Dimensi-dimensi goal orientation Goal Orientation

luar ego dan task-involved goals, yang mereka namakan work avoidance and academic alienation Pintrich Schunk, 2008: 186. Tokoh-tokoh yang berbicara tentang goal orientation mengemukan dimensi-dimensi yang berbeda. Meskipun dimensi yang dikemukakan berbeda-beda, namun inti dari setiap dimensi tersebut hampir sama, yaitu orientasi pada penguasaan dan orientasi terhadap kinerja. Tokoh-tokoh yang mengemukakan teori goal orientation diantaranya Pintrich Schunk, 2008: 185 : • Dweck, dimensi yang dikemukakan adalah learning goal dan performance goal • Ames, dimensi yang dikemukakan adalah mastery goal dan performance goal • Midgley dan Colleagues, dimensi yang dikemukakan adalah task-focused, performance approach, dan performance avoid • Nicholls, dimensi yang dikemukakan adalah task orientation dan ego orientation Berdasarkan beberapa istilah goals yang telah dikemukakan yang hampir sama maksudnya dalam penelitian ini, peneliti mengambil dimensi dari grand theory yang dikemukakan oleh Ames yang menyatakan bahwa goal orientation memiliki dua dimensi, yaitu mastery goals dan performance goals. 1 Mastery goals Orientasi Penguasaan Mastery goal orientation didefinisikan sebagai fokus pada pembelajaran, menguasai tugas sesuai dengan aturan standar diri atau peningkatan diri, 35 mengembangkan keterampilan baru, meningkatkan atau mengembangkan kompetensi, berusaha untuk mencapai sesuatu yang menantang, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman atau wawasan. Mastery atau performance goals umumnya diukur dengan instrumen laporan diri yang meminta siswa untuk menilai dalam skala tipe Likert berapa banyak mereka setuju dan tidak setuju dengan deskripsi tertentu. Terlihat jelas dari tabel yang telah dikemukakan di atas bahwa ada sedikit tumpang tindih, paling tidak dalam hal pengukuran, istilah yang berbeda antara mastery, learning, dan task orientation Pintrich Shcunk, 2008: 184. Menurut Ames dalam Arias, 2004, hal ini disebut sebagai task goal atau mastery goal. Pintrich dalam Arias, 2004 mengatakan bahwa jenis ini mengarahkan tujuan siswa ke arah pendekatan pembelajaran yang ditandai oleh kepuasan atas penguasaan atau penyelesaian tugas, dengan tingkat keberhasilan yang lebih besar, nilai tugas, emosi positif, upaya positif, ketekunan yang lebih besar, penggunaan kognitif dan strategi lebih besar, dan berkelakuan baik. Dweck dalam Arias, 2004 mengatakan bahwa mastery goal memungkinkan individu mencari peluang untuk meningkatkan kompetensi dan menguasai tantangan baru. Siswa yang mengejar mastery goal memperhatikan pengembangan kemampuan mereka dari waktu ke waktu dan memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk menguasai suatu tugas tertentu. Ketika individu dengan mastery goal mengalami kegagalan, mereka menafsirkan peristiwa tersebut sebagai kurangnya 36 upaya atau strategi yang tidak efektif dalam menyediakan informasi mengenai upaya mereka dalam situasi tertentu dan atribut kegagalan. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa mereka yang mengejar mastery goal lebih cenderung mencari tantangan, menggunakan strategi pembelajaran efektif yang lebih tinggi, termasuk strategi metakognitif, pelaporan dan sikap terhadap sekolah yang lebih positif, dan memiliki tingkat self-efficacy yang lebih tinggi kepercayaan pada kemampuan seseorang untuk berhasil dalam situasi tertentu daripada orang-orang yang mengejar performance goal Mattern, 2005. Individu dengan mastery goal fokus pada pengembangan kemampuan yang baru, berusaha untuk memahami tugas mereka dengan baik, sukses dalam mencapai standar self-referenced Ford, Smith, Weissbein, Gully, Salas, 1998: 222. Siswa yang memiliki mastery goal lebih memfokuskan diri pada belajar dan penguasaan dari isi materi atau tugas Pintrich, 2000. Anak dengan mastery orientation akan fokus pada tugas ketimbang pada kemampuan mereka, punya sikap positif menikmati tantangan, dan menciptakan strategi berorientasi solusi yang meningkatkan kinerja mereka. Siswa dengan mastery orientation sering kali menyuruh diri mereka sendiri untuk memperhatikan, berpikir cermat, dan mengingat strategi sukses dimasa lalu Anderman, Maehr, Midgley, 1996 dalam Santrock, 2007: 522. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Pintrich 2000 bahwa siswa dengan mastery goals lebih 37 tertarik pada tugas yang diberikan. Siswa dengan mastery orientation percaya bahwa kemampuan mereka bisa diubah dan ditingkatkan Santrock, 2007: 522. 2 Performance goals Kemampuan ini disebut kemampuan berfokus pada tujuan. Performance goal mengarahkan perhatian siswa ke arah kemampuan mereka, dan memperlihatkan kinerja mereka kepada orang lain, seperti fokus mereka pada task goal yang lebih baik daripada yang lain. Secara umum tujuan tersebut dipandang kurang adaptif, jenis motivasi yang berhubungan dengan mereka, efek emosional, kurang menggunakan strategi, dan perilaku yang lebih miskin Arias, 2004. Performance goal orientation difokuskan pada mendemonstrasikan kompetensi atau kemampuan dan bagaimana kemampuan akan relatif dinilai oleh orang lain. Misalnya, mencoba melampaui standar kinerja normatif, mencoba yang terbaik kepada orang lain, menggunakan standar perbandingan sosial, berjuang untuk menjadi yang terbaik dalam kelompok atau kelas pada tugas, menghindari penilaian akan rendahnya kemampuan atau terlihat bodoh, dan mencari pengakuan publik akan tingginya tingkat kinerja. Dalam beberapa ukuran performance goal, orientasi kemampuan relatif digunakan sebagai 38 pengganti dari performance goal atau ego orientation. Namun pengukuran-pengukuran tentang performance dan ego orientation juga tumpang tindih seperti yang dilakukan untuk mastery goals yang berbeda. Performance goal mendorong orang untuk mencari dan mempertahankan citra positif kemampuan mereka. Siswa mencapai tujuan ini dengan mengejar salah satu dari dua jenis performance goal. Awalnya performance goal sebagai keseluruhan dipandang sebagai maladaptive untuk belajar. Namun, baru-baru ini para peneliti telah mengemukakan bahwa hasil terkait dengan performance goal dikategorikan sebagai approach menunjukkan kemampuan yang berbeda dari hasil yang berkaitan dengan performance goal yang dikategorikan sebagai avoidance menghindari menunjukkan kurangnya kemampuan Mattern, 2005. Sebagai contoh, approach performance goal yang terkait dengan hasil yang lebih positif, seperti penggunaan strategi kognitif dan tentu saja pencapaian sementara approach performance goal yang terkait dengan hasil negatif seperti dangkalnya strategi pembelajaran, kinerja yang rendah, perilaku yang tidak baik, merusak motivasi intrinsik. Jika pendekatan performance goal sebenarnya membantu siswa memperoleh prestasi tinggi maka mungkin mengejar keduanya, mastery dan performance goal, secara simultan orientasi tujuan ganda adalah goal orientation yang paling adaptif untuk diadopsi oleh siswa Mattern, 2005. Peneliti melihat performance goal secara umum berkaitan dengan menghindari tantangan, tidak meminta bantuan, dan penggunaan strategi 39 pembelajaran yang dangkal. Namun, baru-baru ini para peneliti di bidang motivasi telah menemukan pendekatan menurut penelitian yang dilakukan oleh Archer, Pintrich, dan Garcia, performance goal berhubungan dengan nilai yang lebih tinggi dan tidak terkait dengan penggunaan strategi belajar yang dangkal, oleh karena itu, siswa dengan performance goal tidak boleh dianggap sebagai maladaptive Mattern, 2005. Penelitian harus lebih banyak dilakukan untuk menentukan bahwa approach performance goal sebenarnya dapat menguntungkan bagi semua siswa di semua situasi. Performance goal bisa memprediksi pencapaian nilai tinggi dengan lebih baik dari pada siswa dengan mastery goal. Selain itu, jika performance goal memprediksi pencapaian tujuan dan penguasaan hasil. Siswa lebih baik memiliki performance goal dan mastery goal orientasi tujuan ganda sekaligus dari pada hanya salah satu diantaranya Mattern, 2005. Penelitian telah menunjukkan bahwa orientasi tujuan ganda dapat mempromosikan belajar dengan hasil positif bagi siswa. Mastery goal membantu mempromosikan prestasi, sedangkan performance goal yang lebih tinggi bekerja untuk mempromosikan tingkat kinerja. Ketika mastery goal digabungkan dengan pendekatan performance goal siswa tidak hanya memiliki keinginan untuk meningkatkan kompetensi mereka, tetapi juga untuk menunjukkan kemampuan mereka, dengan demikian kinerja yang baik dalam situasi evaluatif Mattern, 2005. 40 Penelitian terbaru terhadap teori goals telah mengembangkan sebuah perbedaan penting dalam performance goals. Elliot, Harackiewicz, dan rekan-rekan mereka telah membedakan approach performance goals dengan avoidance performance goals. Pengaruh tersebut dapat memotivasi individu untuk mengungguli orang lain dan menunjukkan kompetensi dan keunggulan, yang mencerminkan approach performance goals. Sebaliknya, individu dapat dimotivasi untuk menghindari kegagalan dan tampak tidak kompeten dengan avoid performance goals Pintrich Schunk, 2008. Performance goals lebih memperhatikan hasil dari pada proses. Bagi siswa yang berorientasi kinerja atau prestasi, kemenangan atau keberhasilan itu penting dan kebahagiaan dianggap sebagai hasil dari kemenangan atau keberhasilan. Bagi siswa dengan mastery goals yang penting adalah mereka sudah berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya. Siswa dengan mastery goals tetap berharap berhasil atau menang, tetapi bagi mereka kemenangan itu tidak sepenting dengan apa yang dibayangkan oleh siswa dengan performance goals Santrock, 2007: 523. Siswa dengan performance goals yang tidak percaya pada kesuksesannya akan menghadapi problem tersendiri Stipek, 2002 dalam Santrock, 2007: 523. Jika mereka berusaha lalu gagal, mereka sering menganggap kegagalan itu sebagai bukti dari kemampuan yang rendah. Apabila mereka tidak mencoba, mereka dapat memberikan penjelasan 41 alternatif atas kegagalan mereka yang dapat diterima secara personal. Dilema ini membuat siswa melindungi diri mereka dari kesan tidak pandai, tetapi upaya ini akan mengganggu pembelajaran mereka dalam jangka panjang Covington, 1992 dalam Santrock, 2007: 523. Untuk menghindari kesan tidak mampu, beberapa murid tidak mau mencoba, atau menipu. Yang lainnya mungkin menggunakan strategi lain seperti menghindari, mencari-cari alasan, bekerja setengah hati, atau menentukan tujuan yang tidak realistis Santrock, 2007: 523.

2.3. Self-Efficacy

2.3.1 Pengertian self-efficacy

Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung pada resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif. Khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinan bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai self-efficacy Alwisol, 2004. Beberapa definisi self-efficacy menurut beberapa tokoh adalah: • Menurut Bandura, self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan suatu tindakan yang diinginkan untuk meraih suatu kinerja yang direncanakan Suprayogi, 2007. • Penilaian seseorang akan dirinya atau kemampuannya yang berkaitan dengan tindakannya Yahrini Hawadi, 2008 42 • Menurut Bandura dalam Lane, Lane, Kyprianou, 2004, self-efficacy dapat didefinisikan sebagai level-level kepercayaan diri yang dimiliki individu tentang kemampuan yang mereka miliki untuk menjalankan keyakinan dari usaha atau prestasi yang dihasilkan. Self-efficacy yang positif merupakan keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud. Tanpa self-efficacy orang bahkan enggan melakukan suatu perilaku. Menurut Bandura dalam Friedman Schustack, 2006, self-efficacy menentukan apakah kita akan menunjukkan perilaku tententu. Sekuat apa kita dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan dan kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita di masa depan. Konsep self-efficacy berbeda dengan locus of control karena self-efficacy adalah keyakinan bahwa kita mampu melakukan suatu perilaku dengan baik, sedangkan locus of control lebih pada keyakinan mengenai kemungkinan suatu perilaku tertentu mempengaruhi hasil akhir. Dalam hubungannya dengan proses belajar di sekolah, Thomas dan Rohwer dalam Suprayogi, 2007 mendefinisikan self-efficacy sebagai tingkat dimana siswa yakin bahwa mereka dapat mengontrol hasil belajar mereka. Menurut Bandura 1986 dalam Brown, 1998 Orang orang yang percaya bahwa mereka punya kemampuan untuk meraih kesuksesan sangat berpengaruh kuat terhadap proses self-regulation mereka. Orang- orang yang memiliki kepercayaan terhadap self-efficacy yang tinggi cenderung punya kemampuan untuk menyelesaikan tugas, dan mencapai tujuan mereka. Begitu 43