6. Unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama

Menurut pasal 156a KUHP unsur-unsur tindak pidana penodaan agama adalah sebagai berikut : 24 a. Barangsiapa; b. Di muka umum; c. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; d. Bersifat permusuhan dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 156a KUHP adalah sebagai berikut : 25 1. Unsur Subjektif a. Barangsiapa Menurut Sudarto, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan orang dan pada dasarnya yang melakukan tidak pidana adalah manusia. Rumusan tindak pidana dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata “Barangsiapa…., kata “barangsiapa” tidak diartikan lain lebih daripada orang. 26 Yang dimaksud “barangsiapa” oleh pembuat Undang-Undang adalah orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. b. Dengan Sengaja 24 Ibid., h. 92. 25 Sudarto, op.cit., h. 50. 26 Ibid. 31 Unsur kedua dari kesalahan dengan sengaja dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat pertanggung jawaban pidana. Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Apa yang diartikan dengan sengaja, KUHP tidak memberikan definisi. Pentunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T Memorie van Toelichting , yang mengartikan kesengajaan opzet sebagai menghendaki dan mengetahui willan en wettens. Jadi dapat diartikan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. 27 Dalam hal sesesorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 tiga corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu. Corak-corak kesengajaan adalah sebagai berikut : 28 1 Kesengajaan sebagai maksud Untuk mencapai suatu tujuan yang dekat Dolus directus. Corak kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat 27 Sudarto, Ibid., h. 19. 28 Ibid., h. 103. 32 yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. 2 Kesengajaan dengan sadar kepastian Dalam hal ini mempunyai 2 dua akibat, yaitu : 29 a. Akibat yang memang dituju si pembuat merupakan tindak pidana tersendiri atau tidak; b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam nomor 1 di atas. 3 Kesengajaan dengan sadar kemungkinan Dolus Eventualis atau Voorwaardelijk opzet Dalam hal ini pada waktu seseorang pelaku seseorang pelaku melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia mungkin mempunyai kesadaran tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat lain daripada akibat yang timbulnya memang ia kehendaki. Apabila adanya kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain itu tidak membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian ternyata bahwa akibat semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat terhadap seperti itu si pelaku dikatakan telah mempunyai suatu kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Dengan kata lain, pada waktu si pelaku melakukan perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia telah menyadari kemungkinan akan 29 Ibid., h. 104. 33 timbulnya suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia kehendaki. 30 Unsur subyektif dengan sengaja dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP harus diartikan bukan semata-mata sebagai kesengajaan sebagai maksud saja, namun diartikan pula sebagai kesengajaan dengan sadar kepastian dan sebagai kesengajaan dengan sadar kemungkinan, karena unsur “dengan sengaja” itu, oleh pembentuk Undang-Undang telah ditempatkan didepan unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP. Oleh karena itu dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara tersebut, pelaku harus dapat dibuktikan : a. Bahwa pelaku telah menghendaki mengemukakan perasaaan atau melakukan perbuatan; b. Bahwa pelaku perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan yang telah ia lakukan ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jika kehedak atau salah satu pengetahuan pelaku sebagaimana yang dimaksudkan diatas ternyata tidak dapat dibuktikan, hakim harus memberikan putusan bebas bagi pelaku. Mengapa harus memberikan putusan bebas dan bukan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi pelaku? Jawabannya adalah karena unsur dengan sengaja atau opzet oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara 30 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier, op.cit., h. 301. 34 tegas sebagai salah satu unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP. 31 2. Unsur-Unsur Objektif a. Di depan umum Pembatasan di depan umum berdasarkan Arrest tanggal 9 Juni 1941 yang dikemukakan oleh W.A.M Cremers dalam bukunya “Wet Boek van Strafrech” cetakan 1954 hal. 169 adalah sebagai berikut: Suatu penghinaan dilakukan di muka umum, jika hal itu terjadi di suatu tempat terbuka untuk dikunjungi umum dan semua orang dapat mendengarnya. 32 Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lamintang bahwa dengan dipakainya kata-kata “di dengan umum” dalam rumusan tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 156a KUHP tidak berarti bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu harus terjadi di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publikmasyarakat umum atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku itu dapat dilihat oleh publik. 33 b. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan 31 P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara , Bandung: CV. Armico, 1986, h. 464. 32 Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syaihabudin, op.cit., h. 71. 33 Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 464. 35 Hal ini berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku baik dengan lisan maupun dengan tindakan. 34 c. Yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang ada di Indonesia. Yang dimaksud dengan agama di dalam Pasal 156a KUHP menurut UU No. 1 Pnps Tahun 1965 adalah salah satu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. 35 Tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai perasaan atau perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan dan agaknya pembentuk undang-undang telah menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan penafsiran dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. 36 Menurut pendapat Juhaya dan Syihabudin bahwa kalimat “penodaan terhadap suatu agama” ditafsirkan sebagai penodaaan langsung terhadap agama baik lisan ataupun tulisan, terlepas apakah hal itu akan membahayakan ketertiban umum atau tidak. 37 34 Ibid., h. 465. 35 Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 69. 36 Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 465. 37 Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 72. 36

B. Tindak Pidana Penodaan Agama Riddah dalam Perspektif Hukum Islam

B. 1. Pengertian Tindak Pidana

Secara etimologi kata ِﺟ َﻨ َﺎ ْﻪ bentuk masdar dari kata jana َﻨَﺟ pada bentuk madhi yang artinya perbuatan dosa atau perbuatan jahat atau lazimnya disebut tindak pidana. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan kata jaani yang artinya pelaku kejahatan. 38 Abdul Qadir Audah mendefinisikan jinayah atau tindak pidana sebagai berikut : ﺎ ْﻟا ﻢْ اﺔ ﻟﺔ ﺎﻤﻟ ْﻴ ْ ءْﺮﻤﻟْا ْﻦ ﺮ ﺎ ﺴ ْآا ﺎﺣ ﻄْ او ﻢْ ا ْ ﻟ مﺮ ﺎ ْﺮ ءاﻮ و ْ ﻟْا ﻰ ْ ْوا لﺎ ْوا ﺮْﻴ ﻚﻟذ 39 ”Jinayah menurut bahasa merupakan suatu nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jwa, harta, benda, maupun selain jiwa dan harta benda.” Kemudian pengertian lain dari jinayah atau tindak pidana adalah berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan orang- orang mukallaf. 40 Adapun menurut istilah syara’, sebagian fuqaha mendefinisikan jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya, fuquha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan- perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, 38 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: PT. Multi Karya Grafika, 1998, Cet. ke-4, h. 696. 39 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, Beirut: Darul Fikr Al-Maktab, 1992, Cet. ke-11, Jilid 2, h. 4. 40 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1, h. 86. 37 dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishas saja. Istilah lain yang sepadan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir. 41 Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayat sebagai berikut : 42 ”Yang dimaksud dengan jinayat menurut istilah syara’ adalah perbuatan yang diharamkan dan yang diharamkan itu adalah setiap perbuatan yang diancam dan dicegah oleh syara’ karena perbuatan tersebut dapat mendatangkan kemudharatan atau kerusakan pada agama, jiwa, kehormatan, dan harta” Di samping istilah jinayah dalam hukum pidana Islam juga terdapat istilah jarimah, yang pengartiannya tidak dapat dipisahkan dari makna jinayah. Pengertian jarimah itu sendiri adalah perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi secara harfiah sama halnya dengan jinayah. Kata jarimah biasa dipakai untuk penyebutan bentuk atau jenis, sifat perbuatan dosa tertentu saja. Misalnya, pembunuhan, pencurian, perkosaan. Semua itu dapat disebut dengan istilah jarimah yakni jarimah pembunuhan, jarimah pencurian, dan sebagainya, yang dalam istilah hukum positifnya adalah tindak pidana. Sedangkan istilah jinayah digunakan untuk penyebutan kejahatan atau perbuatan jahat secara umum. Menurut Abdul Qadir Audah jarimah adalah : 43 ﺮْﺰْ ْوا ﺪ ﺑ ﺎﻬْ ﻰﻟﺎ ﷲا ﺮ ز ﺔﻴ ْﺮ تارْﻮﻈْ ﻢﺋاﺮ ْﻟا 41 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Cet. ke-1, h. 117. 42 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah M. Nabhan Husaen, dari judul asli Fiqh As- Sunnah,, Bandung: PT. Darul Ma’arif, 2002, Cet. ke-20, Jilid 9, h. 168. 43 Abdul Qadir Audah, op.cit., Jilid 1, h. 66. 38