atau dari perintah jabatan yang lebih tinggi dari dirinya, cukup untuk membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dari kejahatan yang
didakwakan terhadapnya, akan tetapi keadaan-keadaan tertentu dimungkinkan untuk dipertimbangkan dalam memperingati hukuman
jika pengadilan menentukan demi keadilan.”
3. Pasal 7 ayat 2 Statuta ICTY yang menyebutkan, “Posisi resmi dari orang
yang dituntut, apakah sebagai kepala Negara atau kepala pemerintah atau sebagai pejabat pemerintah yang bertanggung jawab, tidak dapat dibebaskan
dari pertanggungjwaban pidana maupun pengurangan hukuman”.
71
4. Pasal 27 Statuta Roma 1998 sendiri mengatur sebagai berikut:
Ketentuan tersebut ditulis kembali dalam Pasal 6 ayat 2 Statuta ICTR.
72
a. Statuta ini akan berlaku kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan
berdasarkan jabatannya dalam pemerintahan. b.
Kekebalan atau peraturan prosedural khusus yang melekat pada kapasitas jabatan seseorang, di bawah hukum nasional atau hukum internasional
tidak akan membatasi ICC dalam melakukan yurisdiksinya terhadap orang tersebut.
C. Kejahatan Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata
Pembahasan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity telah diuraikan pada bab sebelumnya. Mengulang kembali sedikit
penjelasan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pada bab sebelumnya telah diterangkan, istilah kejahatan terhadap kemanusiaan digunakan untuk pertama
kalinya dalam deklarasi bersama antara negara Perancis, Inggris, dan Rusia pada
71
Ibid, hlm. 198.
72
Ibid, hlm. 267.
24 Mei 1915. Deklarasi ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh kekejaman yang dilakukan Turki terhadap Armenia selama perang.Tindakan Turki ini dikatakan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban. Istilah hukum kemanusiaan laws of humanity juga pernah dipergunakan
dalam masa Perang Dunia I.The Commision of Fifteen Members Komisi Lima Belas yang didirikan oleh Preliminary Peace Conference pada Januari 1919
menetapkan beberapa pertanggungjawaban yang berhubungan dengan peristiwa Perang Dunia I. Setelah Perang Dunia II, pengertian crimes against humanity
digunakan lebih terperinci lagi sebagaimana diatur dalam Piagam London. Pada Pasal 16 c Piagam London dikatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah “...pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, baik yang dilakukan
sebelum atau ketika perang berlangsung; atau persekusi terhadap penduduk sipil yang didasarkan pada alasan-alasan politik, rasial, ataupun agama”
73
73
I Gede Widhiana Suarda, Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hlm. 177.
Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa telah banyak aturan yang mengatur mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan seperti Piagam
London, Statuta International Military Tribunal for The Far East IMFTE, Kovensi Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang
dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 XXIII, Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Statuta Roma 1998 yang merupakan
pengaturan yang paling lengkap mengenai kejahatan terhadap kemanusaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan dapat terjadi dalam masa damai maupun dalam konflik bersenjata. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut
armed conflict merupakan suatu keadaan yang tidak asing di dunia internasional. Terjadinya konflik bersenjata diawalai adanya pertentangan kepentingan dengan
bangsa lain atau pertentangan antar kelompok dalam suatu bangsa sendiri. Konflik bersenjata merupakan peristiwa yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan
antara pihak-pihak yang bertikai.Dalam sejarah konflik bersenjata telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil tetapi juga menimbulkan
kekejaman.
74
1. Terjadinya kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa seseorang.
Dapat dipastikan banyak yang menjadi korban pada saat konflik bersenjata itu berlangsung.Akibat konflik bersenjata dapat mengenai siapa saja
yang berada di wilayah konflik tersebut. Adapun beberapa akibat yang sering ditimbulkan selama terjadinya konflik bersenjata antara lain:
2. Penyanderaan
3. Pelecehan martabat dan pemerkosaan
4. Penjatuhan dan pelaksanaan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin
hak-hak seseorang 5.
Perbudakan dan perdagangan orang Melihat akibat yang ditimbulkan oleh konflik bersenjata yang disebutkan
di atas menjadi kekhawatiran bagi dunia apabila tidak diatasi dengan cepat. PBB akhirnya tidak tinggal diam melihat akibat yang ditimbulkan oleh konflik
bersenjata oleh karena itu konflik bersenjata tersebut mendapat pengaturan dalam
74
Antonio Pradjasto, Konvensi Genosida Melindungi Hak Asasi Manusia-Memerangi Impunitas, Jurnal Hukum Jantera Volume II No. 1, Jakarta, 2004, hlm. 65.
beberapa konvensi seperti Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan I dan II 1977.
75
1. Konflik Bersenjata Internasional
Konflik bersenjata tersebut dapat dibedakan menjadi konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non internasional konflik dalam
negeri.Untuk lebih lanjut ada baiknya mengetahui perbedaan dari kedua konflik tersebut.
Konflik bersenjata internasional merupakan suatu konflik yang terjadi apabila melibatkan dua negara atau lebih. Pengertian International armed conflict
dapat ditemukan antara lain pada commentary Konvensi Jenewa 1949, sebagai berikut:
Perbedaan yang timbul antara dua Negara dan menyebabkan intervensi anggota angkatan bersenjata adalah konflik bersenjata dalam arti
Pasal 2, bahkan jika salah satu pihak dinies adanya keadaan perang.Tidak ada bedanya beberapa lama konflik berlangsung atau berapa banyak
mengambil tempat pembantaian. Dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949 ditemukan bahwa yang dimaksud
dengan international armed conflict adalah perang yang terjadi antar negara. Jika konflik bersenjata internasional dalam Konvensi Jenewa adalah yang terjadi antar
negara, maka dalam Protokol I 1977 diatur mengenai Conflict Against Racist yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 4 dan yang termasuk dalam sengketa bersenjata
75
Adwani, Jurnal Perlindungan Terhadap Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional, 2012, hlm. 1.
internasional. Pengertian CAR conflict ini adalah fighting against Colonial domination; Alien occupation; and against Racist Regisme.
2. Konflik Bersenjata Non Internasional
Konflik bersenjata non internasional adalah suatu konflik yang terjadi dalam suatu wilayah negara antara pemerintah dengan warga negara yang
pemberontak. Pasal 3 Konvensi Jenewa menggunakan istilah “Sengketa Bersenjata yang tidak bersifat Internasional Armed Coflict not of an International
Character” untuk setiap konflik yang bukan merupakan konflik bersenjata internasional. Tetapi pasal ini sendiri tidak memberikan penjelasan secara rinci
mengenai apa yang dimaksud dengan Armed Conflict not of an International Charater tersebut sehingga menimbulkan penafsiran yang sangat luas.
Lebih lanjut untuk mengetahui maksud dari frasa tersebut maka dapat dilihat pada Commentary dalam Konvensi Jenewa 1949. Komentar tersebut
berisikan bahwa “Disepakati oleh para peserta Konferensi bahwa keinginan untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan ‘sengketa bersenjata’ armed conflict
dibatalkan”. Sebaliknya disetujui adanya usulan yang berisi syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi agar Konvensi Jenewa dapat diterapkan dalam suatu konflik
yang tidak bersifat internasional. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bahwa pihak pemberontak memiliki kekuatan militer yang terorganisir, di
pimpin oleh seorang Komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melakukan aksi dalam wilayah tertentu dan memiliki sarana
untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi Jenewa.
b. Bahwa Pemerintah yang sah dipaksa untuk menggerakkan pasukan reguler
angkatan bersenjata untuk menghadapi pemberontak yang terorganisir secara militer dan yang telah menguasai sebagian wilayah nasional;
c. Adapun Pemerintah de jure tempat di mana pemberontak tersebut berada :
1 Telah mengakui pemberontak sebagai belligerent; 2
Telah mengklaim bagi dirinya hak sebagai belligerent; 3
Telah mengakui pemberontak sebagai belligerent hanya untuk keperluan Konvensi Jenewa ini saja; dan
4 Bahwa pertikaian tersebut telah dimasukkan dalam agenda Dewan
Keamanan atau Majelis Umum PBB sebagai ancaman terhadap perdamaian internasional, pelanggaran terhadap perdamaian atau
tindakan agresi; d.
Adapun pihak pemberontak telah terorganisir sedemikian rupa dan memiliki :
1 Suatu organisasi yang mempunyai sifat sebagai “negara‟;
2 Penguasa sipil civil authority dari pemberontak tersebut dapat
melaksanakan kekuasaannya terhadap orang-orang dalam wilayah tertentu;
3 Bahwa pasukan pemberontak tersebut melakukan operasi-operasi
militernya di bawah kekuasaan penguasa sipil yang terorganisir tersebut;
4 Bahwa penguasa sipil dari pihak pemberontak setuju untuk terikat
pada ketentuan Konvensi. Atas adanya usul yang memuat syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas,
maka menurut Jean Pictet, usulan tersebut bermanfaat sebagai suatu sarana untuk membedakan suatu sengketa bersenjata dalam pengertian yang sebenarnya,
dengan tindakan kekerasan bersenjata lainnya seperti tindakan para penjahat banditry, atau pemberontakan yang tidak terorganisir dan tidak berlangsung
lama unorganized and shortlived insurrection.
76
76
Konflik bersenjata non-internasional, konflik internal, atau perang pemberontakan, selain diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, diatur pula dalam
perjanjian lainnya yaitu Protokol Tambahan II, 1977. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 Protokol II 1977 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1 ayat 1. “Protokol ini, yang mengatur dan melengkapi Pasal 3 Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 tanpa memodifikasi syarat-syarat penerapannya, harus diterapkan pada semua konflik bersenjata yang tidak diatur dalam Pasal 1
Protokol Tambahan I tahun 1977 dan pada semua konflik bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara peserta Protokol, antara angkatan
bersenjata negara tersebut dan pasukan pembelot atau kelompok- kelompok bersenjata yang terorganisir lainnya, yang memiliki pemimpin
yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, melaksanakan pengawasannya terhadap sebagian wilayah teritorial negara dan dapat
melaksanakan operasi militer yang berlanjut dan serentak serta dapat melaksanakan Protokol ini”.
Pasal 1 ayat 2.
http:arlina100.wordpress.com20090113pengertian-konflik-bersenjata-noninternasional- menurut-konvensi-jenewa-1949 diakses 12 Maret 2015
“Protokol ini tidak berlaku untuk situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir
dan sporadis, serta tindak kekerasan serupa lainnya, yang bukan merupakan konflik bersenjata”.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai maksudnya, maka hal tersebut perlu dilihat pada Komentar Protokol, yaitu hasil persidangan yang diadakan pada
waktu Konferensi Diplomatik menjelang pembentukan Protokol ini. Dalam Komentar Pasal 1 Protokol II terdapat penjelasan sebagai berikut :
“Karena Protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang dimaksud dengan ‘non-international armed conflict’ dan mengingat bahwa konflik-
konflik seperti ini sangat beraneka ragam jenisnya yang berkembang sejak tahun 1949, maka telah diusahakan untuk merumuskan ciri-ciri khusus
dari konflik tersebut”. Mengingat bahwa sengketa bersenjata non-internasional melibatkan
beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah dan pemberontak, maka sengketa bersenjata non-internasional dapat terlihat sebagai suatu situasi di mana terjadi
permusuhan antara angkatan bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok- kelompok bersenjata yang terorganisir organized armed groups di dalam
wilayah suatu negara. Namun di samping itu, sengketa bersenjata non- internasional mungkin pula terjadi pada situasi-situasi di mana faksi-faksi
bersenjata armed factions saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari angkatan bersenjata pemerintah yang sah.
Selanjutnya, di dalam Komentar tersebut dapat kita ketahui, ternyata terdapat dua macam usulan untuk merumuskan apa pengertian konflik bersenjata
non-internasional. Usulan-usulan tersebut adalah sebagai berikut : a.
Pertama, membentuk suatu prosedur untuk menentukan secara obyektif apakah telah terjadi suatu konflik bersenjata noninternasional;
b. Kedua, mengklarifikasi konsep tentang konflik bersenjata
noninternasional, misalnya menentukan sejumlah elemen material yang konkrit, sehingga bila unsur-unsur ini terpenuhi maka pemerintah yang
bersangkutan tidak lagi mengingkari bahwa suatu konflik bersenjata non- internasional telah terjadi.
Menurut Komentar Protokol, alternatif pertama, yaitu untuk membentuk suatu prosedur obyektif dalam hal menentukan apakah telah terjadi konflik
bersenjata non-internasional, selalu lebih sulit. Oleh karena itu alternatif kedua yang lebih dipilih oleh para peserta Konferensi Diplomatik, yaitu untuk
menentukan suatu formulasi definisi. Ini mengingat bahwa Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 seringkali diingkari dan tidak diakui karena tidak adanya suatu
definisi tentang konflik bersenjata non-internasional. Banyak usulan yang diajukan sehubungan dengan alternatif kedua, dimana
akhirnya terdapat tiga perhatian yang harus dibahas oleh peserta Konferensi; yaitu:
a. Menentukan ambang batas tertinggi dan terendah dari konflik bersenjata
non-internasional; b.
Menentukan unsur-unsur konflik bersenjata non-internasional;
c. Menjamin bahwa penerapan pasal 3 tetap berlaku.
Yang dimaksud dengan hal tersebut di atas menurut Komentar Protokol adalah sebagai berikut :
a. Ambang batas tertinggi dan terendah konflik bersenjata noninternasional.
Ambang batas tertinggi ditentukan sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa 1949. Usulan ini kemudian dilengkapi dengan mengacu
pula kepada Pasal 1 Protokol I, 1977. Hal ini kiranya telah jelas, karena ke dua ketentuan tersebut mengatur mengenai konflik bersenjata
internasional. Jadi, suatu konflik internal, intensitas konflik dan unsur- unsur lainnya, harus berada di bawah intensitas konflik bersenjata
internasional. Ambang batas terendah adalah situasi-situasi sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 1 ayat 2 dari Protokol II, yaitu situasi-
situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindak kekerasan yang bersifat terisolir dan sporadis, serta tindak kekerasan
serupa lainnya. b.
Menentukan unsur-unsur konflik bersenjata non-internasional. Pada awalnya, ICRC mengajukan suatu definisi yang luas mengenai kriteria
substansi yang dimaksud dengan konflik bersenjata non-internasional; yaitu adanya suatu konfrontasi antara angkatan bersenjata atau kelompok-
kelompok bersenjata yang terorganisir yang dipimpin oleh komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya, yang mana kelompok tersebut
harus memiliki dengan derajat minimum sebagai suatu organisasi.Namun usulan ini sulit diterima secara konsensus. Oleh karena itu terdapat
sejumlah usulan-usulan lain, dan akhirnya ada tiga kriteria yang dapat diterima oleh para pihak yang berunding untuk menentukan unsur-unsur
adanya suatu gerakan pemberontakan, yaitu : 1
Adanya komando yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya; 2
Kelompok bersenjata yang terorganisir tersebut dapat melakukan pengawasan terhadap sebagian wilayah naisonal sehingga
memungkinkan mereka melakukan operasi militer secara berlanjut dan serentak;
3 Kelompok bersenjata tersebut mampu untuk melaksanakan Protokol.
Adanya persyaratan tersebut membatasi berlakunya Protokol terhadap suatu konflik non-internasional pada suatu intensitas tertentu.Ini berarti tidak
semua kasus konflik bersenjata non-internasional diatur oleh Protokol II.Protokol II ini hanya mengatur konflik bersenjata non internasional dengan persyaratan
tersebut di atas; dan tidak termasuk konflik bersenjata non-internasional seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949.Dengan kata lain, syarat
yang diminta menurut Protokol II adalah lebih tinggi; tidak seperti Pasal 3 Konvensi Jenewa yang bersifat umum.
Dengan demikian pada hakekatnya pada setiap konflik bersenjata non internasional, maka Pasal 3 Konvensi Jenewa dapat diberlakukan; akan tetapi
untuk memberlakukan Protokol II diperlukan sejumlah persyaratan pada kelompok-kelompok perlawanan bersenjata sebagaimana dijelaskan di atas. Atau
kemungkinan lain, Protokol II tersebut telah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan. Telah disebutkan tadi bahwa konflik bersenjata merupakan keadaan
yang penuh dengan kekerasan dan permusuhan hingga menimbulkan kekejaman bagi manusia. Suatu kejahatan yang berkaitan dengan prikemanusiaan akan
termasuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari penjelasan di atas mengenai perbedaan antara kedua konflik
bersenjata bersenjata internasional dan non internasional, maka dapat disimpulkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam kedua kategori konflik
bersenjata tersebut.Namun kejahatan terhadap kemanusiaan lebih dominan masuk ke dalam kategori konflik bersenjata non internasional karena kejahatan ini
biasanya terjadi di dalam wilayah suatu negara dan antara negara dengan pemberontaknya. Apalagi jika dilihat dari kriteria-kriteria kejahatan terhadap
kemanusiaan yang telah ditentukan dalam Statuta Roma 1998 antara lain: l
Pembunuhan; m
Pemusnahan; n
Perbudakan; o
Pendeportasian atau memindah secara paksa suatu penduduk; p
Menahan atau bentuk lain dari perampasan kebebasan fisik yang melanggar aturan dasar dari hukum internasional;
q Penyiksaan;
r Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa,
penghamilan paksa, pemandulan paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang sama beratnya;
s Penindasan terhadap kelompok yang bisa diidentifikasi atau kelompok
politis, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
sebagaimana dijelaskan dalam ayat 3 atau kejahatan lain yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan;
t Penghilangan orang secara paksa;
u Kejahatan apartheid;
v Tindakan tidak manusiawi lainnya dengan karakter yang sama secara
sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.
Terlepas dari perbedaan antara kedua konflik bersenjata tersebut adanya konflik bersenjata memberikan ketakutan yang luar biasa bagi masyarakat
internasional.Tidak ada seorang pun yang menginginkan keadaan ini terjadi di wilayahnya. Baik keduanya sama-sama memberikan dampak yang luar biasa
mengerikan bagi masyarakat internasional dan tentunya akan banyak memakan korban akibat dari konflik tersebut.
D. Pengaturan Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan