merupakan kajian semantik leksikal. Makna kata itu dianggap sebagai satuan mandiri, bukan makna kata dalam kalimat Pateda, 2010:74. Jadi, menurut
semantik leksikal, makna satu kata sesuai dengan referennya, sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan
kita. Kata merupakan tumpuan dalam pembahasan semantik leksikal. Sweet dalam Palmer 1976:37 membagi kata atas kata penuh full words, kata tugas, dan
partikel form words. Kata penuh mengandung makna tersendiri. Kata ini bebas konteks kalimat sehingga mudah dianalisis. Misalnya, nomina, verba, ajektiva,
dan adverbia. Kata tugas merupakan bentuk bebas yang terikat konteks kalimat. Kata ini mengandung makna apabila berada dalam kalimat. Contohnya,
pronomina, numeralia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, interjeksi. Partikel merupakan bentuk terikat yang melekat pada kata dasar dan
terikat pada konteks kalimat. Semantik berkaitan dengan semiotik. Dalam semantik, kata disebut
lambang symbol sedangkan dalam semiotik lambang itu sendiri disebut tanda sign Pateda 2010:25. Sebagai pengguna bahasa, masyarakat dikelilingi oleh
tanda. Tanda-tanda itu mengandung makna. Dalam semiotik natural ditelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam Pateda, 2010: 31. Misalnya, air sungai
keruh menandakan bahwa di hulu telah turun hujan, tanah longsor memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang ekolinguistik masih sangat terbatas, sehingga masih banyak lagi tugas bagi peneliti dalam lingkup ekolinguististik, khususnya tentang
Universitas Sumatera Utara
ekologi persawahan dan perladangan. Beberapa artikel penelitian ekolinguistik sudah ada yang menelitinya, di antaranya sebagai berikut:
Penyusutan Fungsi Sosioekologis Bahasa Melayu Langkat pada Komunitas Remaja di Stabat, Langkat oleh Aron Meko Mbete dan
Abdurrahman Adisaputera 2009.
Dari hasil tes penguasaan leksikon sosioekologis terhadap responden terungkap bahwa rata-rata pemahaman remaja tentang leksikon bahasa Melayu
Langkat BML tergolong rendah. Perubahan dipicu oleh 1 kurangnya interaksi komunitas remaja dengan entitas yang bercirikan ekologi Melayu, 2 langka
bahkan punahnya entitas sehingga tidak terkonsep dalam alam pikiran penutur, dan 3 konsepsi leksikal penutur tentang entitas-entitas itu bukan dalam piranti
BML, tetapi dalam bahasa lain. Yang dijadikan acuan dari penelitian ini adalah penyebab perubahan pemahaman leksikon sebagaimana disebutkan diatas, teknik
pengumpulanpemerolehan, dan analisis data. Dalam penelitian mereka, pemerolehan data dilakukan dengan mendokumentasi leksikon BML terkait
dengan lingkungan alamiah komunitas Melayu di Stabat. Adisaputra 2009 yang meneliti tentang Potensi Kepunahan Bahasa Pada
Komunitas Melayu Langkat di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara ,
penelitian ini dilakukan oleh 230 orang responden remaja dari 1500 orang populasi yang dijadikan sebagai sampel. Data yang digunakan adalah pengakuan
diri self report dengan memilih jawaban yang tersedia pada instrumen kuesioner. Selain itu, data diperoleh melalui pengamatan langsung dengan cara pengamatan
berpartisipasi. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa adanya pergeseran bahasa dari BML ke BI. Hal ini ditandai oleh tingginya penggunaan BI dalam interaksi
Universitas Sumatera Utara
komunikasi sehari-hari 20 meskipun masih dalam wilayah Melayu, 2 responden tidak mengakui bahwa BI tidak sama dengan BML. 3 responden tidak
lancar dan tidak paham menggunakan BML. Penelitian ini memberikan kontribusi teori – teori ekolinguistik terhadap
penelitian yang akan dilakukan sehingga memberikan motivasi kepada penulis untuk meneliti keterancaman leksikon ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi
Kabupaten Tapanuli Selatan: kajian Ekolinguistik. Penelitian yang dilakukan Adisaputra berbeda demgam penelitian ini, Adisaputra membahas tentang
pergeseran menuju arah kepunahan bahasa Melayu di Stabat sedangkam penelitian ini adalah keterancaman leksikon ekoagraris dalam persawahan dan
perladangan serta nilai budaya dan kearifan lingkungan ekoagraris di Kecamatan Sayurmatinggi.
Yusradi Usman 2010 meneliti tentang Penyusutan Tutur dalam Masyarakat Gayo: pendekatan Ekolinguistik.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan hasil dalam penelitian ini adalah 1 konsep tutur dalam masyarakat Gayo; munculnya tutur dalam
msyarakat Gayo tidak berdiri sendriri melainkann ada faktor sosial budaya yang merangkainya. Hal tersebut tidak terlepas dari nilai budaya Gayo yang terdiri dari
pelbagai nilai. Nilai-nilai yang dimaksud adalah imen iman, mukemel harga diri, tertip tertib, setie setia, semayang gemasih kasih sayang, mutentu kerja
keras, amanah amanah, genap mupakat musyawarah, alang tulung tolong menolong, dan bersikemelen kompetitf. Hubungan darah perkawinan, belah
klan, terjadinya kecelakaan, perkelahian, membantu seseorang, dan mengadopsi anak merupakan perangkai social yang membentuk tutur masyarakat Gayo. 2
Universitas Sumatera Utara
klasifikasi, bentuk, dan fungsi tutur dalam masyarakat Gayo diklasifikasikan menjadi beberapa buntuk tutur yaitu: 1 patut atau muperdu bentuk tutur yang
sudah baku; 2 museltu terbentuk akibat faktor tertentu; 3 mantut peralihan tutur ke bentuk yang sebenarnyaseharusnya; 4 uru-uru tindak betutur akibat
ikut – ikutan; 5 gasut pemakaian tutur yang kerap berubah – ubah. 3 penyusutan tutur; perubahan sosio-ekologis yang terjadi di dataran tinggi tanoh
Gayo sangat mempengaruhi penyusutan tutur hkususnya di daerah Takengon yang dikenal dengan pluralitas etnik, hal ini dapat mempengaruhi masyarakat
Gayo secara psikologis dan sosial dalam bertutur. 4 bentuk tutur baru variasi tutur; yaitu : tetap, jarang, dan tidak dipakainya lagi tutur serta tercipta bentuk
tutur baru. Penelitian penyusutan tutur dalam masyarakat Gayo memberikan
kontribusi dalam hal teori – teori ekolinguistik. Perbedaan penelitian yang dilakukan Usman Yusradi dengan penelitian ini adalah penelitian Usman Yusradi
mengenai penyusutan tutur sedangkan penelitian ini keterancaman leksikon.
Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar: Kajian Ekolinguistik Sukhrani. 2010
Penelitian yang dilakukan oleh Sukhrani 2010 dalam “Leksikon Nomina Bahasa Gayo dalam Lingkungan Kedanauan Lut Tawar adalah menggunakan
metode penelitian kualitatif. Pemerolehan data leksikon bahasa Gayo yang berhubungan dengan lingkungan ragawi Lut Tawar melalui dokumen tertulis,
observasi nonpartisipan, dan wawancara mendalam. Selanjutnya hasil penelitian menyangkut gambaran pemahaman leksikon nomina bahasa Gayo guyub tutur
dengan lingkungan ragawi Lut Tawar adalah 1 saat ini sebagian besar penutur
Universitas Sumatera Utara
bahasa Gayo pria dan wanita dari masing-masing kelompok usia masih mengenal dan sering mendengar maupun menggunakan leksikon nomina bahasa Gayo yang
berhubungan dengan lingkungan kedanauan Lut Tawar 2 Leksikon kedanauan Lut Tawar
yang diteliti tingkat pemahamannya lebih didominasi nomina karena begitu beragam dan kayanya Lut Tawar akan nama biota dalam dan sekitar danau
dan nama alat tangkap ikan, dan 3 Leksikon nomina bahasa Gayo dalam lingkungan kedanauan Lut Tawar sebagian besar masih dikenal dan digunakan
dalam berkomunikasi. Faktor penyebab kebertahanan leksikon nomina tersebut adalah karena biodiversitas lingkungan sekitar danau, penuntur dari masing-
masing kelompok usia masih berinteraksi dengan lingkungan ragawi yang beragam, dan penutur dari masing-masing kelompok usia masih sering berbahasa
Gayo dalam keseharian.
Ketahanan Khazanah Lingual Pertanian Guyab Tutur Bahasa Bima dalam Perspektif Ekolinguistik Kritis Umiyati, 2011
Penelitian ketahanan khazanah lingual pertanian guyub tutur bahasa bima dilakukan dengan menghimpun leksikon-leksikon, teks-teks tentang lingkungan
hidup, wacana-wacana, dokumen-dokumen, publikasi serta publikasi serta hasil interview. Penelitian ini dilakukan di dua desa dan dua kelurahan yang tersebar di
dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu. Hasil penelitian ini menyimpulkan ketahanan khazanah lingual pada ranah
pertanian masih sangat terjaga, ditandai dengan kemunculan sejumlah leksikon khas ranah pertanian dalam sejumlah metafora dan ungkapan-ungkapan yang lahir
dari kearifan lokal setempat. Dalam pandangan ekolinguistik pandangan green
Universitas Sumatera Utara
grammar dijadikan sebagai bentuk struktur yang ideal untuk menyelaraskan
kalimatklausa yang ada pada guyub tutur ini dengan alam. Penelitian yang berjudul Ketahanan khazanah LingualPertanian Guyub
Tutur Bahasa Bima dalam Persfektif Ekolinguistik Kritis ini memberikan
kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan dalam hal teori ekolinguistik yang terbilang baru di Indonesia dalam usaha pelestarian lingkungan.
Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Umiyati dengan penelitian ini adalah mengenai bentuk metafora dari sejumlah leksikon pertanian dan pandangan
kajian green grammar dalam ungkapan-ungkapan pelestarian alam lingual pertanian guyub tutur bahasa Bima. Penelitian ini mendeskripsikan leksikon
ekoagraris bahasa Angkola Mandailing khususnya leksikon persawahan dan perladangan di Kecamatan Sayurmatinggi dan mendeskripsikan nilai budaya serta
kearifan lingkingan terhadap ekoagraris di daerah ini.
Tradisi Lisan Upacara Perkawinan Adat Tapanuli Selatan Pemahaman leksikon pada Remaja di Padangsidempuan, Amri, 2011
Penelitian yang dilakukan Amri 2011 menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dia menyimpulkan pertama, tradisi lisan pada upacara
perkawinan adat Padangsidempuan merupakan suatu kebiasaan dan masih terselenggara. Kedua, tradisi lisan upacara adat yang dianalisis adalah leksikon
yang berasal dari lingkungan sebnyak 272 kata yang dikelompokkan menjadi 16 kelompok.
Hasil penelitian tersebut terjadi penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan upacara adat Tapanuli Selatan. Faktor utama penyebab terjadinya
penyusutan pemahaman leksikon tradisi lisan pada upacara adat tersebut karena
Universitas Sumatera Utara
ketua adat belum maksimal menyampaikan atau mengajari orosedur adat pada generasi berikutnya. Lembaga adat belum mensosialisasikan adat pada remaja,
pagelaran budaya adat sangat jarang diselenggarakan. Nilai kearifan lokal tradisi lisan upacara adat mengandung nilai kegotong-royongan, kerukunan,
keikhlasan, identitas, kekerabatan. Kontribusi penelitian Amri terhadap penelitian leksikon ekoagraris dalam bahasa Angkola Mandailing khusunya
leksikon persawahan dan perlangan di Kecamatan Sayurmatinggi adalah cara pengolahan data kuantitatif.
Leksikon Ekologi Kesungaian Lau Bingei: Kajian Ekolinguistik Surbakti, 2011
Penelitian ini dilakukan oleh Surbakti yang bertujuan untuk mendeskripsikan leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei, mendeskripsikan
pemahaman guyub tutur bahasa Karo terhadap leksikon ekologi kesuangaian Lau Bingei
dan menjelaskan nilai-nilai budaya dan kearifan lingkungan guyub tutur bahasa Karo melalui leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil analisis data ini juga dijelaskan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif. Sumber data primer penelitian ini adalah kata-kata dari informan yang berprofesi sebagai pembuat obat tradisional dan petani di lingkungan irigasi Namo
Sira-sira Kecamatan Sei Bingei. Selanjutnya, data sekunder merupakan dokumen tertulis berupa kamus bahasa Karo dan buku-buku yang berhubungan dengan
lingkungan kesungaian Lau Bingei. Pengumpulan data penelitian ini terkait dengan nomina dan verba melalui
wawancara mendalam dan observasi partisipan. Selanjutnya proses analasis data
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Miles and Hubberman. Hasil penelitian ini terdapat 14 kelompok leksikon ekologi kesungaian Lau Bingei
sebanyak 520, masing-masing terdiri dari 409 leksikon nomina dan 111 leksikonverba. Nilai budaya yang terdapat dalam leksikon ekologi kesungaian Lau
Bingei yaitu 1 nilai sejarah 2 nilai religious dan keharmonisan 3 nilai sosial dan budaya 4 nilai kesejahteraan 5 nilai ciri khas. Sementara, nilai kearifan
lingkungan yaitu 1 nilai kedamaian 2 nilai kesejahteraan gotong royong 3 penentuan batas wilayah, dan 4 penentuan arah.
Penelitian Surbakti memberikan kontribusi terhadap penelitian ini dalam hal teori-teori ekolinguistik dan metode penelitian. Perbedaan penelitian Surbakti
ini adalah mengenai leksikon ekologi kesungaian sedangkan penelitian ini keterancaman leksikon ekoagraris.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sayurmatinggi Kabupaten Tapanuli Selatan. Kecamatan Sayurmatinggi terdiri atas delapan belas desa dan satu
kelurahan, yaitu 1 Desa Sialang, 2 Desa Sipange Julu, 3 Desa Sipange Godang, 4 Desa Tolang Julu, 5 Desa Sipange Siunjam, 6 Desa Janji
Mauli Baringin, 7 Desa Mondang, 8 Desa Tolang Jae, 9 Desa Bange, 10 Desa Bulu Gading, 11 Desa Silaiya Tanjung Leuk, 12 Desa
Silaiya, 13 Desa Aek Libung, 14 Kelurahan Sayurmatinggi, 15 Desa Lumban Huayan, 16 Desa Aek Badak Jae, 17 Desa Aek Badak Julu,
18 Desa Hutapardomuan, 19 Desa Somanggal Parmonangan. Sumber: BPS. Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Sayurmatinggi dalam Angka 2013.
Kecamatan ini dipilih sebagai lokasi penelitian disebabkan, Kecamatan Sayurmatinggi adalah memiliki areal persawahan dan perladangan yang luas,
Kecamatan Sayurmatinggi adalah pusat sumber air irigasi Bendungan Batang Angkola yang mengairi persawahan dua wilayah kabupaten, Kecamatan
Sayurmatinggi adalah pusat perdagangan hasil bumi dari dua wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sayurmatinggi dan Kecamatan Tantom Angkola, Kecamatan
Sayurmatinggi adalah salah satu lumbung padi terbesar di Kabupaten Tapanuli Selatan, Masyarakat Kecamatan Sayurmatinggi dalam melaksanakan budidaya
tanaman padi dan palawija secara tradisional mulai hilang. Semuanya ini berpengaruh pada kekayaan leksikon ekoagraris yang ada di Kecamatan ini.
Universitas Sumatera Utara