Latar Belakang Permasalahan PENDAHULUAN

untuk menguasai suatu hal atau hanya memperoleh suatu pengakuan dari masyarakat banyak. Prestasi belajar merupakan salah satu tolak ukur seseorang dalam mencapai kesuksesan belajar. Seharusnya, siswa yang memiliki kecerdasan normal atau di atas normal bisa mencapai prestasi yang tinggi dalam belajar apabila tidak ada hambatan dalam mempelajari dan memahami apa yang disampaikan guru. Berbagai sumber belajar juga dapat dicari untuk menambah khazanah keilmuan. Siswa-siswa tersebut dapat menjadi generasi yang dibekali dengan prestasi-prestasi cemerlang untuk menghadapi masa depannya. Mereka juga akan memiliki rasa puas terhadap apa yang telah dicapainya. Hal ini dapat menjadi pemicu untuk terus meningkatkan prestasi dan menjadi manusia yang berkualitas. Bila ditelusuri lebih jauh, dapat diketahui bahwa berprestasi atau tidaknya siswa dalam belajar sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu secara intern maupun ekstern. Faktor-faktor tersebut yang akan menjadi teropong bagi guru dan orang tua untuk memprediksikan prestasi yang mungkin diraih dikemudian hari. Hal-hal yang berpengaruh tersebut dapat menjadi pemicu prestasi belajar seseorang. Dengan adanya perbedaan faktor penguat dalam belajar, menimbulkan adanya perbedaan dalam memandang belajar itu sendiri. Dengan demikian, sikap dan persepsi terhadap belajar untuk menjadi seseorang yang berprestasi akan berbeda pula. Diantara faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah goal orientation. Goal orientation merupakan fokus tujuan yang dimiliki dalam 2 mencapai hasil akhir dalam belajar, apakah siswa menginginkan penguasaan suatu materi dari bahan ajaran yang telah ditetapkan untuk meningkatkan kemampuannya mastery atau hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai yang memuaskan serta mendapat pengakuan dari orang lain performance. Siswa yang memiliki tujuan untuk menguasai suatu materi akan cenderung untuk memperkaya keilmuannya dengan mencari sumber lain dan tidak hanya terpaku pada apa yang disediakan oleh guru saja. Siswa tidak segan-segan untuk menghabiskan waktu dan tenaga untuk memenuhi keinginannya dalam menguasai materi tersebut. Sebaliknya, siswa yang berorientasi pada pencapaian nilai yang memuaskan akan merasa puas dengan apa yang telah disediakan oleh guru, namun bukan berarti siswa tidak akan melakukan usaha tambahan di luar sekolah, mereka akan mencari materi tambahan di luar bila menganggap materi yang telah diberikan oleh guru di sekolah kurang membuatnya terakui dan dapat nilai yang memuaskan. Perbedaan goal orientation yang mereka miliki dapat menimbulkan prestasi belajar yang berbeda pula. Siswa dengan mastery orientation akan berhenti belajar bila telah merasa menguasai materi tersebut dengan baik, sedangkan siswa dengan performance orientation akan berhenti belajar bila merasa nilainya sudah baik. Dengan demikian, prestasi yang diperolehpun berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa dengan tujuan pada nilai performance tidak selalu memiliki prestasi belajar yang lebih rendah, namun lebih baik lagi apabila kedua jenis goal orientation tersebut dimiliki oleh semua 3 siswa. Dalam penelitiannya, Roebken 2007: 695 menyatakan bahwa siswa yang memiliki kedua bentuk goal orientation, yaitu mastery dan performance memiliki tingkat prestasi akademik yang lebih tinggi dari siswa yang hanya memiliki mastery orientation saja. Berbeda dengan penelitian Mattern 2005: 30 yang menunjukkan bahwa siswa dengan mastery goal orientation memiliki level prestasi belajar yang lebih tinggi dari pada siswa dengan performance goal orientation. Siswa yang mengejar mastery goal lebih cenderung mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi kepercayaan pada kemampuan diri untuk berhasil dalam situasi tertentu daripada orang-orang yang mengejar performance goal. Sedangkan penelitian Harackiewicz dan Elliot dan koleganya menunjukkan bahwa siswa dengan performance goals menunjukkan kinerja dan prestasi yang lebih baik. Siswa tersebut berorientasi untuk bekerja lebih baik dari yang lain dan menunjukkan kemampuan dan kompetensi diri. Sedangkan siswa dengan mastery goals lebih menunjukkan ketertarikan tugas Pintrich, 2000: 544. Selain goal orientation, faktor internal lain yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah self-efficacy. Menurut Bandura 1986 Self-efficacy adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan suatu tindakan yang diinginkan untuk meraih suatu kinerja yang direncanakan dalam Suprayogi, 2007: 314. Siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi, akan cenderung memiliki prestasi belajar yang tinggi pula, begitu 4 pula sebaliknya, siswa yang memiliki self-efficacy yang rendah akan cenderung memiliki prestasi belajar yang rendah pula. Siswa dengan self-efficacy yang tinggi akan meningkatkan kinerjanya. Konsentrasinya akan lebih terpusat pada bagaimana ia menghadapi tugas-tugas yang diberikan agar dapat diselesaikan dengan baik. Sedangkan yang memiliki self-efficacy yang rendah akan lebih memikirkan bahwa tugas itu sulit, ketidakmampuannya dalam menyelesaikan tugas tersebut, atau rintangan-rintangan berat yang akan ditempuhnya selama mengerjakan tugas yang dibebankan kepadanya. Lambat laun pikiran-pikiran tersebut akan membuat kinerjanya lemah dan menurunkan prestasi yang dapat diraihnya. Secara ideal, siswa yang berangkat ke sekolah memiliki tujuan untuk mencapai prestasi belajar yang memuaskan untuk dirinya, keluarga, maupun untuk sekolah itu sendiri. Disana siswa memerlukan self-efficacy untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi tugas-tugas dalam belajar, maupun tugas- tugas perkembangannya yang sedang dihadapi. Self-efficacy yang dimiliki seseorang dapat mempengaruhi cara berpikir dan memahami serta memotivasi belajar dan menghadapi tantangan dalam belajar. Dalam penelitian Pintrich dan Groot 1990 dikemukakan bahwa murid yang memiliki self-efficacy tinggi menggunakan strategi belajar dan kognitif yang bervariasi dalam Mutiah, 2006. Self-efficacy individu mengalami dinamika seiring dengan bertambahnya usia. Self-efficacy dapat mempengaruhi seseorang mencapai prestasi yang tinggi dalam belajar, dapat juga mempengaruhi kekuatan 5 seseorang dalam menghadapi tugas-tugas yang ada selama proses belajar. Self- efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang dilakukan dalam menghadapi tugas dan mencapai hasil yang maksimal. Dalam penelitian Yahrini dan Hawadi 2008 tentang bagaimana hubungan self-efficacy dengan kematangan karir menunjukkan adanya korelasi positif antara self-efficacy yang dimiliki siswa percepatan belajar dengan kematangan karirnya. Semakin tinggi total skor self-efficacy siswa, maka semakin tinggi pula skor kematangan karir yang dimiliki. Self-efficacy memberikan sumbangan sebesar 46.7 terhadap kematangan karir siswa. Dengan kata lain, siswa yang memiliki self-efficacy yang tinggi akan mampu memilih karir dengan baik, hal ini senada dengan pendapat Seligman dalam Yahrini dan Hawadi, 2008 yang mengatakan bahwa salah satu ciri kematangan karir seseorang adalah self- efficacy. Keyakinan individu bahwa dirinya dapat melaksanakan tugas yang dibebankan padanya, akan memberi sumbangan energi yang positif terhadap dirinya untuk melakukan tugas tersebut secara maksimal. Semakin tinggi self- efficacynya, maka semakin tinggi kekuatannya untuk mengerjakan tugas. Begitu pula dengan hasilnya akan menunjukkan ke arah yang lebih baik. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mutiah 2006 tentang hubungan self-efficacy dengan prestasi belajar menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-efficacy dengan prestasi belajar. Mahasiswa dengan self-efficacy yang tinggi akan senantiasa berusaha untuk mencapai prestasi yang diinginkan walaupun harus melalui berbagai pengorbanan, seperti belajar sepanjang waktu, 6 menghabiskan waktu di internet untuk membaca buku yang relevan, maupun mengakses internet untuk membuka situs yang sesuai dengan apa yang sedang dicari. Namun pada kenyataannya, tidak semua siswa memiliki tingkat self- efficacy yang sama sehingga berbeda pula kemampuan siswa dalam menghadapi tugas-tugas. Hal ini disebabkan karena pengalaman-pengalaman siswa yang berbeda, kondisi emosi yang berbeda dan kondisi lingkungan dan pergaulan yang berbeda pula. Lingkungan siswa yang berbeda-beda menyebabkan pergaulan dan orang-orang yang ditemui juga berbeda-beda, hal ini dapat menimbulkan pengalaman yang juga berbeda antara masing-masing siswa. Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, peneliti ingin meneliti kembali goal orientation dan self-efficacy dalam hubungannya dengan prestasi belajar. Dalam penelitian ini peneliti ingin meneliti santri di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut yang merupakan salah satu pesantren dengam konsep modern. Muatan pelajaran agama dan pelajaran umumnya memiliki porsi waktu yang sama. Siswanya biasa disebut dengan santri. Selayaknya sebuah pesantren, Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut ini juga memiliki asrama untuk santrinya yang dikelola di bawah lembaga yang sama dengan sekolah. Di asrama, para santri juga memiliki kegiatan-kegiatan pengembangan diri dan keilmuan lainnya dengan konsep berbeda dari kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Hal yang menarik dari pesantren ini adalah tidak semua santri diwajibkan untuk tinggal di asrama. Asrama disediakan bagi santri yang jauh dari keluarganya. Sedangkan bagi santri yang memungkinkan untuk tinggal bersama 7 keluarganya, diperbolehkan untuk tidak tinggal di asrama. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan berbedanya pengalaman yang dialami di luar jam pelajaran sekolah. Bagi santri yang tinggal di asrama, setelah selesai dari kegiatan sekolah, mereka kembali ke asrama dan mengikuti kegiatan yang ada di asrama. Santri tidak diperbolehkan untuk keluar wilayah asrama kecuali pada waktu-waktu tertentu saja. Dengan demikian, pengalaman yang mereka dapatkan terbatas pada apa yang didapatkan dilingkungan asrama saja. Sedangkan bagi santri yang tinggal di luar asrama, mereka mempunyai kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lebih banyak. Baik kegiatan untuk mendukung akademis, kegiatan organisasi, atau kegiatan lainnya yang mereka sukai. Tergantung dari pilihan yang diinginkan. Kondisi ini dapat memungkinkan santri memiliki goal orientation yang berbeda-beda. Pendidikan pesantren sebenarnya lebih diarahkan kepada pembelajaran secara mastery. Artinya santri lebih diharapkan untuk dapat menguasai materi yang diberikan, tidak menjadikan nilai sebagai tolak ukur keberhasilan, dan berusaha untuk mendapat pengetahuan sebanyak-banyaknya. Namun pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada santri yang berorientasi pada nilai. Dengan pendidikan keagamaan kuat, santri juga diajarkan untuk memiliki kepercayaan bahwa mereka mampu mengembangkan potensi dan kemampuan yang diberi Allah SWT. Santri diyakinkan untuk dapat menggunakan kemampuan yang ada sebaik-baiknya agar mampu menjadi insan utama dihadapan Allah SWT. Dengan pendidikan seperti ini, santri telah dididik untuk mengembangkan self-efficacy yang dimiliki santri. 8 Pendidikan yang diterapkan di lingkungan pesantren sangat menarik untuk diteliti. Selama ini, kebanyakan penelitian dilakukan di sekolah umum seperti SMA atau SMP. Masih sedikit penelitian yang dilakukan di lingkungan pesantren, padahal, pendidikan yang diterapkan di lingkungan pesantren memiliki karakteristik yang menarik. Pola pendidikan yang diterapkan membuat lingkungan dan budaya pendidikan yang tercipta berbeda. Pesantren yang menerapkan sistem pendidikan untuk mencari keridhoan Allah dan berlomba-lomba menjadi insan utama dapat memacu santri agar memiliki mastery goal orientation dan self-efficacy yang tinggi. Lingkungan seperti ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam apabila dikaitkan dengan goal orientation dan self-efficacy yang dimiliki oleh santri dalam mencapai prestasi belajar. Karena itu peneliti merasa sangat perlu untuk melakukan penelitian lanjutan tentang Goal Orientation, Self-Efficacy, dan Prestasi Belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong, Garut 1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1. Pembatasan masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah: a. Goal orientation yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orientasi tujuan yang dimiliki santri Pesantren dalam belajar yang terdiri dari mastery goal dan performance goal yang diungkapkan melalui skala goal orientation. 9 b. Self-efficacy yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keyakinan santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut terhadap kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan yang diinginkan untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan yang diungkapkan melalui skor-skor dari alat ukur skala self- efficacy c. Prestasi belajar dalam penelitian ini adalah hasil belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut dalam usaha belajarnya yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang diungkapkan melalui skor-skor pada tes prestasi belajar yang diambil dari hasil raport terakhir. d. Penelitian ini dilakukan di Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut kelas XI dan XII tingkat Mualimin setingkat SMA.

1.2.2. Perumusan masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana klasifikasi goal orientation santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 2. Bagaimana tingkatan self-efficacy santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 3. Bagaimana tingkatan prestasi belajar santri Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut? 10