Pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap pemahaman siswa pada konsep bunyi

(1)

PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

TERHADAP PEMAHAMAN SISWA

PADA KONSEP BUNYI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh:

LIA MARDIANTI 106016300655

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Lia Mardianti, “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Pemahaman Siswa pada Konsep Bunyi”. Skripsi, Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pemahaman siswa pada konsep bunyi dalam pembelajaran kontekstual. Pengambilan data telah dilaksanakan pada Maret sampai April 2011 di SMP Negeri 1 Kosambi Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen, dengan sampel 80 siswa kelas VIII yang diambil dari 2 kelas yang berbeda dengan teknik sampling Cluster Random Sampling. Kelas eksperimen diberi perlakuan pembelajaran kontekstual dengan metode inkuiri dan kelas kontrol yang diberi perlakuan pembelajaran kontekstual dengan metode konvensional. Instrumen yang digunakan adalah tes pilihan ganda sebanyak 18 butir soal dengan 4

alternatif pilihan jawaban. Berdasarakn uji statistik (α = 0,05) diperoleh thitung

(6,39) > ttabel (1,999), sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

kontekstual dengan metode inkuiri memberikan pengaruh pemahaman siswa yang signifikan dalam mempelajari konsep bunyi dibandingkan siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode demonstrasi.


(6)

ABSTRAC

Lia Mardianti, The Influence of Contextual Learning to Student Understanding on The Concept of Sound. Skripsi, Program Study of Physic,

Major Education of Natural Science, Faculty of Tarbiya’ and Teacher

Training, Syarif Hidayatullah Islamic State University, Jakarta. 2011.

This aim of this research to know the influence of student understanding in the concept of sound by Contextual Learning. The data was taken in March to April 2011 at state Junior High School 1 Kosambi Tangerang. The research method was quasi experiment, with 80 students from class VIII as sample, that was taken by Cluster Random Sampling. Experiment was that given contextual learning treatment with inquiry method and control class that given contextual learning treatment with conventional method. The instrument is used multiple choice test with 18 question and 4 alternative answer. Based on statistical analysis (α = 0,05), obtained that score (6,39) > ttabel (1,999). So, it can be conclued that

contextual learning with inquiry method can be influence significantly students understanding.


(7)

KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum. Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh

Pembelajaran Kontekstual terhadap Pemahaman Siswa pada Konsep Bunyi”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam teriring kepada Baginda Rasulullah SAW, sebagai pembawa peradaban yang membawa manusia keluar dari masa kegelapan dan kebodohan menuju masa yang penuh cahaya dan semoga salam tetap tercurah pada keluarga dan para sahabatnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Baiq Hana Susanti, M.Sc., selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Nengsih Juanengsih, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Iwan Permana S, M.Pd., selaku selaku Ketua Program Studi Pendidikan Fisika. 5. Nurlena Rifai, MA., Ph.D., selaku pembimbing I yang dengan sabar, tulus, dan ikhlas telah memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6. Kinkin Suartini, M.Pd., selaku pembimbing II yang dengan sabar, tulus, dan ikhlas telah memberikan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(8)

8. Wahab, S.Pd., selaku guru IPA SMP Negeri 1 Kosambi Tangerang.

9. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Secara khusus penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah, Ibu dan kakak tercinta (Madiya, S.Pd, Mariyam, dan Didi Sarmadi, S.P.), yang telah melimpahkan segenap kasih sayang yang tak terhingga dan tak henti-hentinya memberikan do‟a yang tulus.

Penulis juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, sehingga penulis dengan terbuka menerima segala bentuk kritik dan saran yang bersifat membangun untuk lebih sempurna skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Wassalaamu’alaikum.Wr.Wb.

Ciputat, Juni 2011


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRAC ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 4

C.Perumusan Masalah ... 4

D.Pembatasan Masalah ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN

TEORETIS

, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A.Pendekatan Contextual Teaching and Learning ... 6

1. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual ... 8

2. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran ... 9

3. Urgensi Pembelajaran Kontekstual ... 12

4. Tujuh Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual ... 13

5. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional ... 18


(10)

B. Pembelajaran Kontekstual dengan Metode Inkuiri ... 20

1. Siklus Inkuiri ... 22

2. Proses Pembelajaran dengan Metode Inkuiri ... 24

3. Karakter Inkuiri ... 25

C.Pemahaman Konsep ... 27

D.Bunyi ... 30

E. Hasil Penelitian yang Relevan ... 36

F. Kerangka Berpikir ... 39

G.Hipotesis Penelitian ... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

B. Metode Penelitian ... 41

C.Desain Penelitian ... 41

D.Prosedur Penelitian ... 42

E. Variabel Penelitian ... 43

F. Populasi dan Sampel... 43

G.Teknik Pengumpulan Data ... 44

H.Instrumen Penelitian ... 44

I. Teknik Analisis Data Tes ... 47

J. Teknik Analisis Data Non Tes ... 50

K.Hipotesis Statistik ... 50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 51

B.Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 59

B.Saran ... 59


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Bagan Keterkaitan Antar Komponen ... 14

Gambar 2.2 Bentuk Pembelajaran Kontekstual ... 20

Gambar 2.3 Bagan Siklus Inkuiri ... 23

Gambar 2.4 Proses Inkuiri ... 24

Gambar 2.5 Peta Konsep Bunyi ... 31

Gambar 2.6 Resonansi pada Ayunan Bandul ... 34

Gambar 2.7 Hukum Pemantulan Bunyi ... 35

Gambar 2.8 Bagan Kerangka Berpikir ... 40

Gambar 3.1 Bagan Alur Prosedur Penelitian ... 43

Gambar 4.1 Grafik Persentase Respon Positif dan Respon Negatif Siswa... 55


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan

Pendekatan Tradisional ... 18 Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 41 Tabel 4.1 Rekapitulasi Ukuran Pemusatan dan Penyebaran

Data Hasil Pretest-Posttest Kelompok Eksperimen dan

Kelompok Kontrol... 51 Tabel 4.2 Hasil Uji Normalitas Pretest-Posttest

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 52 Tabel 4.3 Hasil Uji Homogenitas Pretest-Posttest

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 53 Tabel 4.4 Hasil Uji t Pretest dan Posttest

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 54 Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Angket ... 54


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 62

Lampiran 2 Lembar Kegiatan Siswa ... 74

Lampiran 3 Kisi-kisi Instrumen Penelitian ... 80

Lampiran 4 lnstrumen Tes ... 81

Lampiran 5 Kisi-kisi Angket... 87

Lampiran 6 Instrumen Angket ... 88

Lampiran 7 Hasil Analisis Angket ... 89

Lampiran 8 Rekap Analisis Butir... 90

Lampiran 9 Hasil Butir Soal Pretest- Posttest Kelas Eksperimen ... 92

Lampiran 10 Hasil Butir Soal Pretest-Posttest Kelas Kontrol ... 94

Lampiran 11 Rekapitulasi Hasil Pretest-Posttest Kelompok Eksperimen dan Kontrol ... 96

Lampiran 12 Perhitungan Data Statistik Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen ... 98

Lampiran 13 Perhitungan Data Statistik Pretest dan Posttest Kelompok Kontrol ... 104

Lampiran 14 Uji Normalitas Pretest-Posttest Kelompok Eksperimen ... 110

Lampiran 15 Uji Normalitas Pretest-Posttest Kelompok Kontrol... 112

Lampiran 16 Uji Homogenitas Pretest dan Posttest ... 114

Lampiran 17 Uji Hipotesis Pretest dan Posttest ... 116

Lampiran 18 Perhitungan Tabel ... 118


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, khususnya untuk mata pelajaran fisika yaitu rendahnya tingkat pemahaman konsep fisika. Banyak siswa yang merasa tidak menyukai pelajaran fisika karena mereka beranggapan bahwa pelajaran fisika sulit, menakutkan dan tidak bermanfaat dalam kehidupannya.1 Agar pembelajaran fisika disukai oleh siswa maka pelaksanaan pembelajaran haruslah menyenangkan dan menantang. Untuk itu proses kegiatan belajar mengajar sangatlah dominan dalam melaksanakan skenario pembelajaran.

Pada saat proses pembelajaran berlangsung, nampak beberapa atau sebagian besar siswa belum belajar sewaktu guru mengajar. Selama pembelajaran guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa baru mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum dapat menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual.

Fisika merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan fenomena alam secara sistematis. Selain itu pembelajaran fisika juga melibatkan siswa secara aktif untuk berinteraksi dengan objek konkrit. Dilihat dari pembelajaran yang diterapkan oleh pendidik di lapangan terdapat kecenderungan bahwa proses belajar mengajar di kelas berlangsung secara klasikal dan hanya bergantung pada buku teks dengan metode pengajaran yang menitikberatkan proses menghafal dari

1

Elok Sudibyo, dkk, Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Fisika Siswa SMPN 3 Porong, Jurnal Pendidikan Dasar.Vol.9 No.1, Maret 2008, h. 7.


(15)

pada pemahaman konsep, sehingga pembelajaran menjadi tidak bermakna bagi siswa.

Materi fisika yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep bunyi. Pemilihan materi ini dilakukan karena konsep ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun sering siswa mengalami kesulitan dalam memahami fenomena-fenomena yang berkaitan dengan bunyi. Pembelajaran berbasis kontekstual yang senantiasa mengaitkan konsep dengan kehidupan sehari-hari dapat membantu siswa memahami konsep-konsep bunyi dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa supaya hasil belajar yang diperoleh lebih baik.

Aspek yang mendasar yang dimiliki fisika adalah eksistensinya sebagai pengetahuan yang lahir dari pengamatan dan fakta-fakta. Artinya, dalam memahami sesuatu tentang gejala alam, fisika selalu mendasarkan kegiatan pengamatan atau observasi dan memperoleh kebenarannya secara empiris melalui panca indera. Dari pengamatan dan fakta-fakta inilah terbentuk konsep-konsep fisika yang mendasar terbangunnya ilmu fisika.2 Oleh karena itu untuk mentransfer konsep-konsep fisika dari guru ke siswa seharusnya juga diberikan penekanan pada kegiatan pengamatan secara langsung. Hal ini dimaksudkan agar terbentuk konsepsi yang jelas dan benar secara keseluruhan. Disamping itu, pengamatan secara langsung mempunyai manfaat bagi penataan struktur kognitif siswa. Sebelum memasuki pelajaran fisika, siswa sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan fisika. Pemenuhan komponen-komponen pokok pengajaran sebagai tuntutan yang mendasar harus mengacu kepada hakikat sains yakni bersifat eksperimental.

Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, siswa melihat makna di dalam tugas sekolah. Ketika siswa menyusun proyek atau menemukan permasalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihan, menerima tanggung jawab, mencari informasi dan menarik kesimpulan, ketika

2


(16)

mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka mengaitkan isi akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan, dengan cara ini mereka menemukan makna.3

Pembelajaran yang dilaksanakan melalui pendekatan kontekstual diharapkan mampu mengubah cara belajar siswa yang selama ini lebih banyak bersifat menunggu informasi dari guru ke pembelajaran yang bermakna. Dengan terbiasanya siswa belajar secara bermakna dan menemukan sendiri konsep-konsep materi yang dipelajari, diharapkan kualitas proses dan hasil belajar siswa akan lebih baik. Salah satu tindakan pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru yaitu dengan memperbaiki metode pembelajaran yang digunakan. Metode yang tepat pada pembelajaran kontekstual dalam penelitian ini yaitu metode inkuiri.

Metode inkuiri memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih membangun sendiri konsep fisik melalui pengamatan langsung, yaitu melalui percobaan. Melalui metode inkuiri, siswa dilatih untuk melakukan kegiatan ilmiah dan berpikir ilmiah. Metode ini dapat dilaksanakan dalam bentuk percobaan maupun demonstrasi. Bentuk percobaan dalam prakteknya juga banyak bervariasi, satu diantaranya adalah menggunakan lembar kegiatan siswa. Percobaan dengan menggunakan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan setiap langkah yang ada dalam proses berpikir ilmiah.

Pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri dimana guru dapat mengkaitkan materi yang diajarkan dengan situasi nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Elok Sudibyo, dkk dalam jurnal pendidikan dasar bahwa penerapan pembelajaran kontekstual ternyata dapat memotivasi siswa dalam menuntaskan hasil belajar fisika pada siswa kelas VIII-A SMP N 3 Porong yaitu siswa telah menunjukkan sikap positif terhadap pelajaran fisika. Mereka senang

3

Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning, terjemahan Ibnu Setiawan, (Bandung: MLC, 2007), h. 35


(17)

dan puas mengikuti pelajaran fisika dengan cara penerapan pembelajaran kontekstual.4

Menyadari begitu pentingnya proses pembelajaran untuk meningkatkan pemahaman siswa, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam suatu penelitian yang diberi judul “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap

Pemahaman Siswa pada Konsep Bunyi”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut.

1. Rendahnya tingkat pemahaman siswa.

2. Siswa belum mampu menerapkan pembelajaran dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual

3. Metode yang digunakan tidak bersifat eksperimen .

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah terdapat pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap pemahaman siswa pada konsep bunyi?”

D. Pembatasan Masalah

Mengacu pada masalah-masalah yang muncul di atas, maka demi terarahnya penelitian ini penulis perlu membatasi masalah yang akan diteliti yaitu: 1. Pendekatan pembelajaran kontekstual yang digunakan merujuk pada

pandangan Elaine B. Johnson yaitu pembelajaran bermakna. 2. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode inkuiri.

3. Pemahaman konsep yang digunakan merujuk pada taksonomi Bloom yang sudah direvisi oleh Anderson dan Krathwohl.

4


(18)

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran kontekstual terhadap pemahaman siswa pada konsep bunyi.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain:

1. Memberikan pengalaman melakukan penelitian dan wawasan khususnya mengenai pembelajaran kontekstual dengan metode inkuiri.

2. Memudahkan siswa dalam memahami dan menguasai fisika melalui pengalaman nyata dalam pembelajaran.

3. Memberikan alternatif pendekatan pembelajaran yang bersifat kontekstual untuk memperoleh pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa.


(19)

BAB II

KAJIAN

TEORETIS

, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

A. Pendekatan Contextual Teaching and Learning

Menurut Kubi (2002 dalam buku Dharma Kusuma) kata kontekstual (contextual) berasal dari kata context yang berarti “hubungan, konteks, suasana dan keadaan (konteks)”. Sehingga Contextual Teaching and Learning (CTL) dapat diartikan sebagai suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.5 Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.6

Menurut Elaine B. Johnson (2009) Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.7

Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata kedalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.8

Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam akivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Dengan mengaitkan keduanya, para siswa melihat makna di dalam tugas sekolah.

5

Dharma Kusuma, Contextual Teaching and Learning Sebuah Panduan Awal dalam Pengembangan PBM, (Yogyakarta: Rahayasa, 2010), h. 57

6

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 253

7

Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning, terjemahan Ibnu Setiawan, (Bandung: MLC, 2009), h. 57

8

Nurhadi, dkk, Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2004), h. 13


(20)

Pada pembelajaran kontekstual ada tiga hal yang harus dipahami, bahwa kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, mendorong siswa untuk dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, dan juga mendorong siswa untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang beranggapan bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan secara alamiah, artinya belajar akan lebih bermakna jika anak bekerja dan mengalami sendiri apa yang dipelajarinya, bukan sekedar mengetahuinya.9

Menurut Diknas (2002) dalam Jurnal Guru No. 2 Vol. 3 Desember 2006 menyatakan bahwa CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.10

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan satu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual bukan merupakan suatu konsep baru. Penerapan pembelajaran kontekstual di kelas Amerika pertama-tama diusulkan oleh John Dewey. Pada tahun 1916, Dewey mengusulkan suatu kurikulum dan metodelogi pengajaran yang dikaitkan dengan minat dan pengalaman siswa.

Perkembangan pemahaman yang diperoleh selama mengadakan telaah pustaka menjadi semakin jelas bahwa CTL merupakan suatu perpaduan dari

banyak “praktek yang baik” dan beberapa pendekatan reformasi pendidikan yang

dimaksudkan untuk memperkaya relevansi dan penggunaan fungsional pendidikan untuk semua siswa. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa-siswa TK sampai dengan SMU untuk menguatkan,

9

Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 293

10

Sumiati, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) siswa dengan Menggunakan Pendekatan Pembelajaran Kontekstual Di Kelas IV MI Rahman El-Yunusiyyah Padang Panjang, (Jurnal Guru No. 2 Vol. 3 Desember 2006), h.18


(21)

memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan.11

Dalam pembelajaran kontekstual, guru hanya menjadi fasilitator bagi siswa, dengan demikian pembelajaran akan mendorong ke arah belajar aktif, yang menekankan keaktifan siswa baik secara fisik maupun intelektual guna memperoleh hasil belajar yang baik.

Dari uraian-uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari, dimana guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.

1. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Menurut Johnson (2002 dalam buku Nurhadi, dkk) ada delapan komponen utama dalam sistem pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut:12

a. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections)

Siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (learning by doing).

b. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing significant work)

Siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

11

Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 101-102

12


(22)

c. Belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning)

Siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya/hasilnya yang sifatnya nyata.

d. Bekerja sama (callaborating)

Siswa dapat bekerjasama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.

e. Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative thingking)

Siswa dapat menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif: dapat menganalisis membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan bukti-bukti.

f. Mengasuh atau memilihara pribadi siswa (nurturing the individual)

Siswa memilihara pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga orang dewasa.

g. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards)

Siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi: mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya.

h. Menggunakan penilaian autentik (using authentic assessment)

Siswa menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna.

2. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran Kontekstual

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya


(23)

proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.

Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan siswa, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.

Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan hanya untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.

Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.13

a. Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.

b. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.

c. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini.

13


(24)

d. Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.

e. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi.

Banyak cara efektif untuk mengaitkan pengajaran dan pembelajaran dengan konteks situasi sehari-hari siswa. Oleh sebab itu menurut Elaine B. Johnson, ada enam strategi dalam mengaitkan pengajaran dan pembelajaran kontekstual yaitu:14

1. Ruang kelas tradisional yang mengaitkan materi dengan konteks siswa. 2. Memasukkan materi dari bidang lain dalam kelas.

3. Mata pelajaran yang tetap terpisah, tetapi mencakup topik-topik yang saling berhubungan.

4. Mata pelajaran yang menyatukan dua atau lebih disiplin. 5. Menggabungkan sekolah dan pekerjaan:

a. Pembelajaran berbasis pekerjaan b. Jalur karier

c. Pengalaman kerja berbasis sekolah

6. Model kuliah kerja nyata atau penerapan terhadap hal-hal yang dipelajari di sekolah ke masyarakat.

Dalam proses pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan metode belajar yang yang membantu semua guru mempraktikkan dan mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi yang ada di lingkungan siswa dan menuntut siswa membuat hubungan beberapa pengetahuan yang pernah dialami siswa dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.15

14

Elaine B. Johnson, Op.Cit,, h. 99

15

Sofan Amri, Proses Pembelajaran Inovatif dan Kreatif dalam Kelas, (Jakarta: Prestasi Pusaka, 2010), h.21.


(25)

3. Urgensi Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual bukan sebuah model dalam pembelajaran. Pembelajaran kontekstual lebih dimaksudkan suatu kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran yang lebih mengedepankan idealitas pendidikan sehingga benar-benar akan menghasilkan kualitas pembelajaran yang efektif dan efisien. Idealitas pembelajaran dimaksudkan melaksanakan proses pembelajaran yang lebih menitik beratkan pada upaya pemberdayaan siswa bukan penindasan terhadap siswa baik penindasan secara intelektual, sosial maupun budaya.

Guru kadang kala terjebak kepada sifat atau karakter penindasan daripada pemberdayaan siswa pada waktu melaksanakan proses pembelajaran. Persepsi guru yang merasa paling pintar, menganggap siswa tidak mengerti apa-apa, siswa sosok manusia yang bodoh sedangkan guru sosok manusia yang paling cerdas. Implikasi dari asumsi seperti itu akhirnya guru cenderung melakukan tindakan yang tidak edukatif, sehingga siswa merasa tidak aman dan tidak nyaman dalam proses pembelajaran.

Pendidikan adalah sektor yang sangat menentukan kualitas hidup suatu bangsa. Kegagalan pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa, keberhasilan pendidikan juga secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa. Kegagalan pendidikan bisa disebabkan oleh kegagalan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang statis dan konvensional akan memperlambat terwujudnya kualitas pendidikan. Sebaliknya pembelajaran yang dinamis, progresif dan kontekstual akan mempercepat terwujudnya kualitas pembelajaran.

Paulo Freire mengkritik secara tegas dan pedas dengan istilah pembelajaran sistem bank (banking sistem paedagogis), yang memuat pertanyaan antagonis antara peran guru dan siswa, antara lain:16

a. Guru mengajar, siswa belajar.

b. Guru tahu segalanya, siswa tidak tahu apa-apa. c. Guru berpikir, siswa dipikirkan.

d. Guru bicara, siswa mendengarkan.

16

M. Saekhan Muchith, Pembelajaran Kontekstual, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2008), h. 2-5


(26)

e. Guru mengatur, siswa diatur.

f. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, siswa menuruti.

g. Guru bertindak, siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan gurunya.

h. Guru memilih apa yang diajarkan, siswa menyesuaikan diri.

i. Guru sebagai subyek proses pembelajaran, siswa sebagai obyek pembelajaran.

4. Tujuh Komponen Utama Pembelajaran Kontekstual

Ada tujuh komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan kontekstual dikelas. Ketujuh komponen itu adalah konstruktivisme (Construktivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), penilaian sebenarnya (Authentic Assement). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh prinsip tersebut dalam pembelajarannya.

Keterkaitan ketujuh komponen tersebut digambarkan dalam bagan berikut.17

Gambar 2.1 Bagan Keterkaitan Antar Komponen Pembelajaran Kontekstual

17

Nurhadi, dkk, Op.Cit., h. 31 Bertanya (Questioning)

Masyarakat belajar (Learning Community)

Refleksi (Reflection)

Menemukan (Inquiry)

Pemodelan (Modeling)

Penilaian sebenarnya (Authentic Assement) Konstruktivisme


(27)

Secara garis besar langkah-langkah penerapan CTL dalam kelas sebagai berikut. 18

a. Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

b. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. c. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.

d. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). e. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.

f. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

g. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Tujuh komponen utama pendekatan pembelajaran CTL yaitu: 1. Konstruktivisme (Constructivism)

Salah satu landasan teoritik pendidikan modern termasuk CTL dalah teori konstruktivis. Pendekatan ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih diwarnai student centered daripada teacher centered. Sebagian besar waktu proses belajar mengajar berlangsung dengan berbasis pada aktivitas siswa. Inquiry Based Learning dan Problem Based Learning yang disebut sebagai strategi CTL diwarnai Student Centered dan aktivitas siswa.

Constructivism (konstruktivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan konstekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

18


(28)

2. Inkuiri (Inquiry)

Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis konstektual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Siklus inkuiri terdiri atas:

a. Observasi (Observation) b. Bertanya (Questioning)

c. Mengajukan dugaan (Hyphotesis) d. Pengumpulan data (Data gathering) e. Penyimpulan (Conclussion)

3. Bertanya (Questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari “bertanya”. Questioning (bertanya) merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

Hampir pada semua aktivitas belajar, dapat menerapkan questioning (bertanya): antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya. Aktivitas bertanya juga ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan itu akan menumbuhkan

dorongan untuk „bertanya‟.

4. Masyarakat belajar (Learning Community)

Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar


(29)

menimbang massa benda dengan menggunakan neraca O‟haus, ia bertanya kepada

temannya. Kemudian temannya yang sudah bisa menunjukkan cara menggunakan alat itu. Maka dua orang anak tersebut sudah membentuk masyarakat belajar (Learning Community).

Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberitahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke kelas.

Masyarakat belajar apabila ada proses komunikasi dua arah. Seorang guru yang mengajari siswanya bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru kearah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa, bukan guru. Dalam belajar masyarakat, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar satu sama lain. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

5. Pemodelan (Modeling)

Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru oleh siswanya, misalnya guru memodelkan

langkah-langkah cara menggunakan neraca O‟haus dengan demonstrasi sebelum siswanya melakukan suatu tugas tertentu.

Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang bisa ditunjuk untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya.


(30)

Model dapat juga didatangkan dari luar yang ahli dibidangnya, misalnya mendatangkan seorang perawat untuk memodelkan cara menggunakan termometer untuk mengukur suhu tubuh pasiennya.

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.

Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan yang dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran, yang kemudian diperluas sedikit demi sedikit. Guru membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan-pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya. Kunci dari semua itu adalah bagaimana pengetahuan itu mengendap di benak siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.

Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa:

a. Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu b. Catatan atau jurnal di buku siswa

c. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu d. Diskusi

e. Hasil karya

7. Penilaian autentik (Authentic Assement)

Assement adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru


(31)

mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assemen tidak dilakukan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar, tetapi dilakukan bersama-sama secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.

Assement menekankan proses pembelajaran maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru ingin mengetahui perkembangan belajar fisika bagi para siswanya harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata di kehidupan sehari-harinya yang berkaitan dengan fisika, tidak hanya saat siswa mengerjakan tes fisika saja. Pengumpulan data yang demikian merupakan data autentik.

5. Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional

Perbedaan perbedaan kontekstual dengan pendekatan tradisional dapat dilihat pada tabel di bawah ini.19

Tabel 2.1 Perbedaan Pendekatan Kontekstual dengan Pendekatan Tradisional

No Kontekstual Tradisional

1. Menyesuaikan pada memori spasial (pemahaman makna)

Menyesuaikan pada hapalan

2. Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran

Siswa secara pasif menerima informasi

3.

Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata/masalah yang disimulasikan

Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis

4

Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir kritis,

Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas,

19

Kunandar, Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru...., h. 296


(32)

atau mengerjakan proyek dan pemecahan masalah (melalui kerja kelompok)

mendengar ceramah, dan mengisi latihan yang membosankan (melalui kerja individu)

5

Hasil belajar diukur melalui penerapan penilaian autentik

Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan

6

Siswa diminta bertanggung jawab memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing

Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran

Dengan melihat tabel tersebut, dalam pembelajaran yang menggunakan CTL akan lebih konkret, lebih realistis, lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna. Proses belajar mengajar CTL ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar (kualitas, kreativitas, produktifitas, efesiensi, dan efektifitas) siswa.

Menurut teori pembelajaran kontekstual, belajar hanya akan terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. “Dalam CTL guru berperan sebagai fasilitator tanpa henti (reinforcing), yakni membantu siswa menemukan makna (pengetahuan). Siswa memiliki response potentiality yang bersifat kodrati. Tugas utama pendidik adalah memberdayakan kodrati ini sehingga siswa terlatih dalam menangkap makna dari materi yang diajarkan”.20

6. Aplikasi Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah kaidah pembelajaran yang menggabungkan isi kandungan dengan pengalaman harian individu, masyarakat, dan alam pekerjaan. Kaidah ini menyediakan pembelajaran secara konkret yang melibatkan hands-on dan minds-on. Pembelajaran akan berlangsung dengan baik

20


(33)

apabila peserta didik dapat memproses pembelajaran atau pengetahuan dengan cara bermakna dan disampaikan dengan berbagai cara yang bervariasi.

Dalam proses pembelajaran secara kontekstual, peserta didik akan melalui satu atau lebih daripada bentuk pembelajaran sebagai berikut.

Contoh pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut.21

Gambar 2.2 Bentuk Pembelajaran Kontekstual

B. Pembelajaran Kontekstual dengan Metode Inkuiri

Inkuiri berasal dari bahasa inggris “inquiry” yang secara harfiah berarti penyelidikan. Piaget mengemukakan bahwa metode inkuiri merupakan metode yang mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mencari jawaban sendiri, serta

21

Ella Yulaelawati, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Pakar Raya, 2007), h. 141

R Relating

(Mengaitkan)

Eksperiencing (Mengalami)

Applying (Mengaplikasikan)

Cooperating (Bekerja Sama)

Transferring (Memindahkan)

E

A

C

T

Belajar dalam konteks menghubungkaitkan pengetahuan

baru dengan pengalaman hidup

Belajar dalam konteks penemuan dan daya cipta

Belajar dalam konteks bagaimana pengetahuan atau informasi dapat

digunakan dalam berbagai situasi

Belajar dalam konteks menghubungkaitkan pengetahuan

baru dengan pengalaman hidup

Belajar dalam konteks pengetahuan yang ada atau membina dari apa yang sudah


(34)

menghubungkan penemuan yang satu dengan yang lain, membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta didik lain.22

Inkuiri pada dasarnya adalah suatu ide yang kompleks, yang berarti banyak hal, bagi banyak hal, bagi banyak orang, dalam banyak konteks (a complex idea that means many things to many people in many contexts). Inkuiri adalah bertanya. Bertanya yang baik, bukan asal bertanya. Pertanyaan harus berhubungan dengan apa yang dibicarakan. Pertanyaan yang harus diajukan harus dapat dijawab sebagian atau keseluruhannya. Pertanyaan harus dapat diuji dan disilidiki secara bermakna.23

Pembelajaran inkuiri adalah pendekatan pembelajaran di mana siswa didorong untuk belajar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan siswa menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.24

Inkuiri memberikan kepada siswa pengalaman-pengalaman belajar yang nyata dan aktif. Siswa diharapkan mengambil inisiatif. Mereka dilatih bagaimana memecahkan masalah, membuat keputusan, dan memperoleh keterampilan. Inkuiri memungkinkan siswa dalam berbagai tahap perkembangannnya bekerja dengan masalah-masalah yang sama dan bahkan mereka bekerja sama mencari solusi terhadap masalah-masalah. Setiap siswa harus memainkan dan memfungsikan talentanya masing-masing.

Berdasarkan urain di atas dapat disimpulkan bahwa metode inkuiri adalah suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sehingga mereka dapat menemukan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.

22

E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 108

23

Nurhadi, dkk, Op.Cit., h. 43

24


(35)

1. Siklus Inkuiri

Pembelajaran inkuiri dilakukan melalui beberapa siklus berikut.25

a. Observasi (Observation). Dalam siklus ini siswa melakukan observasi terhadap objek atau bahan yang akan dijadikan sumber belajar.

b. Bertanya (Questioning). Setelah melakukan observasi, siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan hasil observasi.

c. Mengajukan hipotesis (Hyphotesis). Kegiatan pembuatan prediksi atau jawaban-jawaban sementara atas pertanyaan-pertanyaan di atas.

d. Pengumpulan data (Data gathering). Kegiatan mengumpulkan data atau informasi yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam masalah di atas melalui berbagai sumber yang ada.

e. Pembahasan, yaitu kegiatan menganalisis dan membahas data atau bahan yang telah berhasil dikumpulkan oleh siswa.

f. Penyimpulan (Conclussion). Kegiatan menyimpulkan atas apa yang sudah dibahas dan ditemukan terhadap suatu masalah.

Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikut. 1. Merumuskan masalah

2. Mengamati atau melakukan observasi

3. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.

4. Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.

Jika digambarkan dalam sebuah bagan, siklus inkuiri tampak sebagai berikut.26

25

Ibid, h. 373-374

26


(36)

Gambar 2.3 Bagan Siklus Inkuiri

Salah satu prinsip utama inkuiri, yaitu siswa dapat mengkonstruksi sendiri pemahamannya. Dalam proses belajar mengajar, inkuiri ini digunakan sebagai metode pengajaran yang memungkinkan ide siswa berperan dalam investigasi yang akan dilakukan oleh pembelajar/siswa.

Metode inkuiri merupakan metode penyidikan yang melibatkan proses mental dengan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

a. mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena alam b. merumuskan masalah yang ditemukan

c. merumuskan hipotesis

d. merancang dan melakukan eksperimen e. mengumpulkan dan menganalisis data

f. menarik kesimpulan mengembangkan sikap ilmiah, yakni: objektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, berkemauan, dan bertanggung jawab.

Dalam Standar for Science Teacher Preparation (1998) terdapat 3 tingkatan inkuiri, yakni:27

1) Discovery/Structured Inquiry

Dalam tingkatan ini tindakan utama guru ialah mengidentifikasi permasalahan dan proses, sementara siswa mengidentifikasi alternatif hasil.

27

Zulfiani, dkk, Strategi Pembelajaran Sains, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN, 2009), h. 121-122

Observing

Questioning Draw conclusions

Data analysis

Inquiry process

Gathering Information


(37)

2) Guided Inquiry

Tahap guided inquiry mengacu pada tindakan utama guru ialah mengajukan permasalahan, siswa menentukan proses dan penyelesaian masalah.

3) Open Inquiry

Tindakan utama pada open inquiry ialah guru memaparkan konteks penyelesaian masalah kemudian siswa mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah.

2. Proses Pembelajaran dengan Metode Inkuiri

Metode pembelajaran inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelekual tetapi seluruh potensi siswa yang ada, termasuk pengembangan emosional dan pengembangan keterampilannya. Pada hakikatnya, metode pembelajaran inkuiri ini merupakan suatu proses. Proses ini bermula dari merumuskan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan bukti, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan sementara supaya sampai pada kesimpulan yang pada taraf tertentu diyakini oleh siswa yang bersangkutan.28

Gambar 2.4 Proses Inkuiri

28

Gulo, W, Strategi Belajar-Mengajar, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 94

Merumuskan masalah

Merumuskan hipotesis Menarik kesimpulan

sementara

Menguji hipotesis

Mengumpulakan bukti Siswa


(38)

Semua tahap proses pembelajaran dengan metode inkuiri tersebut di atas merupakan kegiatan belajar dari siswa. Guru berperan untuk mengoptimalkan kegiatan tersebut pada proses belajar sebagai motivator, fasilitator, dan pengarah.

Keberhasilan proses pembelajaran dengan metode inkuiri sangat bergantung pada tahap pendahuluan. Permasalahan yang diketengahkan pada tahap awal ini harus mampu dipertanyakan oleh siswa. Tahap pendahuluan ini disebut juga tahap apersepsi atau advanced organizer. Hal tersebut demikian, karena materi yang disajikan harus terkait dengan apa yang telah diketahui siswa sebelumnya.

3. Karakter Inkuiri

Hinrichsen dan Jarret dalam Program Report The Northwest Regional Educational Laboratory menyatakan empat karakter inkuiri, yaitu:29

a. Koneksi Pada tahap ini:

1. Siswa mampu menghubungkan pengetahuan sains pribadi dengan konsep komunitas sains.

2. Dilakukan dengan diskusi bersama, eksplorasi fenomena

3. Guru mendorong untuk mendiskusikan dan menjelaskan pemahaman mereka bagaimana suatu fenomena bekerja, menggunakan contoh dari pengalaman pribadi, menemukan hubungan dengan literatur.

4. Proses koneksi melalui: konsiliasi, pertanyaan, dan observasi. b. Desain

Pada tahap ini:

1. Proses melalui prosedur-materi.

2. Siswa membuat perencanaan mengumpulkan data yang bermakna yang ditujukan pada pertanyaan.

3. Siswa berperan aktif mendiskusikan prosedur, persiapan materi, menentukan variabel kontrol, pengukuran.

4. Guru memantau ketepatan aktivitas siswa.

29


(39)

c. Investigasi Pada tahap ini:

1. Proses melalui koleksi dan mempresentasikan data.

2. Siswa dapat membaca data secara akurat, mengorganisasi data dalam cara yang logis dan bermakna, dan memperjelas hasil penyelidikan.

d. Membangun Pengetahuan Pada tahap ini:

1. Proses melalui refleksi-konstruksi-prediksi.

2. Konsep yang dilakukan dengan eksperimen akan memberi arti yang lebih bermakna dan mampu berpikir kritis.

3. Siswa dapat mengaplikasikan pemahamannya pada situasi baru yang mengembangkan inferensi, generalisasi, dan prediksi.

4. Guru melakukan sharing pemahaman siswa.

Pembelajaran yang dilaksanakan melalui pendekatan kontekstual dengan metode inkuiri diharapkan mampu mengubah cara belajar siswa yang selama ini lebih banyak bersifat menunggu informasi dari guru ke pembelajaran yang bermakna. Dengan terbiasanya siswa belajar secara bermakna dan menemukan sendiri konsep-konsep materi yang dipelajari, diharapkan kualitas proses dan hasil belajar siswa akan lebih baik dengan mengaitkan pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran kontekstual yang paling efektif untuk menyatukan pembelajaran dan konteks pengalaman pribadi siswa yaitu strategi ruang kelas tradisional yang mengaitkan materi dengan konteks siswa.

Guru adalah pemimpin di ruang kelas. Sebagai pemimpin, guru di sebuah ruang kelas tradisional dapat menghubungkan informasi baru dengan kehidupan siswa melalui banyak cara yang penuh dengan makna.30 Salah satu contoh mengaitkan pembelajaran kontekstual di kelas yaitu dengan cara guru mendorong siswa untuk membaca, menulis, dan berpikir secara kritis dengan meminta mereka untuk fokus pada permasalahan yang diberikan oleh guru. Kelompok dibagi

30


(40)

menjadi empat atau lima kelompok. Setiap kelompok diberikan LKS yang bertujuan untuk mempermudah membangun keterkaitan pembelajaran, menemukan makna, meningkatkan pengetahuan dan memperdalam wawasan siswa.

C. Pemahaman Konsep

Ranah kognitif merupakan ranah yang lebih banyak melibatkan mental/otak. Pada ranah kognitif terdapat enam jenjang proses berpikir, mulai dari tingkatan yang rendah sampai tinggi, yakni pengetahuan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analyze), sintesis (synthesis), evaluasi (evaluation).31

Pada tahun 2001, Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl melakukan revisi terhadap taksonomi Bloom (teori kognitif) menjadi:

1. Mengingat (remember), adalah kemampuan menyatakan kembali fakta, konsep, prinsip dan prosedur yang telah dipelajari dan tersimpan dalam memori jangka panjang (long term memory)

2. Memahami (understand), adalah membangun pengertian dari pesan instruksional termasuk pesan secara lisan, tulisan dan komunikasi secara grafis. 3. Menerapkan (apply) adalah kemampuan untuk menyelesaikan atau

menggunakan prosedur yang dipelajarinya pada suatu keadaan.

4. Menganalisis (analyze) adalah kemampuan untuk menganalisa suatu informasi atau suatu situasi tertentu menjadi komponen-komponen sehingga informasi tersebut menjadi jelas.

5. Mengevaluasi (evaluation) adalah kemampuan untuk membuat pertimbangan suatu penilaian terhadap sesuatu berdasarkan ukuran-ukuran atau standar yang diterapkan.

6. Menghasilkan karya (create) adalah kemampuan untuk menyusun kembali unsur-unsur ke dalam suatu pola atau struktur baru.32

31

Ahmad Sofyan, Tonih Feronika dan Burhanudin Milama, Evaluasi PembelajaranIPA Berbasis Kompetensi,(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006),h. 14

32

Lorin W. Anderson., Davis R Krathwohl; with Peter W. Airasian (et.al.), A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing, (NewYork: Longman, 2001), h. 67-68


(41)

Tipe hasil belajar yang lebih tinggi daripada pengetahuan adalah pemahaman. Misalnya menjelaskan dengan susunan kalimatnya sendiri sesuatu yang dibaca atau didengarnya, memberi contoh lain dari yang telah dicontohkan, atau menggunakan petunjuk penerapan pada kasus lain. Dalam taksonomi Bloom, kesanggupan memahami setingkat lebih tinggi daripada pengetahuan. Namun, tidaklah berarti bahwa pengetahuan tidak perlu ditanyakan sebab, untuk dapat memahami, perlu terlebih dahulu mengetahui atau mengenal.33

Pemahaman berkaitan dengan intisari segala sesuatu, yaitu suatu bentuk pengertian atau pemahaman yang menyebabkan seseorang mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan bahan atau ide yang sedang dikomunikasikan tersebut tanpa harus menghubung-hubungkan dengan bahan atau ide yang lain. Pemahaman dibedakan menjadi:34

1) Translasi, yaitu kemampun untuk memahami suatu ide yang dinyatakan dengan cara lain daripada pernyataan asli yang dikenal sebelumnya.

2) Interpolasi, yaitu kemampuan untuk memahami bahan atau ide yang direkam, diubah, atau disusun dalam bentuk lain seperti grafik, tabel, diagram, dan sebagainya.

3) Ekstrapolasi, yaitu keterampilan untuk meramalkan kelanjutan kecenderungan yang ada menurut data tertentu dengan mengemukakan akibat, konsekuensi, implikasi, dan sebagainya sejalan dengan kondisi yang digambarkan dalam komunikasi yang asli.

Menurut Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl ada tujuh proses kognitif yang tergabung dalam proses pemahaman, yaitu: 35

a) Menafsirkan

Menafsirkan terjadi ketika murid mampu menkonversikan informasi dari satu bentuk ke bentuk yang lain, seperti informasi gambar diterjemahkan/ditafsirkan ke dalam kata-kata, kata-kata ke dalam gambar, angka ke dalam kata-kata maupun sebaliknya dan lain-lain.

33

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 24

34

Zulfiani, dkk, Op.Cit., h. 64-65

35


(42)

b) Menggunakan Contoh

Pemahaman terjadi ketika konsep yang disajikan disertai dengan contoh-contoh yang sesuai atau dengan membuat gambaran (ilustrasi).

c) Mengklasifikasikan (mengelompokkan)

Pengetahuan atau informasi yang dijelaskan (konsep umum beserta contoh) dikelompokkan atau dikategorikan.

d) Meringkas (rangkuman)

Memahami dengan cara menuliskan kembali atau merangkum informasi yang telah dijelaskan. Isi rangkumannya adalah hal-hal yang dianggap penting seputar informasi atau pengetahuan tersebut.

e) Menyimpulkan

Membuat kesimpulan sendiri dari materi yang disampaikan secara ringkas sesuai dengan pemahaman siswa.

f) Membandingkan

Cara membandingkan ini digunakan untuk mengetahui perbedaan dan persamaan dari suatu konsep, masalah, peristiwa dan lain-lain.

g) Menjelaskan

Terjadi ketika siswa mampu membangun hubungan sebab akibat dari konsep atau meteri yang telah dijelaskan.

Dengan demikian pemahaman adalah kemampuan memaknai suatu materi atau informasi yang dipelajari lebih dari sekedar mengingat sehingga dapat memperkirakan konsekuensi dan akibat dari suatu peristiwa.

Konsep menurut Oemar Hamalik adalah suatu kelas atau kategori stimuli yang memiliki ciri-ciri umum. Stimuli adalah objek-objek atau orang-orang. 36 Konsep selalu diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman melalui generalisasi dn berpikir abstrak. Fungsi konsep tidak lain untuk memberikan penjelasan dan meramalkan suatu peristiwa.

36

Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 162


(43)

Flavell (1970) menyatakan bahwa pemahaman terhadap konsep-konsep dapat berbeda dalam tujuh dimensi, yaitu:37

a. Atribut, setiap konsep mempunyai atribut yang berbeda, contoh-contoh konsep harus mempunyai atribut-atribut yang relevan.

b. Struktur, menyangkut cara terkaitnya atau tergabungnya atribut-atribut.

c. Keabstrakan, yaitu konsep dapat dilihat dan konkret, atau konsep-konsep itu terdiri dari konsep-konsep-konsep-konsep lain.

d. Keinklusifan, yaitu ditunjukkan pada jumlah contoh-contoh yang terlibat dalam konsep itu.

e. Generalitas atau keumuman, yaitu bila diklasifikasikan, konsep-konsep dapat berbeda dalam posisi superordinate atau subordinatnya.

f. Ketepatan, yaitu suatu konsep menyangkut apakah ada sekumpulan aturan-aturan untuk membedakan contoh-contoh dari noncontoh-noncontoh suatu konsep.

g. Kekuatan (power), yaitu kekuatan suatu konsep oleh sejauh mana orang setuju bahwa konsep itu penting.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa belajar konsep dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut.

1) Pola reinforcement atau umpan balik.

2) Jumlah contoh-contoh baik positif maupun negatif.

3) Jumlah atribut, semakin banyak atribut relevan dimiliki konsep akan semakin sulit konsep itu dipelajari.

Dengan demikian, konsep adalah suatu definisi dari suatu kumpulan atau rangkaian yang memiliki sifat seluruh anggota.

D. Bunyi

Bunyi adalah suara yang dihasilkan oleh benda bergetar. Bunyi termasuk gelombang longitudinal karena perambatannya berbentuk rapatan dan renggangan dari molekul-molekul udara yang bergetar maju mundur.38 Materi bunyi yang

37

Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: ALFABETA, 2010), h. 72-73

38


(44)

dipelajari pada tingkat SMP kelas VIII yaitu tentang pengertian bunyi, frekuensi bunyi, cepat rambat bunyi, resonansi dan pemantulan gelombang. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.4 peta konsep bunyi dibawah ini.

Gambar 2.5 Peta Konsep Bunyi

Gelombang bunyi merupakan gelombang longitudinal yang merambat di dalam medium (perantara), contoh perantara gelombang bunyi adalah udara. Gerak molekul-molekul pada gelombang bunyi longitudinal bergetar (berosilasi) searah dengan arah gerak merambat gelombang bunyi.

a. Cepat Rambat Bunyi

Cepat rambat bunyi didefinisikan sebagai hasil bagi antara jarak sumber bunyi ke pendengar dan selang waktu yang dibutuhkan bunyi untuk merambat sampai ke pendengar. Secara sistematis:39

39

Bob Foster, Seribu Pena Fisika, (Jakarta: Er langga, 1999), h. 38

Amplitudo

Bunyi

Frekuensi gelombang bunyi

Cepat rambat

bunyi Zat perantara Resonansi

Pemantulan gelombang Frekuensi teratur Frekuensi tidak teratur

Zat cair Zat padat Zat gas

Bandul, dan senar gitar Kelelawar, kapal penangkap ikan, gaung dan gema

Nada Desah

parameter merambat melalui gejala yang diamati terdiri atas terdiri atas

contoh contoh

contoh

dipengaruhi oleh


(45)

... (2.1)

dengan:

v = cepat rambat bunyi (m/s) s = jarak yang ditempuh (m) t = waktu tempuh (s)

Seperti halnya berlaku untuk gelombang lain, pada gelombang bunyi pun berlaku rumus :

... (2.2) dengan:

v = cepat rambat bunyi (m/s)

 = panjang gelombang bunyi (m) f = frekuensi (Hz)

b. Frekuensi Gelombang Bunyi

Gelombang bunyi dapat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan perbedaan frekuensi:

1. Gelombang audiosonik merupakan gelombang longitudinal yang dapat didengar manusia. Gelombang ini berada pada interval frekuensi 20 sampai 20.000 Hz.

2. Gelombang infrasonik merupakan gelombang longitudinal dengan frekuensi di bawah 20 Hz, sebagai contoh gelombang gempa bumi.

3. Gelombang ultrasonik merupakan gelombang longitudinal dengan frekuensi di atas 20.000 Hz. Gelombang bunyi ini dapat didengar oleh anjing.

Nada adalah bunyi yang frekuensi getaran tertentu atau jumlah getaran tiap detik selalu sama atau tetap. Nada biasa dihasilkan oleh alat-alat musik, sebagai contoh: gitar, piano, seruling, biola, dan gamelan. Desah adalah bunyi yang frekuensinya tidak teratur. Contoh desah adalah suara daun yang ditiup angin.

Tinggi rendah bunyi dipengaruhi oleh frekuensi bunyi. Semakin besar frekuensi, semakin tinggi bunyi. Sebaliknya, semakin kecil frekuensi, semakin rendah bunyi.


(46)

Kuat lemah bunyi bergantung pada amplitudo. Semakin besar amplitudo bunyi, semakin kuat atau keras bunyinya. Sebaliknya, semakin kecil amplitudonya, semakin lemah pula bunyinya.40

c. Warna Bunyi

Pada saat seorang wanita dan seorang pria menyanyi dengan frekuensi yang sama, maka kita masih dapat mendengar perbedaan antara suara wanita dan pria tersebut. Gabungan nada bunyi antara nada dasar dan nada atas yang menyertainya disebut warna bunyi (timbre). Warna bunyi merupakan gabungan dari dua bunyi yang memiliki frekuensi yang sama tetapi terdengar berbeda.

d. Hukum Marsenne

Marsenne melakukan percobaan dengan menggunakan alat sanometer untuk menyelidiki hubungan antara frekuensi denganpanjang senar, luas penampang, tegangan, dan bahan senar. Berdasarkan percobaannya, Marsenne menyimpulkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi frekuensi senar/kawat/dawai/, yaitu sebagai berikut.

1. Panjang senar: semakin pendek senar, semakin tinggi frekuensinya. 2. Luas penampang senar: semakin tipis senar, semakin tinggi frekuensinya. 3. Tegangan senar: semakin tegang senar, semakin tinggi frekuensinya.

4. Massa jenis bahan senar: semakin kecil massa jenis bahan senar, semakin tinggi frekuensinya.

e. Resonansi

Resonansi adalah ikut bergetarnya suatu benda karena pengaruh getaran benda lain yang berfrekuensi sama. Dalam kehidupan sehari-hari resonansi memegang peranan penting. Suara dawai gitar terdengar keras, karena adanya peristiwa resonansi.

Resonansi sebuah benda akan terjadi jika benda tersebut memiliki frekuensi sama dengan benda yang lain yang sedang bergetar. Resonansi

40


(47)

benda yang mempunyai frekuensi sama ini juga dapat terjadi pada dua garpu tala yang frekuensinya sama.

Gambar 2.6 Resonansi pada Ayunan Bandul

f. Pemantulan Bunyi

Bunyi yang mengenai dinding pemantul, akan dapat dipantulkan. Sebagian dari bunyi itu akan diserap oleh dinding pemantul. Kemampuan suatu permukaan memantulkan bunyi bergantung pada keras atau lembeknya permukaan tadi. Makin keras permukaan dinding pemantul, makin baik kemampuannya memantulkan bunyi. Pemantulan bunyi ini akan dapat mengakibatkan terjadinya gaung/kerdam dan gema. Pemantulan bunyi dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Gema

Gema adalah bunyi pantul terdengar setelah bunyi asli selesai dikatakan. Gema terjadi apabila sumber bunyi dan permukaan pemantul jaraknya sangat jauh. Gema biasa terjadi di dalam ruangan terbuka atau jarak antara sumber bunyi dan dinding ruangan jauh. Gema sering terjadi di lereng gunung.

2. Gaung

Gaung aalah bunyi pantul yang berbaur dengan bunyi asli sehingga bunyi asli terdengar tidak jelas. Gaung biasa terjadi di dalam ruangan yang tertutup atau jarak antara sumber bunyi dan dinding ruangan dekat. Gaung sering terjadi di dalam gedung pertunjukan, bioskop, dan studio rekaman. Untuk menghidari gaung, biasanya gedung pertunjukan, bioskop, dan studio rekaman dipasang peredam bunyi. Peredam bunyi adalah bahan-bahan yang dapat menyerap bunyi

A E

B C


(48)

yang diterima. Contoh peredam bunyi adalah karpet, karet, busa, wol, karton, tirai, dan gabus.

Pemantulan bunyi dapat dimanfaatkan untuk mengukur kedalaman kolam/danau/laut. Kedalaman kolam/danau/laut dapat diperhitungkan dengan cara mengukur cepat rambat bunyi dalam air dengan waktu terdengar pantulan bunyi. Gelombang bunyi bergerak bolak-balik sehingga kedalaman kolam/danau/laut dinyatakan persamaan:

... (2.3)

dengan:

h = kedalaman kolam/danau/laut (m) v = cepat rambat bunyi dalam air (m/s) t = waktu terdengar pantulan bunyi (s)

g. Hukum Pemantulan Bunyi

Bunyi yang datang tegak lurus pada dinding pemantul akan dipantulkan kembali. Namun bunyi yang datangnya pada dinding pemantul yang membuat sudut tertentu, akan dipantulkan dengan membuat sudut tertentu. Dalam pemantulan bunyi ini berlaku hukum pemantulan bunyi:

1. Bunyi datang, bunyi pantul, dan garis normal terletak pada satu bidang datar. 2. Sudut datang sama dengan sudut pantul.

Gambar 2.7 Hukum Pemantulan Bunyi

i r

Dinding pemantul

n

i = sudut datang r = sudut pantul n = garis normal i = r


(49)

h. Manfaat Pemantulan Bunyi

Pemantulan bunyi dapat dimanfaatkan antara lain untuk: 1. Menentukan cepat rambat bunyi di udara.

2. Melakukan survei geofisika untuk mendeteksi lapisan-lapisan batuan yang mengandung minyak bumi.

3. Mendeteksi cacat dan retak pada logam. 4. Mengukur ketebalan pelat logam.

i. Efek Doppler

Efek Doppler adalah efek berubahnya frekuensi yang didengar oleh pendengar karena sumber bunyi atau pendengar yang bergerak. Jika sumber bunyi mendekati pendengar, maka pendengar akan menerima frekuensi bunyi yang lebih tinggi. Sebaliknya, jika sumber bunyi menjauhi pendengar, maka pendengar akan menerima frekuensi bunyi yang lebih rendah.

E. Hasil Penelitian yang Relevan

Elok Sudibyo, dkk (2008) pada jurnal pendidikan dasar Vol. 9 No. 1 yang berjudul, “Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Fisika Siswa SMPN 3 Porong.” Banyak siswa yang merasa tidak memerlukan pelajaran fisika karena mereka beranggapan bahwa pelajaran itu tidak bermanfaat dalam kehidupannya. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan motivasi siswa yaitu dengan mengaitkan materi fisika dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kontekstual tersebut dapat menuntaskan hasil belajar fisika siswa SMPN 3 Porong, yaitu siswa VIII-A telah mencapai ketuntasan belajar fisika mencapai 87,2%, dari batas ketuntasan sebesar 75%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran kontekstual dapat motivasi siswa SMPN 3 Porong dalam belajar fisika, antara lain: (1) siswa menunjukkan siswa positif terhadap pelajaran fisika, (2) antusiasme siswa dalam mengikuti pelajaran fisika dapat dikategorikan tinggi, (3) siswa percaya bahwa keberhasilan atau


(50)

kegagalan bergantung pada mereka sendiri, dan mereka juga terlihat berusaha untuk memperoleh nilai yang tinggi.41

Wasis (1993) pada media pembelajaran dan ilmu pengetahuan No. 68 th. XV/9/1993 yang berjudul, “Pendekatan Inkuiri Terpimpin, Sebuah Alternatif Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika dalam Proses Belajar Mengajar Fisika di SMA”. Nilai rata-rata pada pelajaran Fisika.” Nilai rata-rata pada pelajaran fisika selalu paling rendah dan tidak pernah mencapai 6,00 tiap tahun. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman konsep fisika dalam proses belajar mengajar yaitu dengan pendekatan inkuiri terpimpin. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan inkuiri murni masih terasa berat bagi siswa SMA. Hal ini terbentur pada keterbatasan alat-alat laboratorium, kemampuan dan pengetahuan siswa yang belum memadai serta terbatasnya alokasi waktu yang tersedia.42

Lasma Br Hotang, dkk (2010) pada prosiding seminar nasional fisika yang berjudul “Pembelajaran Berbasis Fenomena pada Materi Kalor untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa SMP.” Hasil belajar sains lebih rendah dari bidang lain, hal ini karena fisika dianggap salah satu mata pelajaran yang sukar dipahami oleh sebagian siswa sehingga siswa kurang berminat belajar fisika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperoleh rata-rata N-gain pemahaman konsep kelas eksperimen 0,55 dan kelas kontrol 0,22 kemudian untuk N-gain pemahaman konsep diperoleh thitung (8,239) > ttabel (1,664). Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan pemahaman konsep kalor siswa yang menggunakan model pembelajaran berbasis fenomena secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran konvensioanal.43

41

Elok Sudibyo, dkk, Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Fisika Siswa SMPN 3 Porong, Jurnal Pendidikan Dasar.Vol.9 No.1, Maret 2008, h. 14

42

Wasis, Pendekatan Inkuari Terpimpin, Sebuah Alternatif Meningkatkan Pemahaman Konsep Fisika dalam Proses Belajar Mengajar, Media Pembelajaran dan Ilmu Pengetahuan No. 68 th. XV/9/1993, h. 57

43

Lasma Br Hotang, dkk, Pembelajaran Berbasis Fenomena pada Materi Kalor untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa SMP, Prosiding Seminar Nasioanal Fisika 2010, h. 402


(51)

Siti Farida Ulfah (2009) pada skripsi yang berjudul “Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dengan Metode Inkuiri terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa pada Materi Pokok Kalor.” Metode pembelajaran yang kurang tepat sehingga materi pelajaran yang disampaikan tidak efektif dan efisien. Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar fisika yaitu dengan pendekatan kontekstual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diperoleh nilai rata-rata N-gain yang cukup tinggi pada kelompok eksperimen yaitu 0,83 tergolong kategori tinggi sedangkan nilai rata-rata N-gain kelompok kontrol 0,70 yang tergolong sedang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemilihan metode pembelajaran sangat berperan dalam penguasaan materi fisika siswa. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil analisis data rata-rata skor akhir dan uji hipotesis tes akhir, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor akhir kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.44

Encih Suwarsih (2009) pada skripsi yang berjudul “Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Bernuansa Nilai terhadap Hasil Belajar Fisika.” Kurangnya keterampilan guru untuk menggali nilai religius yang terkandung dalam materi pelajaran yang sedang dipelajari. Hasil penelitian ini didapatkan perbedaan antara mean kelas eksperimen 71,56 (pretest 42,88) dengan mean kelas kontrol yaitu 61,13 (pretest 41,05) dan uji statistik didapatkan thitung (4,18) > ttabel

(2,00). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa respon siswa yang diajar menggunakan pendekatan kontekstual pada materi pokok energi bernuansa nilai religius, yang menjawab baik ada 40%, hal ini, menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memberikan respon yang baik/positif terhadap penerapan pendekatan kontekstual pada materi pokok energi dengan bernuansa nilai religius.45

44

Siti Farida Ulfah, Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dengan Metode Inkuiri Terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa Pada Materi Pokok Kalor, Skripsi Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Perpustakaan FITK, UIN Syarif Hidayatullah, 2009) h. 54

45

Encih Suwarsih, Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual dengan Bernuansa Nilai Terhadap Hasil Belajar, Skripsi Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Perpustakaan FITK, UIN Syarif Hidayatullah, 2009) h. 69


(52)

F. Kerangka Berpikir

Pada saat proses pembelajaran berlangsung, nampak beberapa atau sebagian besar siswa belum belajar sewaktu guru mengajar. Selama pembelajaran guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mencapai kompetensi individual yang diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa baru mampu menghafal fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum dapat menggunakan dan menerapkannya secara efektif dalam pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa dengan cara membuat pembelajaran menjadi bermakna, yaitu pembelajaran kontekstual.

Materi fisika yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep bunyi. Pemilihan materi ini dilakukan karena konsep ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun sering siswa mengalami kesulitan dalam memahami fenomena-fenomena yang berkaitan dengan bunyi. Pembelajaran berbasis kontekstual yang senantiasa mengaitkan konsep dengan kehidupan sehari-hari dapat membantu siswa memahami konsep-konsep bunyi dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa supaya hasil belajar yang diperoleh lebih baik.

Pembelajaran kontekstual bertujuan untuk membantu siswa dalam mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran kontekstual diharapkan dapat membantu proses belajar mengajar agar lebih efektif, menarik dan bermakna sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan hasil belajar siswa khususnya pada materi bunyi.


(53)

Gambar 2.8 Bagan Kerangka Berpikir

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka dirumuskan hipotesis terhadap masalah yang dikaji, yakni terdapat pengaruh pembelajaran fisika pada konsep bunyi dengan menggunakan pendekatan kontekstual terhadap pemahaman siswa.

Minat belajar fisika rendah karena siswa tidak merasa ada keterkaitan antara materi fisika dengan kehidupan sehari-hari (pembelajaran tidak bermakna)

Pemahaman siswa tentang fisika relatif rendah

Dasar untuk siswa memiliki kemampuan

berpikir lebih tinggi

Hasil belajar siswa juga rendah

Perlu ada upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa dengan cara membuat pembelajaran menjadi bermakna

Pembelajaran kontekstual

Materi bunyi

Pembelajaran jadi bermakna

Pemahaman siswa meningkat


(54)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 1 Kosambi pada kelas VIII semester 2 (genap) tahun pelajaran 2010/2011, yaitu pada bulan Maret sampai April 2011.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah kuasi eksperimen, yaitu metode penelitian yang mempunyai kelompok kontrol tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.46 Dalam penelitian kuasi eksperimen, tidak dilakukan randomisasi untuk memasukkan subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, melainkan menggunakan kelompok subjek yang sudah ada sebelumnya.

C. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah Nonequivalent Control Group Design.47 Desain ini digambarkan sebagai berikut.

Tabel 3.1 Desain penelitian

Kelompok Pretest Perlakuan (X) Posttest

Eksperimen O1 XE O2

Kontrol O1 XK O2

Keterangan:

O1 = Pretest yang diberikan kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen.

O2 = Posttest yang diberikan kepada kelas kontrol dan kelas eksperimen.

Kelas eksperimen diberikan angket

46

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,

(Bandung: Alfabeta, 2006), h.77

47


(55)

XE = Perlakuan terhadap kelompok eksperimen berupa pembelajaran

kontekstual dengan metode inkuiri.

XK = Perlakuan terhadap kelompok kontrol berupa pembelajaran pendekatan

kontekstual dengan metode konvensional.

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan terdiri dari tiga tahap, yaitu:

1. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini dilakukan penyusunan RPP dan LKS sesuai dengan materi pokok yang telah ditentukan, menyusun instrumen penelitian dan melakukan uji coba instrumen serta mengolah data hasil uji coba instrumen yang akan dipakai pada pretest dan posttest.

2. Tahap Pengambilan Data

Tahap ini dimulai dengan memberikan pretest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk mengetahui pengetahuan awal siswa terhadap konsep yang akan dipelajari, sebelum dilaksanakannya proses belajar. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan perlakuan berupa proses pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual sesuai dengan RPP yang telah ditentukan.

Setelah proses pembelajaran selesai, maka diadakan posttest, untuk mengetahui pemahaman konsep siswa setelah dilakukan kegiatan belajar, serta untuk mengetahui perbedaan hasil belajar antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3. Tahap Penyelesaian

Tahap penyelesaian merupakan tahap akhir dari penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan pengolahan dan penganalisisan data hasil penelitian serta menguji hipotesis penelitian sampai pada penarikan kesimpulan.

Agar lebih mudah dipahami, berikut penulis menyajikan prosedur penelitian dalam bentuk bagan dibawah ini.


(56)

[

Gambar 3.1 Bagan Alur Prosedur Penelitian

E. Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu variabel bebas dan varibel terikat. Variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Variabel Bebas (X) : Pembelajaran kontekstual Variabel Terikat (Y) : Pemahaman siswa

F. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 1 Kosambi, dengan populasi terjangkaunya adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kosambi.

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti yang dianggap mewakili terhadap populasi dan diambil dengan menggunakan teknik sampling. Dari seluruh siswa SMP Negeri 1 Kosambi diambil 2 kelas secara acak untuk dijadikan sampel. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini

Tahap Persiapan

Penyusunan RPP dan LKS

Uji coba instrumen

Analisis data hasil uji coba instrumen

Tahap

Pengambilan Data

Tes awal (Pretest) Pembelajaran

kontekstual

Tes akhir (Posttest)

Tahap Penyelesaian

Analisis data hasil penelitian


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)