Review Studi Terdahulu PENDAHULUAN
Penelitian atau kajian terkait isu penodaam agama sudah relatif banyak dilakukan. Beberapa penelitian melihatnya dalam perspektif hukum positif, dan
beberapa yang lain dalam tinjauan hukum Islam. Salah satu kajian yang menilik masalah penodaan agama ini dilakukan
oleh Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, dalam buku mereka, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia. Menurut mereka, suatu perbuatan atau
tindakan dapat disebut sebagai kejahatan, jika perbuatan itu bertentangan dengan asas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum kalangan rakyat adalah suatu
delik, terlepas dari apakah asas-asas tersebut tercantum di dalam undang-undang pidana ataupun tidak. Sedangkan penciptaan “Delik Agama” dapat dibenarkan
berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
9
Mereka mengungkapkan bahwa penyusunan tindak pidana agama dapat didasarkan atas suatu alternatif atau penggabungan antara beberapa teori,
tergantung dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Mereka mengutip apa yang dijelaskan oleh Tim Peneliti LPHN sekarang BPHN dalam buku,
Pengaruh agama terhadap hukum pidana, yang menyebutkan tiga macam teori yang dapat dijadikan dasar pembentukan delik-delik tersebut:
10
a. Friedensschutz-theori, yang memandang ketertiban umum sebagai
kepentingan hukum yang harus dilindungi. b.
Geffulsschutz-theori, yang hendak melindungi rasa keagamaan.
9
Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Angkasa, 1993, Cet. ke-10, h. 56.
10
Ibid., h. 57.
9
c. Religionsschutz-theori, yang melihat agama sebagai kepentingan hukum
yang harus dilindungi. Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin menilai bahwa perbuatan baru
dapat dikategorikan sebagai delik agama, apabila pemidanaannya pada agama dan kehidupan agama Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Lembaga-lembaga Agama, dan
pemuka agama, dengan kata lain bahwa dalam melakukannya itu secara nyata memang ada opzet untuk menghina perasaan orang beragama.
11
Lebih jauh mereka mengungkapkan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut, baru dapat
dipidanakan, apabila dilakukan di muka orang-orang yang beragama dan dapat mengganggu ketentraman mereka yang beragama itu dan karenanya sukar dapat
membahayakan atau melanggar ketertiban umum. Maka yang dimaksud penodaan agama dalam pasal 156a adalah tindak
pidana agama dengan maksud, bukan melindungi agama dari penodaan. Namun demikian secara esensial perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap Nabi,
Kitab Suci dan lain-lainnya dipandang ditujukan pula terhadap agama, seperti dimaksudkan oleh pasal 156a KUHP.
12
Tulisan lain terkait masalah penodaan agama dilakukan oleh Abdullah
Ubaid Matraji dalam artikelnya berjudul, “Pasal Penodaan Agama, Biang Masalah”. Menurut Matradji, pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama dan
dijuluki pasal karet. Identik dengan karet karena bisa modot dan molor ke mana-
11
Ibid., h. 59.
12
Ibid., h. 62-63.
10
mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban
atas nama agama. Sebelum kasus penodaan agama yang dilakukan Ahmad Mushaddeq, pada tahun 2005 pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya
Alam YKNCA Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut dianggap menyebarkan paham sesat
melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2. Peristiwa itu mengakibatkan gedung yayasan yang terletak di Desa Kerampilan, Kecamatan
Besuki, Probolinggo tersebut diserbu, dirusak massa, dan akhirnya ditutup secara paksa. Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin
redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu
menunjukkan Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena
publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.
13
Senada dengan Martadji, penulis lain,
Ahmad Suaedy dan Rumadi,
menilai bahwa pasal 156a KUHP dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru
yang mengancam, daripada melindungi warga negara. Ancaman itu terutama bila
13
Abdullah Ubaid Matraji, “Pasal Penodaan Agama, Biang Masalah”, artikel ini diakses pada 5 September 2008 dari http: Abdullah-ubaid.blogspot.com.
11
digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam
praktiknya pasal ini seperti “pasal karet” hatzaai articelen yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal
ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena
kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas. Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti
Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat
kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh
polisi maupun hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa.
Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.
14
Kajian lain terkait masalah ini ditulis oleh sebuah tim yang mengungkapkan bahwa sebenarnya, pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek
van Strafrecht WvS Belanda. Melainkan dari Undang-Undang No. 1PNPS1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
14
Ahmad Suaedy dan Rumadi, “
Roy Menjadi Tersangka Penodaan Agama”, artikel ini diakses pada 5 September 2008 dari www.boediekoest.co.cc.
12
Pasal 4 langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1PNPS1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu. Dan patut dicatat, pada bagian penjelasan
disebutkan bahwa agama-agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.
15
Namun demikian, dari sekian tulisan-tulisan ini, belum ada kajian yang secara spesifik meneliti tentang kasus al-qiyadah yang sangat menghebohkan.
Dengan demikian untuk mengisi kekosongan kajian dalam hal terkait pendoaan agama, saya tertarik untuk menelitinya dalam sebuah skripsi ini.