bahasa AngkolaMandailing terhadap leksikon ekoagraris khususnya dalam persawahan dan perladangan di kecamatan Sayurmatinggi yaitu leksikon
nomina,verba, dan ajektiva hasil data tersebut telah diuraikan di atas berdasarkan pemahaman guyub tutur bahasa Angkola Mandailing melalui beberapa kategori.
5.6.1 Nilai sejarah
Mandailing atau Mandahiling diperkirakan berasal dari kata Mandala dan Holing, yang berarti sebuah wilayah Kerajaan Kalingga. Kerajaan Kalingga
adalah kerajaan Nusantara yang berdiri sebelum Kerajaan Sriwijaya, dengan raja terakhir Sri Paduka Maharaja Indrawarman yang mendirikan Kesultanan
Dharmasraya setelah di-Islamkan oleh utusan Khalifah Utsman bin Affan pada abad ke-7 M. Sri Paduka Maharaja Indrawarman adalah putra dari Ratu Shima.
Sri Paduka Maharaja Indrawarman kemudian dibunuh oleh Syailendra, pendiri Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 itu juga. Pada abad ke-10, Kerajaan Chola dari
wilayah Tamil, India Selatan, dengan rajanya Rajendra telah menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menduduki wilayah Mandailing, yang kemudian dikenal dengan
nama Ang Chola baca: Angkola. Ang adalah gelar kehormatan untuk Rajendra. Kerajaan India tersebut diperkirakan telah membentuk koloni mereka, yang
terbentang dari Portibi hingga Pidoli. Dalam Bahasa Minangkabau, Mandailing diartikan sebagai mande hilang yang bermaksud ibu yang hilang.
Dalam hal ini banyak sejarahwan asing menjadikan Mandailing menjadi sub etnis dari Batak mulai pada masa pemerintahan Belanda, padahal orang-orang
Mandailing sendiri menolak untuk disatukan dalam etnis Batak dalam administrasi pemerintahan Belanda pada awal abad 20 lalu, yang dikenal sebagai
Universitas Sumatera Utara
Riwajat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Soengai Mati, Medan pada tahun 1925, yang berlanjut ke pengadilan. Hingga akhirnya, berdasarkan hasil keputusan
Pengadilan Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia, Mandahiling diakui sebagai etnis terpisah dari Batak, karena etnis Batak sendiri sebenarnya lebih muda dari
etnis Mandailing berdasarkan silsilah yang diakui etnis Batak sendiri Tarombo si Raja Batak,- nenek moyang orang Batak, yang ibunya yang bernama Deak Boru
Parujar berasal dari etnis Mandailing. Etnis Mandailing sendiri menurut silsilahnya berasal dari etnis Minangkabau.
Adat istiadat suku Mandailing diatur dalam Surat Tumbaga Holing Serat Tembaga Kalinga, yang selalu dibacakan dalam upacara-upacara adat. Orang
Mandailing mengenal tulisan yang dinamakan Aksara Tulak-Tulak, yang merupakan varian dari aksara Proto-Sumatera, yang berasal dari huruf Pallawa,
bentuknya tak berbeda dengan Aksara Minangkabau, Aksara Rencong dari Aceh, Aksara Sunda Kuna, dan Aksara Nusantara lainnya. Meskipun Suku Mandailing
mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha pustaka. Namun amat sulit
menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke-19. Umumnya pustaka-pustaka ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib,
ramalan-ramalan tentang waktu yang baik dan buruk, serta ramalan mimpi. Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal
maupun matrilineal. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga. Di Mandailing hanya dikenal belasan marga saja, antara lain Lubis, Nasution,
Harahap, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondang, dan Hutasuhut. Bila orang Batak
Universitas Sumatera Utara
mengenal pelarangan kawin semarga, maka orang Mandailing tidaklah mengenal pelarangan kawin semarga. Hal inilah yang menyebabkan marga orang Batak
bertambah banyak, karena setiap ada kawin semarga, maka mereka membuat marga yang baru. Di lain pihak orang-orang dari etnis Mandailing apabila terjadi
perkawinan semarga, maka mereka hanya berkewajiban melakukan upacara korban, berupa ayam, kambing atau kerbau, tergantung status sosial mereka di
masyarakat, namun aturan adat itu sekarang tidak lagi dipenuhi, karena nilai-nilai status sosial masyarakat Mandailing sudah banyak berubah, terutama di
perantauan. Berdasarkan hal ini tergambar suatu pergeseran budaya AngkolaMandailing yang mengarah pada keterancamankepunahan suatu
leksikon bahasa itu sendiri.
5.6.2 Nilai sosial dan budaya