kawasan transmigrasi antara lain dari petani sendiri dan dari dunia usaha termasuk bank dan perusahaan yang bersedia bermitra usaha. Minat investor
mengembangkan usaha pertanian melalui sistem kemitraan cukup besar. Adanya kerjasama kemitraan dengan perusahaan mitra sebagai pengelola
dalam investasi agribisnis diharapkan dapat memberikan posisi lebih baik bagi transmigran sehingga menjadi lebih leluasa dalam mengusahakan lahannya,
menambah kemampuan teknologi dan memperoleh nilai tambah lebih besar terutama apabila petani dapat menjadi bagian dari pelaku dalam semua kegiatan
agribisnis dari hulu sampai hilir Dewi, 2003. Menurut Najiyati et al. 2001 adanya kerjasama kemitraan ini diduga
sebagai upaya untuk berbagi resiko dengan petani. Melalui sistem kemitraan, diharapkan kegagalan usaha yang diakibatkan oleh penjarahan dan sengketa lahan
dapat dihindari karena petani merasa turut memiliki unit usaha dari keseluruhan subsistem yang dikelola. Jenis komoditas yang banyak diminati investor adalah
komoditas perkebunan terutama kelapa sawit.
2.4. Agropolitan sebagai Model Pengembangan Kawasan Transmigrasi
Pada awalnya kaidah pembangunan di dunia menyatakan bahwa kebahagiaan dan rasa sejahtera manusia datang dengan sendirinya dari kegigihan
mengusahakan pertumbuhan ekonomi akibat pertumbuhan industri yang cepat yang dipusatkan di beberapa kota dan dari sini manfaatnya akan menyebar ke
pelosok wilayah nasional Friedmann dan Douglass, 1976. Adanya kaidah ini menyebabkan terjadinya hyperurbanization, pusat penduduk dan kegiatan
modern, pengangguran, perbedaan pendapatan dan kemiskinan serta kekurangan makanan yang terus menerus. Akibat kegagalan dari kaidah pusat pertumbuhan
ini maka kemudian dikembangkan siasat pembangunan pedesaan yang dipercepat dengan tujuan diantaranya mengubah daerah pedesaan dengan cara
memperkenalkan unsur-unsur gaya hidup kota yang telah disesuaikan pada lingkungan pedesaan dan memperluas hubungan sosial di pedesaan sampai keluar
batas-batas desanya sehingga terbentuk suatu sosio ekonomi dan politik yang lebih luas atau agropolitan district.
Menurut Rustiadi dan Hadi 2006 konsep pengembangan agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan wilayah antara kota
sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian yang tertinggal. Proses interaksi ke dua wilayah
selama ini secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah. Wilayah pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian mengalami
produktivitas yang nilai tukarnya terus menurun akibat beberapa permasalahan. Di sisi lain wilayah perkotaan sebagai tujuan pasar dan pusat pertumbuhan menerima
beban berlebih sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan- permasalahan sosial konflik, kriminal dan penyakit dan lingkungan seperti
pencemaran dan buruknya sanitasi lingkungan permukiman. Pengembangan agropolitan ditujukan untuk meningkatkan produksi
pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung tumbuhnya industri agro-processing
skala kecil menengah dan mendorong keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar. Tacoli 1998 menyatakan bahwa program
pembangunan pedesaan yang hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi pertanian tanpa diikuti dengan kegiatan non pertanian seperti pemrosesan dari
bahan mentahproduksi pertanian dan pabrik keperluan pertanian seperti alat-alat pertanian dan input-input pertanian lainnya akan menyebabkan marginalisasi
daerah pedesaan. Menurut Elistianto 2005 pengembangan agropolitan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di daerah pedesaan termasuk di dalamnya kegiatan pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan dan
infrastruktur komersial seperti pasar. Hafsah 2006 menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan
pedesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta
meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan
pedesaan ini adalah : a.
Meningkatkan produktivitas ekonomi pedesaan seperti dengan inovasi teknologi modernisasi pertanian dan mengintroduksikan perubahan-
perubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah,
organisasi masyarakat kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi, perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah.
b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih
merata. c.
Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif.
d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan
kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya. Pengembangan agropolitan di beberapa daerah ternyata juga terjadi di
kawasan transmigrasi, tentunya kawasan transmigrasi tersebut hanya merupakan bagian dari kawasan agropolitan tersebut. Menurut Sitorus dan Nurwono 1998,
penerapan konsep agropolitan dan pertumbuhan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dalam bentuk kota-kota tani merupakan pilihan strategi pengembangan wilayah
yang tepat dikembangkan dalam pembangunan transmigrasi skala besar secara terencana dan konsisten. Konsep ini sejalan dengan Harun 2006 yang
menyatakan bahwa penerapan konsep agropolitan akan sangat penting artinya bagi pengembangan pembukaan wilayah frontier seperti pembangunan
permukiman transmigrasi, karena dapat dimulai dalam awal pertumbuhan wilayah.
Menurut Sitorus dan Nurwono 1998 apabila konsep agropolitan akan digunakan dalam program pembangunan transmigrasi dan masyarakat sekitar
permukiman transmigrasi maka gagasan agropolitan dapat diusulkan dibangun pada: 1 lokasi yang baru sama sekali WPT atau 2 pada lokasi yang sedang
tumbuh. Pada lokasi yang sedang tumbuh, di sini sifatnya memanfaatkan lokasi- lokasi lama yang dinilai mempunyai prospek pertumbuhan ekonomi yang baik.
Penerapan konsep agropolitan pada kawasan transmigrasi dicirikan oleh hinterland
daerah belakang yang meliputi minimum 500.000 penduduk atau 100.000 kepala keluarga transmigran atau rumah tangga petani yang dirintis
pembukaannya oleh Wilayah-Wilayah Pengembangan Partial Transmigrasi sekitar 10 WPP, daya tampung 1 WPP
± 10.000 KK dengan jenis-jenis perwilayahan komoditas pertaniannya yang jelas, sedangkan pusat-pusat
pertumbuhan adalah kota-kota tani dengan penduduk 5.000-10.000 KK yang
dilengkapi dengan berbagai jenis sarana dan prasarana yang menunjang untuk kegiatan pertanian secara berjenjang jelas hirarki kotanya. Kota tani sebagai
kutub pertumbuhan wilayah dalam wilayah agropolitan selain dianggap sebagai pusat-pusat pertumbuhan wilayah pertanian, juga sebagai pusat administrasi
penetapan kebijakan-kebijakan pembangunan wilayah agropolitan dan mempunyai hirarkiorde yang jelas.
Kegiatan-kegiatan yang dikembangkan pada setiap jenjang kota tani didasarkan pada pembentukan pusat-pusat pertumbuhan baru berupa orde-orde
pembangunan sebagai berikut: a.
Orde I yang berfungsi sebagai kota perdagangan yang berorientasi ekspor yang dilengkapi dengan berbagai kegiatan tertier jasa, perdagangan ekspor
impor, serta pendidikan dan perbankan yang disesuaikan dengan kebutuhan rantai tata niaga pertanian processing, marketing dan exporting sampai
dengan pelabuhan tempat mengekspor hasil-hasil pertaniannya. b.
Orde II yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi industri sekunder berupa industri pengolahan dan manufacturing
produk pertanian pembuatan produk-produk pasar yang dilengkapi dengan kegiatan tertier jasa, perdagangan, perbankan, pelatihan, pendidikan serta
penyiapan tenaga terampil, siap pakai dan tenaga kerja yang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang memadai.
c. Orde III yang mempunyai fungsi sebagai pusat koleksi dari berbagai jenis
komoditas pertanian yang dikembangkan serta ditunjang dan dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang terutama pasar,
pergudangan, sarana perhubungan yang mempunyai akses terhadap kawasan- kawasan produksi dan daerah belakang lainnya.
Pembentukan kota tani orde III di wilayah permukiman transmigrasi diperkirakan baru akan terwujud setelah sekitar 10-15 tahun, tergantung dari potensi daerah dan jenis komoditi yang
dikembangkan Sitorus dan Nurwono, 1998.
Menurut Utomo 2005 di wilayah-wilayah transmigrasi lama perlu dikembangkan pusat-pusat agroindustriindustri pedesaan yang pada akhirnya
akan menyerap tenaga kerja muda di pedesaan dan akan memacu pertumbuhan wilayah. Untuk tujuan tersebut pemerintah daerah harus membangun
infrastruktur dan akses pasar, sehingga akan terjadi harmonisasi pembangunan wilayah.
Berkembangnya lokasi permukiman transmigrasi sangat dipengaruhi kondisi prasarana jalan dan jarak ke pusat-pusat perekonomian baik ibukota
kecamatan, kabupaten maupun provinsi Priyono et al., 2002. Prasarana jalan dibutuhkan transmigran untuk transportasi jual dan beli barang kebutuhan hidup
sehari-hari dan produksi hasil pertanian. Kondisi jalan yang kurang baik akan sangat menghambat arus perekonomian dari dan keluar lokasi yang dapat
mengakibatkan tidak terjualnya hasil produksi. Penelitian yang dilakukan Sukasmianto et al. 1999 terjadi adanya
peningkatan produktivitas lahan tanaman pangan di Kabupaten Bogor pada hirarki I dari tahun 1989-1996 yang diduga sebagai akibat adanya penggunaan teknologi
intensifikasi pertanian, penambahan input produksi, tersedianya sarana produksi pertanian dan fasilitas kredit usahatani kepada petani. Sebaliknya terjadi
penurunan rataan produktivitas lahan pada hirarki II dan III yang diduga disebabkan akibat dari petani yang masih mengandalkan ekstensifikasi pertanian
karena masih tersedianya lahan yang relatif lebih luas dan tanpa penambahan input produksi sehingga keadaan ini justru menurunkan produktivitas rata-rata
lahan tanaman pangan di wilayah tersebut. Peningkatan hirarki wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bogor disebabkan karena letaknya berada
pada jalan poros Jakarta – Bogor, seperti Kecamatan Cibinong dan Cimanggis serta adanya zonasi wilayah pengaruh yang berada dekat wilayah pertumbuhan
seperti Kecamatan Parung Panjang dan Gunung Sindur yang dekat dengan Kabupaten Tangerang sehingga memiliki jarak ekonomi yang dekat ke pusat
pertumbuhan suatu wilayah. Menurut Priyono 2003 untuk pengembangan kawasan-kawasan yang
telah teridentifikasi, prasarana jalan sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah karena dapat menjadi daya tarik investor. Apabila kondisi jalan baik akan
menambah tingginya jalur transportasi masuk dan keluar lokasi. Hal ini sangat membantu dalam pemasaran hasil-hasil atau produksi lokasi transmigrasi dan
menekan tingginya harga kebutuhan masyarakat, sehingga kawasan akan lebih cepat berkembang. Secara umum jarak kawasan ke pusat pertumbuhan dan
ekonomi rata-rata cukup jauh yaitu 105.5 km ke ibukota provinsi. Sedangkan kondisi prasarana jalan dari ibukota kecamatan ke lokasi masih belum beraspal
walaupun jaraknya dekat, sehingga sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kelancaran kegiatan ekonomi kawasan transmigrasi.
Sumberdaya ekonomi yang dikuasai oleh rakyat adalah sumberdaya agribisnis yang berbasis tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan,
peternakan dan kehutanan Syahrani, 2001. Karena itu cara mengembangkan perekonomian daerah adalah melalui pengembangan agribisnis bukan hanya
pengembangan pertanian primer atau subsistem on farm agribusiness, tetapi juga mencakup subsistem agribisnis hulu yaitu industri-industri yang menghasilkan
sarana produksi bagi pertanian primer, seperti industri pembibitan, industri agro- otomotif, industri agro-kimia, dan subsistem agribisnis hilir yaitu industri-industri
yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan desa serta kegiatan perdagangannya.
Menurut Pranoto 2005 bahwa program prioritas yang dibutuhkan dalam pengembangan agropolitan adalah peningkatan sumberdaya manusia pertanian
yang berkualitas, peningkatan produktivitas usahatani, pasar dan pemasaran, kemitraan usaha, pembangunan agroindustri dan peningkatan kinerja lembaga
penunjang sistem usahatani. Dalam peningkatan produktivitas ekonomi pedesaan terutama dibidang pertanian diperlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat
masyarakat. Penguatan kelembagaan dalam memberdayakan kawasan agropolitan
dilakukan dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif terkait dengan input sarana dasar usaha pertanian, penguatan kelembagaan kawasan agropolitan,
pengembangan permodalan pedesaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi petani pedesaan Suwandi, 2006. Kelembagaan petani merupakan pelaku utama
dalam pengembangan kelembagaan kawasan agropolitan. Kelembagaan petani baik berupa kelompok tani, koperasi, maupun asosiasi yang dinamis dan terbuka
pada inovasi baru harus berfungsi sebagai kelembagaan yang dominan di kawasan agropolitan. Kelembagaan petani harus didukung dengan kelembagaan input
agribisnis, yang terkait dengan permodalan dari lembaga keuangan, sarana pertanian dari kios-kios pertanian, pengolahan hasil oleh industri kecil dan
menengah, pemasaran melalui pasar, dan penyuluhan, dengan sarana dan prasarana yang mendukung kelancaran usaha agribisnis.
Kelompok sosial dan ekonomi di kawasan transmigrasi yang berkembang merupakan kelompok yang telah dibentuk oleh pemerintah, namun
perkembangannya lamban bahkan berhenti terutama kelompok-kelompok usaha dibidang ekonomi Priyono et al., 2002. Hal ini disebabkan karena pembentukan
pengurusnya tidak sepenuhnya berdasarkan aspirasi masyarakat tetapi lebih besar campur tangan pemerintah. Ke depan sebaiknya kelompok-kelompok di bidang
ekonomi yang dikembangkan adalah yang sudah ada di masyarakat dan pemerintah sebagai fasilitator.
Berdasarkan penelitian Najiyati 2003 di lokasi Pagar Banyu dan Mesuji budaya gotong royong di dalam mengolah tanah seperti yang ditunjukkan pada
awal penempatan memang sudah tidak berlangsung lagi semenjak beberapa tahun setelah penempatan kecuali di lokasi Belimbing Baru. Pengelolaan lahan oleh
penduduk setempat umumnya juga dilakukan secara individu. Namun ternyata budaya gotong royong dalam mengolah lahan masih dapat dilakukan karena
transmigran masih memiliki wahana untuk bergotong royong yakni di LP dan LU I yang selama ini dikerjakan sendiri. Karena itu pengelolaan LU II secara
kooperatif tidak bertentangan dengan adat istiadat setempat. Pengembangan agribisnis di setiap daerah harus juga disertai dengan
pengembangan organisasi ekonomi, khususnya rakyat petani, agar manfaat ekonomi yang dihasilkan dapat benar-benar dinikmati oleh rakyat dan daerah. Di
masa lalu, rakyat petani bahkan daerah sentra-sentra agribisnis hanya menikmati nilai tambah dari subsistem on farm agribusiness yang umumnya relatif kecil.
Nilai tambah yang paling besar, yakni pada subsistem agribisnis hulu dan hilir, dinikmati oleh para pedagang atau pengusaha luar daerah. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa pendapatan petani tetap rendah dan ekonomi daerah sentra-sentra agribisnis kurang berkembang Syahrani, 2001.
Menurut Najiyati 2003 untuk mendukung pengembangan usaha pertanian, sebaiknya koperasi disusun dalam bentuk koperasi komoditas dengan
kegiatannya yaitu mengembangkan komoditas. Lembaga ekonomi non formal yang terdapat di lokasi adalah kelompok usaha bersama atau kelompok tani yang
melakukan kegiatan usaha bersama. Kelompok ini memiliki peranan yang cukup berarti di beberapa UPT karena memperoleh perhatian yang besar dari
anggotanya. Simpan pinjam atau gaduhan ternak merupakan aktifitas yang umum dikembangkan. Sebagai contoh di UPT Pagar Banyu SP 1 terdapat 7 kelompok
usaha bersama yang aktif sedangkan di UPT Belimbing terdapat 3 kelompok. Lembaga non formal seperti ini dapat dijadikan sebagai basis pemberdayaan
masyarakat agar pengembangan usaha pertanian secara kooperatif dapat berjalan lancar.
Menurut Suwandi 2006 dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, peranan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha cukup penting, yang tentu sesuai
dengan proporsi kewenangan dan fungsi masing-masing. Pemerintah berperan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang berupa jalan, irigasi, pasar dan
air bersih, serta memegang posisi penting dalam riset dan pengembangan pertanian secara umum. Sementara dunia usaha memegang peranan penting
dalam penyediaan input pertanian dan dalam pengolahan hasil pertanian. Masyarakat pertanian turut memberikan kontribusi dalam pemanfaatan input bagi
usaha pertanian mereka, pengolahan hasil pertanian, dan dalam sarana informasi. Paradigma baru pembangunan yang lebih berorientasi pada kebutuhan
masyarakat lokal diharapkan akan mampu mengurangi permasalahan yang dihadapi di tingkat lokal. Setiap lokasi permukiman akan memiliki potensi alam,
ekonomi, sosial budaya yang berbeda-beda local context, penyeragaman adalah sesuatu yang harus dihindari Ibrahim, 2004. Pendekatan dari bawah yang
bertumpu pada komunitas community based development menjadi pilihan strategis dalam pembangunan. Kunci keberhasilan dari pendekatan
pengembangan komunitas yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup adalah partisipasi aktif dari semua pihak khususnya warga komunitas setempat.
Menurut Wahyudin 2004 dibandingkan dengan masyarakat biasa, partisipasi pemimpin desa cenderung lebih tinggi yag disebabkan karena
pemimpin desa adalah orang yang pertama kali dilibatkan dalam merencanakan suatu program atau kegiatan untuk daerahnya dan mereka merupakan jembatan
penghubung ketika terjadi transfer inovasi kepada masyarakat. Lebih dari itu, masyarakat pemimpin desa selalu diundang dalam setiap kegiatan program
pengembangan masyarakat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun dalam mengevaluasi kegiatan yang telah dilaksanakan.
Menurut Anharudin 2005 Terdapat dua paradigma rekayasa pengembangan kawasan transmigrasi, yaitu 1 faktor budaya manusia
merupakan faktor penting dan penentu suatu kemajuan. Kemajuan sebuah kolektivitas hanya bisa dibangun melalui peningkatan kompetensi dan kepedulian
akan pentingnya kerja keras, etos kerja yang tinggi, semangat untuk maju, kreatifitas dan jiwa kepeloporan. Paradigma ini memberikan implikasi pada
penekanan kebijakan pembangunan yang menekankan pentingnya bentuk-bentuk pelatihan, keterampilan usaha, manajeman dan lainnya. Sedangkan paradigma 2
menyatakan faktor-faktor determinan penopang kemajuan terletak pada sumberdaya alam, lingkungan geografis, akses modal, iklim usaha yang sehat dan
peluang pasar. Paradigma ini memberikan implikasi kebijakan pembangunan yang lebih menekankan pentingnya pemberian input ekonomi seperti bantuan
modal, pembentukan kelembagaan ekonomi, pembukaan akses pasar, dan lainnya. Agar transmigran yang telah ditempatkan tidak salah dalam menentukan
komoditas dan teknologi spesifik lokasi yang sesuai, maka transmigran harus dibimbing dan diarahkan dengan menjaring keinginannya antara lain melalui
metodologi Participatory Rural Appraisal PRA yang dilakukan selama satu tahun penempatan Widaryanto, 2005. Dalam menentukan teknologi spesifik
lokasi di kawasan transmigrasi diperlukan kerjasama dengan penghasil teknologi yang terdapat di tiap provinsi, yaitu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP
yang mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi.
Komoditas unggulan yang diusahakan merupakan komoditas yang menjadi pilihan petani sesuai dengan agroklimat setempat dan memiliki prospek pasar
yang baik serta mempunyai nilai ekonomi tinggi Dewi, 2003. Komoditas unggulan harus dipilih atas dasar beberapa persyaratan yaitu sesuai dengan
kondisi agroekologi, mempunyai peluang pasar dan menguntungkan sehingga menjadi pilihan masyarakat. Daerah transmigrasi dengan variasi kondisi fisik dan
lingkungan yang cukup besar mempunyai komoditas unggulan yang berbeda-beda Najiyati, 2003. Walaupun dengan wawasan yang terbatas, transmigran sudah
mempertimbangkan aspek kesesuaian dengan kondisi agroekologi, peluang pasar, dan keuntungan yang didasarkan atas pengalaman yang digali sendiri maupun
setelah melihat hasil kerja yang dilakukan oleh orang lain. Keberhasilan usahatani di lahan kering secara langsung atau tidak
langsung akan menentukan kesejahteraan petani dan masyarakat secara umum melalui peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dan nasional
secara umum Nugroho, 2002. Melalui pemilihan komoditas yang tepat komersial, semakin tinggi produktivitas usahatani maka semakin tinggi pula
pendapatan yang diperoleh petani. Dengan demikian, petani mempunyai modal yang cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan investasi yang berfungsi untuk
meningkatkan produktivitas dan kualitas lahan. Menurut Sitorus et al. 2000a ketidakoptimalan dalam penggunaan lahan
yang menyebabkan rendahnya produktivitas komoditas kemungkinan disebabkan karena lahan yang sesuai untuk suatu komoditas cenderung tidak digunakan untuk
komoditas yang bersangkutan. Satuan peta kesesuaian lahan yang relatif seragam dalam sifat-sifat tanah dapat dijadikan sebagai unit penggunaan dan pengelolaan
lahan, dimana respon pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian diharapkan relatif seragam terhadap perlakuan yang diberikan Sitorus, 2000.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada dua alternatif yang dapat dilakukan : 1 mengubah penggunaan lahan saat ini disesuaikan dengan rekomendasi kesesuaian
lahan, 2 mempertahankan penggunaan lahan saat ini dengan memberikan input yang dibutuhkan. Berkaitan dengan sosial budaya apabila input yang dibutuhkan
tidak terlalu besar maka alternatif kedua yang dipilih, tetapi apabila input yang dibutuhkan sangat besar maka alternatif satu yang dipilih. Untuk itu diperlukan
penyuluhan dalam penggunaan lahan dalam upaya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan teknologi pertanian sesuai dengan potensi
wilayahnya Sitorus et al., 2000a.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN