2. Rumusan Tindak Pidana TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
demikian peraturan undang-undang itu dapat diterapkan kepada perbuatan tersebut.
3
Untuk perumusan norma dalam peraturan pidana itu ada 3 tiga cara, yaitu:
4
1. Menguraikan atau menyebutkan satu per satu unsur-unsur perbuatan,
misalnya: a.
Pasal 154-157 KUHP tentang haatzai delicten menabur kebencian; b.
Pasal 281 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan; c.
Pasal 305 KUHP tentang meninggalkan anak di bawah umur 7 tahun. Cara perumusan seperti ini yang paling banyak digunakan.
2. Hanya disebutkan kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan unsur-
unsurnya, misalnya:
5
a. Pasal 184 KUHP tentang duel perkelahian tanding;
b. Pasal 297 KUHP tentang perdagangan wanita;
c. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.
Oleh karena untuk tindak pidana-tindak pidana itu tidak ada penyebutan secara tegas unsur-unsurnya, maka untuk mengetahui apa yang dimaksud
perlu ada penafsiran yang didasarkan atas sejarah terbentuknya pasal tersebut. Cara penyebutan seperti ini kurang dapat dibenarkan karena ia
memberi kemungkinan untuk penafsiran yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
3
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hokum UNDIP, 1990, Cet. ke-1, h. 52.
4
Ibid., h. 52.
5
Ibid., h. 53.
22
3. Penggabungan cara ke-1 dan ke-2, yaitu di samping menyebutkan unsur-
unsurnya perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan juga menyebutkan kwalifikasi dari tindak pidana tersebut, misalnya :
6
a. Pasal 124 KUHP tentang membantu musuh;
b. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan;
c. Pasal 362 KUHP tentang pencurian;
d. Pasal 378 tentang penipuan.
Dalam hubungannya dengan hal ini dapat ditambahkan bahwa para hakim dalam diktum putusannya seringkali hanya menyebutkan unsur-unsur dari
tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terdakwa saja.