memberikan pengaruh dalam perumusan kebijakan pelestarian sumber daya ikan tuna serta mengatur alat tangkap yang saling menguntungkan dan tidak merugikan
negara lain dengan alokasi dan regulasi. Dalam ruang lingkup negara ASEAN, Indonesia seharusnya sudah menjadi anggota dalam WCPFC, tetapi informasi
yang didapat dari Direktorat Sumberdaya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP Indonesia masih dalam status Cooperating Non-Member dalam
WCPFC sehingga tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Hal yang menjadi kendala Indonesia salah satunya adalah terbatasnya kemampuan
Indonesia mengikuti pertemuan yang diselenggarakan masing-masing RFMOs setiap tahun.
5.3 Hasil Estimasi Revealed Comparative Advantages RCA, Export Product Dynamic
EPD serta Analisis Persilangan Estimasi RCA dan EPD Perikanan Indonesia di Beberapa Negara Importir Utama dan Dunia
5.3.1 Australia
Tabel 23 memperlihatkan bagaimana keunggulan komparatif produk perikanan Indonesia di pasar Australia. Nilai RCA yang lebih besar dari satu
menunjukan pangsa ekspor komoditi tertentu asal Indonesia dalam total ekspornya lebih besar daripada pangsa ekspor komoditi tertentu di Australia
dalam total ekspornya. Dari hasil estimasi didapat ada empat komoditi perikanan Indonesia yang tidak kontinyu sehingga tidak dapat menganalisis pertumbuhan
rata-ratanya. Produk perikanan Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata produk tersebut di Australia dan berdaya saing kuat adalah ikan
hias, lobster beku, udang beku, kepiting beku dan siput pada tahun 2001, pada tahun 2005 hanya tuna sirip kuning beku, udang segar dan siput yang tidak
memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata Australia. Tahun 2009, ada dua komoditi yang berdaya saing lemah di pasar perikanan Australia yaitu lobster
segar dan siput. Bila melihat pertumbuhan rata-ratanya, pertumbuhan RCA paling tinggi adalah produk tuna sirip kuning segar dengan kata lain kinerja ekspor tuna
sirip kuning segar Indonesia di pasar Australia meningkat setiap tahunnya pada periode terakhir.
Tabel 23. Hasil Estimasi RCA dan EPD Perikanan Indonesia di Australia 2001, 2005, 2009
Komoditi Nilai RCA
Nilai EPD Posisi
Daya Saing
2001 2005
2009 Pertumbuhan
Pangsa Pasar Ekspor
Pertumbuhan Pangsa Pasar
Produk
Ikan Hias 5,451
8,909 3,427
-25,35 -9,96
Retreat Tuna Sirip
Kuning Segar 0,061
29,1 2,3
15164,10 -9,96
Falling Star
Tuna Sirip Kuning Beku
29,499 -
-9,96 -
Lobster Beku 2,119
4,797 15,024
154,19 -9,96
Falling Star
Lobster Segar 7,69
- -9,96
- Udang Beku
2,401 2,327
1,229 -38,33
-9,96 Retreat
Udang Segar 0,063
0,265 7,552
1689,06 -9,96
Falling Star
Kepiting Beku 1,809
9,113 12,268
139,41 -9,96
Falling Star
Kepiting Segar
20,162 28,972
- -9,96
- Siput
31,529 0,059
- -9,96
-
Tabel 23 juga memperlihatkan hasil estimasi EPD perikanan Indonesia di pasar Australia yang menunjukan bahwa empat produk tidak dapat diestimasi
dengan metode EPD karena Indonesia tidak kontinyu dalam ekspor produk tersebut ke Australia yaitu tuna sirip kuning beku, lobster segar, kepiting segar
dan siput. Produk perikanan lainnya memiliki posisi daya saing Retreat dan Falling Star
yang berarti bahwa sepuluh komoditi perikanan tersebut adalah produk yang tidak dinamis di pasar perikanan Australia dilihat dari pertumbuhan
pangsa produk tersebut yang benilai negatif 10 persen. Arti dari posisi Retreat pada komoditi ikan hias dan udang beku adalah terjadinya penurunan pangsa
pasar produk tersebut asal Indonesia disaat permintaan produk tersebut di Australia juga menurun. Sedangkan Falling Star berarti disaat penurunan
permintaan produk tuna sirip kuning segar, lobster beku, udang segar dan kepiting beku menurun di pasar Australia, Indonesia malah memiliki keunggulan
kompetitif atau peningkatan pangsa pasar ekspor produk tersebut di Australia. Pertumbuhan pangsa pasar ekspor terbesar di Australia selama tahun 2001, 2005
dan 2009 adalah komoditi tuna sirip kuning segar dengan pertumbuhan lebih dari 15.164 persen.
Penjelasan terperinci mengenai perbandingan nilai RCA Indonesia dan pesaing utamanya serta estimasi persilangan RCA dan EPD dipaparkan sebagai
berikut : 1. Ikan Hias
Seperti tertera pada Tabel 23 sebelumnya ikan hias Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata Australia dan juga mengindikasikan
tingginya daya saing ikan hias Indonesia di Australia. Singapura dan Malaysia pada tahun 2001 dan 2009 memiliki nilai RCA ikan hias ke Australia yang lebih
tinggi dari Indonesia yaitu sebesar 9,2 dan 4,4 tetapi pada tahun 2005 lebih rendah dari Indonesia dengan nilai RCA sebesar 5 dan 4. Padahal selama tahun 2001,
2005 dan 2009 Singapura dan Malaysia memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi dari Indonesia. Berbeda dengan dua negara tersebut, Thailand dan Filipina
memiliki nilai RCA lebih rendah dari Indonesia pada tiga tahun tersebut. Bahkan pada tahun 2001 dan 2009, Thailand memiliki keunggulan komparatif dibawah
rata-rata Australia sedangkan Filipina hanya pada tahun 2001 yang demikian.
Tabel 24. Perbandingan RCA Ikan Hias Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 5,451
Singapore 9,174
Malaysia 6,941
0,691 0,604
2005 8,909
Singapore 4,908
Malaysia 4,224
1,809 2,593
2009 3,427
Singapore 4,411
Malaysia 6,082
0,735 5,948
Bila kita bandingkan kolom hasil estimasi RCA dan EPD yang telah disajikan sebelumnya, dengan nilai RCA yang ikan hias yang cukup tinggi atau
memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata Australia tidak menjamin ekspor ikan hias Indonesia kompetitif di pasar Australia pada tahun 2001, 2005 dan 2009.
Dapat disimpulkan pula ikan hias Indonesia di Australia tidak kompetitif disaat kekuatan bisnis atau permintaan produk ikan hias di Australia tidak dinamis tahun
2001, 2005 dan 2009.
2. Tuna Sirip Kuning Segar Nilai RCA produk Madidihang segar asal Indonesie ke Australia memiliki
nilai espor tertinggi ke Australia pada tahun 2005 dan 2009. Pertumbuhan nilai RCA yang cukup signifikan pada tahun 2005 tidak menjadikan Indonesia
memiliki keunggulan komparatif diatas Fiji Tabel 25. Seperti terlihat pada tabel yang disediakan, nilai RCA Indonesia pada produk ini masih dibawah nilai RCA
negara pesaingnya seperti Papua Nugini, Fiji, Sri Lanka dan Kaledonia Baru. Tetapi nilai RCA New Zealand dan Filipina lebih rendah dari Indonesia. Thailand
tidak memiliki nilai RCA karena negara tersebut memang tidak mengekspor tuna sirip kuning segar ke Australia tahun 2001, 2005 dan 2009.
Bila membandingkan hasil estimasi RCA dan EPD pada produk tuna sirip kuning segar ke Australia didapat bahwa kedua hasil estimasi tersebut sesuai
dengan kata lain rata-rata nilai RCA Indonesia yang memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata Australia ternyata juga kompetitif dalam pasar produk
tersebut di Australia.
Tabel 25. Perbandingan RCA Tuna Sirip Kuning Segar Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 0,061
Papua New
Guinea 696,620
New Caledonia
256,163 0,000
0,000 2005
29,100 Fiji
294,708 New
Zealand 0,321
0,000 2,451
2009 2,300
Sri Lanka 1506,387
New Zealand
1,313 0,000
0,000
3. Tuna Sirip Kuning Beku Tuna sirip kuning beku merupakakn salah satu produk perikanan
Indonesia yang memiliki nilai ekspor tidak kontinyu ke Australia. Bila melihat RCA yang lebih dari satu pada tahun 2009, dikatakan Indonesia memiliki
keunggulan komparatif ditas rata-rata produk ini di pasar Australia, tetapi bila dibandingkan dengan Filipina pada tahun yang sama, nilai RCA Indonesia jauh
lebih rendah. Nilai RCA Filipina mencapai 142,4. Pesaing lain sepeti Malaysia dan Papua Nugini pada tahun 2001 memiliki nilai RCA sebesar 16,9 dan 253,4
Tabel 26. Fiji pad atahun 2005 memiliki nilai RCA jauh diantara semua pesaingnya dalam kurun waktu 2001, 2005 dan 2009 yaitu sebesar 755,1.
Tabel 26. Perbandingan RCA Tuna Sirip Kuning Beku Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 0,000
Malaysia 16,890
Papua New Guinea
253,387 0,000
0,000 2005
0,000 Fiji
755,062 -
0,000 0,009
3,267 2009
29,499 -
0,000 -
0,000 0,000
142,397
Karena nilai ekspor Indonesia tidak kontinyu menyebabkan tidak dapat mengestimasi posisi daya saing komoditi ini di Australia sehingga tidak dapat
juga membandingkan bagaimana keunggulan komparatif yang dimiliki dengan keunggulan kompetitifnya.
4. Lobster Beku Pada Tabel 27 terlihat bahwa walaupun Indonesia memiliki keunggulan
komparatif pada produk lobster beku diatas rata-rata produk ini di Australia, tetapi nilai RCA tersebut masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Papua
Nugini dan Kanada pada tahun 2001 yang memiliki nilai RCA sebesar 380,8 dan 16,7. Amerika Serikat dan India pada tahun 2005 juga diatas nilai RCA Indonesia
yait sebesar 5,7 dan 9,7. Pada tahun 2009, nilai RCA India meningkat menjadi 21,5.
Tabel 27. Perbandingan RCA Lobster Beku Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 2,119
Papua New Guinea
380,817 Canada
16,698 0,000
0,000 2005
4,797 United States
5,719 India
9,688 0,000
0,774 2009
15,024 India
23,453 Malaysia
4,534 0,000
0,000
Malaysia yang juga pesaing Indonesia hanya memiliki nilai RCA 4,5. Thailand tidak mengekspor produk ini dalam kurun tahun 2001, 2005 dan 2009
sehingga tidak memiliki nilai RCA, Sedangkan Filipina pada tahun 2005 memiliki
nilai RCA yang lebih rendah dari Indonesia sekaligus memiliki keunggulan komparatif dibawah rata-rata produk ini di Australia sehingga berdaya saing
lemah. Membandingkan nilai RCA dan posisi daya saing hasil estimasi EPD, didapat hasil yang sesuai yaitu dengan keunggulan komparatif yang dimiliki
Indonesia diatas rata-rata produk ini di pasar Australia, ternyata pada produk ini Indonesia juga memiliki keunggulan kompetitif walaupun permintaan Australia
akan produk ini cenderung menurun setia tahunnya selama tahun 2001, 2005 dan 2009.
5. Lobster Segar Nilai RCA lobster segar Indonesia hanya ada pada tahun 2005 karena
memang nilai ekspor Indonesia pada produk ini ke Australia tidak kontinyu, tetapi pada tahun tersebut Indonesia dianggap memiliki daya saing yang kuat. Walaupun
nilai RCA tersebut masih jauh dibawah Vietnam yang pad atahun tersebut memiliki nilai RCA sebesar 20,1. Pada tahun 2001 Denmark dan Kanada
memiliki daya saing kuat dengan nilai RCA mencapai 160,5 dan 3,5. Pada tahun 2005 daya saing Indonesia yaitu sebesat 7,7 masih lebih kuat dibandingkan
dengan Amerika Serikat yang memiliki nilai RCA sebesar 1,2. Pada tahun 2009, India dan Malaysia menguasai ekpsor lobster segar ke Australia dengan nilai RCA
sebesar 68,1 dan 7,5. Seperti yang telah dipaparkan dalam subbab sebelumnya tentang kinerja ekspor, Thailand dan Filipina tidak mengekspor lobster segar ke
Australia sehingga tidak dapat dihitung bagaimana daysaing kedua negara tersebut.
Tabel 28. Perbandingan RCA Lobster Segar Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 0,000
Denmark 160,515
Canada 3,509
0,000 0,000
2005 7,690
Vietnam 20,075
United States 1,236
0,000 0,000
2009 0,000
India 68,140
Malaysia 7,461
0,000 0,000
Serupa dengan ekspor produk tuna sirip kuning beku ke Austalia, produk lobster segar yang juga tidak kontinyu menyebabkan tidak dapat mengestimasi
bagaimana posisi daya saing produk tersebut di pasar perikanan Australia pada
kurun waktu 2001, 2005 dan 2009. Hal itu sekaligus menyebabkan sulitnya menganalisis bagaimana keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia pada
tahun 2005 pada produk lobster segar mempengaruhi keunggulan kompetitifnya di tahun yang sama. Karena untuk mengestimasi posisi daya saing diperlukan
kekontinyuitas pada nilai ekspor produk tersebut dari Indonesia ke Australia. 6. Udang Beku
Perbandingan nilai RCA Indonesia dengan negara pesaing lainnya dapat dikatakan bahwa walaupun Indonesia memiliki keunggulan komparatif diatas
rata-rata produk udang beku di Australia tetapi nilai tersebut masih juah dibawah nilai RCA India dan Vietnam pada tahun 2001 yang memiliki nilai RCA sebesar
35,2 dan 9,3. Pada tahun 2005, Vietnam dan India lagi yang mengungguli Indonesia dengan nilai RCA sebesar 15,4 dan 21,3. Cina dan Malaysia memiliki
nilai RCA sebesar 2 dan 5,7 pada tahun 2009. Nilai tersebut menunjukan bahwa walaupun dari segi nilai ekspor Vienam dan Cina lebih tinggi dari India dan
Malaysia tahun 2005 dan 2009, tetapi daya saingnya justru kebalikannya, India dan Malaysia memiliki daya saing yang lebih kuat dari Vietnam dan Cina.
Thailand selama tahun yang sama memiliki daya saing yang lebih kuat dari Indonesia dengan nilai RCA berturut-turut 16,6, 8,6 dan 6,2.
Tabel 29. Perbandingan RCA Udang Beku Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 2,401
India 35,230
Vietnam 9,292
16,561 0,000
2005 2,327
Vietnam 15,431
India 21,311
8,578 0,001
2009 1,229
Cina 1,992
Malaysia 5,663
6,170 0,000
Serupa dengan ikan hias, udang beku juga memiliki posisi daya saing Retreat
, dengan begitu dapat dikatakan walaupun udang beku asal Indonesia di Australia memiliki keunggulan komparatif diatas rata-rata Australia tetapi ekspor
produk tersebut tidak kompetitif dengan pangsa produk atau permintaan di Autralia yang juga tidak dinamis.
7. Udang Segar Bila membandingkan nilai RCA udang segar Indonesia ke Australia
dengan negara pesaing utamanya, nilai RCA Indonesia yang memiliki keunggulan
komparatif diatas rata-rata Australia pada tahun 2009 merupakan nilai RCA yang lebih tinggi daripada Malaysia dan Thailand yang memiliki nilai RCA sebesar 4,5
dan 5,6. Pada tahun 2001, dimana udang segar Indonesia berdaya saing lemah, Kenya memiliki nilai RCA paling tinggi yaitu sebesar 220.9. Thailand juga
memiliki daya saing kuat dengan nilai RCA sebesar 30,2. Filipina hanya memiliki nilai RCA pada tahun 2001 deengan daya saing yang cenderung lemah dengn nilai
RCA sebesar 0,06.
Tabel 30. Perbandingan RCA Udang Segar Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 0,063
Vietnam 9,165
Kenya 220,950
30,187 0,058
2005 0,265
Vietnam 33,773
Cina 0,126
4,554 0,000
2009 7,552
Malaysia 4,466
Cina 0,888
5,567 0,000
Estimasi posisi daya saing udang segar Indonesia diperoleh hasil Falling Star,
dengan nilai RCA yang berdaya saing kuat pada tahun 2009 ternyata dari estimasi EPD juga didapat bahwa produk udang segar Indonesia di pasar Australia
kompetitif risingwalaupun permintaan atau kekuatan bisnis produk ini di Australia bernilai negatif stagnant selama waktu pengamatan.
8. Kepiting Beku Nilai RCA kepiting beku Indonesia di Australia selama tahun 2001, 2005
dan 2009 cenderung berdaya saing kuat. Bila dibandingkan dengan pesaing utamanya, tahun 2001, Cina, Jepang dan Thailand memiliki nilai RCA yang lebih
besar yaitu sebesar 7,4, 2 dan 5,1. Pada tahun 2005, nilai RCA Indonesia lebih tinggi dibandingkan Malaysia dan Vietnam, tetapi tetap lebih rendah dari
Thailand yang memiliki nilai RCA sebesar 14. Tahun 2005, Filipina juga memiliki nilai RCA tetapi keunggulan komparatifnya tidak lebih tinggi dari rata-
rata kepiting beku di Australia yaitu hanya sebesar 0,3. Tahun 2009, nilai RCA kepiting beku Indonesia jauh diatas pesaingnya seperti Amerika Serikat, Cina dan
Thailand yang mengindikasikan daya saing kepiting beku asal Indonesia lebih kuat dibandingkan pesaing lainnya tersebut.
Tabel 31. Perbandingan RCA Kepiting Beku Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 1,809
Cina 7,442
Japan 2,009
5,142 0,000
2005 9,113
Malaysia 3,255
Vietnam 4,459
14,002 0,334
2009 12,268
United States 1,530
Cina 0,887
2,575 0,000
Dengan menyilangkan hasil estimasi RCA dan EPD pada produk kepitimg beku Indonesia di Australia didapat hasil yang serupa dengan produk udang segar
bahwa keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia, ternyata juga memiliki keunggulan kompetitif pada tahun yang sama terlihat pada pertumbuhan pangsa
ekspornya yang benilai positif 139,409 walaupun permintaan kepiting beku di Australia cenderung stagnant bernilai negatif 9,9 Tabel 23.
9. Kepiting Segar Kepiting segar Indonesia di pasar kepiting Australia memiliki daya saing
kuat pada tahun 2005 dan 2009 yang terlihat dari nilai RCAnya. Walaupun pada tahun 2001, Indonesia tidak memiliki daya saing tetapi pada tahun 2005 nilai
RCA Indonesia mengungguli Vietnam, Malaysia dan Thailand yang memiliki nilai RCA sebesar 8,8, 2 dan 7,8 pada tahun tersebut. Pada tahun 2009 kepiting
beku Indonesi juga memiliki daya saing yang lebih kuat dibandingkan dengan Thailand yang memiliki nilai RCA sebesar 5,1.
Tabel 32. Perbandingan RCA Kepiting Segar Indonesia dan Pesaing ke Australia 2001, 2005, 2009
Tahun Indonesia
Pesaing 1 Pesaing 2
Thailand Filipina
Negara Nilai
RCA Negara
Nilai RCA
2001 0,000
Japan 4,243
United States
0,942 7,109
18,313 2005
20,162 Vietnam
8,781 Malaysia
1,955 7,840
0,000 2009
28,972 Korea,
Rep. 0,017
- 0,000
5,108 0,000
Persilangan hasil estimasi RCA dan EPD tidak dapat diestimasi karena tidak ada posisi daya saing kepiting segar Indonesia selama tahun 2001, 2005 dan
2009. Hal tersebut karena pada tahun 2001, Indonesia tidak mengekspor produk
ini ke Australia. Sehingga walaupun Indonesia memiliki daya saing terkuat pada tahun 2005 dan 2009, tidak dapat menganalisis bagaimana keunggulan
kompetitifnya disaat pertumbuhan pangsa pasar produk ini di Cina tidak dinamis. 10. Siput