Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah

sejak awal dirancang untuk transmigran guna melakukan usaha industri dan atau usaha pokok tertentu secara berkesinambungan di zona industri.

2.3. Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Pengembangan Wilayah

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional Undang-Undang nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Klasifikasi konsep wilayah seperti dinyatakan oleh Rustiadi et al. 2005 terdiri dari wilayah homogen, wilayah fungsional dan wilayah perencanaan. Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut homogen, sedangkan faktor- faktor yang tidak dominan bisa saja beragam heterogen. Wilayah fungsional diklasifikasikan demikian karena menekankan perbedaan dua komponen- komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya, yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan. Dalam konsep wilayah fungsional dikenal adanya wilayah nodal yang didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti adalah pusat-pusat pelayanan permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang yang mempunyai sifat- sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional. Sedangkan konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan wilayah transmigrasi bertujuan untuk membuka isolasi wilayah, menambah tenaga kerja petani, mendukung ketahanan pangan, pembangunan sarana sosial ekonomi dan pembentukan desa-desa baru. Dalam Undang Undang no 15 tahun 1997 wilayah pengembangan transmigrasi adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Menurut Dewi 2003 adanya pergeseran orientasi pembangunan transmigrasi ke arah pengembangan wilayah menyebabkan permukiman transmigrasi didesain untuk ditumbuhkembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Sejalan dengan hal tersebut maka kawasan transmigrasi harus terbuka bagi penanaman modal, khususnya investasi agribisnis berbasis lahan dengan penekanan usaha di sektor pertanian. Kebijakan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi adalah a mendorong terwujudnya pengembangan permukiman transmigrasi dalam satuan kawasan dengan memberikan pelayanan dan subsidi untuk kebutuhan pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi pertumbuhan UPTdesa setempat sebagai bagian dari kawasan dengan upaya-upaya yang dapat dilakukan meliputi pengembangan manajemen di tingkat kawasan, pengembangan prasarana, sarana dan berbagai fasilitas di kawasan untuk pengembangan berbagai kegiatan usaha dari hulu sampai hilir, b keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitarnya Yulia, 2005. Sebagai wilayah baru yang baru dibuka aktifitas ekonomi penduduknya terutama berkaitan dengan pertanian baik itu tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan. Perencanaan penggunaan lahan mencakup dua dimensi, yaitu dimensi konservasi ekologi dan ekonomi yang sering saling berkontradiksi Lier, 1998. Berkaitan dengan adanya konflik antara dua dimensi tersebut maka para perencana memberikan arahan bahwa tindakan konservasi ekologi dalam keberlanjutan pembangunan harus terintegrasi dalam bentuk kebijakan, program aksi, pembiayaan beserta segala aktifitas yang menyertainya baik untuk perencanaan jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Murdoch 2000 dalam pembangunan masyarakat desa selain mempunyai keterkaitan vertikal juga mempunyai keterkaitan horisontal, yaitu dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat secara ekonomi pedesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam ekonomi nasional maupun internasional melalui peningkatan infrastruktur dan penurunan tarif sehingga aktifitas ekonomi di daerah pedesaan menjadi lebih dinamis. Dalam hal ini format pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian produksi tetapi juga sektor non pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan. Inovasi dan proses pembelajaran di daerah pedesaan dapat dinyatakan sebagai berikut: a. Adanya kandungan lokalalami yang tinggi dalam frekuensi keterkaitan di pedesaan, misalnya petani yang menghasilkan suatu komoditas kemudian di proses di daerah pedesaan itu juga menjadi berbagai komoditas. Hal ini dilakukan juga dalam bentuk pewilayahan komoditas, misalnya daging unggas di distrik A dan daging sapi di distrik B. b. Keterkaitan pedesaan yang ada kepada keterkaitan pertanian yang lebih mapan dengan adanya organisasi serupa koperasi dengan kepercayaantrust diantara para anggota kelompok. c. Keterkaitan di pedesaan karena adanya kepadatan penduduk yang rendah menyebabkan memelihara hubungan diantara mereka agar tetap utuh. Strategi lain dalam pengembangan wilayah baru adalah melalui demand side strategy Rustiadi et al., 2005. Dalam demand side strategy tujuan pengembangan wilayah adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk yang dipindahkan ke wilayah baru. Peningkatan taraf hidup diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah. Program transmigrasi merupakan kasus yang sangat menarik dari demand side strategy Rustiadi et al., 2005. Pada tahap pertama penduduk masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Tahap kedua dengan adanya penyuluhan, masuk dalam stadia subsisten biasanya lahan pekarangan dan lahan usaha sudah diusahakan. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan akan masuk ke dalam stadia marketable surplus. Hal ini mengisyaratkan perlunya industri pengolahan, karena itu diharapkan telah masuk ke dalam stadia industri pertanian dalam skala kecil. Dengan adanya industri hasil pertanian menyebabkan peningkatan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk menjual hasil pertanian. Karena itu income akan meningkat dan untuk meningkatkan konsumsi non pertanian. Selanjutnya masuk dalam stadia industri non pertanian dalam skala kecil. Hal tersebut akan meningkatkan pendapatan dan meningkatkan permintaan barang mewah. Terakhir masuk dalam kelas stadia industri umum. Oleh karena itu daerah transmigrasi tidak hanya tergantung sektor pertanian saja. Kerugian dalam sistem ini adalah membutuhkan waktu yang lama karena setiap stadia berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusiperombakan cara berpikir. Sedangkan keuntungannya adalah bahwa pada umumnya strategi ini sangat stabil, tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap. Menurut Anwar 2005 menyatakan bahwa strategi pengembangan wilayah ini juga harus didasarkan atas prinsip keterkaitan antar wilayah-wilayah yang dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi yang disertai pengembangan institusional yaitu disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah. Priyono 2004 menyatakan bahwa pengembangan wilayah transmigrasi merupakan usaha menumbuh-kembangkan wilayah yang memiliki potensi sumberdaya alam dengan keunggulan komoditas tertentu yang dikelola secara terpadu dengan mengisi kekurangan sumberdaya manusia melalui program transmigrasi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsep pengembangan wilayah transmigrasi ini hanyalah model pengelolaan atau pengembangan usaha ekonomi atas komoditi unggulan suatu kawasanwilayah tertentu sebagaimana istilah kawasan agropolitan, kawasan andalan, kawasan pariwisata dan lainnya. Untuk mengembangkan komoditas sesuai dengan pola usahanya, kepada peserta transmigrasi dibagikan lahan usaha. Berdasarkan Keputusan Menteri Transmigrasi no. 124 tahun 1990 untuk transmigrasi pola usaha tanaman pangan lahan kering dibagikan berupa lahan seluas 2,00 ha yang terdiri dari LP 0,25 ha, LU I 0,75 ha dan LU II 1,0 ha . Menurut Sitorus et al. 2000b pengusahaan lahan di lokasi transmigrasi dapat dinyatakan sudah optimal bila seluruh lahan yang dibagikan yaitu LP 0,5 ha, LU I 0,5 ha dan LU II 1 ha sudah diusahakan oleh transmigran untuk budidaya pertanian yang hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja produktif dengan pekerjaan sebelumnya sebagai petani atau PNSPensiunan serta dengan memperbanyak sarana-sarana penunjang pertanian diantaranya hand sprayer. Sebagian besar transmigran umum dengan pola usaha pokok tanaman pangan lahan kering belum mampu membuka LU II secara swadaya sampai tahun ke 4 atau ke 5. Berdasarkan data UPT tahun 19981999 luas LU II yang diusahakan per kepala keluarga KK UPT rata-rata provinsi adalah sebesar 0,31 haKK Sitorus et al., 2000b. Menurut Sitorus dan Susetio 2000 selain ketersediaan tenaga kerja yang kurang, belum diusahakannya LU II disebabkan karena keterbatasan modal dan sulitnya lahan untuk diolah. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja tersebut diperlukan pengadaan peralatan pengolahan tanah seperti traktor tangan dan mesin. Selain itu bantuan ternak seperti kerbau dan sapi dapat membantu kekurangan tenaga kerja sekaligus dapat menyuburkan tanah dan meningkatkan pendapatan transmigran. Menurut Sitorus dan Pribadi 2000 luas lahan tidur sangat beragam di tiap UPT, ini menunjukkan bahwa selain ketidakmampuan transmigran untuk membuka lahan secara swadaya, juga terdapat faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adanya lahan tidur misalnya tersedianya sumber mata pencaharian lain di luar usahatani yang lebih menguntungkan seperti menjadi buruh, mengumpulkan hasil hutan, tambang, industri, jasa dan sebagainya. Hal ini menyebabkan transmigran kurang tertarik untuk menggarap lahannya atau curahan waktu yang disediakan transmigran untuk menggarap lahan usahanya belum maksimal. Menurut Delam et al. 2000 walaupun UPT-UPT sudah diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak ditemui banyak lahan terutama LU II yang belum diusahakan. Belum dibukanya LU II, karena masih berupa hutan maka untuk memanfaatkan lahan dengan kondisi demikian sebagai usaha pengembangan tanaman perkebunan membutuhkan biaya besar yang sulit diatasi oleh transmigran secara perorangan. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan tenaga kerja dan modal. Salah satu upaya mengatasi kesulitan ini adalah dengan melakukan kerjasama dengan pihak swastainvestor. Dalam rangka usaha pengembangan tanaman perkebunan perlu peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan-pelatihan dan penyuluhan khususnya yang berkaitan dengan teknik budidaya tanaman perkebunan. Meskipun di daerah transmigrasi dibangun pola tanaman pangan, komoditas padi dan tanaman pangan lainnya ternyata bukan merupakan komoditas unggulan yang bisa diandalkan transmigran Najiyati, 2003. Tampaknya transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif di LU II. Sedangkan padi dan tanaman pangan lainnya dinilainya sebagai komoditas sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Di UPT Pagar Banyu, transmigran enggan menanam tanaman pangan karena lahan yang kurang subur, topografi bergelombang-berbukit dan adanya serangan hama babi. Dengan kondisi LU II seperti itu serta memperhatikan peluang pasar yang terbatas di lokasi, transmigran memilih karet atau kelapa sawit sebagai komoditas unggulan untuk dikelola secara kooperatif. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan dalam pengusahaan LU II berupa keterbatasan modal, tenaga kerja dan ketersediaan bibit yang berkualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Priyono et al. 2002 luasan lahan yang diusahakan transmigran di Mesuji SP 6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba Ayu SP 7 menunjukkan bahwa lahan usaha terutama LP dan LU I telah diusahakan dengan baik, sedangkan LU II pada umumnya belum diusahakan karena tenaga kerja yang belum mencukupi dan modal yang terbatas. Selain itu transmigran menunggu adanya investor yang berkeinginan menanam modalnya maupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman tahunan kelapa sawit, karet dan lainnya. Modal merupakan unsur utama dalam usahatani yang berorientasi bisnis. Terbatasnya modal menjadi kendala di hampir seluruh daerah transmigrasi pola tanaman pangan dalam mengembangkan usahataninya pada LU II Najiyati et al., 2001. Sumber modal yang bisa diharapkan untuk mengembangkan LU II di kawasan transmigrasi antara lain dari petani sendiri dan dari dunia usaha termasuk bank dan perusahaan yang bersedia bermitra usaha. Minat investor mengembangkan usaha pertanian melalui sistem kemitraan cukup besar. Adanya kerjasama kemitraan dengan perusahaan mitra sebagai pengelola dalam investasi agribisnis diharapkan dapat memberikan posisi lebih baik bagi transmigran sehingga menjadi lebih leluasa dalam mengusahakan lahannya, menambah kemampuan teknologi dan memperoleh nilai tambah lebih besar terutama apabila petani dapat menjadi bagian dari pelaku dalam semua kegiatan agribisnis dari hulu sampai hilir Dewi, 2003. Menurut Najiyati et al. 2001 adanya kerjasama kemitraan ini diduga sebagai upaya untuk berbagi resiko dengan petani. Melalui sistem kemitraan, diharapkan kegagalan usaha yang diakibatkan oleh penjarahan dan sengketa lahan dapat dihindari karena petani merasa turut memiliki unit usaha dari keseluruhan subsistem yang dikelola. Jenis komoditas yang banyak diminati investor adalah komoditas perkebunan terutama kelapa sawit.

2.4. Agropolitan sebagai Model Pengembangan Kawasan Transmigrasi