Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Positif 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara UUDS Tahun 1950. Istilah Pelanggaran Pidana, istilah ini digunakan pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. Dan terakhir adalah istilah Perbuatan yang Boleh Dipidana, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”, selain itu H.J.Van Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia” juga menggunakan istilah perbuatan yang boleh dihukum. Pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan istilah Strafbaarfeit, maka timbullah dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut. Seperti halnya untuk memberikan definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah Strafbaarfeit. Masalah tindak pidana dalam ilmu hukum pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Telah banyak diciptakan oleh para pakar hukum pidana perumusan atau definisi tentang istilah tersebut, namun tidak ada kesatuan pendapat di antara mereka. Berikut ini beberapa definisi atau pengertian dari istilah Strafbaarfeit, yaitu : 2 Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan handoling yang 2 Ibid., h. 71. 19 diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab; J. Baumman, berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan; sedangkan menurut Karni, tindak pidana adalah perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan; demikian juga menurut Wiryono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Bahkan Moeljatno, berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut; dan terakhir menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Dengan demikian istilah Strafbaarfeit secara garis besar dapat disamakan dengan istilah “Tindak Pidana” dengan mengeyampingkan berbagai pendapat para pakar hukum pidana dan dengan pertimbangan hampir semua peraturan perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah tersebut. 20

A. 2. Rumusan Tindak Pidana

Sumber Hukum Pidana ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis hukum pidana adat. Agar orang dapat mengetahui bagaimana hukumnya tentang sesuatu persoalan, maka aturan hukum itu harus dirumuskan. Demikian pula keadaannya dalam hukum pidana. Perumusan aturan pidana yang tertulis terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan manusia yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Ini merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan tindak pidana ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Rumusan dalam undang-undang menggambarkan perbuatan yang dimaksud secara abstrakskematis. Di situ disebutkan syarat-syaratunsur-unsur apa yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana. Rumusan dalam undang-undang ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, sedangkan perbuatan yang kongkrit adalah berlangsung di suatu tempat dan pada suatu waktu serta dapat ditangkap dengan panca indera. Apabila semua unsur dalam rumusan itu terdapat di dalam perbuatan tersebut, berarti perbuatan tersebut telah memenuhi atau mencocoki rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan 21 demikian peraturan undang-undang itu dapat diterapkan kepada perbuatan tersebut. 3 Untuk perumusan norma dalam peraturan pidana itu ada 3 tiga cara, yaitu: 4 1. Menguraikan atau menyebutkan satu per satu unsur-unsur perbuatan, misalnya: a. Pasal 154-157 KUHP tentang haatzai delicten menabur kebencian; b. Pasal 281 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan; c. Pasal 305 KUHP tentang meninggalkan anak di bawah umur 7 tahun. Cara perumusan seperti ini yang paling banyak digunakan. 2. Hanya disebutkan kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan unsur- unsurnya, misalnya: 5 a. Pasal 184 KUHP tentang duel perkelahian tanding; b. Pasal 297 KUHP tentang perdagangan wanita; c. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Oleh karena untuk tindak pidana-tindak pidana itu tidak ada penyebutan secara tegas unsur-unsurnya, maka untuk mengetahui apa yang dimaksud perlu ada penafsiran yang didasarkan atas sejarah terbentuknya pasal tersebut. Cara penyebutan seperti ini kurang dapat dibenarkan karena ia memberi kemungkinan untuk penafsiran yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. 3 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hokum UNDIP, 1990, Cet. ke-1, h. 52. 4 Ibid., h. 52. 5 Ibid., h. 53. 22