Umumnya, Putra menggunakan identitas etnisnya sebagai motivasi untuk membuka jaringan komunikasi. Artinya identitas etnis dipahami sebagai alat yang
berguna untuk membantunya mengenal siapa diri mereka dan mendorongnya untuk mau berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Hal inilah yang terjadi pada
dirinya, meskipun ia akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya sebagai etnis Tionghoa sebagai pendorong bukan penghambat dalam komunikasi.
Dalam hal ini, Putra berada dalam tataran, conscious competence yaitu mampu mengembangkan kecakapan komunikasinya dengan mahasiswa pribumi, meskipun ia
tidak mampu mengenali identitas etnisnya sendiri, tetapi ia juga mampu berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, dan berteman baik dengan banyak mahasiswa
pribumi, meskipun menurutnya intensitas pertemanannya memang lebih banyak dengan teman se-etnis.
IV.3.2.4 Unconscious Competence
Unconscious competence, yaitu seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya.
Dalam penelitian ini, telah disimpulkan bahwa 9 orang informan penelitian masuk ke dalam tingkatan kompetensi komunikasi unconscious competence. 5 orang
informan yang masuk dalam kategori mampu mengenali identitas etnisnya, 1 orang informan yang kurang mampu mengenali identitas etnisnya, dan 3 orang informan yang
tidak mampu mengenali identitas etnisnya. Mengenai kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, kelima orang
informan yang mampu mengenali identitas etnisnya ini tidak merasa adanya kejanggalan
Universitas Sumatera Utara
dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Kemampuan yang kuat dalam mengenali identitas etnisnya, lantas tidak menjadi hambatan dalam melakukan
kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Meskipun pada dasarnya mereka mempunyai tingkat interaksi yang lebih tinggi dengan teman se-etnis, dan rasa sense of
belonging yang cukup tinggi. Kelima orang informan ini mengatakan bahwa dalam berkomunikasi dengan
mahasiswa pribumi, mereka tidak sepenuhnya menyandarkan komunikasinya berdasarkan identitas etnisnya, di tambah dengan pemahaman perihal mahasiswa pribumi
yang sudah di dapatnya selama berkuliah di Fakultas Teknik, sehingga mereka dapat mengatur bagaimana dan seperti apa mereka akan berkomunikasi dengan mahasiswa
pribumi. Begitu pula dengan keempat orang informan yang tidak mampu mengenali identitas etnisnya ini juga mempunyai tingkat interaksi dalam kompetensi komunikasi
yang cukup tinggi dengan mahasiswa pribumi. Mereka lebih mempunyai ruang yang besar dalam melakukan kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. Mereka
lebih banyak mempunyai teman dari mahasiswa pribumi di kampus mereka berada. Dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, kelima informan yang
mampu mengenali identitas etnisnya ini merasakan adanya sedikit perbedaan dalam logat berbahasa. Meskipun sama-sama bermukim di Medan, tetapi mereka juga merasakan
adanya perbedaan dalam logat berbahasa dengan mahasiswa pribumi. Jadi terkadang dalam komunikasi mereka dengan mahasiswa pribumi, sering terjadi kelucuan akibat
logat yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Perbedaan itu tentunya tidak membuat mereka menjadi etnosentris. Mereka
menganggap itu hanyalah sebuah ciri khas identitas etnis masing-masing pihak. Untuk
Universitas Sumatera Utara
itu, mereka selalu menghargai setiap perbedaan yang ada dalam hal kompetensi komunikasinya, sampai pada perihal kompetensi komunikasi yang efektif.
Berbeda dengan kelima informan yang mampu mengenali identitas etnisnya, keempat informan yang kurang mampu dan tidak mampu mengenali identitas etnisnya ini
tidak merasakan adanya perbedaan dalam kompetensi komunikasi yang dilakukan dengan mahasiswa pribumi. Ini dikarenakan faktor domisili yang sudah lama berdomisili di
Medan serta pergaulan dengan orang-orang pribumi yang juga sudah dilakukan sejak mereka masih kecil. Jadi, tidak ada kendala dalam kompetensi komunikasi yang
dilakukan oleh keempatnya. Adanya motivasi yang dirasakan oleh kesembilan orang informan penelitian dari
lingkungan sekitar, membuat mereka mempunyai keinginan yang besar untuk dapat melakukan kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Mereka menyadari
bahwa mereka berkuliah di Universitas yang mayoritas mahasiswanya adalah pribumi, sehingga memang mengharuskan mereka untuk mampu melakukan interaksi serta
kompetensi komunikasi yang baik dengan mahasiswa pribumi, guna memperlancar proses belajar-mengajar maupun dalam pergaulan di lingkungan kampus.
Ketika motivasi telah ada pada diri kesembilan orang informan penelitian, kemudian mereka mulai mempunyai pengetahuan perihal mahasiswa pribumi yang di
dapat melalui proses belajar-mengajar tadi, sehingga akan menimbulkan suatu kecakapan dalam kemampuan berkomunikasi yang baik dengan mahasiswa pribumi.
Jadi, dalam hal ini kesembilan orang informan telah mempunyai kemampuan dalam mengembangkan kecakapan komunikasinya atau yang disebut dengan unconscious
competence.
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
V.1 Kesimpulan