3. Unsur-Unsur Tindak Pidana TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA

1. Unsur Subyektif Unsur subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. Unsur subyektif dari tindak pidana terdiri dari : 8 a. Kesengajaan atau kelalaian dolus atau culpa; b. Maksud dari suatu percobaan atau poging; c. Macam-macam maksud atau oogmerk; d. Merencanakan terlebih dahulu e. Perasaan takut 2. Unsur Obyektif Unsur obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yaitu semua unsur mengenai pembuatannya dan keadaan- keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan obyek pidana. Unsur obyektif terdiri dari : a. Sifat melawan hukum; b. Kualitas dari pelaku; c. Kausalitas, yatu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. Adapun unsur-unsur yang sangat penting untuk diklasifikasikan ke dalam tindak pidana sebagai berikut : 9 1. Perbuatan Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana. 7 P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung : CV. Armico, 1984, Cet. ke-1, h. 184. 8 Ibid. 9 Sudarto, op.cit., h. 64-66. 24 2. Hubungan sebab akibat Hubungan sebab akibat atau kausalitas merupakan unsur yang ada dalam perbuatan atau dapat diklasifikasikan suatu tindak pidana. Karena untuk menentukan akibat yang diatur dalam hukum pidana harus merupakan akibat yang dilakukan sesorang. 3. Sifat Melawan Hukum 10 Unsur selanjutnya dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan penilaian obyektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Perbuatan dikatakan melawan hukum apabila kita berbuat itu masuk rumusan tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Mengenai sifat melawan hukum ini, menurut Sudarto dibedakan menjadi dua, yaitu : 11 a. Sifat melawan hukum yang formil, yaitu apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undang- undang, sedang sifat melawan hukumnya dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang. Jadi sifat melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang hukum tertulis. b. Sifat melawan hukum materiil, yaitu perbuatan disebut melawan hukum tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang hukum tertulis saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang 10 Ibid., h. 76. 11 Ibid., h. 78. 25 tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan juga dapat dihapus berdasarkan ketentuan tidak tertulis tersebut. 4. Kesalahan Untuk dipidananya seseorang tidak cukup hanya dipenuhinya syarat bahwa telah adanya perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga harus ada unsur kesalahan. Hal ini berkaitan dengan asas Geen straf zonder schuld yang artinya tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau istilah lainnya Keine Straf ohne Schuld . Roeslan Saleh menyatakan bahwa asas tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan dasar dari dipidananya si pembuat. Dapat pula dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dipidana apabila ia mempunyai kesalahan. 12

A. 4. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Secara umum pembagian jenis tindak pidana dapat dikemukakan sebagai berikut : 13 1. Kejahatan dan Pelanggaran a. Kejahatan “rechtdelikten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah 12 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bandung: PT Aksara Baru, 1987, Cet. ke-2, h. 76. 13 Lamintang, Hukum Penitensier, op.cit., h. 199-200. 26 dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. b. Pelanggaran adalah “wetsdelikten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian. 2. Delik Formil dan Materiil delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil. 14 a. Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang. b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak diketahui dilarang. 3. Delik commisssionis, delik ommisionis dan delik commisionis perpmmisionis commissa. 15 a. Delik commisionis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang; b. Delik ommisonis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah keharusan-keharusan menurut undang-undang. c. Delik commisionis per ommisionis commissa, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang delik commissionis, tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat. 4. Delik dolus dan delik culpa. 16 a. Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan. b. Deli culpa, yaitu delik yang memuat kealpan sebagai salah satu unsurnya. 5. Delik tunggal dan delik berganda 17 a. Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindak pidana yang dilarang undang-undang. 14 Sudarto, op.cit., h. 57. 15 A. Fuad Usfa, Moh. Najib dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Malang: UMM, 2004, Cet. ke-1, 44. 16 Sudarto, op.cit., h. 58. 17 Ibid. 27