Keterkaitan Metafora Dengan Lingkungan Alam Pada Komunitas Bahasa Aceh Di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik

(1)

KETERKAITAN METAFORA DENGAN LINGKUNGAN

ALAM PADA KOMUNITAS BAHASA ACEH

DI DESA TRUMON ACEH SELATAN:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

DISERTASI

Oleh

NUZWATY

NIM: 108107016

Program Doktor (S3) Linguistik

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

KETERKAITAN METAFORA DENGAN LINGKUNGAN

ALAM PADA KOMUNITAS BAHASA ACEH

DI DESA TRUMON ACEH SELATAN:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

DISERTASI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di

bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K) untuk dipertahankan

dihadapan sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh

NUZWATY

NIM: 108107016

Program Doktor (S3) Linguistik

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Disertasi : KETERKAITAN METAFORA DENGAN LINGKUNGAN ALAM PADA KOMUNITAS BAHASA ACEH DI DESA TRUMON ACEH SELATAN: KAJIAN EKOLINGUISTIK Nama Mahasiswa : Nuzwaty

Nomor Pokok : 108107016 Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

Promotor

(Prof. Dr. Aron Meko Mbete)

(Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP)

Ko-Promotor Ko-Promotor

(Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)


(4)

Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi)

Tanggal: 16 Desember 2014

Panitia Penguji Disertasi

Pemimpin Sidang:

Prof Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A (K)

(Rekror USU)

Ketua

: Prof. Dr. Aron Meko Mbete, M.S.

UDAYANA Bali

Anggota : Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP.

USU Medan

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.

USU Medan

Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. USU Medan

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

USU Medan

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

UNIMED Medan

Prof. Dr. Busmin Gurning, M.Pd

UNIMED Medan


(5)

PERNYATAAN

Judul Disertasi

KETERKAITAN METAFORA DENGAN LINGKUNGAN ALAM PADA KOMUNITAS BAHASA ACEH DI DESA TRUMON ACEH SELATAN:

KAJIAN EKOLINGUISTIK

Dengan ini penulis nyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Medan, Juli 2014 Penulis,


(6)

KETERKAITAN METAFORA DENGAN LINGKUNGAN ALAM PADA KOMUNITAS BAHASA ACEH DI DESA TRUMON

ACEH SELATAN: KAJIAN EKOLINGUISTIK

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan kajian ekolinguistik yang difokuskan kepada metafora konseptual yang mengaitkannya dengan unsur ekologi berupa flora dan fauna dalam kognitif manusia yang direkam secara verbal. Penelitian ini dilakukan di Desa Trumon Kabupaten Aceh Selatan.

Tujuan penelitian ini pertama, menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan metafora dengan lingkungan alam pada komunitas bahasa di Desa Trumon. Kedua, menganalisis dan mendiskripsikan klasifikasi metafora. Ketiga menganalisis dan menemukan karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolaborasi dari teori ekolinguistik dengan tiga dimensi sosial praksis, parameter ekolinguistik (keberagaman, keterhubungan, lingkungan), dan teori metafora konseptual kognitif linguistik.

Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Data diperoleh dari delapan orang informan, berusia di atas lima puluh tahun dan sebagai penduduk tetap di wilayah tersebut dan mereka semuanya menikah dengan masyarakat lokal etnik Aceh.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metafora yang digunakan oleh masyarakat bahasa di Desa Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna yang ada di lingkungan alam sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia dan sifat atau perilaku manusia tersebut sebagai ranah target, keterhubungan antara ke dua ranah tersebut diproses di dalam kognitif penggunanya dan penggunaan metafora tersebut disepakati secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa tersebut.

Ditemukan pula bahwa pada umumnya metafora di Desa Trumon terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara konseptual alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial praksis (dimensi ideo-, sosio-, dan biologikal) dan dapat pula digambarkan dalam hubungan ontologi dan epistemik.

Kata Kunci: metafora, ranah sumber, ranah target, lingkungan alam, pengalaman inderawi.


(7)

THE INTERRELATIONSHIP OF METAPHOR WITH NATURAL ENVIRONMENT ON THE LANGUAGE COMMUNITY OF ACEH IN

TRUMON, SOUTH ACEH: ECOLINGUITICS STUDY ABSTRACT

This research is ecolinguistics study, focused on metaphors that related to ecological environment, such as flora and fauna which evolved in human’s cognitive. This research is conducted in Desa Trumon, South Aceh.

The research aims firstly at analyzing and describing the relationship of metaphors of Bahasa Aceh that used by the language community in Trumon with the environment. Secondly is at analyzing and describing the classification of metaphors, and thirdly is analyzing and finding the characteristic of metaphors related to the nature environment of Desa Trumon.The theory applied is a collaboration of cognitive conceptual metaphor theory with three dimension social praxis theory and theory of ecolinguistics parameters.

The method employed was qualitative approach and the data obtained was from eight informants who were born and live in Trumon. All of them are above fifties and they also married the locals.

The result of this research shows that the metaphorical frames are structured by forms of interaction of two models; a source and a target domain. Metaphors of Bahasa Aceh in Trumon constituted by the nature of flora and fauna that exist in local surroundings as the source domain, and human’s behavior or his manner stands as the target domain. The source domain imposed some structure on the target by virtue of mapping that characterizing the metaphors. The relationship of both was processed in thought of the language users, and also respected to the convention of the language community.

It is also found that in general, metaphor used in Trumon constructed by bodily experience of the language users. The characteristic of metaphors used in Trumon is conceptual metaphors that constructed by nature in relationship between language entity and human’s cognitive under three dimension of social praxis(ideo-, socio-, biological dimension) which can be drawn on ontology and epistemic relations.


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Puji dan syukur penulis haturkan kepada ALLAH Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan. Shalawat seiring salam penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan turut berpartisipasi selama penulis mengikuti pendidikan hingga penyelesaian disertasi ini.

Pertama-pertama penulis berterima kasih dan menyampaikan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Aron Meko Mbete yang telah memperkenalkan kajian ekolinguistik dan bersedia menjadi promotor, serta dengan penuh keikhlasan memberikan bimbingan, arahan, dan masukan berharga serta dukungan semangat kepada penulis. Penghargaan dan terima kasih yang sama penulis sampaikan pula kepada promotor I, Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP dan ko-promotor II Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A. yang telah membimbing, memberikan saran-saran dan masukan dengan penuh akrab sehingga penulis merasa nyaman ketika bimbingan.

Selanjutnya penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc. (CTM), Sp.A. (K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa program doktor di Universitas Sumatera Utara.


(9)

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr. Syahron Lubis, M.A, yang berkenan menerima penulis mengikuti perkuliahan pada Program Doktor Linguistik dan menggunakan fasilitas yang ada.

Penghargaan yang tinggi dan rasa terima kasih yang tidak ternilai penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Linguistik, Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D yang sangat berperan demi keberhasilan penulis untuk menyelesaikan studi dalam kapasitas beliau sebagai ketua Program Studi linguistik, dosen pengajar, dan penguji, serta telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk memperoleh beasiswa BBPS, selanjutnya dukungan semangat yang beliau berikan kepada penulis untuk mengikuti Program Sandwich-Like di Leiden Universiteit, Netherland, sehingga penulis dapat mengikuti program tersebut tahun 2012.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Sekretaris Program Studi Linguistik, Dr. Nurlela, M. Hum, yang memberikan dorongan dan selalu menanyakan perihal perkuliahan penulis.

Penulis ingin mengkhususkan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa BPPS di Sekolah Pasca Sarjana USU dan beasiswa Program Sandwich-Like di Leiden Universiteit, Netherland kepada penulis. Penghargaan yang sama penulis sampaikan pada mantan Koordinator Kopertis Wilayah I, Prof. Dr. Zainuddin yang telah memberi rekomendasi kepada penulis untuk mendapatkan BPPS. Penghargaan yang sama pula penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Islam Sumatera Utara, Dr. Ir. M. Asaad, M.Si, yang telah memberikan kesempatan dan keizinan serta dukungan moril kepada penulis


(10)

untuk melanjutkan studi ke Program Doktor Linguistik di USU. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Dekan FISIP UISU, Drs. Hadeli, M.Si yang telah membebaskan penulis dari tugas-tugas akademik selama penulis mengikuti perkuliahan di Program Doktor Linguistik USU. Ungkapan rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada kepada mantan Direktur Sekolah Pasca Sarjana, Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis mengikuti Program Sandwich-Like di Leiden Universiteit, Netherland.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para penguji luar komisi, yatni Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S dari USU, Prof. Dr Busmin Gurning, M.Pd. dari UNIMED, dan Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dari UNIMED yang telah memberikan saran dan masukan, pertanyaan-pertanyaan, serta kometar-komentar yang sangat bermanfaat untuk penyelesaian penulisan disertasi ini.

Ungkapan rasa terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan pada semua staf pengajar di Program Studi Linguistik Linguistik, Prof.T. Silvana Sinar, M.A. Ph.D, Prof. Amrin Saragih, M.A, Ph.D, Prof. Bahren Umar Siregar, Ph.D, Prof. Dr. Aron Meko Mbete, MS, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, Prof. Dr. Busmin Gurning, M.A, Prof. Dr. Paitoon M. Chaiyanara, Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP, Dr. Bolaz Huzla, Dr. T. Syarfina, M.Hum, Dr. Dwi Widayati, Dr. Irawati Kahar, M. Pd yang telah memperluas wawasan penulis tentang linguistik. Penulis juga berterima kasih kepada staf administrasi Prodi Linguistik, Nila, Yuni dan Kar.


(11)

Terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada semua informan bapak H. Muhammad Syamsuddin, bapak Marzuki Ibrahim, ibu Hj. Cut Siti Zubaidah Junet, bapak H. Burhanuddin Yusuf, bapak Ahmad Badawi, ibu Hj. Cut Habibah binti Jakfar, bapak Teuku U’baidillah bin Teuku Raja Sulaiman dan Bapak Teuku Laksamana bin Teuku Pithahuddin, dan semua partisipan, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Ucapan yang sama khususnya kepada Bapak Muzakir Ali yang dengan kerelaan hati mendampingi penulis selama penelitian di Desa Trumon. Ucapan yang sama penulis sampaikan juga kepada kemanakan dr. Mutia Diana dan Muhammad Daniel, SH yang telah menyediakan semua fasilitas dan akomodasi untuk penulis.

Ungkapan terima kasih atas kerja sama, bantuan, dan persahabatan yang terjalin selama ini penulis sampaikan kepada semua rekan-rekan mahasiswa S3 Prodi Linguistik, Faridah Yafitham, SS, M. Hum, khususnya angkatan tahun 2010, Putri Nasution SS, M.Hum, Drs Bahagia Tarigan, M.A, Elvi Syahrin SS, M.Hum, Muhammad Ali Pawiro SS, M.A, H Purwanto Siwi, SS, M.A, Dra. Roswani Siregar, M. Hum, Dr. Emmy Erwina, M.A, Rina Evianti, Rabiah Adawi dan rekan-rekan lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu.

Dalam kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih pada Dr. Aune Van Engelehouven yang telah banyak memberikan bimbingan selama penulis mengikuti Program Sandwich-Like di Leiden Universiteit, Netherland. Ucapan yang sama disampaikan kepada Dr. R. Busser, Institute Manager Faculty of Humanities Leiden Universiteit yang telah memberikan fasilitas di KITLV, Leiden. Ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Risnovita Sari,


(12)

Martina Girsang dari Prodi Linguistik (S3) dan Emmi Rahmiwita Nasution dari Prodi Hukum (S3) yang selalu bersama dan berbagi suka dan duka yang selalu dikenang selama mengikuti program Sandwich-Like 2012 di Leiden Universiteit.

Penulis mengenang dan memberi penghargaan yang amat tinggi kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda almarhum H. Abdul Munir Nasution dan Ibunda almarhumah Hj. Siti Khadijah, yang semasa hidup mereka, dengan kemuliaan hati dan kasih sayang yang tulus, selalu memberikan nasihat dan mendoakan, serta memberikan dorongan semangat untuk kesuksesan penulis. Pencapaian akademik penulis sesungguh adalah keberhasilan mereka. Ucapan dan penghargaan yang sama, penulis sampaikan kepada kedua mertua penulis almarhum H. Muhammad Yusuf dan almarhumah Hj. Siti Aminah, yang semasa hidupnya selalu memberi nasihat-nasihat untuk keberhasilan penulis. Penulis haturkan terima kasih kepada kakak dan adik-adik, kakak Drh. Hj. Idawati Nasution, Msi, adik Muchrizal Nasution, Dra. Hj. Fitriani. MAP, Ir. Fahrum Syahrial, Ir. Hj. Zulerwina, Ir. Yudi Assyuri. Ucapan yang sama kepada ipar-ipar, Alm Drh. H. Samsuddin Ali, Nuriati, Ir. H. Ali Azhar, Ir. Cut Mariana. Drs. H. Wira Indra Satya, M.Si, dr. Fitriani Lumongga Nasution, M. Kes dan seluruh keluarga yang senantiasa memberikan dukungan dan perhatian demi keberhasilan penulis.

Terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta, H. Amir Husin, yang tetap menyemangati penulis agar penulis dapat menyelesaikan disertasi ini . Pengertian dan motivasi, serta kasih sayang yang diberikan adalah sikap yang sangat menguntungkan penulis. Kepada anak-anak kami Rizki Amalia, SKM, M.


(13)

Com. Health, Julya Mazaya, SE, MBA, dan si kembar Millatina Urfana, SE dan Millatina Urfani, SE, yang sejak kecil sering belajar bersama orang tuanya, dengan bangga penulis ucapkan terima kasih atas pemahaman dan dukungan semangat yang diberikan kepada mamanya, serta menantu Nofri Alhadi, ST, MIT dan Riky Armadi, ST yang tetap mendukung penulis diucapkan terima kasih. Semoga ALLAH SWT memberi keberkahan umur dan hidup mereka.

Akhirnya, terima kasih kepada semua yang belum penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis, baik moril, materi, dan dukungan doa. Pada kesempatan ini penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang mungkin terjadi selama perkuliahan. Penulis berdoa semoga Allah SWT memberikan yang terbaik untuk kita semua dan semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Amin ya Robbal alamin.

Medan, Desember 2014

Nuzwaty


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 9

1.3Tujuan Penelitian ... 10

1.4Manfaat Penelitian ... 10

1.4.1Manfaat Teoritis ... 11

1.4.2Manfaat Praktis ... 11

1.5Defenisi Istilah ... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 16

2.1 Kajian Ekolinguistik ... 16

2.1.1 Hubungan Bahasa dan Ekologi ... 19

2.1.2 Parameter Ekolinguistik ... 25

2.1.2.1 Parameter Keberagaman ... 26

2.1.2.2 Parameter Kesalingterhubungan ... 26

2.1.2.3 Parameter Lingkungan ... 29

2.1.3 Teori Dialektikal Sosial Praksis ... 32

2.2 Linguistik Kognitif ... 35

2.3 Metafora ... 37

2.3.1 Metafora Leksikal ... 39

2.3.2 Metafora Gramatikal ... 42

2.3.3 Metafora Konseptual ... 44

2.3.4 Klasifikasi Metafora ... 47

2.3.5 Metafora Ekosistem ... 49

2.3.6 Metafora dan Metonimi ... 51

2.4 Semantik Leksikal ... 52

2.4.1 Makna dan Referensi ... 54

2.4.2 Denotasi dan Konotasi ... 55


(15)

BAB III TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL ... 66

3.1 Kerangka Teori ... 66

3.2 Kerangka Konseptual ... 69

BAB IV METODE PENELITIAN ... 72

4.1 Pendekatan dan Metode ... 72

4.2 Lokasi Penelitian ... 73

4.2.1 Lokasi dan Demografi ... 74

4.2.2 Sejarah Desa Trumon ... 75

4.2.3 Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Trumon ... 79

4.3 Data dan Sumber Data ... 81

4.3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 83

4.4 Analisis Data ... 84

4.5 Pengecekan Keabsahan Data Penelitian ... 86

BAB V PAPARAN DATA DAN ANALISIS PENELITIAN ... 89

5.1 Pengantar ... 89

5.2 Kelompok Flora ... 93

5.3 Kelompok Fauna ... 123

5.4 Kelompok Non-Flora dan Non-Fauna ... 165

BAB VI PEMBAHASAN TEMUAN PENELITIAN ... 179

6.1 Pengantar ... 179

6.2 Pembentukan Metafora Berkaitan dengan Lingkungan Alam Desa Trumon ... 181

6.3 Klasifikasi Metafora Berdasarkan Penggunaannya pada Komunitas Bahasa di Desa Trumon ... 196

6.4 Karakteristik Metafora Dikaitkan dengan Lingkungan Alam Desa Trumon ... 203

6.4.1 Hubungan Ontologis dan Hubungan Epistemik pada Kelompok Flora ... 204

6.4.2 Hubungan Ontologis dan Hubungan Epistemik pada Kelompok Fauna ... 208

6.4.3 Hubungan Ontologis dan Hubungan Epistemik pada Kelompok Non-Flora dan Non- Fauna ... 213

BAB VII PENUTUP ... 217

7.1 Simpulan ... 217

7.2 Saran ... 221

DAFTAR PUSTAKA ... 223


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 4.1 Sebaran Suku ... 74

Tabel 4.2 Penggunaan Bahasa ... 75

Tabel 5.1 Identifikasi Data pada Kelompok Flora ... 89

Tabel 5.2 Identifikasi Data pada Kelompok Fauna ... 90


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ... 69 Gambar 4.1 Alur Pikir ... 88


(18)

KETERKAITAN METAFORA DENGAN LINGKUNGAN ALAM PADA KOMUNITAS BAHASA ACEH DI DESA TRUMON

ACEH SELATAN: KAJIAN EKOLINGUISTIK

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan kajian ekolinguistik yang difokuskan kepada metafora konseptual yang mengaitkannya dengan unsur ekologi berupa flora dan fauna dalam kognitif manusia yang direkam secara verbal. Penelitian ini dilakukan di Desa Trumon Kabupaten Aceh Selatan.

Tujuan penelitian ini pertama, menganalisis dan mendeskripsikan keterkaitan metafora dengan lingkungan alam pada komunitas bahasa di Desa Trumon. Kedua, menganalisis dan mendiskripsikan klasifikasi metafora. Ketiga menganalisis dan menemukan karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolaborasi dari teori ekolinguistik dengan tiga dimensi sosial praksis, parameter ekolinguistik (keberagaman, keterhubungan, lingkungan), dan teori metafora konseptual kognitif linguistik.

Pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Data diperoleh dari delapan orang informan, berusia di atas lima puluh tahun dan sebagai penduduk tetap di wilayah tersebut dan mereka semuanya menikah dengan masyarakat lokal etnik Aceh.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa metafora yang digunakan oleh masyarakat bahasa di Desa Trumon terbentuk dari sifat alamiah flora dan fauna yang ada di lingkungan alam sebagai ranah sumber dipetakan kepada manusia dan sifat atau perilaku manusia tersebut sebagai ranah target, keterhubungan antara ke dua ranah tersebut diproses di dalam kognitif penggunanya dan penggunaan metafora tersebut disepakati secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa tersebut.

Ditemukan pula bahwa pada umumnya metafora di Desa Trumon terbentuk dari ranah sumber berdasarkan pengalaman tubuh dan pengalaman inderawi pengguna bahasa tersebut. Karakteristik metafora yang digunakan di Desa Trumon merupakan metafora konseptual yang terbentuk secara konseptual alamiah dari unsur-unsur bahasa dan kognitif manusia melalui tiga dimensi sosial praksis (dimensi ideo-, sosio-, dan biologikal) dan dapat pula digambarkan dalam hubungan ontologi dan epistemik.

Kata Kunci: metafora, ranah sumber, ranah target, lingkungan alam, pengalaman inderawi.


(19)

THE INTERRELATIONSHIP OF METAPHOR WITH NATURAL ENVIRONMENT ON THE LANGUAGE COMMUNITY OF ACEH IN

TRUMON, SOUTH ACEH: ECOLINGUITICS STUDY ABSTRACT

This research is ecolinguistics study, focused on metaphors that related to ecological environment, such as flora and fauna which evolved in human’s cognitive. This research is conducted in Desa Trumon, South Aceh.

The research aims firstly at analyzing and describing the relationship of metaphors of Bahasa Aceh that used by the language community in Trumon with the environment. Secondly is at analyzing and describing the classification of metaphors, and thirdly is analyzing and finding the characteristic of metaphors related to the nature environment of Desa Trumon.The theory applied is a collaboration of cognitive conceptual metaphor theory with three dimension social praxis theory and theory of ecolinguistics parameters.

The method employed was qualitative approach and the data obtained was from eight informants who were born and live in Trumon. All of them are above fifties and they also married the locals.

The result of this research shows that the metaphorical frames are structured by forms of interaction of two models; a source and a target domain. Metaphors of Bahasa Aceh in Trumon constituted by the nature of flora and fauna that exist in local surroundings as the source domain, and human’s behavior or his manner stands as the target domain. The source domain imposed some structure on the target by virtue of mapping that characterizing the metaphors. The relationship of both was processed in thought of the language users, and also respected to the convention of the language community.

It is also found that in general, metaphor used in Trumon constructed by bodily experience of the language users. The characteristic of metaphors used in Trumon is conceptual metaphors that constructed by nature in relationship between language entity and human’s cognitive under three dimension of social praxis(ideo-, socio-, biological dimension) which can be drawn on ontology and epistemic relations.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa, kebudayaan, dan lingkungan alam merupakan komponen atau suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain sepanjang sejarah kehidupan manusia. Berabad-abad yang lalu para filosof kuno seperti Plato (427-347 SM), Cratylus dan lainnya pada awalnya memandang bahasa hanya sebagai sarana komunikasi dalam mengungkapkan atau mentransfer ide-ide, inspirasi, dan faham filsafati hasil perenungan mereka saja. Eksistensi bahasa yang pada awalnya hanya dipahami sebagai media komunikasi, lambat laun berubah yang selanjutnya menjadikan bahasa sebagai objek material kajian mereka dan menempatkannya sebagai filsafat bahasa.

Mereka mulai mengkaji hubungan bahasa dan alam semesta seperti pada penamaan-penamaan benda ataupun hewan sesuai dengan peniruan bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam seperti suara guntur, gemercik air dan suara binatang. Bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alam tersebut tertangkap oleh indera manusia, kemudian diolah di dalam pikiran mereka, menghasilkan sederetan nama-nama benda yang dirujuknya. Akhirnya, mereka membuat sebuah kesimpulan bahwa bahasa lahir dari alam, sehingga implementasi kajian bahasa dikaitkan dengan

ecoregion dan lingkungan alam tempat bahasa itu ada atau digunakan, yang bermuara kepada munculnya beberapa terminologi seperti adanya terminologi

onomatophe, metafora, adanya part of speech, analogi versus anomaly, fisei dan


(21)

Bahwa bahasa cenderung dipengaruhi oleh lingkungan alam tempat bahasa itu digunakan, juga sudah dibicarakan oleh Sapir (1912), Fill dan Muhlhausler (2001:14). Keterkaitan bahasa dan alam juga dapat dilihat dari ungkapan Laen lhok laen buya, laen kreung laen eungkeut dapat mengandung atau mengekspresikan banyak makna. Leksikon nama lhok ‘lubuk’ adalah kode lingual yang merupakan satuan leksikon dasar. Sebelum menjadi unsur inti dalam ungkapan tersebut, leksikon lhok secara leksikal memiliki makna denotasi referensial eksternal yang merujuk entitas-entitas tertentu (lihat Cummings, 2007: 54; Verhaar, 2006: 389) dalam hal ini orang, benda, atau keadaan yang nyata. Makna leksikal yang terkandung di balik leksikon nama ruang tertentu di sungai, dalam hal ini lhok adalah ‘bagian sungai atau danau yang dalam’.

Pengetahuan dan pengalaman penutur bahasa Aceh tentang lingkungan sungai yang dalam, selain yang dangkal, berbasiskan pengenalan, pengetahuan, bahkan pengalaman komunitas tutur yang tentunya bermula dari keteraturan interelasi dan interaksi dengan kondisi sungai yang dalam (lhok) dan atau yang dangkal (kreung) itu, seperti juga dengan biota eungkeut ‘ikan’ dan buya ‘buaya’ ataupun entitas-entitas di lingkungan sosial. Berdasarkan kode-kode leksikal, dan dengan cakupan makna denotasi, makna konotasi yang disepakati, daya cipta para penuturnya memeroduksi ungkapan atau peribahasa tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada sejumlah leksikon krueng ‘sungai’ dalam laen krueng laen eungkeut menjadi ungkapan-ungkapan yang sangat bermakna bagi masyarakat tuturnya dan terwaris dari generasi ke generasi. Pewarisan itu umumnya berlangsung secara lisan.


(22)

Bagi komunitas penutur bahasa Aceh di Trumon, interelasi dan interaksi yang terus menerus misalnya: dengan bue ‘kera’, dengan eungkeut ‘ikan’, dengan

abo ‘siput’, dengan glang ‘cacing tanah’ dengan boh timun ‘buah mentimun’, dan tentunya dengan anekaragam hayati dan nonhayati yang ada di lingkungan hidup mereka, memberikan ruang bagi mereka untuk mengonstruksi pengetahuan dan memberi peluang untuk menciptakan ungkapan-ungkapan metaforis yang kaya makna sosial budaya, sekaligus juga memperkaya bahasa dan budaya Aceh pula. Dalam bahasa dan budaya lokal Nusantara, dalam hal ini bahasa dan budaya Aceh, sesungguhnya tersimpan kekayaan dan modal sosial budaya bangsa. Termasuk di dalamnya adalah kekayaan kearifan lokal yang tersimpan di balik teks verbal berupa ungkapan-ungkapan metaforik, peribahasa, dan sebagainya ada di pelbagai wilayah Nusantara (lihat Sibarani, 2012:133).

Ungkapan Laen lhok laen buya, laen kreung laen eungkeut ini, merupakan bentuk metafora yang menjadikan lingkungan alam sebagai acuan. Maksud metafora ini dapat diperluas lagi, seperti lain daerah lain bahasa dan lain budaya, serta lain pula bentuk metaforanya. Sebagai contoh, ungkapan Bahasa Indonesia, KALAU TIDAK ADA API TIDAK MUNGKIN ADA ASAP, menggambarkan fenomena alam di mana secara alamiah asap sesungguhnya merupakan gejala alam yang pada setiap kemunculannya pasti dimulai oleh adanya api sebagai penyebab keberadaannya. Secara metaforis makna ungkapan itu mengekspresikan suatu kejadian tidak akan terjadi tanpa penyebab. Jika komunitas bahasa Indonesia menggunakan dua komponen yaitu asap dan api sebagai perujukan atau referen, masyarakat tutur di Trumon lebih cenderung mengacu kepada lingkungan alam


(23)

atau ekologi sebagai referen untuk ungkapan yang maknanya sama secara metaforis yaitu, ‘sesuatu tidak akan terjadi tanpa ada penyebabnya’. Ungkapan tersebut adalah, MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET ON KAYEE yang secara literal atau harfiah bermakna, ‘jika tidak ada angin tidak mungkin daun bergoyang’. Ungkapan LAEN LHOK LAEN BUYA, atau LAEN KRUENG LAEN EUNGKEUT terlihat kesesuaiannya pada dua ungkapan KALAU TIDAK ADA API TIDAK MUNGKIN ADA ASAP dan MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET ON KAYEE yang mengandung makna sama tetapi menggunakan rujukan atau referen unsur ekologi berbeda disebabkan oleh perbedaan ecoregion dan perbedaan komunitas penuturnya, sebagai cerminan perbedaan tingkat kedalaman interelasi, interaksi, dan interdipensi dengan unsur-unsur yang ada di lingkungan walau sebagai masyarakat bahasa yang sama.

Bentuk ungkapan bahasa Aceh seperti MEUNG HANA ANGEN, PANE MUMEET ON KAYEE, banyak dijumpai dan digunakan dalam interaksi keseharian masyarakat di Desa Trumon. Desa ini terletak di Aceh Selatan yang berbatasan dengan Cagar Alam Gunung Leuser. Pada umumnya referen yang digunakan sebagai acuan untuk sebuah ungkapan ataupun metafora di desa ini sangat bergantung kepada lingkungan alam desa yang berkaitan dengan flora, fauna, dan benda-benda yang terdapat di sekitar alam Desa Trumon. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Trumon dalam interaksi keseharian mereka adalah bahasa Aceh.

Bahasa Aceh merupakan satu di antara bahasa-bahasa daerah yang eksistensinya masih terlihat di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Selain


(24)

bahasa Aceh, ada pula beberapa bahasa lain nya yang digunakan dalam interaksi verbal seperti, bahasa Gayo yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh Tengah. Bahasa Alas merupakan bahasa daerah yang digunakan di Aceh Tenggara. Bahasa Tamiang merupakan varian atau dialek dari bahasa Melayu yang digunakan di Aceh Timur. Bahasa Aneuk Jamee digunakan di sebahagian Aceh Selatan dan Aceh Barat. Jumlah penutur bahasa Aceh merupakan jumlah terbesar, yaitu sekitar 70% dari jumlah keseluruhan penduduk NAD; 21.00wib).

Pada umumnya bahasa Aceh digunakan di semua ranah penggunaan bahasa oleh masyarakat tutur bahasa tersebut, baik dalam situasi resmi maupun tidak. Hal tersebut juga terjadi di beberapa desa di Aceh Selatan. Sesungguhnya mayoritas masyarakat Aceh Selatan merupakan penutur bahasa Aneuk Jamee. Namun di beberapa desa mereka masih menggunakan bahasa Aceh Seperti, di Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-Tangan , Meukek, Trumon dan Bakongan. Di wilayah ini eksistensi bahasa Aceh masih terlihat dan digunakan dalam semua situasi dan ranah penggunaan bahasa, seperti yang diungkapkan oleh ketua Penilik Kebudayaan Aceh di Trumon yang bernama Teuku U’baidillah bin Teuku Raja Sulaiman dan anggota Majelis Adat Aceh bidang kebudayaan Aceh Selatan bapak Teuku Laksamana bin Teuku Pitahruddin. Kedua informan ini masih keturunan raja Trumon (dapat dilihat pada lampiran informan).


(25)

Dapat dikatakan masyarakat Desa Trumon masih sangat mencintai lingkungan alamnya. Adalah kenyataan dan kebanggaan mereka karena masih terawatnya kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan Cagar Alam Leuser yang mendapatkan pengakuan internasional dan perlindungan hukum. Hutannya yang masih rimba belantara menyimpan flora langka yang tumbuh secara liar. Fauna, aneka satwa yang hidup liar juga terekam secara leksikal dalam bahasa Aceh seperti rimueng ‘harimau’, gajah ‘gajah’, rusa ‘rusa’. Habitat liar ini tetap dijaga kelangsungan hidupnya oleh pemerintah setempat. Semua ini dapat dijadikan wisata ilmiah untuk kemajuan semua bidang ilmu pengetahuan. Paru-paru alam di kawasan ini masih mampu bekerja dengan sempurna memelihara kesinambungan kesehatan ekologi dan ekosistem.

Mencintai dan merawat lingkungan alam, serta hidup berdampingan dengan alam menjadi bagian harmonisasi kehidupan masyarakat Desa Trumon. Hidup berdampingan dengan alam tidak bermakna bahwa masyarakat Trumon hidup terisolasi dan tetap mempertahankan penggunaan alat-alat tradisional dengan menolak segala bentuk peralatan elektronik. Pemanfaatan alat-alat elektronik di Desa Trumon menggeser peralatan tradisional yang mengakibatkan beberapa istilah dan kosa kata menjadi tidak umum lagi penggunaannya, perlahan-lahan hilang dari khasanah bahasa itu. Bahasa akan mengalami perubahan ketika ekologi yang menunjangnya berubah dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mbete (2009) pada bahasa Bali. Contoh yang digambarkan seperti hilangnya istilah kekalen: air yang mengalir ke sawah/irigasi, telajakan: jalan


(26)

setapak dalam bahasa Bali yang sudah asing didengar, dan menjadi tidak umum lagi penggunaannya dalam masyarakat tutur bahasa Bali.

Penggeseran penggunaan peralatan tradisional disebabkan oleh masuknya alat-alat elektronik yang serba praktis, menjadikan beberapa kata dan istilah menjadi asing karena sudah tidak digunakannya lagi peralatan tersebut di Desa Trumon, sebagai contoh geunuku, yaitu alat yang digunakan untuk mengukur kelapa sudah berganti dengan mesin pengukur kelapa. Ketergusuran geunuku

akibat dari sudah tidak dipergunakan lagi, tidak berpengaruh pada penggunaan metafora GEUNUKU HAN MATA TIMAH, yang berasal dari ranah sumber

geunuku. Metafora ini masih tetap digunakan dalam komunikasi keseharian masyarakat Trumon. Contoh tuturan yang paling umum adalah:

Jino jih GEUNUKU HAN MATA TIMAH. sekarang org III tgl kukuran tanpa mata timah. Secara harfiah tuturan ini bermakna: Sekarang dia kukuran kelapa tanpa mata timah. Makna leksikal, jino ‘sekarang, jih ‘dia’, geunuku ‘kukuran kelapa’,

han ‘tanpa’, mata timah (mata kukuran kelapa yang terbuat dari besi bergerigi). Makna metaforis yang terkandung dalam tuturan tersebut dialamatkan kepada seseorang yang pada saat menduduki jabatan dan berpangkat tinggi, orang tersebut bersikap sombong, angkuh dan ditakuti oleh bawahannya, namun setelah dia pensiun kesombongannya sirna dan didiskreditkan dalam pergaulan di masyarakatnya.

Para orang tua di Trumon sering menyampaikan pesan-pesan nasihat dan mengingatkan anak mereka agar tidak berperilaku angkuh dan sombong, ketika sedang menduduki jabatan, berpangkat dan kaya. Sama halnya dengan jeungki


(27)

yaitu alat yang digunakan untuk menggiling padi dan menumbuk tepung beras.

Jeungki sudah tidak ditemukan lagi di desa ini karena sudah digantikan dengan mesin penggiling padi yang dalam bahasa lokal disebut kilang pade, akan tetapi metafora JEUNGKI MUGEE, masih digunakan dalam interaksi sosial. Secara harfiah jeungki muge bermakna alat penumbuk padi yang dimiliki oleh tengkulak. Makna metaforis JEUNGKI MUGEE ditujukan kepada seseorang yang mempunyai sifat tamak. Para orang tua di desa ini sering menasihati anaknya agar tidak tamak dengan tuturan:

Hai neuk bek jadee JEUNGKI MUGEE beu, ‘wahai anakku jangan tamak ya’

Keunikan metafora seperti ini layak untuk dikaji dan dapat menjadi pertimbangan dalam penelitian tentang bahasa dan fungsi referensial bahasa yang berkorelasi dengan ekologi. Kajian ini difokuskan kepada penelusuran metafora sebagai perangkat kebahasaan yang terkait dengan lingkungan alam Desa Trumon (ecoregion). Judul disertasi yang dipilih adalah: “Keterkaitan Metafora dengan Lingkungan Alam pada Komunitas Bahasa Aceh di Desa Trumon Aceh Selatan: Kajian Ekolinguistik”.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan ekolinguistik karena kajian ekolinguistik memang berupaya menggeluti kajian bahasa yang secara teoritis dipadukan dengan ekologi dan ekosistem. Lingkungan alam atau ekosistem sekitar tempat masyarakat bermukim dapat memengaruhi cara berpikir dalam mengungkapkan maksud tertentu seperti yang dinyatakan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:104). Metafora yang digunakan di Desa Trumon sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam beserta seluruh keadaan dan kondisi alamnya


(28)

sebagaimana yang terdapat dalam kedua metafora yang telah disinggung sebelumnya.

Penelitian ini tidak membicarakan tentang pola pemertahanan bahasa yang terkait dengan bertahan, bergeser atau lenyapnya metafora bahasa tersebut, sebagaimana penelitian-penelitian ekolinguistik yang pernah dilakukan oleh beberapa pakar ekolinguistik seperti Nelde Peter (1979), Haugen (1970), Mufwene (2004). Penelitian ini hanya mengaji keterhubungan metafora yang menjadikan lingkungan alam sebagai ranah sumber atau unit dasar metafora tersebut.

Penelitian ini diarahkan kepada bentuk metafora yang menjadikan lingkungan alam yaitu flora, fauna serta mineral dan kehidupan manusia sebagai referensi atau ranah sumber yang berada di dalam kognitif penutur bahasa tersebut dipetasilangkan kepada manusia atau hewan sebagai tujuan atau ranah target. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rangsangan kepada peneliti linguistik untuk mengarahkan fokus penelitian mereka ke bidang ekolinguistik, sebab ekolinguistik memiliki lahan yang masih luas untuk dikaji.

1.2 Rumusan Masalah

Hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian bergayut kepada hubungan linguistik dan ekologi dalam tataran bahasa yang bermuara kepada metafora yang ada di Desa Trumon dalam semua aspek keberadaan dan penggunaannya.

1. Bagaimanakah pembentukan metafora yang digunakan berkaitan dengan lingkungan alam Desa Trumon?


(29)

2. Bagaimanakah klasifikasi metafora berdasarkan penggunaannya pada komunitas bahasa di Desa Trumon?

3. Bagaimanakah karakteristik metafora dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon?

1.3 Tujuan Penelitian

Pada hakikatnya penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menganalisis dan mendikripsikan keterkaitan lingkungan alam dalam pembentukan metafora yang digunakan oleh komunitas bahasa di Desa Trumon.

2. Menganalisis dan mendiskripsikan klasifikasi metafora yang digunakan oleh komunitas bahasa di Desa Trumon.

3. Menganalisis dan menemukan karakteristik metafora yang dikaitkan dengan lingkungan alam Desa Trumon.

1.4 Manfaat Penelitian

Kajian ini perlu dan penting dilakukan atas dasar keilmuan untuk menunjukkan bahwa teori ekolinguistik tidak hanya dapat diaplikasikan kepada penelitian yang berkaitan dengan kebertahanan ataupun ketergerusan unsur-unsur bahasa akibat pengaruh moderenisasi, etika antroposentris yang sangat bersifat instrumentalis, dan perkembangan ilmu pengetahuan, serta perubahan ekosistem. Teori-teori tersebut tidak pula hanya dapat diterapkan dalam membahas isu lingkungan berbentuk metafora ekosistem yang penah dilakukan oleh Haugen (1970), Fill dan Muhlhausler (1999), yang menjadikan lingkungan alam sebagai


(30)

referensi atau ranah sumber dipetasilangkan kepada alam itu sendiri seperti, green houseeffect.

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dapat dirinci berikut ini:

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Diharapkan dapat menjadi salah satu bahan rujukan kajian bahasa Aceh yang bergayut dengan ekologi atau ekosistem berikutnya.

2. Diharapkan menjadi sumbangsih untuk kepustakaan kajian ekolinguistik. 3. Diharapkan dapat memberi informasi tentang kajian metafora selanjutnya. 4. Diharapkan menjadi bahan masukan untuk kajian yang relevan berikutnya. 5. Diharapkan dapat diteruskan oleh peneliti lanjutan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat Trumon agar tetap menggunakan bahasanya yang metaforik dan menyayanginya.

2. Diharapkan dapat memopulerkan kembali bentuk metafora bahasa lokal yang usang berkaitan dengan pelestarian lingkungan agar lebih dimengerti, dipahami dan diminati oleh masyarakat tutur khususnya generasi muda penerus kesinambungan bahasa, budaya dan lingkungan.

3. Diharapkan dapat merangsang dan mendorong masyarakat tutur bahasa Aceh di Desa Trumon, khususnya generasi muda untuk tetap menggali kekayaan ungkapan-ungkapan metafora dan memahami makna-makna kiasan penuntun hidup sebagai khazanah kearifan budaya lokal.

4. Diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk kurikulum muatan lokal


(31)

5. Penggalian pemahaman dan pemberdayaan khazanah kebahasaan bahasa dan budaya.

6. Diharapkan dapat memberikan fakta historis yang informatif bagi pengembangan dan pemulihan pelestarian lingkungan dalam pemanfaatan dan pengembangan sumber daya kepariwisataan yang sekaligus akan menopang pertumbuhan ekonomi masyarakat.

1.5 Definisi Istilah

Beberapa istilah ataupun terminologi yang digunakan dalam penelitian ini, dibicarakan satu persatu berikut ini:

a. Ekolinguistik adalah kajian yang menyandingkan kajian linguistik dengan ekologis. Kajian ini dapat pula didefinisikan sebagai sebuah kajian interaksi antara bahasa-bahasa dan lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu digunakan, periksa Haugen (1972:323).

b. Parameter ekolinguistik menggambarkan dimensi keterkaitan antara bahasa dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial masyarakat atau masyarakat tutur, entitas yang biotik dan yang abiotik, periksa Fill dan Muhlhausler (2001:1).

c. Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan (interrelationship) antara bahasa dengan kajian linguistiknya dan lingkungan dengan kajian ekologi merupakan gambaran tentang hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya (ecoregion) yang dapat terpantul pada metafora


(32)

yang bernuansa isu lingkungan dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Lihat Fill dan Muhlhausler (2001:1).

d. Parameter keberagaman (diversity), keberagaman yang ada di lingkungannya yaitu perbendaharan kosa kata sebuah bahasa terpancar dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan sosial dan lingkungan budaya berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni dan lain sebagainya, periksa Fill dan Muhlhausler (2001:2).

e. Parameter lingkungan (environment) adalah parameter yang menjelaskan adanya hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut, termasuk pula ke dalamnya lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat sebuah bahasa berada dan digunakan. f. Klasifikasi metafora; Metafora diklasifikasikan ke dalam beberapa

kategori, yaitu metafora berdasarkan tingkat konvensional, metafora berdasarkan fungsi kognitif, atau berdasarkan pengalaman tubuh dan panca-indera, berikutnya metafora berdasarkan lingkungan alam, lihat Kovecses (2006:127-129)


(33)

g. Dimensi ideologis (ideological dimension) yaitu hal yang berkaitan dengan pikiran manusia dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu yang terekam dalam kognitif, mental, ideologi, dan sistem psikis, periksa Lindo dan Jeppe (2000:10).

h. Dimensi sosiologis (sociological dimension) yaitu hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, termasuk ke dalamnya adalah rasa saling mengenal, saling menyayangi, saling membenci, lihat Lindo dan Jeppe (2000:10).

i. Dimensi biologis (biological dimensional) yaitu sesuatu hal yang berkaitan dengan kehidupan biota alam dan segala sesuatu yang terdapat dalam alam, termasuk ke dalamnya lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan spesies lain yaitu flora, fauna dan lainnya (ecoregion), periksa Lindo dan Jeppe (2000:10).

j. Ranah sumber (source domain) yaitu pola acuan atau rujukan dalam pembentukan metafora, periksa Kovecses (2006:117).

k. Ranah target (target domain) yaitu sasaran yang menjadikannya sebagai metafora, periksa Kovecses (2006: 117).

l. Pemetaan atau pemetaan silang ranah (cross domain mapping), yaitu transformasi dari ranah sumber kepada ranah target dalam pembentukan metafora, periksa Kovecses (2006:117).

m. Pengalaman tubuh (bodily experience) atau pengalaman inderawi yaitu pengalaman empirik yang dialami oleh tubuh manusia dan


(34)

juga yang dialami melalui inderawi manusia, periksa Kovecses (2006: 118).

n. Hubungan ontologis, merupakan interelasi yang melibatkan entitas dalam dua ranah dan hubungan epistimik, melibatkan hubungan pengetahuan tentang kedua entitas tersebut, periksa Kovecses (2006:128).


(35)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Ekolinguistik

Kajian ekolinguistik yang pada awal kemunculannya dinamakan sebagai kajian ekologi bahasa merupakan paradigma baru yang berkaitan dengan hubungan ekologi dan linguistik yang diprakarsai oleh Einar Haugen pada tahun 1970. Kajian ini menyandingkan kajian bahasa dengan ekologi yang dapat didefinisikan sebagai sebuah kajian atas interaksi antara bahasa-bahasa dengan lingkungannya atau lingkungan tempat keberadaan bahasa itu digunakan, periksa Haugen (1972:323).

Pada hakikatnya Haugen berupaya menggunakan analogi dari ekologi dan lingkungan dalam menciptakan metafora berupa metafora ekosistem yang ditujukan untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok komunitas pengguna bahasa dan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan, lihat Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1). Selanjutnya Fill dan Muhlhausler (2001:2) menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam hubungannya dengan kognitif manusia pada komunitas multilingual dengan keberagaman bahasa yang mereka miliki.


(36)

Peneliti bahasa pada umumnya banyak membicarakan permasalahan-permasalahan bahasa yang berkaitan dengan fonologi, kaidah-kaidah bahasa dan leksikon. Jarang sekali pembicaraan yang mengarah kepada ekologi bahasa, padahal menurut Haugen (1972: 325), penelitian ekologi bahasa atau ekolinguistik dapat merambah luas dan bekerja sama dengan antropologi, sosiologi, psikologi dan ilmu politik. Hal ini disebabkan kajian ekolinguistik sejatinya merupakan kajian interaksi antara bahasa apa saja dengan lingkungannya.

Definisi lingkungan di sini mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia nyata tempat bahasa itu digunakan karena lingkungan alam dari sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa tersebut. Selanjutnya Haugen (1972: 326) menggambarkan bahwa bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak penggunanya dan hanya berfungsi menghubungkan penggunanya dengan sesama dan kepada alam yaitu lingkungan sosial, lingkungan buatan dan lingkungan alam.

Fill dan Muhlhausler (2001:57) berpendapat bahwa ekolinguistik melibatkan teori-teori, metodologi, dan studi empiris bahasa, serta berkontribusi dalam perspektif semua level linguistik yang berkaitan atau berhubungan dengan ekologi. Jangkauan ekolinguistik luas karena kajian ini dapat menentukan beberapa disiplin ilmu bahasa, seperti:

a. Menemukan teori bahasa yang tepat. b. Studi tentang sistem bahasa dan teks.

c. Studi keuniversalan bahasa yang relevan dengan isu-isu lingkungan. d. Studi bahasa yang bertalian dengan pendekan kontrastif.


(37)

e. Mempelajari bahasa yang berkaitan dengan ekoliterasi (ecoliteracy), seperti pengajaran pemahaman ekologi kepada anak-anak dan orang dewasa.

Cabang linguistik ini banyak menggunakan metafora ekosistem untuk menjelaskan hubungan dan interaksi bermacam-macam bentuk bahasa yang ada di dunia. Dalam bentuk metafora tersebut Haugen membuat perbandingan hubungan antara ekologi dengan spesies hewan atau fauna dan tanaman atau flora, serta seluruh kandungan mineral yang berada di lingkungan ekologi tersebut. Haugen juga menjelaskan hubungan kelompok masyarakat pengguna bahasa-bahasa dengan lingkungannya baik lingkungan alam maupun lingkungan buatan. Muhlhausler (1995) dalam Fill dan Muhlhausler (2001:1), selanjutnya menjelaskan bahwa Haugen berupaya menciptakan suatu studi ekologi dan bahasa dalam interelasi dan interdependensi dengan kognitif manusia pada komunitas yang multilingual.

Peneliti-peneliti dari Universitas Bielefelde di Jerman saat ini mulai mengarahkan penelitian mereka ke kajian ekolinguistik. Ide mentransfer konsep-konsep, prinsip-prisip, dan metode-metode, ekologi dan biologi kepada bahasa berkembang pesat. Pieter Finke (1983, 1993, 1996) mentransformasikan konsep-konsep ekosistem ke dalam sistem bahasa dan sistem kultural, seperti yang dijelaskan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:44-45). Ilmuwan ini mengkritik leksikon yang digunakan industri agrikultur untuk kepentingan bisnis dan perdagangan. Kata-kata seperti production replace, growing, dan giving yang sebenarnya dapat mengandung makna positif, di dalam dunia industri berubah


(38)

menjadi makna metafora yaitu pembunuhan (killing) dan pelenyapan (taking away) yang terjadi.

Ruang kajian ekolinguistik menurut Haugen seperti yang dilaporkan oleh Mbete (2009:11-12) memiliki keterkaitan dengan sepuluh ruang kaji linguistik lainnya. Dalam penelitian ekolinguistik sejumlah subdisiplin linguistik dapat disandingkan dengan satu atau lebih dari sepuluh ruang kaji tersebut. Kesepuluh ruang kaji tersebut adalah, Sosiolinguistik, Dialektologi, Linguistik Historis Komparatif, Linguistik Demografi, Dialinguistik, Filologi, Glotopolitik, Linguistik Preskriptif, Tipologi Bahasa, dan Etnolinguistik termasuk pula Antropolinguistik, atau Linguistik Kultural.

2.1.1 Hubungan Bahasa dan Ekologi

Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001:2), pada tahun 1912 menulis tentang bahasa dan lingkungan yang beranggapan bahwa lingkungan fisik dari sebuah bahasa terdiri atas karakter geografi sebagai topografi dari sebuah negara, berhubungan dengan iklim, termasuk pula ke dalamnya flora dan fauna, curah hujan, serta sumber daya alam yang merupakan sumber kehidupan dan sumber ekonomi manusia yang terekam secara verbal. Sehingga, menurutnya kosa kata yang terdapat dalam bahasa-bahasa itu akan berbeda satu sama lain bergantung pada sosiokultural dan lingkungan (ecoregion) tempat bahasa itu digunakan. Perbedaan ini hanya bersangkut paut dengan unsur-unsur leksikal dan tidak berakibat kepada kaidah atau prinsip struktur bahasa tersebut.


(39)

Vokabulari dari sebuah bahasa tidak hanya bergantung atau dipengaruhi oleh lingkungan fisik bahasa tersebut, akan tetapi lingkungan sosial masyarakat penuturnya juga sangat berperan dalam pembentukan vokabulari sebuah bahasa. Lingkungan sosial dimaksud terdiri atas kekuatan masyarakat yang membentuk kehidupan dan pikiran setiap individu seperti agama, kepercayaan, etika, dan pemahaman tentang politik.

Berdasarkan klasifikasi dari ke dua lingkungan ini kelengkapan vokabulari bahasa dapat mengindikasikan pengetahuan, minat, pekerjaan serta pandangan hidup penuturnya dan tempat bahasa atau masyarakat tutur tersebut berada. Penutur bahasa yang hidup di pegunungan akan memiliki khasanah vokabulari yang lebih banyak berkaitan dengan lembah, ciri tanah, jenis burung, jenis tumbuhan, kehidupan lebah, dan kehidupan satwa liar yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion). Sebagai contoh suku Noocka Indian yang secara ekonomis hidupnya sangat bergantung kepada kekayaan hutan memiliki vokabulari kelautan yang sangat minim. Demikian pula penutur bahasa yang bermukim di pesisir pantai memiliki lebih banyak khasanah vokabulari yang berkaitan dengan lingkungan kelautan, seperti yang terjadi pada suku Paiute, Arizona. Mereka lebih banyak mengenal dan menciptakan nama-nama ikan, ganggang, bunga karang, pasir dan semua kandungan laut.

Contoh lain dapat pula dilihat pada bahasa Aceh yang digunakan oleh masyarakat tutur di Desa Trumon yang menjadikan beras sebagai makanan pokok dan bahan panganan sebagai kudapan, memiliki vokabulari kuliner


(40)

yang lebih banyak berkaitan dengan pade ‘padi’dan bu ‘nasi’, sebagai contoh, eumping pade ‘padi sangrai yang ditumbuk’, bu kulah, bu phet, bu leukat, bu leumak, bu kanji, bu kuneng, dan bu leugok.

Selanjutnya, Sapir beranggapan bahwa bahasa yang diucapkan oleh seseorang sangat bergantung kepada pikiran dan tingkah laku orang tersebut yang terefleksi kepada bentuk vokabulari yang dituturkannya. Anggapan ini dikenal dengan hipotesis Sapir–Whorf yang diperkenalkan oleh Whorf dalam tulisannya tahun 1956.

Secara biologis, pada umumnya manusia memiliki kemampuan sama dalam kapasitas mempelajari bahasanya. Seperti yang diutarakan oleh Halliday (2001:21-22) bahwa kemampuan ini sama halnya dengan kemampuan manusia tersebut pada saat belajar berjalan serta belajar berdiri. Kesemuanya ini tidak bergantung kepada tingkat intelegensia sesorang. Secara ekologis sesungguhnya manusia adalah makhluk ekologis yang unik, karena setiap orang mempunyai pengalaman yang berbeda antara satu dengan lainnya walaupun berada dalam pola lingkungan yang sama dan bahasa yang sama pula.

Pengalaman yang sifatnya personal ini senantiasa berhubungan dengan lingkungannya. Lingkungan ini pula yang membentuk kultur manusia tersebut dan juga membentuk pola penggunaan bahasa seseorang yang seterusnya terekam dalam kognitif orang tersebut. Pandangan ini sejalan dengan pandangan Heine (1997:3) bahwa bahasa merupakan produk interaksi manusia dengan dunia sekelilingnya, dunia alamih dan dunia sosial. Cara


(41)

seseorang menciptakan tuturannya dan membangun kemampuan linguistiknya dapat langsung tergambar dari pengalaman yang diperoleh dari pengetahuan dan pengalaman tentang lingkungan dan mengaplikasikan pengalaman tersebut dalam komunikasi yang spesifik dengan sesama.

Rekaman pengalaman yang paling dekat dan paling lekat adalah tentang dunia nyata sekitar, baik yang bersifat kultural maupun yang bersifat alamiah. Oleh karena itu, fungsi awal imajineri adalah menggambarkan lingkungan di sekitar dengan menggunakan bahasa karena bahasa didasari imajinari yang ada di otak dan pengalaman manusia (Palmer 1996:3 ; lihat Mbete, 2010:7).

Pakar ekolinguistik, Haugen (1972:326) menggambarkan lingkungan alam sebuah bahasa adalah masyarakat pengguna bahasa itu, dan bahasa sesungguhnya hanya ada di dalam otak atau kognitif penuturnya yang hanya berfungsi menghubungkan penutur dengan sesamanya, dan dengan alam sekitar yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam. Makna lingkungan di sini juga mencakup pikiran seseorang yang merujuk kepada dunia atau wilayah tempat bahasa itu ada dan digunakan.

Lebih lanjut Haugen (1972:325) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan ekologi pada dasarnya terjadi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah lingkungan psikologikal (psychological environment) yaitu pengaruh lingkungan terhadap bahasa-bahasa dalam pikiran atau kognitif penutur bahasa-bahasa tersebut, dan bagian ke dua adalah sosiologikal yaitu


(42)

hubungan lingkungan dengan masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut sebagai media komunikasi mereka.

Bahasa layaknya species yang hidup di lingkungan alam yang dapat hidup dan berkembangbiak, dapat berubah dan dapat pula lenyap atau mati. Jika bahasa itu digunakan oleh bertambah banyak penuturnya maka bahasa itu akan tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Namun jika jumlah penuturnya sedikit dan dominasi terus berkurang, dikhawatirkan bahasa itu akan bergeser, berubah, lenyap atau berevolusi.

Mufwene (2004:146) berpendapat bahwa ini semua dapat terjadi disebabkan oleh evolusi bahasa. Pakar ekolinguistik ini membedakan dua jenis evolusi bahasa. Pertama, evolusi progresif yaitu perubahan yang menuju ke arah perubahan yang berkembang pesat seperti bahasa Inggris Amerika yang digunakan masyarakat tutur di benua Amerika bahkan di pelbagai belahan dunia dewasa ini. Kedua, evolusi yang beranalogikan kepada evolusi teori Darwin yang menganggap evolusi terjadi melalui proses seleksi alam. Subtipe dari teori Darwin di mana spesis suatu populasi berasal dari atau muncul berbeda dari lainnya. Walaupun bahasa tidak termasuk ke dalam spesies biologi namun rentang umur bahasa dan linguistik berhubungan satu sama lain sebagaimana hubungan dalam rumpun biologi. Evolusi bahasa terjadi melalui seleksi alam dapat disebabkan oleh eksploitasi lingkungan alam dan bencana alam, serta perkembangan teknologi. Evolusi ini dapat dilihat pula pada idiolek dari individu penutur yang berbeda antara satu penutur dengan penutur lainnya.


(43)

Hasil penelitian Lucy (1996) tentang bahasa Yucatec Maya seperti yang diungkap oleh Kovecses (2006:323) menghasilkan satu temuan bahwa keberadaan bentuk plural dalam bahasa Yucatec sifatnya opsional dan kadangkala hanya diberlakukan kepada benda-benda hidup. Pola bahasa ini berkaitan dengan pola pikir penutur jati yang hanya peka kepada jumlah entitas yang hidup dan tidak kepada yang mati. Hal ini juga terimbas kepada cara pandang mereka kepada lingkungan pedesaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Yucatec.

Hasil penelitian Ashok Kelkar tentang bahasa Inggris suku Marathi (1957), dibicarakan oleh Haugen (1972:335) bahwa bahasa Inggris yang digunakan oleh suku Marathi sebagai media komunikasi tidak sama dengan bahasa Inggris yang dituturkan oleh penutur asli. Masyarakat tutur di Marathi tidak hanya mengadopsi sistem bunyi bahasa Marathi ke dalam bahasa Inggris, lebih dari itu mereka juga mengaplikasikan sistem gramatikal bahasa mereka sendiri ke dalam bahasa Inggris. Bentuk gramatikal tersebut sejatinya tidak terdapat di dalam sistem bunyi dan kaidah bahasa Inggris, sehingga amat sulit bagi penutur asli bahasa Inggris untuk mengerti dan memaknai isi pembicaraan yang dituturkan oleh masyarakat tutur Inggris Marathi. Sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Inggris Marathi secara otomatis menyesuaikan diri dengan sistem bunyi dan sistem gramatikal bahasa Marathi, karena bahasa dan lingkungan tempat bahasa itu digunakan saling terkait erat.


(44)

2.1.2 Parameter Ekolinguistik

Untuk menggambarkan keterkaitan antara bahasa dan lingkungan diperlukan adanya kajian interdisipliner yang menyandingkan kajian ekologi dengan linguistik, seperti yang diungkap oleh Mbete (2011:1). Ekologi merupakan ilmu yang menggeluti hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan alam sekitarnya, termasuk pula menjelaskan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya yang tentu saja bergayut dengan bahasa manusia itu.

Kajian interdisipliner yang awalnya diprakarsai oleh Einar Haugen memadukan konsep ekologi dengan linguistik ini, pada awalnya mengkaji metafora. Kajian ini menerapkan konsep dasar berupa parameter ekologi bersatu padu dengan kajian linguistik kognitif, seperti yang dijelaskan oleh Fill dan Muhlhausler (2001:1). Parameter ekologi dimaksud adalah kesalingterhubungan (interrelationship), lingkungan (environment), keberagaman (diversity), digunakan sebagaimana berlaku dalam analisis wacana lingkungan, antropolinguistik pragmatik, semantik kognitif, dan lainnya. Ketiga-tiga parameter ini akhirnya diaplikasikan ke dalam kajian penelitian ekolinguistik. Ketiga-tiganya saling terkait erat dan saling melengkapi. Ketiga-tiganya senantiasa diaplikasikan secara bersamaan dalam penelitian ekolinguistik. Ketika kajian ekolinguistik membicarakan parameter ekolinguistik pastilah ketiga terminologi, keberagaman (diversity), kesalingterhubungan (interrelationship), dan lingkungan (environment), tersebut dibicarakan saling berkaitan. Berikut ini secara khusus dibicarakan.


(45)

2.1.2.1 Parameter Keberagaman (Diversity)

Fill dan Muhlhausler (2001:2) mengutarakan bahwa keberagaman (diversity) perbendaharan kosa kata sebuah bahasa memancarkan lingkungan fisik dan lingkungan sosial atau lingkungan budaya tempat bahasa itu berada dan digunakan. Lingkungan fisik dimaksud merupakan lingkungan alam, geografi yang menyangkut topografi seperti, iklim, biota, curah hujan, sedangkan lingkungan kebudayaan berkaitan dengan hubungan antara pikiran dan aspek kehidupan masyarakat tersebut seperti agama, etika, politik, seni, dan lain sebagainya. Kelengkapan kosa kata bahasa itu bergantung pula kepada cara pandang, sikap, dan perilaku serta pekerjaan (profesi) masyarakat tutur bahasa tersebut.

Keberagaman jenis species fauna, flora di satu lingkungan alam paralel dengan keberagaman vokabulari bahasa di dalam lingkungan sosial masyarakat tutur tersebut demikian pula sebaliknya. Keberagaman biota ini memperkaya khasanah vokabulari bahasa tersebut. Keberagaman juga dapat ditujukan atau berimplikasi kepada hubungan antara ranah sumber dan ranah target dalam sebuah metafora. Kepada sebuah ranah target dapat diaplikasikan beberapa ranah target, demikian pula sebaliknya sebuah ranah target dapat berasal dari beberapa ranah sumber.

2.1.2.2 Parameter Kesalingterhubungan (Interrelationship)

Keberadaan spesies dan kondisi kehidupan mereka tidak dapat dipandang sebagai dua bagian terpisah, tetapi sebagai satu bagian yang utuh, demikian pula halnya dengan bahasa ibu dan etnik tidak dapat


(46)

dicirikan secara individual. Hubungan paralel ini tidak berarti bahwa bahasa dan spesies biologi sama dalam semua hal. Satu hal mutlak yang dapat membedakan keduanya adalah bahwa bahasa bukanlah organisme hidup. Bahasa ditranformasikan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh penutur bahasa dan penggunaannya. Berbeda dengan spesies biologi yang diturunkan melalui perkawinan.

Eksistensi sebuah bahasa sangat bergatung kepada jumlah penuturnya. Penamaan dan pengklasikasian nama tumbuhan dan hewan serta jenis batu-batuan bergantung kepada konvensi penuturnya. Istilah konvensi di sini tidak dapat diartikan sebagaimana lazimnya istilah konvensi yang digunakan dalam linguistik yaitu istilah yang mengacu kepada hubungan arbitrer antara bentuk atau lambang linguistik dengan makna yang dikandungnya. Istilah konvensi ini dialamatkan kepada tingkat kesepakatan penggunaan bahasa dalam komunitas bahasa tesebut.

Parameter keterhubungan atau parameter kesalingterhubungan antara linguistik dengan ekologi merupakan hubungan timbal balik antara makhluk di lingkungan alam tersebut dengan ekologinya yang dapat terpantul pada metafora ekologi yang bernuansa isu lingkungan, dikodekan ke dalam bahasa dalam jangkauan yang luas. Konsep metafora seperti yang digambarkan oleh Kovecses (2006:171), berisikan skema sumber yang dalam hal ini menyangkut ranah yang bersifat fisik dikodekan secara verbal kepada ranah yang bersifat abstrak seperti, pada metafora green house, green speak, dan lainnya.


(47)

Metafora ekologi menurut Fill dan Muhlhausler (2001:104), banyak bergantung kepada sosiokultural dan unsur kognitif masyarakat tutur bahasa tersebut. Waktu, situasi, dan ranah penggunaan bahasa juga memengaruhi bentuk metafora bahasa tersebut. Keterhubungan antara unsur-unsur ini jelas tergambar seperti yang terjadi pada awal abad kesembilan belas, kebutuhan akan air sebagai bahan pokok kehidupan, secara eksklusif disejajarkan dengan uang yang memunculkan metafora seperti central money supply, ‘central water supply’, dan metafora water is money, sangat popular saat itu. Dalam praksisnya metafora Inggris water is money atau metafora bahasa Indonesia, air itu uang juga jelas menggambarkan betapa sumber air (mineral) dieksploitasi dan bernilai ekonomis tinggi, di antaranya juga merusak dan menggerus lingkungan.

Parameter keterhubungan antara bahasa dengan ekologi di Desa Trumon terlihat adanya metafora POK-POK DRIEN. Pok-pok adalah batang bambu yang dipotong panjangnya sekitar satu meter (2-3 ruas) kemudian bambu tersebut dibelah dua. Bagian pangkal bambu diikat dengan tali agar tidak mudah lepas dan salah satu belahan dipasang tali. Media ini digantungkan pada pohon durian atau buah-buahan lainnya yang sedang berbuah. Bila tali ditarik akan mengeluarkan suara gaduh. Fungsi dari benda tersebut untuk mengusir binatang yang akan memakan buah-buahan. Dalam pemaknaannya secara metaforis pok-pok dialamatkan kepada orang yang banyak cakap dan mengumbar janji. Seperti dalam tuturan, babah jih POK-POK DRIEN. Artinya dia itu besar cakap saja.


(48)

2.1.2.3 Parameter Lingkungan (Environment)

Manusia berinterelasi, berinteraksi, bahkan berinterdependensi dengan pelbagai entitas yang ada di lingkungan tertentu (ecoregion), memberi nama dalam bahasa lokalnya, memahami sifat-sifat dan karakter yang dikodekan secara verbal, semata-mata demi tujuan dan kepentingan-kepentingan manusia (antroposentrisme) dan juga karena manusia adalah makhluk ekologis yang memang tidak dapat tidak membutuhkan segala yang ada demi hidupnya secara biologis (biosentrisme), baik hewan, tumbuhan, bebatuan, maupun udara dan keluasan pandangan secara ragawi (kosmosentrisme).

Berbagai cara manusia memengaruhi lingkungannya, sebagaimana yang pernah dibicarakan sebelumnya. Sikap masyarakat terhadap lingkungan alam banyak didasari oleh pola kultural masyarakat tersebut. Sebagai contoh pandangan suatu masyarakat terhadap daging binatang seperti lembu, babi, ayam, itik kambing sebagai makanan manusia berkaitan dengan kebutuhan manusia.

Keberadaan binatang-binatang tersebut yang menyangkut dengan perkembangbiakannya sangat diperhatikan oleh masyarakat yang ada dalam lingkungan alam itu. Pada gilirannya sifat alamiah dari binatang itupun menjadi bagian dari perhatian masyarakat dengan kata lain pengetahuan lokal dan pengetahuan manusia tentang lingkungan alam telah berpengaruh kepada pandangan hidup, kultur, bahasa dan kosmologi masyarakat yang bergantung kepadanya. Menurut Muhlhausler (2003:37) bahwa klasifikasi


(49)

hewan dan tumbuhan secara nyata merupakan refleksi dari lingkungan dengan keanekaragaman hayatinya tempat tinggal masyarakat tersebut.

Lingkungan alam dijadikan sebagai parameter membangun atau memberi nama-nama tersebut dalam kurun waktu yang sangat panjang, yang diturunkan secara berkesinambungan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Dari hasil penelitiannya Muhlhausler (2003:59) mengemukakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk pelabelan nama dapat memakan waktu lebih kurang tiga ratus tahun lamanya untuk menghubungkan sebuah bahasa dengan lingkungan biologis penuturnya.

Parameter lingkungan (environment) yang menjadi acuan pada lingkungan alam di Desa Trumon dapat dilihat pada kehidupan siput yang secara alamiah hidup dalam dua lingkungan alam yaitu lingkungan darat dan lingkungan air. Dari kehidupan siput terbentuk sebuah metafora yaitu ABO UDEP DUA PAT. Secara harfiah ungkapan ini mengandung makna ‘siput hidup pada dua tempat’, yaitu: abo ‘siput’, udep ‘hidup’, dua

‘dua’dan pat’ tempat’menjelaskan kehidupan siput yang dapat bertahan hidup di dalam dua lingkungan alam yang benar-benar berbeda yaitu di daratan dan di dalam air. Kehidupan siput seperti ini membentuk sebuah metafora yang tertuju kepada sifat atau perilaku seseorang yang dapat menyesuaikan diri di semua lingkungan sosial budaya dan semua kalangan masyarakat.

Ketiga parameter ekologi yang diterapkan dalam kajian ekolingustik yakni: (1) lingkungan (environment), (2) keberagaman (diversity), (3) interelasi


(50)

(interrelation), interaksi (interaction), interdependensi (interdependention), kendatipun dalam uraian ini dipilah-pilah, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Di lingkungan tertentu, misalnya di Desa Trumon, Aceh, pasti terdapat keberagaman atau keanekaragaman hayati dan nonhayati (abiotik) baik tumbuhan, hewan, manusia, maupun benda-benda (abiotik) lainnya. Di lingkungan itu pula selalu terjadi interaksi, interelasi, dan interdependensi khususnya antara masyarakat penutur bahasa Aceh dengan keberagaman atau keanekaragaman yang ditandai dan direkam secara verbal.

Kendatipun masyarakat tutur bahasa Aceh memiliki bahasa yang sama yakni bahasa Aceh, derajat kedekatan (degree of familiriaty) dengan entitas-entitas tertentu di lingkungan tertentu itu berbeda-beda pula sebagaimana tercermin pada ketelitian khazanah kata yang mengkodekannya (lihat. Sapir dalam Fill and Muhlhausler, 2001: 16). Dalam kaitan dengan kerangka pikir ini, Haarmann, seperti yang dikutip oleh Fill dan Muhlhausler (2001: 44) menegaskan pula adanya variabel etnodemografi dan variabel etnokultural dalam hal ini para penutur bahasa dengan perbedaan derajat keakrabannya dan pengetahuannya, variabel etnokultural yang dipahami sebagai tradisi dan budaya etnik dan subetnik tertentu, masing-masing dengan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman berinteraksi, berinterelasi, dan berinterdependensi dengan entitas-entitas tertentu secara sangat khusus dan variatif pula. Kekhususan itu tercermin pada khazanah kata bahkan ungkapan-ungkapan metaforik bersumberkan keanekaragaman tetumbuhan atau hewan, atau juga unsur-unsur abiotik yang diakrabi di ecoregion


(51)

Derajat kedekatan itulah yang dapat saja membedakan antar kelompok penutur atau subkelompok penutur bahasa yang sama di lingkungan (ecoregion) tertentu dengan kelompok lainnya dalam bahasa yang sama. Variasi ungkapan metaforik itulah yang memperkaya khazanah keberagaman bahasa dan ungkapan-ungkapan suatu bahasa. Dilacak lebih jauh, sebuah ungkapan-ungkapan atau beberapa ungkapan metaforik dalam bahasa yang sama, dapat saja hanya dimiliki, dipahami, dan digunakan di lingkungan tertentu saja sesuai dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan tertentu. Sebagai contoh, terdapat 51 metafora yang digunakan oleh masyarakat Trumon akan tetapi tidak di gunakan di desa lain yang berdekatan yaitu Desa Meukek, Desa Bakongan dan Sawang. Mereka hanya mengetahui makna harfiah dari setiap metafora tersebut, dan mengakui bahasa tersebut sebagai bahasa Aceh akan tetapi mereka tidak mengetahui dan atau tidak memahami makna metaforis yang terkandung dalam semua metafora tersebut. Pemahaman ini sangat bergantung dengan derajat kedekatan interelasi, interaksi, dan interdependensi dengan keanekaragaman hayati dan nonhayati di lingkungan Desa Trumon.

2.1.3 Teori Dialektikal Sosial Praksis

Pada umumnya kajian-kajian linguistik di abad ke 21 merupakan turunan dari kajian linguistik yang berasal dari pandangan Ferdinand de Saussure kecuali kajian ekolinguistik, seperti yang dinyatakan oleh Lindo dan Jeppe (2000:9). Ekolinguistik merupakan payung yang dapat memayungi dan menyelesaikan keberagaman-keberagaman lingkungan alam dan lingkungan


(52)

bahasa melalui pendekatan-pendekatan teori secara luas. Dalam pandangan kajian ini norma-norma bahasa merupakan bagian dari praksis sosial (social praxis). Berpatokan kepada teori yang bertalian dengan praksis sosial, pakar ekolinguistik menganggap bahwa bahasa merupakan produk sosial dari semua kegiatan manusia, namun pada waktu bersamaan bahasa itu sendiri dapat mengubah atau memodifikasi kegiatan-kegiatan manusia dan praksis sosial manusia.

Interelasi dan interdependensi yang tergambar antara keterhubungan bahasa dan praksis sosial, menurut Lindo dan Jeppe (2000:9), merupakan sebuah hubungan dialektikal antara bahasa dan praksis sosial. Lebih lanjut Lindo dan Jeppe (2000:9) menjelaskan bahwa dalam hubungan dialektikal ini praksis sosial mendominasi bahasa. Pendominasian praksis sosial terhadap bahasa disebabkan oleh satu pemahaman bahwa praksis sosial tanpa bahasa mungkin saja terjadi, akan tetapi baik secara historis maupun secara logis, bahasa tanpa praksis sosial mustahil terjadi. Lindo dan Jeppe (2000:10) juga berpendapat bahwa penelitian ilmiah terhadap bahasa juga merupakan penelitian ilmiah tentang praksis sosial, sehingga teori bahasa juga merupakan teori-teori praksis sosial. Ini berarti secara disadari maupun tidak semua teori-teori bahasa berhubungan dengan praksis sosial.

Akibat keterhubungan antara teori bahasa dan teori praksis sosial, kajian ekolinguistik merancang sebuah teori linguistik yang dihubungkan dengan teori dialektikal praksis sosial yang dikenal sebagai The Three dimensionality of social praxis (Tiga Dimensi Praksis Sosial). Teori tiga dimensi praksis sosial


(53)

merupakan teori ekolinguistik yang banyak dipergunakan oleh Odense School, sekolah yang didirikan oleh Bang and Door (1998). Teori ini diaplikasikan dalam mengamati lingkungan dan isu-isu lingkungan untuk menjelaskan tentang norma-norma bahasa lingkungan yang direpresentasikan dalam bentuk kerangka teori.

Menurut Lindo dan Jeppe (2000:10) teori tiga dimensi tersebut adalah, pertama dimensi ideologis (the ideological dimension), yaitu hubungan individual dan mental kolektif, kognitif dan sistem psikhis seseorang yang terlefleksi pada bahasa, khasanah kebahasaan dengan kandungan maknanya dan perilakunya. Berikutnya dimensi sosiologis (sociological dimension) yaitu tentang cara seseorang mengorganisasi hubungan antara sesama untuk membangun, menjalin dan memelihara keharmonisan hubungan individual secara kolektif, seperti rasa saling menyayangi satu sama lain di antaranya rasa saling menyayangi dalam anggota keluarga, atau antara sesama teman, dan saling mengenal antara tetangga atau suku. Ketiga adalah dimensi biologis (biological dimension) yaitu yang bertautan dengan lingkungan alam dan hidup berdampingan dengan alam serta seluruh isinya, termasuk ke dalamnya spesies flora, fauna, batu-batuan, mikro dan makro organisme.

Berdasarkan teori dialektikal ini, tidak ada satu kejadianpun atau perwujutan yang monodimensi atau monologikal. Lindo dan Jeppe (2000:11) menjelaskan bahwa aktivitas bernafas sebenarnya bukan sekedar kegiatan biologis manusia, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mental dan sosial manusia. Kajian ekolinguistik tiga dimensi praksis sosial ini mengandung arti


(54)

bahwa bahasa juga merupakan tiga dimensi entitas dari praksis sosial. Oleh sebab itu kajian linguistik perlu mengurai bahasa dalam tiga dimensi ini. Menurut pandangan kedua pakar ini, ekolinguistik merupakan sebuah kajian keterhubungan bio-, sosio-, dan ideo-logis dimensi bahasa, sehingga hubungan mental, kognitif, lingkungan sosial harus saling bahu membahu.

2.2 Linguistik kognitif

Linguistik kognitif merupakan kajian linguistik yang dianggap masih baru kemunculannya. Walaupun tahun kelahirannya masih belum diketahui secara jelas tetapi Barcelona dan Javier (2007:17) menyatakan bahwa teori ini muncul sekitar tahun 1987. Pada tahun tersebut tiga buku ditulis oleh pakar linguistik seperti Lakoff (1987) yang menulis, Woman, Fire, and Dangerous Things, Langacker (1987) menulis, Foundation of Cognitive Grammar, dan Johnson (1987) menulis

The Body in The Mind. Pada tahun 1989 mereka membentuk sebuah asosiasi yang bernama International Cognitive Linguistic Association (ICLA) dan pada tahun 1999 asosiasi ini mengadakan konferensi pertamanya.

Lebih lanjut Barcelona dan Javier (2007:18-22) menjelaskan bahwa linguistik kognitif mengganggap, kemampuan seseorang belajar dan menggunakan bahasa ibunya merupakan kemampuan yang unik yang berada pada mental seseorang yang khusus dibawa sejak lahir. Kemampuan ini berbeda dengan kemampuan kognitif manusia secara umum (kemampuan ketajaman mata, sensori motorik, kemampuan kinesthetic seseorang atau kemampuan lainnya). Kemampuan manusia berbahasa dalam memahami makna ucapan dan kalimat banyak dipengaruhi oleh kultur, konteks, dan fungsi ucapan. Seseorang


(55)

membentuk, membangun dan mengerti ucapan pada umumnya berdasarkan pengalaman yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia.

Arti kata atau kalimat dalam stuktur linguistik pada level bervariasi, bukan semata-mata gabungan seperangkat ciri-ciri simbol yang abstrak yang bersifat universal dan tidak pula secara arbitrer. Akan tetapi arti morfem, kata, dan struktur sintaksis pada umumnya lebih kepada bentuk-bentuk modifikasi yang bersumber dari pengalaman tubuh manusia yang seterusnya disetujui secara konvensional oleh masyarakat tutur. Itulah sebabnya linguistik kognitif beranggapan bahwa bahasa merupakan sebuah produk kemampuan kognitif yang mendasar berkaitan dengan pengalaman yaitu pengalaman berdasar pada pengalaman diri pribadi (bodily experience) dan juga pengalaman sosio- kultural (social/cultural experience).

Pada umumnya semua pakar linguistik kognitif setuju bahwa pengalaman diri manusia memainkan peranan yang paling utama dalam semantik dan struktur garamatikal sebuah bahasa yang berada dalam kognitif manusia. Teori linguistik dan metodologis linguistik kognitif harus konsisten sebagai studi empiris yang dikenal dengan terminologi, kognitif, otak dan bahasa. Studi ini juga beranggapan bahwa makna sebuah ujaran tidak muncul secara terpisah dengan orang yang menuturkannya. Bukti empiris dapat dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat, orang-orang yang banyak berkecimpung dalam masalah-masalah politik lebih banyak mengukapkan kata-kata atau leksikon-leksikon yang berhubungan dengan hal-hal yang bertalian dengan politik. Bidang kajian pustaka kognitif banyak


(56)

mengarah kepada kajian metafora, metonimi, mental space, conceptual blending theory, iconic, dan image- scema.

2.3 Metafora

Sebuah metafora dibangun dari unsur-unsur leksikal dan adanya referensi yang dirujuknya. Monroe Beardsley, menurut Recoeur (2005:81) bahwa metafora adalah “sebuah puisi miniatur” dan menggolongkan metafora sebagai sebuah kiasan yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan leksikal.

Teori metafora yang dikenal sebagai kajian linguistik, menurut Recoeur (2005:81), Sugiharto (2006: 102) sesungguhnya berasal dari pandangan para pakar retorika kuno yang sudah mengalami revisi. Kata metafora itu sendiri berasal dari bahasa Yunani metaforaa yang terdiri atas dua leksis yaitu meta yang berarti setengah atau sebagian atau tidak sepenuhnya dan phora yang berarti

referensi atau acuan.

Lebih lanjut, Recoeur (2005:82) menjelaskan bahwa dalam kajian retorika kuno metafora diklasifikasikan sebagai sebuah kiasan, yaitu sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan kata dalam proses denominasi. Kemudian Recoeur (2005:84) menambahkan bahwa pakar retorika kuno seperti Aristoteles dalam karyanya Poetic menyebutkan “sebuah metafora adalah pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang lain, suatu transfer yang terjadi dari genus ke spesies, dari spesies ke genus dan dari spesies ke spesies secara analogi”. Oleh sebab itulah


(57)

maka sudah berabad-abad lamanya metafora selalu dikaitkan dengan nomina saja dan tidak dikaitkan pada diskursus.

Menurut Sugiharto (2006:103) Aristoteles juga menandai metafora ke dalam tiga ciri penting. Pertama, metafora adalah sesuatu yang dikenakan pada nomina. Ciri kedua, metafora didefinisikan dalam konteks gerakan (epiphora) yaitu pemindahan atau pergerakan dari sesuatu kepada sesuatu lainnya dan berlaku bagi semua bentuk transposisi istilah. Ciri ketiga, metafora merupakan tranposisi sebuah nama yang ‘asing’ (allotrios) yaitu nama yang sesungguhnya milik nama sesuatu benda yang lain. Implikasi dari ketiga ciri tersebut bahwa istilah metafora mengandung tiga gagasan yang berbeda berpadu dalam sebuah kesatuan yang tak terpisahkan yaitu substitusi sebuah leksikon biasa yang semestinya ada dan peminjaman dari suatu ranah asal ke ranah lain.

Para filosof selain Aristoteles pada awalnya menganggap metafora hanya sebagai lahan kajian yang kurang diminati dan hanya dibicarakan pada kajian-kajian yang menyangkut bidang kesusasteraan, bidang seni, dan bidang retorika, karena dianggap tidak dapat menggambarkan atau menyatakan keadaan yang sebenarnya. Mereka menganggap arti yang dikandung oleh sebuah metafora selalu mengaburkan dan menimbulkan ketaksaan makna. Oleh sebab itu para filosof merasa bahwa penggunaan metafora dalam membicarakan filsafat sangat tidak dibenarkan, namun ketika mereka menemukan ihwal filsafat yang tidak bisa mereka selesaikan dengan menggunakan bahasa umum, mereka beralih ke metafora dan akhirnya penggunaan metafora dalam membicarakan kajian filsafat dibenarkan, seperti diungkap oleh Goatly (1997:1-3).


(1)

2. Nama : Teuku Hasan Ali Tempat Lahir : Tapak Tuan Usia : 51 tahun Pekerjaan : Petani sawit

Pendidikan : Sekolah Menengah Atas Alamat : Keudee Trumon

3. Nama : Habibi Samsuddin Tempat Lahir : Kuta Fajar

Usia : 48 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Pendidikan : Sekolah Menengah Atas Alamat : Keudee Trumon

4. Nama :

Tempat Lahir : Trumon Usia : 40 tahun Pekerjaan : wiraswasta Pendidikan : D3 Pendidikan Alamat : Keudee Trumon

Keterangan : Tidak bersedia menyebutkan nama 5. Nama : Cut Hasanah Umar

Tempat Lahir : Trumon Usia : 59 tahun Pekerjaan : Petani pala Pendidikan : Madrasah Aliah Alamat : Keudee Trumon 6. Nama : Nursaadah Amin

Tempat Lahir : Kuta Fajar Usia : 61 tahun

Pekerjaan : Mantan guru agama Pendidikan : Madrasah Aliah Alamat : Gampong Teungoh 7. Nama : Cut Ainul Mardiah

Tempat Lahir : Ujong Batee Usia : 51 tahun Pekerjaan :

Pendidikan : Sekolah Menengah Atas Alamat : Gampong Teungoh


(2)

8. Nama : Teungku H. Abu Ayub, SAg Tempat Lahir : Cawang

Usia : 41 tahun Pekerjaan : Guru MIN Pendidikan : S1 IAIN

Alamat : Gampong Teungoh 9. Nama : Samsul Bahri

Tempat Lahir : Gampong Teungoh Usia : 47

Pekerjaan : Wiraswasta Pendidikan : D3 Ekonomi Alamat : Gampong Teungoh

10.Nama :

Tempat Lahir : Trumon Usia : 58 tahun

Pekerjaan : purnawirawan TNI AD Pendidikan : Sekolah Menengah Atas Alamat : Gampong Tengoh

Keterangan : tidak bersedia menyebutkan nama. 11.Nama : Teuku Saifulah Sufi

Tempat Lahir : Tapak Tuan Usia : 59 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : Sekolah Menengah Atas Alamat : Panton Bilee

12.Nama : Syarifah Hamidah, SP Tempat Lahir : Trumon

Usia : 49 Pekerjaan : PNS

Pendidikan : SI Pertanian Alamat : Panton Bilee

13.Nama :

Tempat Lahir : Meukek Usia : 47 tahun Pekerjaan : petani pala

Pendidikan : Sekolah Menengah Kejuruan Alamat : Panton Bilee

14.Nama : Cut Fatimah Azahra Tempat Lahir : Trumon


(3)

Pekerjaan : PNS di PUSKESMAS Pendidikan : AKBID

Alamat : Panton Bilee Keterangan :

15.Nama :

Tempat Lahir : Panton Bilee Usia : 64 Tahun Pekerjaan : petani pala

Pendidikan : Sekolah Madrasah Aliah Alamat : Panton Bilee

Keterangan : tidak bersedia menyebutkan namanya. 16.Nama : Husen Ridwan

Tempat Lahir : Krueng Batee Usia : 56 tahun Pekerjaan : nelayan

Pendidikan : Sekolah Menengah pertama Alamat : Kreung Batee

17.Nama :

Tempat Lahir : Sawang Usia : 64 tahun Pekerjaan : wiraswasta

Pendidikan : Sekolah menengah Atas Alamat : Kreung Batee

Keterangan : Tidak bersedia menyebutkan namanya 18.Nama : H. Nurdin Samaun SH

Tempat Lahir : Sawang Usia : 61 Tahun

Pekerjaan : Pensiunan PNS Kantor Kecamatan Trumon Pendidikan : SI Hukum

Alamat : Kreung Batee 19.Nama : Siti Zubaidah

Tempat Lahir :Tapak Tuan Usia : 49 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Kreung Batee

20.Nama : Samsinar Banta Cut Tempat Lahir : Bakongan

Usia : 55 tahun

Pendidikan : Sekolah Pendidikan Guru Pekerjaan : Guru Sekolah Dasar


(4)

Alamat : Kreung Batee

Lampiran 8 Nama Profil Partisipan, Desa Seunabok Jaya, Bakongan dan UjungTanoh

1. Nama : Teuku Salamuddin Ahmad Tempat Lahir : Seunabok Jaya

Usia : 64 tahun

Pendidikan : Madrasah Aliah

Pekerjaan : Wakil Ketua Lembaga Adat Alamat : Dusun I Seunabok Jaya

2. Nama : Muhammad Arsyat Hasbuh S. Ag Tempat Lahir : Sawang

Usia : 49 tahun

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Guru MIN Seunabok Alamat : Dusun I Seunabok Jaya 3. Nama : Zakaria Nyak Umar

Tempat Lahir : Ujong Tanoh

Usia : 59 tahun

Pendidikan : SMU

Pekerjaan : Wakil Ketua Lembaga Adat Alamat : Ujong Tanoh

4. Nama : H. Banta Cut Tempat Lahir : Bakongan

Usia : 52 tahun

Pendidikan : SMU

Pekerjaan : Wakil Ketua Lembaga Adat


(5)

BIODATA A. Data Pribadi

Nama : Nuzwaty

Nip : 19550723 198403 2 002

Tempat/Tgl Lahir : Medan / 23 Juli 1955 Pangkat/Golongan : IV A

Perguruan Tinggi : Universitas Islam Sumatera Utara Alamat Kantor : Jl. Karya Bakti No. 34 Medan Telp.Kantor : 061-76215857

Alamat Rumah : Jl. Karya Wisata Komplek Taman Johor Baru B1 No. 3, Medan

Telp.Rumah/Hp : 061-7850565 / 081397655048

Email : nuzwaty@yahoo.co.id

B. Riwayat Pendidikan

1. Sekolah Dsasar Taman Siswa Medan, tamat tahun 1968

2. Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa Pematang Siantar, tamat tahun 1971

3. Sekolah Asisten Apoteker ( SAA) Negeri Medan, tamat tahun 1974

4. Sarjana (SI) Fakultas Sastera Universitas Sumatera Utara, Jururan Bahasa Inggris, tamat tahun 1981

5. Magister (S2) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Jurusan Linguistik 2002

6. Doktor (S3) Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Konsentrasi Linguistik 2014

C. Riwayat Pekerjaan

1. Instructor Save The Children Galang Refugee Camp, Pulau Galang, Riau 1982-1983

2. Indonesian Language Instructor Mobil Oil Indonesia Inc, Training Center Lhok Seumawe, Aceh 1984-1985

3. Dosen PNS Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan 1984-1987

4. Dosen PNS Kopertis Wilayah I dpk pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Lhok Seumawe, Aceh 1988- 2003

5. Dosen PNS Kopertis Wilayah I dpk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (2004 hingga sekarang)


(6)

D. Pulikasi Ilmiah dalam Jurnal

1. Struktur Fonologi, Morfologi, dan Sintaksis Bahasa Anak Usia 2-3 Tahun: Studi Kasus Ria Antasari , JULISA, Jurnal Linguistik Dan Sastra, Fakultas Sastra UISU, Vol 5, No 1 April 2005, TERAKRIDITASI No 23a/ DIKTI/Kep./2004.

2. Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Bilingual: Kajian Sosiolinguistik Masyarakat Tutur Bahasa Jawa Di Medan, LANGUE, Jurnal Bahasa dan Sastra Kopertis Wilayah I NAD–SUMUT, Vol 9 1 Januari 2010, ISSN 1693-3842.

3. Metaphorical Expression of Bahasa Aceh in Trumon of South Aceh: Ecolinguistics Study, IOSR Journal Of Humanities And Social Science (IOSR-JHSS), Volume 19, Issue 11, Ver.II (Nov. 2014), PP 00-00 e-ISSN: 2279-0837, p-e-ISSN: 2279-0845. www.iosrjournals.org