juga udah tau. Hehehee” 19 Bagi Rudi, mungkin itulah satu-satunya cara yang dapat ia lakukan untuk menunjukkan identitas etnisnya sebagai seorang Tionghoa. Kebersamaan dan tradisi imlek menjadi point yang di utamakan oleh Rudi sekarang ini, sebagaimana layaknya etnis Tionghoa yang lain. Rudi juga memiliki kebanggaan akan niai-nilai yang ada pada dirinya maupun pada etnis Tionghoa lainnya. Ia mengatakan bahwa nilai-nilai tersebut adalah merupakan tradisi keluarga yang harus dijaga, dan dengan adanya nilai-nilai seperti itu, etnis Tionghoa dapat membangun dan menciptakan dunia yang penuh cinta kasih tanpa adanya peperangan. Wujud kecintaannya terhadap identitas etnis Tionghoa, juga ia buktikan ketika peneliti menanyakan apakah jika dilahirkan kembali ia akan tetap memilih untuk dilahirkan menjadi etnis Tionghoa atau tidak? Rudi menjawab, “Menjadi etnis apapun sebenarnya tidak masalah karena pada dasarnya sama saja, asal kan memiliki kehidupan yang sejahtera dan bahagia, tetapi karena Rudi sudah terlahir menjadi seorang Tionghoa, Rudi akan tetap memilih untuk menjadi seorang etnis Tionghoa selamanya. 20 Sebagai etnis Tionghoa, Rudi mempunyai nama Tionghoa yang di berikan oleh kedua orangtuanya. Nama tersebut adalah, Zheng Hao, yang artinya mulia. 19 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 15 April 2011. 20 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 15 April 2011. Universitas Sumatera Utara “Punya nama Tionghoa juga. Namanya, Zheng Hao. Artinya tuh kata ibu saya mulia. Katanya sih, biar saya tetap terlihat mulia di mata orang-orang, dan saya juga bisa selalu memuliakan Tuhan. Itu kata mama saya. Hihii” 21 Identitas etnis selanjutnya yang ia miliki adalah agama Buddha, yang menjadi agama utama dari etnis Tionghoa, dan itu juga menjadi penanda identitas etnis pada dirinya. Rudi juga mengungkapkan bahwa pada kenyataannya identitas etnis bersifat subjektif. “Keetnisan seseorangitu bukan hanya dinilai melalui kriteria fisik secara objektif, atau berdasarkan budaya yang diwariskan padanya tetapi secara khusus ia juga memilih identitas etnisnya atau disebut juga dengan resolusi yaitu memutuskan dengan etnis mana seseorang dapat menganggap dirinya sebagai anggota, nah kalo saya tetap merasa menjadi bagian etnis Tionghoa dan memiliki nilai-nilai-nilai etnis Tionghoa, meskipun saya menetap di Indonesia”. 22 Rudi memberikan pemaknaan terhadap etnis Tionghoa, menurutnya menjadi etnis Tionghoa itu sebagai suatu profit buat dirinya sendiri, karena akan memudahkan dirinya dan etnis Tionghoa yang lainnya untuk dikenali oleh etnis lain dan juga memudahkan etnis Tionghoa untuk berbagi hal positif . “Ya buat saya etnis Tionghoa tetap menjadi yang spesial buat saya. Satu profit buat saya sendiri, karena gampang untuk dikenali dan memudahkan kami untuk berbagai hal positif.” 23 Rudi membayangkan masa depan etnis Tionghoa dengan bayangan yang penuh optimis. Rudi menjelaskan bahwa akan makin banyak orang yang saling menghormati kalau kita memulai untuk menghormati mereka terlebih dahulu. “Kepada etnis Tionghoa, sebaiknya belajarlah dan menyerap segala hal positif dan hindarilah hal negatif supaya kita tetap menjadi etnis yang 21 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 13 Juni 2011. 22 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 13 Juni 2011. 23 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 15 April 2011. Universitas Sumatera Utara maju dalam segala hal. Semoga dapat diterima di masyarakat tanpa memandang derajat dan adanya perbedaan.” 24 Rudi mengakui bahwa dirinya adalah etnis Tionghoa yang sense of belonging. Alasannya pun didasari karena nilai kebersamaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa yang telah ia sebutkan di awal wawancara. Baginya selama ia berkuliah di kampus Departemen Teknik Sipil, ia merasa bahwa dirinya dapat bergaul dengan siapa saja tanpa pandang etnis dengan tetap menjaga adab dari etnis Tionghoa. Rudi meyakini bahwa dirinya dapat bergaul dengan siapa saja, tetapi keakraban dan kenyamanan memang lebih ditemukannya dalam kelompok etnisnya. Kesimpulan Kasus: Dapat di nilai, dalam hal ini Rudi memiliki identitas etnis yang sangat tinggi, sebab ia mampu mengenali kesamaan dalam kelompok in-group nya. Rudi secara jelas dapat mengenali in-group nya. Rudi sendiri masih merasakan dirinya masih tergolong dalam kategori sense of belonging. Ia masih memiliki rasa kepemilikan terhadap kelompok etnis Tionghoa yang didasari karena prinsip kebersamaan. Rudi mempunyai nama Tionghoa, yang mana ia mampu memberikan pemaknaan terhadap namanya tersebut, dan menjelaskan secara jelas tujuan pemberian nama tersebut oleh kedua orangtuanya. Rudi juga mampu mengenali agama Buddha, agama yang ia anut, sebagai salah satu penanda identitas etnisnya sebagai etnis Tionghoa. 24 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 15 April 2011. Universitas Sumatera Utara INFORMAN 6 MICHAEL THEO SHIAN UN Nilai yang dimiliki Mike sebagai seorang Tionghoa cukup sama dengan penuturan informan-informan sebelumnya, akan tetapi dalam hal ini Mike nemanbahkan adat-istiadat sebagaimana orang timur dalam jawabannya. “Ohh, selain warna kulit yang putih dan mata saya yang sipit, nilai- nilai budaya yang saya punya sebagai seorang etnis Tionghoa, yaaa tentunya adat-istiadat sebagaimana orang timur. Sopan-santun, ramah- tamah, semuanya sesuai adat timur. Tradisi menyapa orang yang lebih tua, Kalau perilaku, orang lain lah yang menilai saya. Hehee” 25 Jika dilahirkan kembali, Mike tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi etnis Tionhoa, itu disebabkan karena kecintaannya akan etnis tersebut. “Dilahirkan kembali ya? Hhmmm.. kalo dilahirkan kembali sih, mungkin pertamanya pengen jadi manusia dulu, karena memang di agama kami Buddha bisa aja jadi makhluk lain, tapi mau nya jadi manusia dulu. Tapi kalo di tanya mau jadi etnis apa? Pengennya sih lahir tetap jadi etnis Tionghoa Indonesia, karena memang saya sudah nyaman dengan etnis ini, dan karena memang dari lahir saya udah berada di etnis seperti ini, yaaa… jadi udah lebih banyak tahu lah tentang etnis Tionghoa.” 26 Hal yang akan dilakukan Mike untuk menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan tidak meyombongkan diri dan tetap membawa adab ketimurannya sebagai orang Tionghoa. Penampilan fisik juga dijadikannya sebagai modal utama untuk menunjukkan identitas etnisnya. “Yang pastinya fisik, terutama itu warna kulit. Kan ada yang sama- sama putih, tapi keliatannya tetap beda. Kemuadian kalau kami lagi ngumpul sesama etnis Tionghoa, yaa kami ngomongnya pake bahasa 25 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011. 26 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011. Universitas Sumatera Utara Hokkian, itu aja sih.. Kalau sikap yaa sopan santun kepada semua orang.” 27 Michael menambahkan perihal ketahuannya terhadap identitas etnis Tionghoa yang ada pada dirinya. Ia melakukan penjelasan terhadap etnis Tionghoa asli dengan etnis Tionghoa peranakan. Ia menganggap bahwa ia merupakan etnis Tionghoa asli yang selalu mendapatkan pelajaran akan tradisi Tionghoa dari keluarganya. “Anak-anak keturunan etnis Tionghoa asli akan belajar kebudayaan Tionghoa dari orang tua mereka juga dengan orang-orang disekitar mereka yang sebagian besar adalah keluarga yang berorientasi pada kebudayaan Tionghoa, sehingga identitas etnis Tionghoa mereka cenderung kuat. Pada keturunan etnis Tionghoa peranakan memiliki dua model imitasi yang berbeda, tetapi sebagian besar orang tua mereka berada ditengah masyarakat asli daerah tempat mereka tinggal dan berbaur dengan masyarakat disekitarnya sehingga pembelajaran kebudayaan cenderung mengikuti kebudayaan masyarakat di tempat tinggal mereka. Hal ini menyebabkan identitas etnis Tionghoa pada keturunan etnis Tionghoa peranakan tidak kuat. 28 Michael menginginkan negara-negara yang ada di daratan China sebagai identitas kenegaraannya, dikarenakan kenyamanan yang ia dapat dalam hal pertemanan dengan seetnis. Meskipun ia menyadari bahwasanya Medan adalah sebagai kampung halamannya. Ketidakmampuannya dalam mengenali identitas etnisnya hanya di karenakan ketidakmampuan dalam menyebutkan makna dari nama Tionghoa yang ia punya, karena memang nama Tionghoa yang ia sandang tidak mempunyai arti apa-apa, meskipun terdengar bagus. “Hhmm.. nggak ada arti bang, karena nggak semua juga nama Tionghoa itu ada artinya”. 29 27 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011. 28 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 13 Juni 2011. 29 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara Saat ditanyai mengenai makna khusus etnis Tionghoa bagi dirinya sendiri, Mike tidak bisa menjelaskan secara khusus, karena menurutnya menjadi etnis Tionghoa di Indonesia, sama saja menjadi warga negara Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu tidak ada makna khusus yang dapat ia rasakan. “Kalau aku rasa, etnis Tionghoa itu yaa tetap salah satu bagian dari Indonesia juga, kalau dibilang khusus gimanapun nggak bisa. Mungkin dari segi warna kulitnya aja beda. Etnis Tionghoa itu sama aja sama etnis lainnya, nggak ada perbedaan.” 30 Pergaulan Mike di kampusnya tidak hanya dalam lingkup se-etnis Tionghoa yang ada dalam satu golongan saja. Dalam arti, ia berteman dengan semua etnis Tionghoa dari semua golongan status sosial. Meskipun ia dari keluarga wiraswasta atau pedangang, tetapi tidak menjadikan ia hanya berteman dengan mahasiswa-mahasiswa dari golongan tersebut. Mike juga berteman dengan mahasiswa-mahasiswa dari golongan keluarga pegawai, pengusaha, sampai pada keluarga menengah ke bawah sekalipun. Membayangkan masa depan etnis Tionghoa, Mike menghimbau agar semua etnis Tionghoa mampu berinteraksi dengan semua etnis yang ada di lingkungan kampus Fakultas Teknik. Mike juga mengharapakan perbedaan-perbedaan yang ada di antara etnis Tionghoa dengan pribumi dijadikan untuk saling menutupi kekurangan masing- masing. Dalam arti, Mike mengharapkan kedua belah pihak dalam menerima keadaan dari kedua etnis dalam kondisi tersebut. Mike merasa bahwa nilai-nilai Tionghoa sekarang ini kebanyakan luntur karena tingkah pola etnis Tionghoa itu sendiri yang juga diakibatkan oleh perkembangan zaman. “Sebagai etnis Tionghoa, mungkin lebih gabung dengan semua orang- orang di lingkungan kampus, bukan hanya dengan sesama etnis aja. 30 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011. Universitas Sumatera Utara Yaaaa… memang beda, namun perbedaan itu kita jadikan untuk saling menutupi kekurangan masing-masing aja.” 31 Kesimpulan Kasus: Mike memiliki identitas etnis yang sangat baik. Ia dapat mengenali in-group nya dengan baik, dan tidak mengenali out-group nya. Tetapi itulah yang membuat identitas etnisnya menjadi tinggi. Mike menunjukkan kecintaannya terhadap identitas etnisnya salah satunya dengan ketidak inginanya untuk menjadi etnis lain, meskipun diberikan kesempatan untuk menjadi etnis lain jika terlahir kembali. Kemampuannya dalam mengenali perbedaan antara identitas etnis Tionghoa asli dengan identitas etnis peranakan menjadikan identitas etnis yang dimilikinya tergolong sangat baik. Ia mengatakan bahwa ia masuk kedalam etnis Tionghoa asli berdasarkan cirri-ciri fisik dan tradisi kebudayaan etnis Tionghoa asli yang telah ia uraikan. Kebanggaan akan nama Tionghoa serta keinginan untuk menjadi warganegara dari negara-negara di daratan China, menjadikan identitas etnis yang ada pada dirinya juga sangat tinggi. Oleh sebab itu, ia termasuk dalam kriteria mampu mengenali identitas etnisnya. 31 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011. Universitas Sumatera Utara INFORMAN 7 SUSANTO SALIM KEN LIE Susanto mengatakan nilai-nilai yang di pegangnya sebagai seorang etnis Tionghoa adalah hanya sebatas nilai kesopanan dan adat-istiadat seperti hari raya imlek. Ia kurang begitu mengetahui nilai-nilai apalagi yang ada pada dirinya sebagai penunjuk identitas etnisnya. Susanto menganggap bahwa Medan adalah sebagai kampung halaman, meskipun ia mempunyai keluarga di daratan China. “Kalo keluarga, saya ada di China, tetapi kalo kampung halaman, kampung halaman saya ya tetap di Indonesia, karena saya lahir dan besar disini, orangtua saya juga disini”. 32 Susanto menambahkan nilai-nilai lainnya dari etnis Tionghoa yang ia ketahui ialah seperti tradisi dupa dan dan bersembahyang untuk menghormati leluhur. Wujud konkret yang Susanto lakukan untuk dapat menunjukkan identitas etnisnya adalah dengan selalu mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya seperti sikap sopan-santun dan tradisi-tradisi yang tadi sudah ia sebutkan sebelumnya. Identitas etnis seperti imlek, merupakan suatu kebanggan bagi dirinya, karena di hari besar tersebut, ia dapat berkumpul dengan seluruh anggota keluarganya. Jika dilahirkan kembali ia lebih memilih menjadi etnis Tionghoa dikarekan ia sudah nyaman dengan etnisnya sekarang ini. “Terserah Tuhan aja saya mau jadi apa? Karena bukan saya yang mengatur kehidupan ini. Hahaaa Tetapi saya tetap ingin jadi etnis Tionghoa karena tidak ada kekurangan yang saya alami sebagai etnis Tionghoa dan saya juga sudah nyamanlah” 33 . 32 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Susanto Salim, Medan, 13 Juni 2011. 33 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Susanto Salim, Medan, 25 April 2011. Universitas Sumatera Utara Makna identitas sendiri bagi Susanto sangat berharga sekali, ibarat surga di telapak kaki ibu. Jadi untuk menggapai surga itu, kita harus selalu menjaganya. Kecintaan akan identitas etnis juga ditunjukkan oleh Susanto dengan bergaul dengan semua etnis Tionghoa dari berbagai kalangan. Tidak ada penggolongan berdasarkan status sosial yang disandang, menjadi anak dari seorang wiraswasta tidak membuat mereka untuk membeda-bedakan teman, hal ini dikarenakan mereka menganggap semuanya sama saja. Tidak ada pembedaan antara anak konglomerat sampai pada anak pengangguran sekalipun. Susanto menambahkan bahwa kecintaan akan identitas etnis Tionghoa belum tentu menjadikannya memiliki rasa sense of belonging, atau rasa memiliki terhadap kelompok etnis sendiri dimanapun ia berada. Ia menambahkan bahwa ia akan lebih merasa memiliki terhadap orang-orang Indonesianya, bukan hanya terhadap etnis Tionghoanya. “Tentu. Sebenarnya tidak terbatas etnis Tionghoa sendiri. Tapi etnis lain juga, terutama yang ada di Indonesia.” 34 Harapan akan masa depan etnis diungkapkan Susanto dengan ungkapan, “Menginginkan etnis Tionghoa itu bisa lebih diterima di Indonesia, dianggap menjadi bagian dari bangsa Indonesia, dan dapat disetarakan dengan penduduk di Indonesia” 35 Susanto melihat sekarang ini masih banyak yang menganggap bahwa etnis Tionghoa bukanlah etnis yang berasal dari negara ini, tetapi berasal dari daerah China. Oleh sebab itu, Susanto lebih menginginkan pengakuan dari masyarakat Indonesia saja akan keberadaan kelompok mereka. 34 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Susanto Salim, Medan, 25 April 2011. 35 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Susanto Salim, Medan, 25 April 2011. Universitas Sumatera Utara “Mungkin masih ada orang dari etnis lain di Indonesia yang menganggap etnis Tionghoa itu bukan bagian dari Indonesia. Seandainya etnis Tionghoa bisa disamakan atau disetarakan dengan etnis lainnya di Indonesia, pasti akan lebih baik.” 36 Kesimpulan Kasus: Susanto kurang mampu dalam mengenali identitas etnisnya dengan baik, ia tidak begitu mengetahui nilai-nilai apa saja yang ada dalam dirinya sebagai etnis Tionghoa, baik itu secara fisik ataupun tradisi. Ia hanya mampu mengatakan nilai sopan-santun dan tradisi imlek sebagai nilai-nilai etnis Tionghoa yang ia miliki, akan tetapi ia tidak mampu memberikan penilaian akan identitas etnis yang ada dalam dirinya sendiri. Susanto mempunyai rasa sense of belonging yang tidak begitu tinggi. Ia tidak mempunyai keterikatan yang tinggi dengan in-group nya. Ia mampu beradaptasi dengan orang-orang disekitarnya, tanpa mencari kesamaan etnis terlebih dahulu. Inilah yang membuat identitas etnis yang dimiliki oleh Susanto terlihat cukup lemah, sehingga dapat disimpulkan bahwa ia kurang mampu dalam mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya. Dalam mengenali identitas etnis berdasarkan latar belakang tempat tinggal, ia hanya mampu mengatakan Medanlah sebagai kampung halamannya dan sebagai tempat ia berasal. Ia tidak mampu menjelaskan sebenarnya darimana ia dan etnisnya berasal. Ini jugalah yang membuat Susanto kurang mengetahui identitas keetnisannya. 36 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Susanto Salim, Medan, 25 April 2011. Universitas Sumatera Utara INFORMAN 8 PUTRA JAYA MIN ZHONG Putra mengakui kekurangtahuannya secara mendalam mengenai nilai-nilai yang ia miliki sebagai seorang etnis Tionghoa. Alasannnya, karena sejak lahir ia sudah menjadi warganegara Indonesia, dan keluarganya pun tidak mengajarkannya akan nilai-nilai Tionghoa, ia hanya melihat nilai-nilai yang ada dari lingkungan sekitar saja, seperti tradisi imlek, tradisi pernikahan serta menghormati orang tua. “Jujur aja, tidak banyak karena sejak lahir saya sudah hidup di Indonesia. Yang masih ada hanya tradisi imlek dan tradisi dalam pernikahan. Lagipula keluarga saya tidak banyak mengajarkan tradisi maupun adat istiadat etnis Tionghoa secara khusus. Akan tetapi yang saya pegang sekarang ini yaa nilai sopan-santun, menghargai dan menghormati orang lain.” 37 Meskipun ia tidak mampu mendeskripsikan secara pasti perihal nilai-nilai lainnya yang dimiliki oleh etnis Tionghoa, tetapi ia mengatakan bahwa, “Mungkin masih ada juga yang tahu banyak dan menjalankan tradisinya sebagai etnis Tionghoa lebih dari itu. Seperti misalnya kepercayaan-kepercayaan maupun filsafat yang pada akhirnya membentuk perilaku hidup sehari-hari. Karena ini tergantung pendidikan keluarga juga.” 38 Putra mengambil kesimpulan bahwa semua itu sebenarnya adalah tergantung dari ajaran keluarga masing-masing, setelah mendapatkan pelajaran dari keluarga masing- masing, barulah kita mampu melakukan adaptasi-adaptasi terhadap nilai-nilai tersebut. Putra mengatakan bahwa wujud konkret yang akan ditunjukkannya adalah dengan selalu mempertahankan nilai-nilai ke-Tionghoa-an yang sudah ada pada dirinya, termasuk logat bicara yang dapat berubah karena pergaulan dengan berbagai etnis. 37 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 25 April 2011. 38 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 25 April 2011. Universitas Sumatera Utara Putra juga mempunyai kebanggaan terhadap identitas etnis yang dimilikinya bahkan oleh etnis Tionghoa pada umumnya. Akan tetapi ia mengunggapkan bahwa dirinya lebih bangga sebagai etnis Tionghoa Indonesia dibandingkan sebagai Tionghoa China, karena sesungguhnya nilai-nilai sebagai Tionghoa Indonesia lah yang sudah ia terapkan selama ini. “Iya bangga. Akan tetapi kalo ditanya lebih dalam lagi rasanya biasa saja. Karena di dalam organisasi keagamaan yang kuikuti selalu mengajarkan saya bahwa negara kita adalah Indonesia. Bukan Cina.” Identitas etnis dalam hal asal daerah dikatakannya bahwa Medan adalah sebagai kota kelahirannya dan Indonesia adalah negaranya, karena ia sejak lahir sampai ia besar, ia berada di Medan. Tidak ada anggapan bahwa ia mempunyai negara lain sebagai daerah ia berasal. “Sejak lahir saya sudah di Medan, kampung saya di Medanlah bukan dimana-mana lagi”. 39 Pekerjaan orangtua sebagai pedagang, dan terlahir sebagai seorang Tionghoa beragama Buddha, bukanlah menjadi salah satu penanda identitas etnisnya. “Pedagang kan juga bisa orang pribumi, bukan orang China saja. Agama Buddha juga ada orang pribumi atau orang barat, bukan orang China saja. Jadi tergantung orangnya lah”. 40 Putra tidak mempunyai pilihan khusus untuk dilahirkan kembali menjadi etnis apa, ia hanya berfikir bahwa semua etnis itu sama saja, karena sama-sama memiliki kesempatan untuk berkarya di dunia ini. Makna identitas etnis sendiri bagi Putra, hanyalah sebagai pedoman. Pengenal dirinya kepada etnis lainnya, karena dengan melihat fisiknya saja, orang-orang sudah mengetahui identitas etnisnya. 39 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 13 Juni 2011. 40 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara Putra menambahkan bahwa kecintaan akan identitas etnis Tionghoa belum tentu menjadikannya memiliki rasa sense of belonging yang tinggi, atau rasa memiliki terhadap kelompok etnis sendiri dimanapun ia berada. Kesimpulan Kasus: Kesimpulan yang dapat diambil dari informan kedelapan ini adalah sebagai berikut: Putra adalah sosok yang lebih sedikit terbuka. Putra lebih mampu mengenali out- group nya, tetapi ia tidak secara pasti dapat mengenali identitas etnis dari in-group nya. Pernyataannya yang mengatakan bahwasanya ia lebih bangga dikatakan sebagai warga Indonesia dibanding menjadi warga China, adalah salah satu kelemahan sebagai identitas etnis Tionghoa yang ia miliki. Latar belakang asal daerah dan pekerjaan orangtua sebagai pedagang, menurutnya juga dimiliki oleh masyarakat pribumi lainnya, bukan hanya orang Tionghoa saja. Nilai-nilai etnis Tionghoa, selama ini hanya ia lihat berdasarkan nilai-nilai yang ada dari lingkungan sekitar saja, seperti tradisi imlek, tradisi pernikahan serta menghormati orang tua. Tidak ada pengajaran dari keluarga yang ia dapat. Dalam hal ini Putra mengetahui nilai-nilai identitas etnis Tionghoa yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada umumnya, tetapi ia kurang mampu mengenali identitas etnis yang ada dalam dirinya secara pribadi, dan ini menjadikan ia dalam kategori kurang mampu mengenali identitas etnisnya. Universitas Sumatera Utara INFORMAN 9 ADI SURYA CIN AN Nilai-nilai yang dimilikinya sebagai seorang etnis Tionghoa hanyalah sebatas warna kulit yang putih bersih serta matanya yang sipit. Sedangkan untuk perilaku dan lain-lainnya, menurutnya orang lain lah yang berhak menilainya. “Yang aku punyai sebagai seorang etnis Tionghoa ya pastinya warna kulit aku yang putih bersih dan mata aku yang sipit. Kalo perilaku, pasti aku bilang nya baik, kan aku yang menilai sendiri. Kalo orang lain nggak tau kan? Hehehee” 41 Adi mempunyai nama Tionghoa yaitu, Cin An. Adi tidak mengetahui makna dari nama Tionghoa yang ada pada dirinya. Adi juga tidak mengetahui asal-muasal etnisnya berasal, karena selama ini ia hidup di 2 daerah Sumatera Utara, Aek Kanopan dan Medan, yang menyebabkan ia hanya mengetahui kedua daerah tersebutlah sebagai daerah asal-muasalnya. “Setau aku, daerah asalku itu Aek Kanopan, karena aku lahir disana, terus sejak aku masuk SMP, kami pindah ke Medan. Jadi, asal-muasal aku ya dari Aek Kanopan sama Medan”. 42 Untuk mendeskripsikan identitas keetnisan yang ia miliki, Adi tidak mampu menyebutkan nilai-nilai apalagi yang ia miliki sebagai etnis Tionghoa. Selama ini hidup di tengah-tengah kehidupan masyarakat pribumi, dan bergaul dengan pribumi. Membuat ia merasa kehilangan nilai-nilai keetnisa etnis Tionghoa. “Apalagi ya? Hhmmm… nggak tau lagi bang. Karena sejak kecil dah main-main sama pribumi”. 43 41 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011. 42 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 13 Juni 2011. 43 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara Meskipun Adi tidak mengetahui nilai-nilai apalagi yang dimilikinya sebagai seorang Tionghoa, tetapi ia merasa bangga menjadi bagian dari etnis tersebut. Hal tersebut dikarenakan itu dapat menunjukkan identitasnya kepada etnis lain, dan menjadi etnis Tionghoa menurutnya adalah tradisi yang sudah turun-temurun. Adi mempunyai keinginan untuk menjadi etnis lain jika dilahirkan kembali. “Seandainya dilahirkan kembali, aku cuma ingin terlahir menjadi etnis yang lain di negara yang perekonomiannya lebih baik”. 44 Akan tetapi, menjadi etnis Tionghoa adalah suatu hal yang sudah iya syukuri dari awal. Sesuai ajaran kedua orangtuanya, yaitu harus bangga dengan yang sudah dimiliki sekarang ini. Menjadi etnis Tionghoa yang beragama Buddha, tidak menjadi keunggulan bagi Adi. Ia menganggap bahwa setiap etnis Tionghoa terdiri dari agama-agama yang beraneka, mulai dari Kristen, Islam, Hindu, ataupun agama lainnya yang ada. “Orang China kan bukan hanya Tionghoa, tapi agama lainnya juga banyak ada di orang-orang China”. 45 Makna dari identitas etnis sendiri bagi Adi adalah hanya sebatas ciri-ciri fisik dengan kulit putih dan mata sipit. Adi pun menaruh harapan positif perihal etnis Tionghoa ke depannya. Ia ingin etnis Tionghoa menjadi etnis yang lebih baik lagi dari sekarang, dan dapat terbuka dengan etnis manapun. Kecintaannya terhadap etnis Tionghoa, lantas tidak menjadikannya menjadi sense of belonging. Adi mengatakan bahwa dirinya dapat beradaptasi dimana pun dan dengan etnis apa pun ia berada disuatu daerah. “Aku gampang beradaptasi, tetapi jujur aku lebih nyaman dengan teman pribumi, mungkin karena dari kecil kawan sama pribumi” 46 44 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011. 45 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 13 Juni 2011. Universitas Sumatera Utara Ini disebabkan karena sejak kecil ia sudah hidup di daerah yang mayoritas penduduknya pribumi. Tetangga-tetangga yang ada disekitar rumahnya pun juga pribumi. Jadi, pergaulannya selama ini memang dengan pribumi. Kesimpulan Kasus: Adi tidak mampu mengenali in-group nya, tidak memiliki komitmen yang tinggi akan etnisnya. Adi tidak memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap kelompok dan etnisnya. Adi juga tidak aktif dalam kegiatan kelompok, baik itu berupa organisasi keetnisan maupun pergaulan dengan teman seetnis. Namun itu lantas tidak membuat ia tidak mencintai etnisnya. Ia juga mempunyai harapan positif buat etnisnya kea rah yang lebih baik lagi. Ketidaktahuannya akan asal daerah etnisnya berasal, menjadikan salah satu faktor yang menyatakan Adi tidak mampu mengenali identitas etnisnya. Ia hanya mengatakan Aek Kanopan dan Medan sebagai daerah tempat ia berasal. Ia tidak mampu menjelaskan dari mana etnis Tionghoa itu berasal. Masalah identitas agama Buddha sebagai identitas etnis Tionghoa, Adi menyatakan ketidak sepakatannya. Ia menganggap etnis Tionghoa terdiri dari berbagai agama yang ada. Namun, ini menjadi salah satu kelemahan baginya, karena sesungguhnya etnis Tionghoa itu berasal dari agama dan tradisi Buddha, meskipun ada agama lain dalam etnis Tionghoa. 46 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara INFORMAN 10 MELIANA LIE CHIN Meliana mempunyai nama Tionghoa, Lie Chin. Nama Tionghoa yang tidak ia ketahui artinya, karena merupakan pemberian nama dari seorang shinshe. Bahkan mamanya sendiri juga tidak mengetahui makna dari nama tersebut. “Nggak tau artinya apa? Itu nama pemberian shinshe waktu mamaku minta ke shinshe nya. Mamaku juga nggak tau itu artinya apa”. 47 Meliana tidak mengetahui asal-muasal etnis Tionghoa berasal, dan tidak ada anggapan bagi dirinya bahwa adanya negara-negara lain sebagai kampung halaman. Ia menganggap Medan lah kampung halamannya. Keluarga yang menetap di daratan China juga tidak ada, jadi tidak ada tradisi pulang kampung yang ia lakukan ke negara-negara lain. “Sejak lahir udah di Medan, jadi setau aku asal ku adalah Medan”. 48 Meliana merupakan etnis Tionghoa yang beragama Kristen Katolik, kedua orangtuanya juga beragama Kristen Katolik. Ia tidak mampu menjelaskan identitas etnis Tionghoa berdasarkan latar belakang agama. Meliana mengatakan nilai-nilai yang ia miliki sebagai seorang etnis Tionghoa adalah berupa adat-istiadat dan tradisi imlek. Ia tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi perihal identitas etnis yang dimilikinya. Akan tetapi, Meliana mempunyai kebanggan terhadap etnis Tionghoa, etnis yang sudah ada pada dirinya sejak ia dilahirkan. Ia mengatakan bahwa sebagai seorang yang telah dititipkan suatu kebudayaan, haruslah ia menjaga dan bangga terhadap kebudayaan tersebut. 47 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 13 Mei 2011. 48 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 13 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara Kebanggannya terhadap etnis Tionghoa, tidak dibuktikankan nya melalui pernyataan ketika peneliti menanyakan jika ia dilahirkan kembali, “Ingin menjadi etnis lain jika dilahirkan kembali, menjadi etnis barat yang lebih bebas dan lebih maju”. 49 Tidak ada wujud konkret yang Meliana tunjukkan untuk menonjolkan identitas etnisnya sebagai seorang Tionghoa. Meliana tidak dapat mengungkapkan sedikitpun apa makna yang ia rasakan sebagai seorang etnis Tionghoa selama ini. Dalam pergaulan dengan teman-temannya, Meliana salah satu yang senang berteman dengan siapa saja dan dari etnis manapun. Begitu pula denga teman se-etnisnya, Meliana tidak pernah membeda-bedakan teman se-etnis berdasarkan status sosial mereka. Meliana lebih memilih untuk berteman dengan semua etnis Tionghoa dari semua golongan yang ada, karena menurutnya tidak ada alasan kuat bagi dirinya untuk membeda-bedakan teman berdasarkan status sosialnya. Dalam hal ini, Meliana mengatakan bahwa dirinya tidak termasuk etnis Tionghoa yang masuk dalam kategori sense of belonging. “Aku lebih memiliki rasa memiliki terhadap orang yang lebih dekat dengan aku tanpa ada unsur etnis, aku akan tetap mengutamakan kepentingan mereka terlebih dahulu”. 50 Meliana sendiri secara khusus tidak pernah membayangkan perihal masa depan etnis Tionghoa kedepannya. Ia tidak pernah terfikir untuk membuat suatu pergerakan guna membuat perubahan bagi etnisnya. Tetapi setidaknya, Meliana menginginkan etnis Tionghoa lebih baik lagi dari sekarang. “Tidak pernah membayangkan. Tetapi harahapannya sih tentu menjadi lebih baik lagi”. 51 49 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 9 Mei 2011. 50 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 9 Mei 2011. 51 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 9 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara Kesimpulan Kasus: Secara umum, Meliana dikatakan tidak memiliki identitas etnis yang cukup tinggi. Ketidakmampuan dalam mengenali in-group nya, menjadikannya lemah dalam identitas etnisnya. Komitmen serta sense of belonging tidak dirasakan oleh Meliana. Dalam hal ini, Meliana belum memiliki pemahaman khusus perihal kecintaannya tersebut. Meliana tidak mampu dalam mengenali makna dari nama Tionghoa yang ia miliki, ia juga tidak mempunyai kebanggaan terhadap nama Tionghoa tersebut, karena terdengar lucu. Meliana juga tidak mampu mengenali asal-muasal etnis Tionghoa, ia hanya mengetahui Medanlah sebagai tempat ia berasal, tidak ada yang lain karena ia beserta keluarga besarnya sudah ada di Medan sejak lama. Meliana juga tidak mampu mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya lebih dalam lagi. Ia hanya mengatakan adat-istiadat dan imlek lah nilai-nilai yang ia miliki. Itu merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh etnis Tionghoa pada umumnya. Tidak ada penjelasan lebih dalam lagi yang ia lakukan. Dapat terlihat suatu kesimpulan bahwasanya identitas etnis yang ia miliki tidak tinggi. Banyak hal-hal perihal identitas keetnisan Tionghoa yang tidak ia ketahui, mulai dari tradisi, budaya, asal-muasal, ataupun nilai-nilai lainnya. INFORMAN 11 ANTON HALIM LIM SEN TONG Anton, informan ke 11 dalam penelitian ini juga tidak dapat menjelaskan secara detail nilai-nilai apa saja yang ia miliki sebagai seorang etnis Tionghoa. Ketika ditanya Universitas Sumatera Utara oleh peneliti, Anton hanya mengatakan budaya, adat-istiadat, dan hormat kepada leluhur lah nilai-nilai yang ia miliki sebagai seorang etnis Tionghoa. Tetapi ketika peneliti menanyakan perihal nilai-nilai lainnya, Anton tidak dapat memberikan suatu pengetahuan yang baru bagi peneliti. Sama halnya dengan Meliana, Anton juga tidak mengetahui makna dari identitas etnis Tionghoa yang tidak dapat ia jelaskan dengan pasti. “Saya sendiri nggak tahu seperti apa Hahaa”. 52 Meskipun Anton tidak mengetahui makna dari identitas etnis Tionghoa bagi dirinya, tetapi Anton memiliki kebanggaan sendiri terhadap kebudayaan dan nilai-nilai yang ada pada etnis Tionghoa. “Bangga karena seburuk apapun itu, kalo budaya sendiri haruslah dibanggakan.” 53 Ketika ditanya apakah jika dilahirkan kembali, Anton akan tetap memilih terlahir sebagai etnis Tionghoa atau ingin menjadi etnis lain, Anton lebih memilih untuk berfikir positif. “Bagi saya menjadi etnis apapun sama saja, karena masing-masing etnis memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.” 54 Terlahir dari keluarga yang berkecukupan, juga tidak membuat dirinya untuk membeda-bedakan teman berdasarkan status sosialnya. Anton memiliki berbagai teman dari berbagai golongan status sosial yang berbeda. Baik itu dari teman-teman seetnis maupun yang berbeda etnis. Perihal rasa memiliki kesamaan dengan teman se-etnis, Anton tidak merasakan adanya perasaan sense of belonging pada dirinya, ia mampu beradaptasi dengan 52 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Anton Halim, Medan, 13 Juni 2011. 53 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Anton Halim, Medan, 9 Mei 2011. 54 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Anton Halim, Medan, 9 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara lingkungan sekitar, dan ia hanya akan memiliki rasa memiliki terhadap orang-orang yang juga merasa memilikinya. “Tidak, saya hanya mempunyai rasa memiliki kepada orang-orang yang juga memiliki rasa memiliki terhadap saya.” 55 Untuk masa depan etnis Tionghoa, sama halnya dengan Meliana, Anton juga tidak mempunyai bayangan perihal masa depan etnisnya. Ia hanya mempunyai harapan positi untuk kemajuan etnis Tionghoa kedepannya. Kesimpulan Kasus: Anton dapat dikatakan tidak memiliki identitas etnis yang cukup tinggi. Ketidakmampuan dalam mengenali in-group nya, menjadikannya lemah dalam identitas etnisnya. Tetapi bukan berarti ia tidak memiliki kebanggaan terhadap etnis Tionghoa yang ia sandang sekarang. Ketidakmampuannya dalam mengenali in-group nya, menjadi kelemahan bagi dirinya sendiri karena ia lebih mampu mengenali out-group nya dibanding out-group nya. Komitmen serta sense of belonging tidak dirasakan olehnya. Dalam hal ini, Anton belum memiliki pemahaman khusus perihal kecintaan mereka tersebut. Anton tidak mampu menjelaskan lebih jauh lagi perihal nilai-nilai etnis Tionghoa yang ada pada dirinya. Oleh sebab itulah, ia masuk dalam kategori tidak mampu mengenali identitas etnisnya. 55 Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Anton Halim, Medan, 9 Mei 2011. Universitas Sumatera Utara

IV.2.2 Kesimpulan Identitas Etnis Informan Penelitian