g. Geneva Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan
konvensional tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau akibat membabi buta.
Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:
33
1 Pembunuhan yang disengaja
2 Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat
manusia 3
Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas 4
Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang 5
Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur
6 Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa
7 Menjatuhkan hukuman kurungan
8 Melakukan penyanderaan
C. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan
Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dikemukakan pertama kali pada tahun 1915 melalui
deklarasi pertama tiga negara Perancis, Inggris, Rusia. Namun ternyata istilah ini hanyalah sebuah perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan permasalahan
33
Ibid, hlm. 48.
politis, hal ini terlihat dalam kenyataannnya setelah deklarasi tersebut tidak ada upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut.
34
Pengaturan lebih tegas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Piagam London. Kejahatan tersebut mencakup
35
Kejahatan terhadap kemanusiaan juga diatur dalam Pasal 5 huruf c Statuta IMTFE yang menyatakan
“namely, murder,extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or
during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of
Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrate”,
pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masayarakat sipil,
sebelum atau selama perang, atau penindasan-penindasan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan lain
yang termasuk di dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah melanggar atau tidak hukum domistik negara dimana perbuatan dilakukan.
36
34
Tolib Effendi, Op.Cit., hlm. 100.
35
Ibid.
36
Ibid.
“Crimes against humanityNamely, murder,extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any
civilian population, before or during the war, or persecutions on political or racial grounds in execution of or in connection with any crime within
the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and
accomplices participacing in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible
for all acts performed by any person in execution of such plan”, yang termasuk kejahatan kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan,
pebudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil mana pun, sebelum dan selama perang,
atau penindasan berdasarkan politik atau ras sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lain yang masuk dalam yurisdiksi
pengadilan ini, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak.
Kejahatan dalam kemanusiaan dalam Konvensi tentang Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap
Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 XXIII, 26 November 1968, tercantum dalam Pasal 1 b:
37
Dalam Statuta ICTY, kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Pasal 5 yang menyebutkan Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk
menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama konflik senjata berlangsung, yang bersifat internasional maupun
internal dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil: “Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu
perang maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan
dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 1 13 Februari 1946 dan 95 1 11 Desember 1946, pengusiran dengan bersejata, atau
pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid dan kejahatan genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan
tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara- negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan”.
Pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan telah banyak dirumuskan dan dapat dilihat dari pengaturan yang telah disebutkan di atas.Selain
itu, kejahatan ini juga dirumuskan dalam tiga statuta lainnya, yaitu Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Statuta Roma 1998.
38
a Pembunuhan;
b Pemusnahan;
c Perbudakan;
d Pendeportasian;
37
Eddy Omar Sharif Hiariej.Op.Cit.,hlm. 62.
38
Tolib Effendi, Op.Cit. hlm. 102-103.
e Penahanan;
f Penyiksaan;
g Pemerkosaan;
h Penindasan berdasarkan politik, ras, dan agama;
i Tindakan tidak manusiawi lainnya.
Dalam Statuta ICTY, kejahatan yang disebutkan di atas haruslah dilakukan pada saat perang sejak tahun 1991, dan dilakukan di negara bekas Yugoslavia
termasuk Macedonia dan Kosovo.
39
Berbeda dengan Statuta ICTY, Statuta ICTR memberikan pengaturan tentang kejahatan kemanusiaan sedikit berbeda.Pengaturan kejahatan
kemanusiaan diatur dalam Pasal 3 Statuta ICTR sebagai berikut “Pengadilan Internasional untuk Rwanda memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang
yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil atas dasar
kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.”
40
a Pembunuhan;
b Pemusnahan;
c Perbudakan;
d Pendeportasian;
e Penahanan;
f Penyiksaan;
g Pemerkosaan;
39
Ibid. hlm. 103.
40
Ibid.
h Penindasan terhadap politik, ras, dan agama;
i Tindakan tidak manusiawi lainnya.
Perbedaan mendasar pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan dari kedua Statuta di atas dapat dilihat dari kondisi saat perbuatan tersebut
dilakukan.Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa syarat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan pada saat situasi
konflik bersenjata baik bersifat internasional maupun bersifat internal.Sedangkan dalam Statuta ICTR, kejahatan kemanusiaan terjadi ketika perbuatan tersebut
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan,
politik, etnis, ras, atau agama. Perkembangan hukum internasional dalam memerangi kejahatan terhadap
kemanusiaan mencapai puncaknya pada 17 Juli 1998. Konferensi Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pengadilan
Internasional, yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta Roma mengokohkan konsep tersebut
menjadi suatu treaty norm.
41
Pengaturan yang paling lengkap mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Statuta Roma 1998. Secara substantif pengaturan
41
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat ELSAM,Op.Cit.,
hlm 23.
dalam Statuta ini hampir sama dengan kedua Statuta sebelumnya namun dalam Statuta Roma lebih dipertegas dan dilengkapi.
Kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma dimana ayat 1 membahas tentang jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi kejahatan
terhadap kemanusiaan serta ayat 2 dan 3 mengenai penjelasan terhadap istiliah yang terdapat dalam ayat 1.
1 Untuk kepentingan dari statuta ini, kejahatan terhadap kemanusiaan berarti
setiap tindakan berikut yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil, dengan pengetahuan terhadap serangan: a
Pembunuhan; b
Pemusnahan; c
Perbudakan; d
Pendeportasian atau memindah secara paksa suatu penduduk; e
Menahan atau bentuk lain dari perampasan kebebasan fisik yang melanggar aturan dasar dari hukum internasional;
f Penyiksaan;
g Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa,
penghamilan paksa, pemandulan paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang sama beratnya;
h Penindasan terhadap kelompok yang bisa diidentifikasi atau kelompok
politis, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
sebagaimana dijelaskan dalam ayat 3 atau kejahatan lain yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan;
i Penghilangan orang secara paksa;
j Kejahatan apartheid;
k Tindakan tidak manusiawi lainnya dengan karakter yang sama secara
sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.
2 Untuk kepentingan ayat 1:
a Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil diartikan sebagai
perbuatan yang terdiri dari serangkaian tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 terhadap penduduk sipil yang berkaitan
dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut.
b Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya
penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan,
yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk. c
Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang termasuk tindakan yang
mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak. d
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai tindakan merelokasi penduduk melalui pengusiran atau cara kekerasan
lainnya dari tempat dimana penduduk secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional.
e Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa
sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan atau di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali penyiksaan teersebut
tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau incidental dari pengenaan sanksi yang sah.
f Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang
perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan
pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan dapat mempengaruhi hukum nasional terkait
kehamilan. g
Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak- hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional
dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif. h
Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam
ayat 1, dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu
dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tertentu.
42
i Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan,
penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara atau pun organisasi politik,
yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan
maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.
3 Untuk tujuan statuta ini dapat dimengerti, istilah “gender” merujuk pada
dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat. Istilah “gender” tidak mengindikasikan adanya pengertian lain selain yang
di atas.
43
Jika dalam Statuta ICTY mensyaratkan bahwa tindakan kejahatan kemanusiaan dilakukan dalam konflik bersenjata, baik berskala internasional
maupun internal, dan di dalam Statuta ICTR mensyaratkan adanya serangan secara luas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas
dasar diskriminasi kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama, maka dalam Statuta Roma 1998 memiliki syarat yang lebih lengkap dan rinci dibanding kedua Statuta
sebelumnya. Syarat tersebut antara lain:
44
42
Ketentuan mengenai Apartheid dapat dilihat secara lebih rinci dalam dokumen International Convention on the Supression and Punishment of the Crime of Apartheid, yang
diterima Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 3068 XXVIII tahun 1973.
43
Statuta Roma 1998
44
Tolib Effendi,Op. Cit., hlm. 110
1. Luas dan sistematis.
Chesterman berpendapat bahwa istilah luas widespread merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan istilah sistematis systematiche
merujuk pada adanya kebijakan atau rencan untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
2. Sebagai bagian dari serangan yang luas dan sistematis.
Perbuatan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 harus merupakan bagian dari serangan yang
luas dan sistematis.
45
3. Dengan pengetahuan terhadap adanya serangan.
Istilah “with knowledge of the attack” dalam kalimat “…acts committed…with knowledge of the attack” mensyaratkan bahwa upaya
dikatakan ada kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku yang melakukan tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan harus
mengetahui bahwa di lingkungannya sedang terjadi serangan yang luas dan sistematis terhadap target kejahatan.
Dari ketentuan dalam Statuta di atas maka dapat dilihat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi dalam masa perang atau pada saat konflik
bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai.Pihak yang bertangggung jawab terhadap kejahatan ini tidak terbatas kepada aparatur negara state actor
saja, tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara non-state actors.
45
Arie Siswanto, Op.Cit. hlm. 66
D. ICC Statuta Roma 1998 tentang Kejahatan Internasional