IV.3 Kompetensi Komunikasi
Setelah melakukan proses analisis terhadap identitas etnis pada kesebelas orang informan penelitian berdasarkan kriteria mampu mengenali, kurang mampu mengenali
dan tidak mampu mengenali, kemudian peneliti melakukan pendeskripsian terhadap kesebelas informan penelitian berdasarkan indikator kompetensi komunikasi yang
dilakukan.
IV.3.1 Deskripsi Kompetensi Komunikasi Informan Penelitian
INFORMAN 1 JASINDA XIN ER
Penilaian Jasi mengenai mahasiswa pribumi lebih cenderung positif di bandingkan negatifnya. Jasi memandang mahasiswa pribumi itu lebih merakyat, tidak
sombong, dan apa adanya. Penilaiannya di dasari dari penglihatannya selama berkuliah kurang lebih 2 tahun di Departemen Teknik Kimia. Jasi melihat mahasiswa pribumi itu
terkenal dengan kekompakannya, pemikiran mereka juga simpel, dan itu bagi Jasi sangat menarik.
“Mereka itu saya lihat sikapnya lebih merakyat dan tidak sombong, yang saya lihat menarik, pemikiran mereka yang lebih simpel dan
kekompakannya juga.”
56
Menurut pengakuannya, Jasi sangat senang berteman dengan mahasiswa pribumi, terutama mahasiswa pribumi dengan pribadi yang baik dan penyabar. Karena mereka
dengan pribadi yang baik dan penyabar akan memudahkan Jasi untuk berkomunikasi, sehingga akan berdampak pada pergaulan dan juga studi. Selama melakukan pendekatan
56
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
dengan mahasiswa pribumi, Jasi juga tidak pernah mengalami kendala untuk dapat di terima oleh mahasiswa pribumi. Respon dari mahasiswa pribumi juga baik, dan itulah
yang membuat Jasi senang berteman dengan mereka. Jasi juga mempunyai 5 teman dekat dari mahasiswa pribumi, yaitu Dewi, Kartika, Dian, Agus, dan Lisa. Jasi mengatakan
kelima orang tersebut merupakan teman baik nya karena mereka adalah teman-teman yang baik, apa adanya, pembicaraannya nyambung, sehingga sering terjadi percakapan
dengan mereka berlima. “Respon mereka itu baik kalau saya berkomunikasi dengan mereka. Saya
juga punya teman-teman dekat dari mahasiswa pribumi, Dewi, Kartika, Dian, Agus, dan Lisa. Mereka berlima baik-baik, saya sering ngobrol-
ngobrol sama mereka, pembicaraan kami juga nyambung.”
57
Awalnya Jasi juga mempunyai penilaian awal terhadap mahasiswa pribumi sebelum mengenal mereka. Jasi membuat semacam penilaian kalau mahasiswa pribumi
itu tidak sombong, baik, dan supel. Tentunya semua itu berdasarkan hal-hal yang dilihat oleh Jasi selama ia tinggal di Kota Medan. Setelah berkuliah di Universitas yang
mayoritas mahasiswa nya pribumi, Jasi menyadari bahwa penilaiannya selama itu ternyata benar. Mayoritas mahasiswa pribumi yang ia kenal sejauh ini sesuai dengan apa
yang ia interpretasikan selama ini. “Mereka tuh menurut saya tidak sombong, baik, dan supel. Itu
interpretasi awal saya, dan setelah berkuliah disini, ternyata interpretasi saya selama ini tuh benar, bang.”
58
Dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, Jasi merasakan ada sedikit perbedaan dalam berbahasa. Walaupun sama-sama bermukim di Medan, tetapi Jasi
merasakan juga adanya perbedaan dalam berbahasa dengan mahasiswa pribumi. Misalnya istilah-istilah yang sering digunakan oleh mahasiswa pribumi. Bahasa daerah
57
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
58
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
yang sering di gunakan oleh mahasiswa pribumi serta bahasa Hokkian yang sering Jasi gunakan juga dalam berkomunikasi dengan sesama etnis, sering menjadi penghambat
dalam pemahaman komunikasi Jasi dengan mahasiswa pribumi. “Bahasa itu kadang ada juga kata-kata yang tidak dimengerti, walaupun
sama-sama dari medan sekalipun. Terutama istilah-istilah ataupun bahasa daerah nya. Mereka sering berbahasa batak, kami juga berbahasa
hokkian sesama kami. Jadi kadang nggak nyambung juga.”
59
Perbedaan itu tentunya tidak membuat Jasi menjadi etnosentris. Jasi menganggap itu adalah sebuah pelajaran tambahan di luar pelajaran yang ada di kampus. Menghargai
satu sama lainnya, karena itu merupakan keanekaragaman. Perbedaan itu harus dipelajari, supaya tahu bagaimana menyatukannya.
“Perbedaan adalah membuat kita menghargai satu sama lain, dengan adanya keanekaragaman, perbedaan itu menjadikan saya tidak
etnosentris.”
60
Untuk itu, Jasi selalu menghargai setiap perbedaan yang ada, sampai pada perihal ketertarikannya terhadap budaya mahasiswa pribumi. Salah satunya yaitu, budaya
berpuasa bagi yang Muslim. Jasi terus terang tidak pernah melakukan evaluasi perihal ketertarikannya tersebut. Jasi hanya sekedar menanyakan kepada mereka kenapa
berpuasa? Dan setelah itu Jasi sedikit tahu maksud dan tujuan mereka untuk berpuasa. Jasi juga tidak pernah melakukan semacam evaluasi ataupun perbandingan dengan
budaya etnis nya sendiri. “Hhmm apa yaa? Saya terus terang nggak pernah juga melakukan
evaluasi terhadap etnis saya. Hahaa. Saya memang punya ketertarikan dengan budaya mereka, berpuasa bagi yang Muslim, tetapi tidak pernah
ada evaluasi, baik itu terhadap budaya tersebut sampai pada evaluasi terhadap budaya etnis saya.”
61
59
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
60
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
61
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Meskipun demikian, Jasi mengakui bahwa dirinya memang lebih banyak berinteraksi dengan teman seetnis, karena Jasi menyadari bahwa dirinya adalah seorang
yang sense of belonging, selalu mencari etnis nya terlebih dahulu dimana pun ia berada. Hal ini juga disebabkan karena Jasi juga mempunyai banyak teman mahasiswa Tionghoa
di kampus Departemen Teknik Kimia. Tetapi untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi juga sering, karena tiapa hari juga ketemu. Setiap kali berbicara, waktu yang
dihabiskan untuk berkomunikasi pun cukup lama, sekitar 30 menit sampai 1 jam untuk setiap pembahasan, dan biasanya hal-hal yang dibahas itu mengenai pelajaran dan lain-
lainnya. Selama berkuliah dan berteman dengan mahasiswa pribumi, Jasi tidak pernah
membuat semacam penilaiaan negatif terhadap mahasiswa pribumi, artinya siapa yang etnis Tionghoa dan siapa yang pribumi. Jasi menganggap semua nya sama, sederajat, dan
tidak ada bedanya. Kesalahpahaman yang berakibat perpecahan karena perbedaan budaya pun tidak pernah terjadi. Untuk memahami segala perbedaan yang ada, Jasi hanya
berusaha untuk lebih mendekatkan diri lagi kepada mahasiswa pribumi dan selalu berbuat baik guna terciptanya kompetensi komunikasi yang lebih efektif lagi.
“Yaa lebih mendekatkan diri lagi ke mereka dan berperilaku baik, supaya komunikasi kami lebih baik lagi, dan tidak terjadi
kesalahpahaman ataupun perpecahan.”
62
Kesimpulan Kasus:
Mengenai kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, Jasi adalah tipe mahasiswa Tionghoa yang terbuka dan senang berteman dengan siapa saja, dan dari etnis
manapun. Meskipun pada dasarnya Jasi tetap mempunyai tingkat interaksi yang lebih
62
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jasinda, Medan, 8 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
tinggi kepada teman seetnisnya. Hal ini memang tidak bisa di pungkiri, mengingat rasa sense of belonging yang cukup tinggi tadi, yang ada pada diri nya, di tambah lagi dengan
jumlah mahasiswa etnis Tionghoa yang cukup tinggi di Fakultas Teknik. Identitas etnis yang tinggi dan termasuk dalam kategori mampu mengenali
identitas etnisnya, tidak membuat Jasi mengalami hambatan dalam melakukan kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi.
Jasi mengatakan bahwa dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, Jasi tidak sepenuhnya menyandarkan komunikasi nya berdasarkan identitas etnis nya, di
tambah dengan pemahaman perihal mahasiswa pribumi yang sudah di dapatnya, sehingga ia dapat mengatur bagaimana dan seperti apa ia akan berkomunikasi dengan mahasiswa
pribumi. Dalam hal ini, kompetensi komunikasi yang di miliki Jasi adalah unconscious
competence yaitu seseorang yang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya. Jasi merupakan seorang yang lancar berkomunikasi dengan siapa saja, dan Jasi menyadari
setiap proses yang ia lakukan. Ini dapat dilihat dari komponen-komponen komunikasi yang dimilikinya. Jasi memiliki motivasi untuk berkomunikasi dengan etnis yang
berbeda, yaitu mahasiswa pribumi. Ini dapat dilihat dari penjelasan Jasi perihal perasaan nya yang senang berkomunikasi dengan mereka. Untuk faktor motivasi, Jasi sadar bahwa
identitas etnisnya perlu dikomunikasikan dengan etnis lain nya, supaya dapat mengetahui dimana letak perbedaannya.
Jasi juga menyadari pentingnya faktor kemampuan untuk mampu melakukan pengembangan relasi antar etnis sebagai tindakan supaya memiliki kompetensi
komunikasi secara antarbudaya, terutama dalam hal intensitas berbahasa. Untuk faktor
Universitas Sumatera Utara
kemampuan, Jasi sendiri termasuk orang yang cakap dalam berkomunikasi. Jasi mengetahui bagaimana kinerja perilakunya yang sebenarnya yang dirasakannya efektif
dan pantas dalam konteks komunikasi, dan dari seluruh komponen komunikasi, komponen yang dapat dikatakan lebih menonjol dari Jasi adalah motivasi dan
kemampuannya dalam menyesuaikan diri dengan mahasiswa pribumi, sehingga terjalin kompetensi komunikasi antarbudaya yang efektif.
INFORMAN 2 MIMI R.G LI ZIA
Pandangan Mimi pada mahasiswa pribumi biasa-biasa saja. Tidak ada hal-hal yang ia buat untuk dapat memberikan citra-citra tertentu pada mahasiswa pribumi. Mimi
menganggap bahwa semua mahasiswa pribumi itu adalah teman, sama seperti mahasiswa etnis Tionghoa.
“Pandangan biasa aja, nggak pernah di pandang-pandang kali. Hahahaa karena saya anggap mereka semua teman saya.”
63
Kuliah di kampus yang notabennya adalah mahasiswa pribumi, tentunya Mimi sering berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Baik dalam hal pelajaran juga dalam
pergaulan di kampus, sampai di luar kampus. Menurut Mimi, mahasiswa pribumi cenderung suka melucu, itu yang membuatnya menarik karena buat keadaan jadi ramai
dan menjadi penghilang stress akibat mata kuliah yang berat.
Perbedaan dalam berkomunikasi tentunya juga terjadi di antara Mimi dengan teman-teman pribuminya. Terutama dalam hal logat bahasa, meskipun tinggal di Medan,
tetapi logat Mimi masih kental dengan logat Tionghoa.
63
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan tersebut lantas tidak membuat Mimi menjadi mahasiswa yang etnosentris ataupun menganggap etnis nya lah yang terbaik. Karena menurutnya, setiap
etnis itu mempunyai keunikannya masing-masing. “Menganggap yang terbaik sih nggak, karena masing-masing etnis
mempunyai keunikannya masing masing kan? Tapi ya saya tetap akan menganut keyakinan bahwa etnis saya itu baik.”
64
Bahasa yang beraneka ragam dari mahasiswa pribumi, menjadikan Mimi tertarik
akan budaya tersebut. Kadang Mimi sampai bingung itu bahasa apa? dan karena penasaran, Mimi pun menanyakan kepada temannya perihal ketertarikannya tersebut.
Jadi, jika lain kali di dengar lagi, Mimi tidak perlu bingung lagi. Evaluasi Mimi hanya
sebatas pada tahap menanyakan saja, tidak mempelajari. Mimi juga mulai melakukan evaluasi terhadap ketertarikannya tersebut dengan evaluasi terhadap etnis sendiri.
“Saya hanya membandingkan dengan berbagai jenis bahasa dari orang- orang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa kan juga punya banyak bahasa
yang berbeda. Mungkin orang-orang pribumi juga akan bingung dengan itu. Seperti yang saya rasakan lah.”
65
Kompetensi komunikasi yang Mimi jalani dengan mahasiswa pribumi, mendapatkan respon yang baik, karena menurut Mimi jika kitanya baik, mereka juga
akan baik. Interaksi dalam berkomunikasi sering nya terjadi di ruangan kelas dan lab, hal ini di dasari karena interaksinya memang sering terjadi disana. Waktu untuk bertemu nya
lebih banyak di kedua lokasi tersebut. Waktu untuk berkomunikasi pun tidak pernah
dihitung, akan tetapi biasanya bersamaan dengan berakhirnya kelas. Meskipun mempunyai banyak teman dari mahasiswa pribumi, tetapi pada hakikatnya Mimi itu lebih
banyak berkomunikasi dengan mahasiswa yang seetnis. Katanya untuk menunjukkan bahwa komunitas mereka itu solid. Hal ini sesuai dengan identitas etnis yang sangat
64
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
65
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
tinggi yang dimilikinya, serta kategori mampu mengenali identitas etnis yang ada pada dirinya.
Mimi juga mempunyai 6 orang teman dekat dari mahasiswa pribumi. Teman dekat yang ia punyai diantaranya Sinta, Sari, Laura, Rinal, Farhan, dan Lince. Mimi
mengangga mereka berenam adalah teman baik karena mereka baik-baik da pembicaraannya juga nyambung. Saking dekatnya, Mimi juga mengetahui hal-hal apa
saja yang di sukai oleh keenam teman pribumi nya.
“Kalo makanan kita sering makan siang bareng, sering nya sih kita itu makan ayam penyet, minumnya teh manis dingin. Kalo mata kuliah,
beda- beda.”
66
Penilaian terhadap mahasiswa pribumi juga penah dilakukan oleh Mimi sebelum
mengenal mereka. Penilaian awal Mimi, mahasiswa pribumi itu pemarah dan tidak mau
menerima keberadaan mahasiswa etnis Tionghoa. Tetapi interpretasi nya selama ini
salah. “Memang kalo belum kenal ya nggak boleh sembarangan menilai, nggak
baik.”
67
Untuk menjadikan kompetensi komunikasi yang lebih efektif lagi dengan mahasiswa pribumi, Mimi berpendapat bahwa ia harus lebih banyak bergaul dengan
mahasiswa pribumi, supaya tahu bagaimana pribadi nya lebih banyak lagi. “Kalo udah taukan jadi kalo berkomunikasi ya enak.”
68
Penilaian Mimi hanya sebatas penilaian untuk pembandingan saja, tetapi kalau aplikasinya Mimi berteman dengan semuanya. Untuk itu, Mimi tetap mempertahankan
budaya nya dalam kopetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi.
66
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
67
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
68
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
“Ya kalo sesama etnis tetaplah, karena kan itu kan udah termasuk budaya. Tapi kalo di depan etnis Pribumi, kita berbahasa Indonesia lah,
supaya nggak terjadi kesalahpahaman.”
69
Kesimpulan Kasus:
Mimi memiliki tingkat kompetensi komunikasi yang cukup baik. Hal tersebut secara tidak langsung dikarenakan Mimi bekuliah di lingkungan kampus yang mayoritas
adalah pribumi. Perbedaan logat bahasa dan nilai-nilai tidak dijadikan Mimi sebagai alasan untuk tidak berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Perbedaan-perbedaan
tersebut malah mendorongnya untuk dapat berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Motivasi untuk berkomunikasi juga ada di dalam diri Mimi, Mimi menjadikan
motivasi tersebut sebagai tenaga untuk mencari tahu apa yang sebenarnya harus diketahuinya sehingga ia mempunyai suatu pemahaman dalam berkomunikasi secara
efektif dengan mahasiswa pribumi. Alhasil, dalam hal ini Mimi mampu berkomunikasi dengan etnis lain yaitu mahasiswa pribumi. Maka dapat dikatakan bahwa Mimi berada
pada tataran kompetensi komunikasi unconscious competence yaitu seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya. Mimi terus berusaha untuk dapat melakukan
komunikasi yang efektif denganmahasiswa pribumi, guna terciptanya kompetensi komunikasi yang efektif.
69
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Mimi R.G, Medan, 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
INFORMAN 3 KRISNAWATI GOH LIE YUNG
Pandangan Krisna juga sama dengan pandangan Mimi perihal mahasiswa pribumi. Krisna menganggap mahasiswa pribumi itu sama saja dengan mahasiswa
Tionghoa. “Tidak jauh berbeda dengan pandangan saya terhadap teman-teman se-
etnis saya. Sama aja lah.”
70
Krisna tentunya juga sering berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, baik itu dalam konteks perkuliahan sampai pada pergaulan. Bergaul dengan mahasiswa pribumi
tentunya akan menambah wawasan akan kebudayaan yang berbeda. Dalam setiap
percakapan pasti ada masalah tentang budaya.
“Percakapan mengenai kebudayaan kita masing-masing. Kadang kalo kita nobrol, sering juga ngomongin hal-hal seperti itu. Jadi
menariklah.”
71
Krisna mengunggapkan bahwasanya ia lebih nyaman berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi yang lebih terbuka, karena akan memudahkannya dalam
berkomunikasi. Perbedaan yang ia rasakan bukan hanya dari bahasa ataupun logatnya saja, tetapi juga dalam pemikiran. Mahasiswa pribumi pemikirannya cenderung tidak
mau tahu akan segala sesuatu yang berbau pelajaran. Mahasiswa pribumi terlihat lebih banyak malasnya dibanding kedisiplinannya, baik itu dalam perkuliahan di kelas, lab,
sampai pada tugas kuliah. “Dalam hal bahasa, pemikiran juga. Maaf ya, kadang saya lihat
pemikiran teman-teman pribumi ini lebih cenderung nggak mau tau. Kalo kami kan etnis Tionghoa lebih ingin berfikir ke depan biar lebih
70
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 9 April 2011.
71
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
maju, tapi teman-teman pribumi ini saya lihat lebih banyak malasnya. Dalam pengerjaan tugas kuliah juga, lab juga.”
72
Perbedaan yang dirasakan Krisna, membuatnya mengatakan bahwa adakalanya
Krisna menjadi etnosentris dan ada kalanya juga tidak. Tergantung dalam situasi
bagaimana ia berada.
“Dalam beberapa hal, saya dapat mengatakan diri saya etnosentris. Kalo berdasarkan penilaian saya seperti yang tadi. Yaa pastinya saya
merasa saya itu etnosentris, kelompok saya lah yang paling baik.”
73
Krisna juga mempunyai ketertarikan akan budaya dari mahasiswa pribumi, yaitu puasa dan sholat. Evaluasi pun terjadi, yaitu dengan menanyakan perihal alasan mereka
kenapa melakukan ibadah sholat dan puasa?. “Pernah, saya menyakan kenapa sholat dan kenapa puasa? Untuk apa
itu? Dan mereka menjelaskan. Barulah saya benar-benar mengerti.”
74
Evaluasi terhadap budaya etnis sendiri tentunya juga terjadi. Krisna membandingkan apa yang ia lihat dengan apa yang ia ketahui ada di dalam etnis dan
agamnya. Di agamanya juga ada hal serupa, tetapi tentunya dengan cara yang berbeda. Dalam hal ini Krisna berpendapat, ketika ia berkomunikasi dengan mahasiswa
pribumi, ia selalu mendapat sambutan yang hangat dari mereka. Meskipun lebih sering berkomunikasi dengan teman se-etnis, tetapi Krisna juga mempunyai teman-teman dekat
dari mahasiswa pribumi, yaitu Rani. Rani adalah satu-satu nya teman dekat yang Krisna punya, karena dengan Rani lah Krisna sering belajar dan bekerja sama.
Setelah banyak berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, Krisna mulai memperoleh pengetahuan bahwa penilaiaanya selama ini benar, ada yang dapat dijadikan
teman dan ada yang tidak. Upaya yang ia lakukan untuk terjalinnya kompetensi
72
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 9 April 2011.
73
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 9 April 2011.
74
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Krisnawati, Medan, 9 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
komunikasi yang lebih efektif lagi dengan mereka, yaitu dengan hanya berteman dengan orang-orang tertentu dan menjauhi orang-orang yang tidak dapat diajak berkomunikasi.
Krisna juga pernah melakukan penilaian kecil terhadap mahasiswa pribumi perihal siapa yang etnis Tionghoa dan siapa yang pribumi, dan itu jelas menghambat
kompetensi komunikasi nya dengan mahasiswa pribumi. Kesalahpahaman karena perbedaan budaya juga pernah terjadi. Salah satunya mengenai ibadah, seperti yang
sudah ia jelaskan sebelumnya. Agar terciptanya kompetensi komunikasi yang lebih efektif lagi, Krisna akan menghormati budaya tersebut dan sekaligus mempertahankan
budaya dari etnis nya sendiri.
Kesimpulan Kasus:
Mengenai kompetensi
komunikasinya, Krisna termasuk kriteria yang cukup
termotivasi untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi khususnya teman-teman mahasiswa pribumi yang ada di Departemen Teknik Kimia. Meskipun pada
kenyataannya frekuensi dan intensitas komunikasi Krisna masih sangat besar pada kelompoknya, dan hal ini menjadikan Krisna terlalu memilih-milih teman mahasiswa
pribumi yang dapat diajak untuk berkomunikasi. Krisna tidak memiliki kompetensi komunikasi yang lebih baik dari Mimi. Krisna
telalu membuat pertimbangan siapa saja teman dari mahasiswa pribumi yang bisa ia ajak berkomunikasi. Krisna sendiri sebenarnya sudah memiliki motivasi untuk berkomunikasi
dengan mahasiswa-mahasiswa pribumi. Namun Krisna sedikit membatasi komunikasi dengan mahasiswa pribumi yang memang tidak bisa di ajak berkomunikasi secara efektif
dengan dirinya. Krisna lebih memilih untuk menjauhi mahasiswa-mahasiswa pribumi
Universitas Sumatera Utara
denga tipe seperti itu. Meskipun Krisna sering bersama kelompoknya, Krisna masih berkeinginan untuk memenuhi hasrat kebutuhan identitasnya, yaitu kebutuhan yang harus
dikomunikasikan dan dipertukarkan dengan mahasiswa pribumi. Krisna mengakui bahwa dirinya senang berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, khususnya ketika bercerita
mengenai budaya yang berbeda. Melalui pembicaraan tersebut dapat membantu Krisna untuk mengetahui ranah identitas etnisnya dan semakin menyandarkannya pada tahap
etnosentris. Sikap etnosentrisme yang ia miliki masih dalam batas yang wajar saja. Ia hanya berusaha untuk berani membela apa yang menurutnya benar.
Krisna mengakui bahwasanya ia cukup sering bertukar informasi akan budaya dengan teman pribuminya. Hasil dari pertukaran informasi tersebut membuatnya sedikit
menemukan perbedaan. Menyadari perbedaan kadang mampu memfasilitasi kompetensi komunikasi. Namun, Krisna tidak memanfaatkan keadaan ini, ia lebih memilih untuk
menjauhi daripada mendekatinya, sehingga hal-hal seperti ini dapat menghambat kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Krisna berada pada tataran conscious incompetence yaitu seseorang mengetahui bahwa ia salah menginterpretasikan perilaku orang lain, namun ia tidak melakukan sesuatu untuk
memperbaikinya. Krisna menyadari bahwasanya ia dapat berkomunikasi dengan baik dengan mahasiswa pribumi, dibuktikan dengan ketertarikannya dalam bercerita tentang
budaya yang berbeda dengan mahasiswa pribumi. Tetapi karena ketidakcocokan dengan beberapa tipe dari mahasiswa pribumi, menjadikan ia tidak mau melakukan suatu
perbaikan guna terciptanya kompetensi komunikasi yang efektif.
Universitas Sumatera Utara
INFORMAN 4 JOHN THEDY YONG AN
Pandangan John terhadap mahasiswa pribumi sama saja dengan pandangan John terhadap teman-teman seetnisnya. John menganggap mahasiswa pribumi adalah teman
yang merupakan sama-sama manusia. John juga tidak menilai orang berdasarkan etnisnya. John hanya menilai orang perbuatannya, jika perbuatannya jelek, berarti itu
nilainya negatif, begitu pula sebaliknya jika perbuatannya baik, berarti nilainya positif. Ini dibuktikan dengan John yang juga mempunyai teman dekat dari mahasiswa pribumi,
diantaranya Lamhot, Fander, dan Fransiskus. Komunikasi yang ia lakukan dengan teman-teman pribuminya tidak hanya dalam
konteks belajar, tetapi juga dalam pergaulan di dalam maupun di luar kampus. Dalam komunikasinya dengan teman-teman pribumi, John juga merasakan adanya perbedaan
dalam komunikasi mereka. Perbedaan yang John rasakan menurutnya adalah bukan perbedaan yang besar, hanya sebatas perbedaan dalam logat berbahasa saja. Mereka yang
ber-etnis Tionghoa tentu logatnya adalah logat Tionghoa bercampur logat Medan, dan mahasiswa yang non-Tionghoa tentu berlogat Medan yang keras. Kalau bahasa tidak ada
perbedaan yang John rasakan, ini dikarenakan John juga sudah lama tinggal di Kota Medan.
Ketika sedang bergaul dengan mahasiswa pribumi, John juga pernah merasa kesal dengan mereka. Biasanya John merasa kesal kepada mahasiswa pribumi ketika mereka
mengerjakan tugas sendiri, dimana seharusnya tugas itu adalah tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama-sama. Tetapi John menganggap itu hanyalah warna-warni
Universitas Sumatera Utara
dalam perkuliahan. John juga tidak menjadikan kekesalannya tersebut jadi sikap etnosentris, karena itu akan dapat menghambat pertemanannya.
“Supaya tidak terjadi kesalahpahaman, saya mencoba berfikir positif aja dengan mereka, dan etnosentris itu pasti setiap etnis menganggap etnis
nya yang paling baik, tetapi itu tidak juga dikatakan dapat menghambat pertemanan.”
75
Mengenai budaya mahasiswa pribumi, John mengatakan bahwa dirinya tidak pernah mempunyai ketertarikan dengan budaya mahasiswa pribumi dikarenakan ia
kurang begitu tahu tentang budaya lain, sehingga ia tidak dapat melakukan evaluasi terhadap budaya mahasiswa pribumi tersebut maupun budaya dari etnisnya sekalipun.
Selama berteman dengan mahasiswa-mahasiswa pribumi, dan melakukan kompetensi komunikasi dengan mereka, John mengakui bahwa ia selama ini membuat
suatu interpretasi yang salah dengan mahasiswa pribumi. Awalnya, ia menganggap mahasiswa pribumi itu tidak suka dengan etnis Tionghoa, tetapi interpretasinya itu salah.
Untuk menjalin komunikasi yang lebih efektif lagi, John berusaha untuk lebih dekat lagi dengan mereka, agar lebih mengenal lebih dekat bagaimana pribadi mereka.
“Iya, interpretasi ku selama ini salah, kebanyakan teman-teman pribumi itu baik-baik, welcome sama kami. Mungkin itu tergantung pribadi
orangnya ya? Kebetulan aku dapat teman yang baik-baik. Saya juga jadi tahu nama-nama daerah di sumut dari daerah-daerah asal mereka.”
76
Dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi John akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada diri nya sebagai etnis Tionghoa. John
akan memilih nilai mana yang lebih baik baginya, namun dalam hal ini kebudayaan dan tradisi Tionghoa tetap akan dipertahankannya.
75
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 12 April 2011.
76
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Jhon Thedy, Medan, 12 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan Kasus:
John mengakui bahwa dirinya mempunyai hasrat yang cukup besar untuk dapat berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Karena selama ini ia bersekolah di sekolahan
yang mayoritas siswanya adalah Tionghoa. Jadi ia ingin merasakan suatu pengalaman yang baru. Perasaan mengenai perbedaan bahasa, nilai dan pola perilaku kultural yang
mendorong John supaya aktif dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. John sudah memiliki motivasi untuk berkompetensi komunikasi dengan
mahasiswa pribumi. Adanya kesadaran untuk memenuhi kebutuhan identitasnya, dan John pun bisa mengenali siapa yang ada dalam in-group maupun out-group nya. Dari
faktor penegtahuan, John sudah mengembangkan relasinya dan mampu melakukan adaptasi budaya dan pengetahuan tersebut dipergunakannya secara maksimal. John juga
mempunyai kecakapan dalam menyesuaikan, dan ia mampu mengenali secara jelas etnis temannya yang berbeda budaya. Jadi, nilai kompetensi komunikasi yang John miliki ada
pada tataran unconscious competence yaitu seseorang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya. John sudah menyadari bahwa adanya perbedaan dan ia merasa perlu
untuk melakukan hal-hal untuk memperbaiki pemahamannya mengenai kompetensi komunikasi antarbudaya.
INFORMAN 5 RUDI KIRANA ZHENG HAO
Selama berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, Rudi selalu mendapat respon yang baik dari mahasiswa pribumi. Meskipun sebelum masuk ke USU, Rudi awalnya
sedikit takut dengan mahasiswa pribumi, karena sebelumnya ia selalu bergaul dengan
Universitas Sumatera Utara
teman-teman seetnis selama ia sekolah. Tetapi setelah mengenal dan bergaul dengan mahasiswa pribumi, Rudi merasa tidak ada masalah. Hal tersebut dengan alasan karena
Rudi berkuliah di USU yang memang mayoritas mahasiswanya adalah pribumi, jadi memang mengharuskan dirinya untuk berkomunikasi. Kompetensi komunikasi dengan
mahasiswa pribumi tidak hanya ia lakukan dalam konteks belajar saja, tetapi juga dalam pergaulan di dalam kampus sampai di luar kampus juga.
Rudi mengakui bahwa dirinya adalah etnis Tionghoa yang sense of belonging. Alasannya pun didasari karena nilai kebersamaan yang dimiliki oleh etnis Tionghoa yang
telah ia sebutkan di awal wawancara. Baginya selama ia berkuliah di kampus Departemen Teknik Sipil, ia merasa bahwa dirinya dapat bergaul dengan siapa saja tanpa
pandang etnis dengan tetap menjaga adab dari etnis Tionghoa. Rudi meyakini bahwa dirinya dapat bergaul dengan siapa saja, tetapi keakraban dan kenyamanan memang lebih
ditemukannya dalam kelompok etnisnya. Tema pembicaraan Rudi dengan mahasiswa pribumi biasanya dalam konteks belajar dan pergaulan juga, banyak ketertarikan yang
Rudi rasakan saat berkomunikasi dengan teman-teman pribuminya, diantaranya mengenal lebih banyak budaya serta adat yang berbeda dan dapat menambah
pengetahuan. Perbedaan pun memang tidak mustahil ada yang ia rasakan saat berkomunikasi dengan teman-teman mahasiswa pribuminya. Perbedaan yang Rudi
rasakan ada pada cara pandang dan pengetahuan antara kedua belah pihak yang berbeda. Rudi mampu mengenali in-group dan out-group nya. Rudi mampu berkompetensi
komunnikasi dengan teman se-etnis juga dengan teman-teman mahasiswa pribumi. Meskipun pada hakikatnya, interaksi memang lebih sering terjadi pada in-group nya.
Universitas Sumatera Utara
Ketertarikan Rudi juga tertuju pada salah satu budaya dari mahasiwa pribumi, yaitu budaya-budaya dari suku batak dan suku jawa. Ketertarikannya di dasari dari
penglihatannya terhadap teman-teman mahasiswa pribumi etnis Jawa dan Batak yang selalu bertolak belakang jika dalam keadaan berkomunikasi. Ketertarikannya terhadap
kedua budaya tersebut, lantas tidak dijadikan oleh Rudi untuk melakukan evaluasi terhadap etnis tersebut serta etnisnya.
Kompetensi komunikasi yang efektif dengan mahasiswa pribumi juga dibuktikan Rudi, bahwa ia juga mempunyai 5 orang teman dekat dari mahasiswa pribumi. Rudi
mengatakan mereka berlima sebagai teman baik karena mereka berlima selalu ada disaat susah maupun senang.
Awalnya, Rudi menginterpretasikan bahwa mahasiswa pribumi itu tertutup, tetapi setelah kenal lebih lanjut dengan mereka, Rudi baru menyadari bahwa mereka umunya
lebih terbuka, meskipun masih ada yang tertutup. Penilaian seperti itu awalnya membuat kompetensi komunikasi Rudi terhambat.
“Awalnya sih iya menghambat, tapi semakin kesini, semakin enjoy-enjoy aja. Nggak ada hambatan. Karena keinginan untuk bergaul dan
menambah teman, itu adalah motivasi saya untuk berkomunikasi dengan siapa saja, termasuk mahasiswa pribumi.”
77
Menurut Rudi, ia tidak terlalu menemukan kendala dalam berkomunikasi dengan teman berbeda etnis, bahkan ia merasa tidak ada pengalaman mengenai kesalahpahaman
yang terjadi karena perbedaan budaya, ia selalu berusaha untuk bertoleransi dengan teman-teman mahasiswa pribumi. Ia dapat menerima perbedaan yang ada, walaupun ia
tidak begitu merasakan perbedaan itu.
77
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 15 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, Rudi akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya sebagai etnis Tionghoa. Ia
merasa itu sangat penting bagi kelangsungan etnis Tionghoa yang ada di Indonesia. Meskipun warganegara Indonesia, tetapi Rudi mengatakan bahwa etnisnya tetap etnis
Tionghoa yang harus ia jaga dan banggakan. “Saya warganegara Indonesia, tetapi etnis saya kan Tionghoa.
Gimanapun saya akan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Tionghoa Indonesia saya tentunya.”
78
Kesimpulan Kasus:
Interaksi yang tinggi terhadap kelompoknya, lantas tidak membuat Rudi tidak mempunyai keinginan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Berada dalam
lingkungan yang berbeda, dan selalu berkumpul dengan mahasiswa seetnis, tidak membuat Rudi kaku dalam berkomunikasi dengan etnis lain dan cukup merasa dalam
kondisi yang aman. Jadi, wajar jika Rudi merasakan kompetensi komunikasi yang efektif dengan mahasiswa pribumi.
Masalah yang Rudi hadapi terkadang hanyalah masalah cara pandang yang berbeda saja. Tetapi Rudi tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena cara pandang
orang berbeda-beda. Dalam hal ini Rudi mempunyai motivasi sebagai dasar utama untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, dan dorongan itu pun secara tidak sadar
digunakan Rudi untuk sharing atau bertukar cerita tentang budaya yang berbeda dengan mahasiswa pribumi, dan itu merupakan suatu hal yang menyenangkan baginya.
Pemahaman tersebut lebih lanjut dijadikannya untuk membantu kompetensi komunikasi anatarbudaya yang dilakukannya sampai pada tidak ada keraguan dalam dirinya untuk
78
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Rudi Kirana, Medan, 15 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi yang berbeda budaya. Jadi secara umum, nilai kompetensi komunikasi Rudi berada pada tataran unconscious competence, yaitu dalam
hal ini Rudi telah mengembangkan kecakapan komunikasinya untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, ia merasakan bahwa hal tersebut sangat dibutuhkan untuk
berkompetensi komunikasi dengan mereka mahasiswa pribumi.
INFORMAN 6 MICHAEL THEO SHIAN UN
Mike menjelaskan pandangannya mengenai mahasiswa pribumi, ada yang menurutnya perilakunya tidak jelas dan ada yang menurutnya berperilaku yang jelas.
Dalam arti, ada diantara mereka yang memang baik, dan tidak menutup diri, dan ada juga diantara mereka yang selalu menutup diri, sehingga membuat nya sedikit kesusahan
untuk dapat berkomunikasi. Mike juga menambahkan sikap lainnya yang termasuk sikap tidak jelas itu adalah sikap kebanyakan mahasiswa pribumi yang sering tidak masuk ke
laboratorium padahal mereka ada di lingkungan kampus tersebut. “Kalau dalam lingkungan kampus, saya liat teman-teman saya yang
pribumi, datang ke kampus tapi nggak masuk kelas, lebih seringnya sih nggak masuk lab. Ini mahasiswa atau bukan? Saya sering bertanya
seperti itu pada diri saya sendiri”.
79
Pandangan seperti itu tentunya tidak membuat Mike untuk tidak berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Mike selalu berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi
dalam segala hal, baik itu dalam belajar, bermain, jalan-jalan, bermain game DOTA dan lain-lain. Mike bercerita, bahwa saking dekatnya dengan mahasiswa pribumi, ia dan
79
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
teman-temannya juga sering terlibat percakapan yang sangat menarik sampai mereka tertawa terbahak-bahak.
“Yang menarik banyak, karena kan kalau tiap ngobrol, pasti beda-beda yang di bahas, bukan itu-itu aja. Tapi kalau ditanya yang paling
menarik itu kalau kita cowok-cowok lagi ngumpul-ngumpul, pasti yang dibahas itu tentang cewek, mulai dari yang bagus-bagusnya sampai
yang jelek-jelek bahkan jorok-joroknya juga. Hahahaaaa”
80
Mike berani untuk merasakan sesuatu yang beda yaitu dengan membuka kompetensi komunikasi antarbudaya nya baik dengan teman mahasiswa Tionghoa
maupun dengan teman mahasiswa pribumi. Rasa nyaman memang lebih ditemukannya dengan teman seetnis. Ia merasa cara berinteraksi yang sama membuatnya lebih cocok
dengan mereka. Tetapi itu tidak menjadikannya menjadi etnosentris dan menutup diri terhadap mahasiswa dari etnis lain. Pergaulan yang tidak terbatas membuat Mike sudah
tidak lagi merasakan adanya perbedaan dan belum pernah mengalami kesalahpahaman yang bisa menghambat komunikasi.
Mike senang berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi dengan pribadi yang baik, ramah, dan tidak sombong. Karena menurut Mike, untuk terjalinnya kompetensi
komunikasi yang efektif terlebih dahulu kita harus nyaman dengan keadaan lawan bicara kita. Katanya, Mike juga mempunyai teman-teman dari mahasiswa pribumi sebanyak 10
orang. Kesepuluh teman dekat pribumi yang ia miliki, ia merasa nyaman dengan semuanya, karena ia sudah menemukan kecocokan berdasarkan kriteria yang ia sudah
tetapkan tersebut. Mike juga mengetahui hal-hal apa saja yang disukai maupun tidak disukai oleh teman-teman pribuminya.
80
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
“Hehee kalau mata kuliah taulah, karena sama semua kan? Hehee.. kalau makanan, minuman sih kurang tau, yang saya tau mereka nggak boleh
makan-makanan dan minuman yang haram.”
81
Interpreatsi mengenai perilaku mahasiswa pribumi juga pernah dilakukan oleh Mike sebelum mengenal teman-teman pribuminya tersebut. Awalnya Mike menganggap
bahwa kalau dilihat dari tampang sepertinya ada diantara mereka yang terlihat agak seram, jahat, bringasan. Tetapi setelah lama-lama berteman ternyata orangnya sangat
lembut dan baik hati. Dalam hal ini, interpretasi Mike selama ini salah. Jadi selama ini Mike telah membuat interpretasi yang salah sebelum ia mengenal teman-temannya
tersebut. “Yaa.. terlebih dahulu ya memang harus ada pendekatan dulu, perhatikan
bagaimana sikap dia ke orang lain. Setidaknya dari situ kita taulah bagaimana dia.”
82
Selama ini Mike pernah membuat semacam penilaian sederhana tentang siapa Mike? Siapa teman bicara Mike? Artinya siapa yang etnis Tionghoa dan siapa yang etnis
pribumi. Secara tidak langsung Mike pernah melakukan penilaian seperti itu. Mike menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar, terutama disaat awal-awal masuk kuliah,
tetapi ia merasa bahwa hal tersebut tidak boleh ia perlihatkan apalagi secara langsung kepada teman-teman mahasiswa pribumi sebelum mengenal mereka lebih lanjut lagi.
Penilaian seperti itu menurut Mike awalnya memang bisa menghambat kompetensi komunikasinya. Tetapi sekarang ini hambatan itu sudah tidak dirasakan nya
lagi, dan dalam kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, Mike akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada diri Mike sebagai etnis Tionghoa.
“Pastinya, nilai-nilai itu kan nggak akan bisa berubah, sampai kapan pun saya akan tetap jadi seorang Tionghoa. Tetapi untuk bisa berbaur
81
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011.
82
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
dengan mahasiswa pribumi, saya juga harus menerima nilai-nilai budaya mereka, tanpa merubah nilai-nilai budaya saya sebagai seorang
etnis Tionghoa.”
83
Jadi, jika dapat disimpulkan, Mike memang lebih sering berkomunikasi dengan teman-teman seetnis dibandingkan dengan mahasiswa pribumi. Walaupun menurut
penuturannya, dalam berkomunikasi bisa dikatakan ia sama seringnya dalam hal
berkomunikasi dengan keduanya.
“Beda tipislah, tapi ya memang lebih sering dengan teman seetnis.”
84
Kesimpulan Kasus: Interaksi antarbudaya Mike dengan mahasiswa pribumi dan dengan teman se-
etnis juga berimbang. Ia dapat dengan mudah akrab dengan teman mahasiswa pribumi tetapi ia ia tetap mempertahankan keterikatannya dengan in-group nya.
Motivasi yang kuat dimiliki Mike untuk mau berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, bahkan Mike akhirnya dapat mengenali karakter-karakter dari teman-teman
pribuminya yang dinilainya berbeda dengan karakter-karakter yang ada di dalam etnisnya. Motivasi yang ia punya menunjukkan kesadarannya akan kebutuhan
menghindari kecemasan dan kebutuhan untuk menopang konsep diri, serta secara pasti juga mempunyai mindful terhadap ranah dan kebutuhan identitas. Mike juga memiliki
pengetahuan mengenai perbedaaan kelompoknya dan cara mengumpulkan informasi antarbudaya sehingga menciptakan kompetensi komunikasi yang efektif.
Dalam kasus ini, kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh Mike adalah unconscious competence yaitu seseorang yang telah mengembangkan kecakapan
komunikasinya. Dalam hal ini, Mike menunjukkan kecakapannya dalam berkomunikasi
83
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011.
84
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Michael, Medan, 18 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
dengan mahasiswa pribumi, dan itu menunjukkan bahwa dirinya mampu mengatasi masalah out-group nya.
INFORMAN 7 SUSANTO SALIM KEN LIE
Kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi selalu ditunjukkan oleh Susanto dengan baik. Ia tidak pernah membuat pandangan negatif terhadap mahasiswa
pribumi. Penilaian awal terhadap mahasiswa pribumi memang ada sebelum ia mengenal mahasiswa pribumi tersebut lebih dekat lagi. Kompetensi komunikasi dibuktikan dengan
ia juga mempunyai teman-teman dekat dari mahasiswa pribumi. Kegiatan untuk bertukar fikiran ketika belajar di kampus, di jadikannya untuk berkomunikasi dengan mahasiswa
pribumi, dalam hal bergaul di dalam maupun di luar kampus juga dijadikannya untuk memaju kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi.
Perbedaan dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi juga dirasakan olehnya. Perbedaan dalam hal logat bahasa menjadi masalah dalam komunikasi mereka.
Memang ia mengatakan bahwa itu bukanlah masalah yang berat dalam komunikasi mereka dengan mahasiswa pribumi.
Berteman dengan mahasiswa pribumi, tentunya juga membuat Susanto mempunyai kriteria terhadap mahasiswa pribumi yang nyaman untuk diajak
berkomunikasi. Susanto mengatakan yang apa adanya dan tidak ditutup-tutupi menjadi kriteria yang ia inginkan dari teman mahasiswa pribumi.
Universitas Sumatera Utara
Ketika sedang berkomunikasi, Susanto juga pernah merasakan kekesalan terhadap teman-teman pribuminya, biasanya dalam hal tugas kampus, tetapi itu hanyalah
kekesalan sesaat, karena Susanto yakin bahwa sebenarnya mereka itu tidak seperti itu. “Sering, karena mereka bandel. Tapi sebenarnya rajin sih. Kadang
dibilang ini, di kerjain yang itu. Biasanya dalam tugas kampus.”
85
Kekesalannya tersebut lantas tidak menjadikan dirinya etnosentris, karena ia menganggap bahwa hal seperti itu biasa, tidak semuanya dalam pergaulan semuanya
harus sama, karena belum tentu kita lebih baik daripada orang lain karena masing-masing orang ada kelebihannya dan kekurangannya, begitu penuturan dari dirinya.
Dalam kondisi seperti ini, Susanto lebih memilih untuk lebih intensif dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi supaya lebih efektif, dan tentunya dengan
saling membantu satu sama lain, karena ia menganggap komunikasinya selama ini seimbang antara teman mahasiswa pribumi dengan teman-teman seetnis yang ada di
kampusnya. Susanto terlihat sejauh ini belum mempunyai ketertarikan khusus terhadap budaya
dari mahasiswa pribumi, sehingga tidak ada evaluasi positif perihal budaya etnis Tionghoa dan mahasiswa pribumi yang ia lakukan.
Kesimpulan Kasus:
Kesimpulan yang dapat diambil dari informan ini adalah sebagai berikut: Susanto mempunyai ketertarikan dalam berkomunikasi dengan mahasiswa
pribumi, meskipun pada kenyataannya Susanto yang merasa bahwa dirinya mempunyai
85
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Susanto Salim, Medan, 25 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
interaksi kompetensi komunikasi yang seimbang antara teman se-etnis dengan teman mahasisa pribumi.
Susanto sudah mempunyai motivasi untuk berkomunikasi, dan hal tersebut menunjukkan kebutuhannya untuk mengurangi sikap etnosentrisme akan etnis. Ia juga
mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara mengumpulkan informasi tentang mahasiswa pribumi, serta ia juga tahu perbedaan kelompok dan kesamaannya.
Pengetahuan terhadap adaptasi antarbudaya dan pengembangan relasi menunjukkan kemampuan mereka dalam berkompetensi komunikasi dengan baik serta mampu
mengebangkan relasi antar etnis dan mampu bertoleansi terhadap sifat ambiguitas dan menghilangkan kecemasan karena perbedaan warna kulit.
Umumnya, Susanto menggunakan identitas etnisnya sebagai motivasi untuk membuka jaringan komunikasi. Artinya identitas etnis dipahami sebagai alat yang
berguna untuk membantunya mengenal siapa dirinya dan mendorong dirinya untuk mau berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Hal inilah yang terjadi pada
dirinya, meskipun ia akan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya sebagai etnis Tionghoa sebagai pendorong bukan penghambat dalam komunikasi.
Dalam hal ini, tataran kompetensi komunikasi yang ada pada Susanto adalah unconscious competence yaitu kemampuannya dalam mengembangkan kecakapan
komunikasinya dengan mahasiswa pribumi, tentunya dengan mempertahankan identitas etnis yang sudah ada dalam dirinya.
Universitas Sumatera Utara
INFORMAN 8 PUTRA JAYA MIN ZONG
Kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi ditunjukkannya dengan baik. Putra menambahkan, misalnya sebelum mengenal teman-teman pribumi yang
cowok, ia melihat tampang mereka yang seram sebagai sosok menakutkan seperti preman, tetapi setelah mengenal lebih dekat lagi Putra baru mengenal bagaimana pribadi
mereka yang sebenarnya. Perbedaan dalam hal logat bahasa menjadi masalah dalam komunikasi mereka. Ia mengatakan bahwa ini bukanlah masalah yang berat dalam
komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. “Terkadang ada satu bahasa Hokkien yang tidak dapat di jelaskan
dalam satu kata di bahasa Indonesia, dan terkadang logat daerah yang mahasiswa pribumi gunakan juga dapat membingungkan”.
86
Tentunya semua itu dapat di atasi dengan memahami kekurangan-kekurangan tersebut.
Putra mempunyai kriteria terhadap mahasiswa pribumi yang nyaman untuk diajak berkomunikasi. Putra mengatakan bahwa ia menginginkan teman pribumi yang terbuka
dan tidak rasis dan tentunya dengan pribadi yang dapat menghargai orang lain. Karena dengan kriteria itu mereka tentunya akan nyaman dalam berkomunikasi.
Putra mengungkapkan bahwa mahasiswa pribumi suka menunda-nunda yang seharusnya harus segera dilaksanakan. Tetapi Putra juga tidak menjadikan masalah
tersebut menjadi dirinya yang etnosentris, karena menurutnya itu bukanlah masalah yang besar, hanya masalah ego individu saja. Putra hanya berusaha untuk berpikir positif dan
86
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 25 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
melihat kelebihan mereka serta memberikan masukan jika waktunya sudah tepat. Intinya saling menghargai perasaan satu sama lain.
Putra pernah mempunyai ketertarikan terhadap budaya dari mahasiswa pribumi yang ia sadari bahwa itu tidak ia dapatkan dari lingkungan keluarganya.
“Pernah, Saya suka cara mereka mendidik anak dalam keluarga. Lebih banyak keterbukaan antara orang tua dan anak. Tidak seperti di keluarga
etnis Tionghoa yang menganut paham orang tua paling berkuasa benar dan berkuasa.”
87
Evalusi terhadap ketertarikannya tersebut tidak pernah ia lakukan. Putra hanya mengaguminya saja, tetapi tidak pernah melakukan evaluasi perihal ketertarikannya
tersebut. Evaluasi perihal etnis sendiri juga tidak pernah ia lakukan sendiri. “Saya tidak pernah mengevaluasi. Paling juga dijadikan topik
pembicaraan dengan teman-teman saja. Kadang ada sisi positif dan negatif dari kedua budaya atau etnis.”
88
Kesimpulan Kasus: Putra mempunyai ketertarikan dalam berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi,
meskipun pada kenyataannya, Putra memang lebih memiliki intensitas pergaulan yang lebih dengan teman seetnis. Putra sudah mempunyai motivasi untuk berkomunikasi, dan
hal tersebut menunjukkan kebutuhannya untuk mengurangi sikap etnosentrisme akan etnis. Ia juga mempunyai pengetahuan tentang bagaimana cara mengumpulkan informasi
tentang mahasiswa pribumi, serta ia juga tahu perbedaan kelompok dan kesamaannya. Pengetahuan terhadap adaptasi antarbudaya dan pengembangan relasi menunjukkan
kemampuannya dalam berkompetensi komunikasi dengan baik serta mampu
87
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 25 April 2011.
88
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Putra Jaya, Medan, 25 April 2011.
Universitas Sumatera Utara
mengebangkan relasi antar etnis dan mampu bertoleansi terhadap sifat ambiguitas dan menghilangkan kecemasan karena perbedaan warna kulit.
Putra menggunakan identitas etnisnya sebagai motivasi untuk membuka jaringan komunikasi. Artinya identitas etnis dipahami sebagai alat yang berguna untuk membantu
ia mengenal siapa dirinya dan mendorong dirinya untuk mau berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Hal inilah yang terjadi padanya, meskipun ia akan tetap
mempertahankan nilai-nilai yang sudah ada pada dirinya sebagai etnis Tionghoa sebagai pendorong bukan penghambat dalam komunikasi.
Putra berada dalam tataran, conscious competence yaitu mampu mengembangkan kecakapan komunikasinya dengan mahasiswa pribumi, meskipun ia tidak mampu
mengenali identitas etnisnya sendiri, tetapi ia juga mampu berkompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi, dan berteman baik dengan banyak mahasiswa pribumi,
meskipun menurutnya intensitas pertemanannya memang lebih banyak dengan teman se- etnis.
INFORMAN 9 ADI SURYA CIN AN
Pergaulannya dikampus juga lebih kepada mahasiswa-mahasiswa pribumi. Jadi, ketika ditanya apakah ia sering bergaul dengan mahasiswa pribumi, jawabannya,
“sering”. Sejak kecil ia sudah berteman dengan orang-orang pribumi, jadi ia sudah menemukan kecocokan dengan mereka. Pergaulan yang ia lakukan bukan hanya dalam
konteks belajar di dalam kampus saja, tetapi pergaulan di luar kampus juga. Waktu yang mereka habiskan untuk berkomunikasi pun relatif.
Universitas Sumatera Utara
“Kalau waktu sih, yaaa kadang sebentar aja, dan kadang juga lama, apalagi kalau lagi nunggu mata kuliah yang memang jarak jam kelasnya
lama kali. Jadi sering ngobrol-ngobrol lah disitu.”
89
Perbedaan dalam berkomunikasi juga tidak dirasakan oleh Adi. Karena faktor kebiasaan berteman sudah dari kecil, jadi Adi tidak merasakan adanya perbedaan yang
begitu menonjol yang ia rasakan. Paling hanya perbedaan bahasa, dan bahasa itu selalu digunakannya pada tempatnya, tidak untuk berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi.
Jadi jika dapt disimpulkan, Adi memang lebih banyak berinteraksi dengan teman- teman pribumi di lingkungan kampusnya. Teman-teman yang ia punya pun juga
kebanyakan dari mahasiswa-mahasiswa pribumi. Mahasiswa pribumi yang ramah, dapat di ajak bercanda dan tidak sombong merupakan kriteria teman-teman pribumi yang ia
senangi. Tetapi tidak menutup kemungkinan ia untuk berteman dengan tipe-tipe mahasiswa pribumi lainnya.
Sebelum kenal dengan mahasiswa pribumi yang ada di kampusnya, ia tidak pernan menimbulkan suatu interpretasi terhadap mereka.
“Nggak pernah ada seperti itu, paling kenalan dulu ya anggap aja kayak teman baru.”
90
Adi juga mempunyai ketertarikan terhadap budaya dari mahasiswa pribumi, tetapi belum mengetahui secara pasti budaya apa yang sedang ia minati tersebut. Masalah
evaluasi perihal ketertarikannya tersebut, Adi mengaku juga sering memperhatikan dan menghormati teman-temannya yang sedang sholat maupun yang sedang berpuasa, dan
89
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011.
90
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
evaluasi yang ia lakukan hanya sebatas itu saja, sedangkan untuk evaluasi etnis sendiri, Adi belum terfikirkan untuk melakukan suatu evaluasi, katanya, “Jalani aja hidup ini”.
91
Karena tidak adanya penilaian dan kedekatan yang sudah cukup lama dengan mahasiswa pribumi, menjadikan komunikasinya dengan mahasiswa-mahasiswa pribumi
tidak pernah ada hambatan. Tetapi dalam kompetensi komunikasinya dengan mahasiswa pribumi, bagaimanapun Adi akan tetap mempertahankan identitas etnis Tionghoanya.
“Tentu. Nilai apapun yang ada pada diri saya, harus tetap saya pertahanin. Sebagai etnis apapun saya. Ehhmm.. saya sih jadi diri saya
sendiri aja.”
92
Kesimpulan Kasus:
Adi mampu berkompetensi komunikasi dengan baik dengan mahasiswa pribumi. Komunikasi yang ia lakukan pun bukan hanya dalam batas belajar di lingkungan kampus
saja, tetapi juga dalam pergaulan sampai di luar kampus. Motivasi sebagai komponen utama dalam kompetensi komunikasi, sudah bisa
dipastikan Adi ada pada dirinya. Tidak diperlukannya lagi suatu pemahaman mengenai apa yang bisa membantunya dalam komunikasi dengan mahasiswa pribumi, karena sudah
di dapatnya sejak ia masih kecil. Jadi, tataran kompetensi komunikasi yang ada pada Adi berada pada tataran
unconscious competence yaitu seseorang yang telah mengembangkan kecakapan komunikasinya. Dalam hal ini Adi telah mempunyai modal yang besar dalam
berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, dan ia selalu berusaha untuk mengembangkan kecakapan komunikasinya untuk menjadikan kompetensi komunikasi
91
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011.
92
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Adi Surya, Medan, 4 Mei 2011.
Universitas Sumatera Utara
yang jauh lebih efektif lagi. Meskipun pada dasarnya ia telah menyadari kecakapan komunikasinya yang sudah baik dibandingkan teman se-etnis lainnya.
INFORMAN 10 MELIANA LIE CHIN
Menjadi etnis Tionghoa, lantas tidak membuat Meliana tidak ingin bergaul dengan mahasiswa pribumi. Ini dibuktikan dengan ia mempunyai teman-teman dekat dari
mahasiswa pribumi, diantaranya Shasya, Yohana, Judith, Natahalia, Gabryella. Kelima mahasiswa pribumi yang ia anggap adalah teman dekat ini, sudah ia anggap sebagai
saudara sendiri. Kegiatan yang sering mereka lakukan bersama pun beraneka ragam seperti belajar, bersenda gurau, dan jalan-jalan di luar kegiatan kampus. Ini juga
membuktikan bahwa dirinya sering melakukan kompetensi komunikasi dengan mahasiswa pribumi. Di lingkungan kampus sendiri, Meliana mengaku sering
berkomunikasi dengan teman-teman pribumi lainnya selain dari teman-teman dekatnya tersebut. Hal itu dikatakannya karena ia orang yang senang untuk bergaul dan ia tidak
bisa hidup tanpa berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Tidak pernah ada pandangan tehadap mahasiswa pribumi yang ia lakukan. Ia
menganggap mahasiswa pribumi itu sama saja dengan teman-teman se-etnis yang ia punya. Meliana juga mempunyai tipe-tipe mahasiswa pribumi yang memang nyambung
untuk dijadikan teman bicara. “Yang gila. Dalam arti suka bercanda dan orangnya terbuka.”
93
Jadi, jika dapat disimpulkan, Meliana memang lebih sering melakukan komunikasi dengan teman-teman pribuminya dibanding dengan teman-teman se-etnis.
93
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 9 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
Hal ini dikatakannya karena ia terlebih dahulu mendapat kecocokan dengan teman-teman mahasiswa pribuminya ketika awal masuk ke Departemen Teknik Arsitektur dibanding
teman-teman se-etnis. Berteman dengan yang berbeda budaya tentunya akan mendapatkan suatu
perbedaan juga. Meliana merasakan adanya perbedaan dalam konteks bahasa. Memang menurutnya itu bukanlah masalah yang besar, karena ia mampu mengkondisikan dimana
dan kapan ia dapat berbahasa hokkien, begitu pula dengan teman-teman pribuminya yang juga mempunyai bahasa-bahasa daerah.
“Hanya dalam konteks bahasa. Karena terkadang kami sesama Tionghoa berbahasa Hokkian dan mereka juga ada yang berbahasa
daerah.”
94
Selama berteman dengan teman pribuminya, Meliana tidak pernah membuat suatu
penilaian perihal siapa yang etnis Tionghoa dan siapa yang pribumi. Ini dikarenakan ia telah merasakan kenyamanan dengan teman-teman pribuminya tersebut.
Dalam berkomunikasi tentu pernah ada kesalahpahaman dalam kata-kata yang Meliana rasakan dengan teman pribuminya.
“Biasa sih dalam hal bahasa, ketika saya berkata ini ada beberapa yang nggak ngerti begitu juga sebaliknya.”
95
Menurutnya itu merupakan hal yang biasa dan menjadi variasi dalam pergaulannya dengan teman-teman pribuminya tersebut. Akan tetapi, dalam kompetensi
komunikasinya dengan mahasiswa pribumi, ia akan tetap mempertahankan nilai-nilai etnis Tionghoa yang ada pada dirinya, tanpa mengindahkan nilai-nilai budaya dari
mahasiswa pribumi.
94
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 9 Mei 2011
95
Rifal Aswar Tanjung, Wawancara dengan Meliana, Medan, 9 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
Meliana juga mempunyai ketertarikan akan budaya mahasiswa pribumi, yaitu tarian daerah. Tetapi ketertarikannya tersebut tidak ia barengi dengan adanya suatu
evaluasi terhadap budaya tersebut maupun budaya dari etnisnya sendiri. Ia hanya sebatas mengagumi saja.
Kesimpulan Kasus:
Dalam kompetensi komunikasi dengan out-group nya, Meliana lebih memiliki interaksi kompetensi komunikasi yang lebih besar dengan out-group nya yang ada di
lingkungan kampus Departemen Teknik Arsitektur. Dalam hal ini, kompetensi komunikasi yang dimiliki oleh Meliana berada pada
tataran unconscious competence yaitu kemampuannya dalam mengembangkan kecakapan komunikasinya, dan ia mempunyai motivasi dan kecakapan komunikasi yang baik
dengan mahasiswa pribumi sehingga ia mendapatkan suatu pengetahuan yang baru dari kompetensi komunikasinya.
INFORMAN 11 ANTON HALIM LIM SEN TONG
Sama seperti Meliana, Anton juga hampir mempunyai pandangan yang sama terhadap mahasiswa pribumi. Anton melihat teman bukan berdasarkan etnisnya
melainkan berdasarkan sikap perorangnya, karena menurutnya tidak etis membandingkan teman berdasarkan etnis ataupun agama.
Berdasarkan pernyataan Anton tersebut, dapat disimpulkan bahwa dirinya juga sering berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi. Anton mengatakan bahwa dirinya juga
Universitas Sumatera Utara
mempunyai teman-teman dekat dari mahasiswa pribumi, tetapi ia tidak dapat mengatakan secara pasti berapa banyak teman dekat mahasiswa pribumi yang ia punya. Kedekatannya
dengan mahasiswa pribumi dikatakannya hanya dalam konteks belajar dan pergaulan di dalam kampus saja, karena menurutnya dalam pergaulan di luar kampus, ia lebih sering
bergaul dengan teman-teman SMA nya. Perbedaan dalam hal berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, Anton juga tidak
dapat mengungkapkannya. Ia merasa tidak ada perbedaan yang ia temukan dalam komunikasinya dengan mahasiswa pribumi. Jika dapat disimpulkan, dalam konteks ini
Anton memang lebih sering berinteraksi dengan teman-teman seetnisnya, baik itu dalam pelajaran maupun dalam konteks pergaulan.
Pada saat berkomunikasi dengan mahasiswa pribumi, Anton tidak pernah membuat penilaian perihal siapa yang Tionghoa dan siapa yang pribumi. Ia hanya
melakukan pembedaan dalam konteks berbahasa saja antara berbicara dengan pribumi dan berbicara dengan teman se-etnis.
Anton mempunyai ketertarikan terhadap salah satu kebudayaan dari mahasiswa pribumi yaitu batik. Meskipun ia sadar bahwa batik itu milik Indonesia dan etnisnya
adalah bagian dari Negara Indonesia, tetapi ia lebih menfokuskan batik sebagai milik dari orang pribumi. Evaluasi yang ia lakukan hanya sebatas ikut mengenakan batik pada hari-
hari tertentu, tidak sampai pada evaluasi yang mendalam. Begitu pula terhadap evaluasi terhadap kebudayaan etnis sendiri. Anton tidak pernah melakukan evaluasi untuk
etnisnya, yang ia tahu bahwa antara etnisnya dengan pribumi harus saling mengormati supaya tercipta kompetensi komunikasi yang lebih efektif.
Universitas Sumatera Utara
Kesimpulan Kasus:
Dalam kompetensi komunikasi dengan out-group nya, Anton memiliki interaksi kompetensi komunikasi yang lebih besar dengan in-groupnya, tetapi ia juga melakukan
kompetensi komunikasi yang cukup efektif dengan out-group nya yang ada di lingkungan kampus Departemen Teknik Arsitektur.
Untuk Anton sendiri juga berada pada tataran unconscious competence , ini dikarenakan faktor karena ia mampu berkomunikasi dengan baik dengan out-group nya
meskipun interaksinya lebih banyak kepada in-group nya. Tetapi ia juga tidak mempunyai kelemahan ataupun keraguan dalam komunikasinya dengan out-group nya.
IV.3.2 Kesimpulan Kompetensi Komunikasi Informan Penelitian